BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kajian mengenai perempuan akhir – akhir ini semakin banyak dilakukan. Dalam kepustakaan sosiologi dan antropologi budaya tercatat semakin banyak
karya yang menyoroti peranan dan kedudukan perempuan dalam berbagai konteks kebudayaan. Sebagian lagi terdorong oleh gerakan peningkatan
kedudukan perempuan yang sekarang telah menjadi gejala dan meliputi seluruh dunia. Kajian – kajian tersebut ingin mengetahui apakah memang peranan
perempuan dibatasi oleh sifat – sifat biologis yang berarti peranan itu akan berubah.
Melalui penelitian komparatif, Rosaldo dan Lamphere 1974 menjelaskan memang banyak kecenderungan bahwa peranan perempuan terbatas kepada hal –
hal tertentu yang ada hubungannya dengan fungsi melahirkan, tetapi hal itu tidak mutlak, karena cukup banyak masyarakat yang memberi peranan kepada
perempuan, fungsi - fungsi yang sering dianggap khas fungsi laki - laki seperti : mengepalai kerajaan, menjadi pemimpin agama, pemimpin peperangan dan
politik Nasution, 1994 :10-11. Pada zaman dahulu pekerjaan laki – laki dan perempuan dibedakan
berdasarkan jenis kelamin warisan biologis , seperti di beberapa tempat di New Guinea, perempuan menanam ubi jalar, dan laki – laki menanam Yams. Yams
adalah makanan yang bernilai tinggi dan dibagi – bagikan ketika pesta. Contoh
Universitas Sumatera Utara
yang lainnya misalnya perempuan sebagai peladangpetani dan laki - laki sebagai pemburu. Walaupun para perempuan yang mensuplai makanan, namun hasil
buruan dianggap makanan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi, seperti masyarakat Aborigin di Australia, hanya daging yang didistribusi laki – laki yang
dianggap sebagai makanan yang tepat seperti yang diungkapkan oleh Kaberry dalam buku Rasaldo, 1974, Bangun, 1997 .
Ternyata kejadian di atas terdapat pula di daerah - daerah lain di dunia, misalnya kebanyakan masyarakat di dunia memberi sambutan yang berbeda atas
kelahiran anak laki – laki dan anak perempuan. Di kalangan suku Turkana di Kenya bagian Utara, kaum perempuan berkumpul bersama dalam menyambut
kelahiran seorang anak. Jika bayi itu laki – laki, tali pusarnya dipotong dengan sebilah tombak, dan pesta diselenggarakan dengan penyembelihan empat ekor
kambing bagi perempuan yang melahirkan anak bayi itu maupun suaminya. Ketika perempuan itu bangun dan keluar dari rumahnya empat hari setelah
persalinannya, tombak itu diambil dulu dan digunakan untuk memenggal seekor lembu jantan, kemudian perempuan itu maupun suaminya memakan daging lembu
sembelihan sebagai tanda bahwa sang suami kini telah memiliki seorang untuk membantunya mengurus ternak. Akan tetapi jika bayinya perempuan, digunakan
pisau untuk memotong tali pusar, cuma seekor kambing yang disembelih, dan tidak ada pesta Mosse, 1999 : 1-2 .
Di seluruh dunia, kerja perempuan dinilai rendah. Jika petugas sensus diinstruksikan untuk tidak memasukkan kerja rumah tangga perempuan dalam
formulir sensusnya, pesannya jelas “ jangan menghitung kerja perempuan karena kerja perempuan tidak diperhitungkan.” Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan
Universitas Sumatera Utara
kedalam angka – angka bagi GNP global, diperkirakan bahwa angka GNP global akan meningkat setidak – tidaknya sepertiga. Kerja perempuan kadang – kadang
dilukiskan sebagai “tidak tampak” karena kerja itu tidak terekam secara statistik Mosse, 1999 : 58 – 59 .
Di Yunani dan Rusia menjadi ibu dianggap sebagai penebus dosa karena ia telah terlahir sebagai perempuan Mosse, 1999 : 39 .
Di Indonesia pada saat ini perempuan dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia
dituntut untuk berperan dalam sektor domestik, tetapi disisi lain muncul pula tuntutan lain agar perempuan Indonesia berkarier. Di satu sisi perempuan karier
merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara mereka; disisi lain mereka dihantui oleh opini
dalam masyarakat yang melihat bahwa perempuan karieribu karier sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan pendidikan anak – anak mereka. Yang sangat
memprihatinkan adalah adanya opini di kalangan masyarakat yang melihat perempuan karier adalah “ pengganggu suami orang lain “ Soetrisno, 1997 : 61 –
62 . Menurut Dzuyahatin 1997 konsep kekuasaan pada budaya patriarchi
adalah ekspresi kelaki – lakian dari “ sang penentu “. Sehingga setiap laki – laki merefleksikan kekuasaan tersebut kepada masyarakat yang lain, seperti ayah
terhadap anak, suami terhadap istri, kakak laki – laki terhadap adik, dan yang tertinggi raja terhadap rakyatnya.
Selanjutnya dan masih di Indonesia, perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki – laki di bidang pendidikan, namun persepsi masyarakat
Universitas Sumatera Utara
terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada perempuan tujuannya adalah agar ia lebih
mampu mendidik anak – anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex. Perempuan direndahkan ketika ia hanya dirumah dan dieksploitasi ketika mereka
berada di tempat kerja. Persepsi demikian tidak hanya dianut dikalangan awam, juga cendikiawan, dan yang lebih memprihatinkan pemerintah juga menjustifikasi
persepsi tersebut dalam kebijakan pembangunan, yang diungkapkan dalam panca tugas perempuan: sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pendidik anak dan
pembina generasi muda, sebagai pekerja yang menambah penghasilan negara dan sebagai anggota organisasi sosial masyarakat khususnya organisasi sosial dan
organisasi perempuan Dzuhayatin, 1997 . Hal diatas juga terdapat dalam hubungan kerabat dalam sitem kekerabatan
orang Bali. Menurut desain hidup dalam kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang maha penting. Nilai utamanya ialah gagasan
bahwa hanya anak laki – laki yang diakui sebagai penghubung dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang memperhitungkan
garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat di konstruksikan menjadi suatu konstruksi konseptual suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang
menghubungkan para laki – laki sebagai penghubung - penghubung garis keturunan. Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan
norma sosial lainnya dalam kaitannya dengan pengaturan soal – soal yang berkenaan dengan kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seorang istri harus
mengikuti suami ketempat tinggal kerabat dari suami itu, seperti norma sosial
Universitas Sumatera Utara
bahwa waktu sudah meninggal, harta dari seorang ayah diwariskan kepada anaknya yang laki – laki Ihromi, 2000 : 4-5 .
Dari data – data yang ada menunjukkan bahwa kondisi perempuan di Indonesia masih banyak memerlukan perhatian. Di bidang pendidikan perempuan
masih tertinggal dibandingkan mitra laki-laki sementara bahan ajar yang digunakan serta proses pengelolaan pendidikan masih bias gender, sebagai akibat
dominasi laki-laki sebagai penentuan kebijakan pendidikan. Di bidang ekonomi kemampuan perempuan untuk memeproleh peluang kerja dan berusaha masih
rendah. Demikian pula halnya akses terhadap sumber daya ekonomi, seperti teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Tingkat pengangguran pada
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Besarnya upah yang diterima perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang
sama, pekerja perempuan hanya menerima 50 persen sampai 80 persen upah yang diterima laki-laki. Selain itu banyak perempuan yang bekerja pada pekerjaan
marginal sebagai buruh lepas atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan
kesejahteraan. Dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan perempuan dan anak-anak memperoleh kelompok yang paling rentan kena dampak
Soemartoyo 2002. Di bidang pengambilan keputusan politik perempuan hanya diwakili oleh 8,8 persen dari seluruh jumlah anggota DPR jumlah perempuan
yang menjabat sebagai hakim agung di Mahkamah Agung hanya 13 persen. Jumlah Pegawai Negeri Sipil perempuan 36,9 persen dan jumlah tersebut hanya
15 persen yang menduduki jabatan penting. Dengan kondisi demikian dapat
Universitas Sumatera Utara
dibayangkan bahwa peran perempuan sebagai pengambil keputusan atau kebijakan relatif kecil dibanding laki-laki.
Dalam kegitan fisik pada produksi pertanian ternyata dibagi menurut garis gender, walaupun dalam kondisi terdapat keragaman yang berkaitan dengan
norma-norma lokal Suradisastro, 1998 misalnya Koentjaraningrat 1967 mengemukakan bahwa dikalangan masyarakat jawa seorang suami adalah kepala
keluarga, namun tidak berarti bahwa istri memiliki status lebih rendah karena ia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Akan tetapi seorang
anak laki-laki umumnya memiliki peran yang lebih kuat dan jelas sebagaimana yang ditunjukan dalam pengalihan tanggung jawab dari ayah kepada anak laki-
laki yang dilaporkan oleh Stevens 1974 yang mengamati etnis Sunda, yang merupakan masyarakat patrilineal dengan hierarki kuat di daerah Bugis di
Sulawesi Selatan ternyata terdapat norma yang cukup kuat bahwa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan bekerja di sawah kecuali mengawasi pada saat
panen. Sedang di daerah Sumbar yang menganut budaya Matriarkat dimana perempuan sebagai penguasa dan kepala atas keluarga, ternyata terdapat norma “
pria sebagai kepala keluarga dan pengurus rumah tangga, sedang perempuan sebagai pelaksana”.
Kenyataan secara fisik perempuan di daerah ini melakukan hampir semua kegiatan usaha tani, bahkan banyak perempuan yang melakukan kegiatan
mencangkul yang secara umum merupakan peran gender laki –laki. Selain itu terdapat norma “ tinggi lantai dari palupuah” yang berarti bahwa istri tidak dapat
memerintah suami. Di daerah itu pada umumnya laki – laki menguasai tanaman utama dan perempuan hanya mengontrol tanaman sampingan. Bahkan suami pula
Universitas Sumatera Utara
yang mengelola pendapatan rumah tangga, sehingga kalau istri memerlukan kebutuhan rumah tangga harus meminta ijin pada suami. Di daerah istimewa
Yogyakarta terdapat norma yang mengatakan “Ngono yo ngono, ning ojo ngono” hal ini berati perempuan boleh saja bekerja di bidang apapun, tapi jangan sampai
melanggar batas-batas norma yang tidak pantas dilakukan Hastuti, 1998. Misalnya kegiatan mencangkul secara normatif bukan pekerjaan perempuan dan
kegiatan pemasaran hasil pertanian bukan pekerjaan laki – laki. Di daerah Boyolali laki – laki yang menjual hasil taninya disebut “Cupar” yang merupakan
sindiran yang sangat memalukan. Di dalam kegiatan agrobisnis pada umumnya perempuan mempunyai peran yang relatif besar pada bidang pemasaran dari laki-
laki Irawan, 2001. Dari sini terlihat sering peran gender tradisional perempuan di nilai lebih rendah di banding peran gender laki-laki Fakih, 1996.
Pada bangsa yang sudah sangat terindustrialisasi seperti Amerika Serikat, peran perempuan kurang diperhitungkan dan kurang dianalisis. Karya Rachel
Rosenfeld 1985 mengenai perempuan tanah pertanian mengungkapkan bahwa 60 persen perempuan yang tinggal di tanah pertanian menggambarkan pekerjaan –
pekerjaan mereka sebagai “ istri, ibu, nyonya rumah atau ibu rumah tangga “, hanya 5 persen mengatakan sebagai istri petani, dan kurang dari 4 persen
menegaskan titel pekerjaan petani, pengusaha peternakan atau produsen Moore, 1996 : 116 .
Berbagai bias gender yang terjadi di seluruh dunia sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tadi pada akhirnya memunculkan reaksi menentang dari
pihak perempuan. Salah satu aliran yang paling terkenal dalam usaha tersebut yaitu aliran Feminisme. Dalam tuntutannya mereka mengatakan bahwa kesetaraan
Universitas Sumatera Utara
gender harus diwujudkan yaitu perempuan harus memiliki hak yang sama dengan laki – laki di segala bidang tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun
Moore, 1996 . Menurut aliran feminisme kesetaraan gender secara kuantitatif harus
diwujudkan yaitu laki - laki dan perempuan harus sama – sama fifty – fifty berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Lebih jauh mereka mengatakan
bahwa konsep gender adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan prilaku gender dalam tatapan
sosial karenanya segala jenis pekerjaan yang berbau gender, misalnya perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuh anak dan pria sebagai pencari nafkah
keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan sosial kalau tidak, akan sulit menghilangkan kondisi ketidaksetaraan Megawangi,1999: 20 .
Gerakan feminis tersebut pada akhirnya mendapat dukungan dari pihak – pihak lain bahkan hingga saat ini. Salah satu yang cukup terkenal saat ini adalah
Ratna Megawangi. Namun Megawangi ternyata tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang diinginkan oleh aliran feminis. Ada beberapa bagian yang tidak ia
setujui. Hal tersebut adalah mengenai penghapusan nature sifat alamiah dan nurture sosialisasi dan perubahan kultur yang dituntut oleh aliran feminis.
Secara lebih terperinci ada 2 hal mendasar yang di tentang oleh Megawangi yaitu : 1.
Menghilangkan female modesty yaitu menghilangkan sifat – sifat feminim perempuan secara extrim diilustrasikan dengan cara
berlari telanjang bersama – sama laki - laki, dan menghilangkan sifat keibuan .
Universitas Sumatera Utara
2. Menggunakan instrumen instistusi sosial untuk mendukung usaha
pertama. Instrumen sosial yang digunakan adalah perubahan lingkungan sosial yang kondusif untuk menghilangkan stereotif
gender. Misalnya dengan menciptakan undang – undang dimana negara harus menyediakan tempat pengasuhan anak, membenarkan
adanya kehancuran keluarga atau melegalkan aborsi bahkan kalau perlu dengan pembunuhan bayi Socrates dalam Megawangi,1999
: 113 . Menurut Megawangi sangat sulit untuk mewujudkan 2 hal diatas. Hal ini
terjadi karena ada satu hal yang paling sulit dalam menerapkan konsep kesetaraan dalam praktiknya yaitu kenyataan bahwa manusia itu selalu tidak sama, baik
dalam kapasitas, kesenangan, maupun kebutuhan Megawangi,1999 : 45 . Alasan lain adalah adanya penolakan dari pihak perempuan sendiri, terhadap
keinginan kaum feminis yang karena merasa terganggu kebiasaan yang telah dijalaninya dengan senang. Misalnya di daerah Jawa dimana terdapat kelompok
perempuan yang mempunyai suami dengan penghasilan yang tinggi bersedia dirumah mengasuh anak dan menolak bila ditawari pekerjaan diluar rumah
walaupun itu dapat memberinya karier dan penghasilan besar. Megawangi,1999 : 48 .
Sejalan dengan itu Megawangi,1999:228 memaparkan bahwa kesetaraan yang baik yaitu terjadi struktur yang akan melengkapi satu dengan
yang lainnya. Kalau dalam suatu struktur diperlukan satu peran direktur, peran sekretaris, atau peran penyapu jalan diperlukan dalam sebuah sistem organisasi
Universitas Sumatera Utara
misalnya maka mau tidak mau harus ada struktur organisasi dimana ada segmen yang pandai otaknya, yang sedang, dan kurang pandai.
Pertanyaan yang muncul apakah kesetaraan seperti yang diutarakan oleh Megawangi telah terealisasi dengan baik di perusahaan – perusahaan. Pertanyaan
ini muncul di benak peneliti karena peneliti melihat saat ini perempuan mendominasi jumlah karyawan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara.
Di beberapa perusahaan di Sumatera Utara terlihat perempuan mendominasi jumlah karyawan. Berikut beberapa contohnya :
Tabel 1
.
1
Nama Perusahaan Jumlah Karyawan
Laki – laki Org Jumlah Karyawan
PerempuanOrg TotalOrg
PT. Duta Ayumas Persada
25 145
170
Sumber data : Personalia PT.Duta Ayumas Persada.
Pada PT. DAP dari 175 jumlah karyawan yang ada 145 diantaranya merupakan perempuan dan 25 orang laki – laki.
Tabel 1.2
Nama Perusahaan Jumlah Karyawan
Laki – laki Org Jumlah Karyawan
PerempuanOrg TotalOrg
Agung Supermarket 10
40 50
Sumber data : Personalia Agung Supermarket
. Pada Agung Supermarket terdapat 50 karyawan. Jumlah karyawan laki – laki
sebanyak 10 orang lalu karyawan wanita sebanyak 40 orang.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.3
Nama Perusahaan Jumlah Karyawan
Laki – laki Org Jumlah Karyawan
PerempuanOrg TotalOrg
Pabrik Sarung Tangan
SHAMROCK 95
225 320
Sumber data : Personalia Pabrik Sarung Tangan SHAMROCK
.
Pada perusahaan diatas terdapat 320 karyawan dengan karyawan laki – laki sebanyak 95 orang dan karyawan perempuan sebanyak 225 orang.
Tabel 1.4
Nama perusahaan Jumlah Karyawan
Laki – laki Org Jumlah Karyawan
PerempuanOrg TotalOrg
Pabrik Jagung Berdikari Padang
Bulan. 7
38 45
Sumber data : Personalia Pabrik Jagung Padang Bulan
. Pada perusahaan pabrik jagung diatas terlihat hal yang sama dimana jumlah
kuantitas perempuan mendominasi jumlah laki – laki. Dari data di atas terlihat bahwa secara kuantitas perempuan telah
mendominasi jumlah karyawaan di berbagai perusahaan, namun apakah ini sejalan dengan kualitasnya.
Harkrisnowo 2003 dalam penelitiannya menemukan banyak ketimpangan terjadi yaitu upah perempuan dibayar dibawah dari upah buruh laki –
laki .
Universitas Sumatera Utara
Hal ini jugalah yang menarik keinginan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap buruh wanita yang ada di PT. Duta Ayumas Persada.
1.2 Perumusan Masalah