Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO

(Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)

SKRIPSI Oleh:

ROSALINA LANASARI SEMBIRING 030901041

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

ABSTRAK

Dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga, seperti :terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Untuk itu perlu kiranya dilakukan penelitian agar diketahui bagaimana interaksi sosial dan konflik dalam rumah tangga yang berpoligami. Idealnya dalam rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang, tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki, saling mencintai, tidak ada persesuaian dengan istri pertama, dan meneruskan hubungan kekeluargaan. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Adanya anggapan dari masyarakat (pelaku poligami) bahwa poligami membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi sosial keluarga yang berpoligami etnis Karo dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya poligami di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dengan Unit analisis penelitian ini adalah suami yang melakukan poligami, istri yang dipolgami dan anak di keluarga yang berpoligami Lokasi penelitian terletak di desa Kutarakyat, Kec. Naman Teran, Kab. Karo.

Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga berpoligami dapat berjalan harmonis apabila seorang suami dapat menjalankan perannya secara adil terhadap istri dan anak-anaknya. Sebaliknya, apabila seorang suami tidak dapat menjalankan perannya secara adil terhadap istri dan anak-anaknya maka akan menyebabkan tidak harmonisnya interaksi misalnya kecemburuan sesama istri, kecemburuan sesama anak, kurangnya kasih sayang yang diterima oleh salah satu istri atau anak dari suami tersebut. Hal inilah yang terjadi pada keluarga yang berpoligami di desa Kutarakyat. Tidak berjalannya peran suami bisa menimbulkan rasa tidak memiliki suami oleh istri dan ayah oleh anak. Biasanya suami yang melakukan poligami secara diam-diam tanpa meminta persetujuan dari istri pertamanya, ini bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga. Setelah suaminya menikah lagi maka istri pertama akan menjadi tulang punggung ekonomi dalam membiayai kebutuhan rumah tangganya. Suami yang berpoligami akan mempunyai dua peran (tutur) dalam sebuah pelaksanaan pesta yang diadakan oleh kerabatnya. Hal ini yang akan menyebabkan suami merasa bingung, peran mana yang terlebih dahulu untuk dijalankan. Hal ini merupakan salah satu contoh ketidakadilan dalam keluarga yang berpoligami.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan bagi semua agama karena atas berkat dan rahmat-Nya yang senantiasa menyertai dan memberkati penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan juga pada saat penyusunan skripsi yang berjudul : “Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menghadapi berbagai hambatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman, kepustakaan dan materi penulis. Namun, berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi ketabahan, kesabaran, dan kekuatan kepada penulis dan juga para teman-teman yang selalu memberikan motivasi, dukungan pada saat-saat penulis mengalami kesulitan. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi serta dukungan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Ibu Rosmiani, MA, selaku seketaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Beliau merupakan dosen wali sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan selama penulisan skripsi.

4. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen Sosiologi dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai materi selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU.

5. Secara khusus dan teristimewa kepada kedua orang tuaku yang tercinta Ayahanda P. Sembiring dan Ibunda K br. Tarigan yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan didikan dan disiplin sejak penulis masih kecil, nasehat, memberikan motivasi dan memberikan perhatian yang besar bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ananda minta maaf karena ananda tidak bisa menepati janji.

6. Teristimewa untuk suamiku tercinta Ruslan Effendi Sitepu, yang selalu bersabar menunggu penulis di saat kepergian penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan untuk cinta dan kasih sayangmu yang telah mengajari dan membimbing penulis untuk bisa menjadi orang yang penyabar, bijaksana, dan selalu kuat dalam menghadapi segala masalah. Skripsi inilah buah dari kesabaran kita, dan inilah awal hidup kita yang baru dalam menggapai mimpi dan harapan.

7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayah dan ibu mertua : B. Sitepu dan R. br. Ginting yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(5)

8. Kepada seluruh informan penelitian ini yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberi informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian, dan penulis dapat menyusun laporan penelitian yang berbentuk skripsi ini.

9. Kepada semua sanak famili, teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan dukungan semangat serta doa kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran begitu juga waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari para pembaca.

Medan, Juni 2008 Penulis

Rosalina Lanasari Sembiring


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ...………. i

Kata Pengantar ……… ii

Daftar Isi ………... v

Daftar Tabel ..………..… viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ……….……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………..… 8

1.3. Tujuan Penelitian ………... .. 9

1.4. Manfaat Penelitian………..9

1.4.1. Manfaat Teoritis……….9

1.4.2. Manfaat Praksis………..9

1.5. Defenisi Konsep ... ………..10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... ………..12

2.1. Interaksi Sosial ... ………..12

2.1.1. Kooperasi (co-operation)... ………..14

2.1.2. Competitive (persaingan) ... ………..15

2.1.3. Conflict atau pertikaian ... ………..15

2.1.4. Akomodasi (accomodation) ... ………..17

2.2. Perkawinan Masyarakat Karo... ………..19

2.2.1. Sistem Perkawinan Masyarakat Karo... ………..21

.2.2.2. Syarat Perkawinan bagi Masyarakat Karo………...22

2.2.3. Fungsi Perkawinan bagi Masyarakat Karo ... ………..23

2.2.4. Jenis Perkawinan bagi Masyarakat Karo ... ………..23

2.2.5. Faktor Penyebab Poligami ... ………..25

.2.3. Jenis-Jenis Hubungan Keluarga... ………..25

BAB III. METODE PENELITIAN………27

3.1. Jenis Penelitian ... ………..27

3.2. Lokasi Penelitian ... ………..27

3.3. Unit Analisis dan Informan Penelitian ... ………..28

3 .4. Teknik Pengumpulan Data ... ………..29

3.5. Interpretasi Data ... ………..30

3.6. Jadwal Kegiatan ... ………..32


(7)

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN……...34

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….34

4.1.1. Sejarah Singkat………..34

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah………..35

4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis………...35

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah……….35

4.1.3. Komposisi Penduduk……….36

4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku…………..36

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama.……….36

4.1.3.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan………..36

4.1.3.4. Mata Pencaharian………..36

4.1.4. Sarana dan Prasarana………..37

4.1.4.1. Sarana Kesehatan……….……..37

4.1.4.2. Sarana Ibadah………...37

4.1.4.3. Sarana Pendidikan……….37

4.2. Profil Informan………..38

4.2.1. Profil Informan Suami Keluarga Poligami……….38 4.2.1.1. N.Sitepu……….38 4.2.1.2. J. Sitepu………..39 4.2.1.3. B. Sitepu……….39 4.2.1.4. M. Sitepu………40 4.2.1.5. T. Ginting………...40

4.2.2. Profil Informan Istri Keluarga Poligami……….41

4.2.2.1. R. br Ginting………..41

4.2.2.2. Nd. BendaharaBr Bangun………..42

4.2.2.3. Nd.Wawan Br bangun………43

4.2.2.4. Nd. Arus br Ginting………43

4.2.2.5. Supami………44

4.2.3. Profil Informan Anak dalam Keluarga Poligami……….44

4.2.3.1. Kristian Ginting………..44


(8)

4.2.3.2. Rosa br

Sitepu……….45 4.2.3.3. Muara

Sitepu………...45 4.2.3.4. Wawan

Sitepu……….46 4.2.3.5. R.

Sitepu………..46 4.3. Interpretasi

Data……….47 4.3.1. Interaksi Pada Keluarga

Poligami………47

4.3.1.1. Interaksi antara Istri Pertama dan Istri Kedua……….47

4.3.1.2. Interaksi antara Istri Pertama dengan Suami………...49

4.3.1.3. Interaksi antara Orang Tua dan Anak………..52

4.3.1.3.1. Interaksi antara Ayah dengan Anak……….52

4.3.1.3.2. Interaksi antara Anak dengan Ibu Tiri…….55

4.3.1.3.3. Interaksi antara Anak dengan Saudara Tiri..58

4.3.2. Faktor Penyebab Terjadinya Keluarga Poligami………..60

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.

Kesimpulan………64 5.2.

Saran………...65 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

halaman

1. Tabel 4.1 Persentase Penduduk Menurut

Suku………...36

2. Tabel 4.2 Persentase Penduduk Menurut

Agama………...36

3. Tabel 4.3 Penduduk Berdasarkan Tingkat

Pendidikan………...36

4. Tabel 4.4 Mata Pencaharian

Penduduk………..36

5. Tabel 4.5 Sarana

Kesehatan………....37

6. Tabel 4.6 Sarana

Ibadah……….37

7. Tabel 4.7 Sarana

Pendidikan………...37

8. Tabel 4.8 Hubungan Ayah dengan

Anak………53

9. Tabel 4.9 Hubungan antara Anak dengan Ibu

Tiri………...57

10.Tabel 4.10 Hubungan antara Anak dengan Saudara Tiri……….59


(10)

ABSTRAK

Dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga, seperti :terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Untuk itu perlu kiranya dilakukan penelitian agar diketahui bagaimana interaksi sosial dan konflik dalam rumah tangga yang berpoligami. Idealnya dalam rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang, tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki, saling mencintai, tidak ada persesuaian dengan istri pertama, dan meneruskan hubungan kekeluargaan. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Adanya anggapan dari masyarakat (pelaku poligami) bahwa poligami membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi sosial keluarga yang berpoligami etnis Karo dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya poligami di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dengan Unit analisis penelitian ini adalah suami yang melakukan poligami, istri yang dipolgami dan anak di keluarga yang berpoligami Lokasi penelitian terletak di desa Kutarakyat, Kec. Naman Teran, Kab. Karo.

Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga berpoligami dapat berjalan harmonis apabila seorang suami dapat menjalankan perannya secara adil terhadap istri dan anak-anaknya. Sebaliknya, apabila seorang suami tidak dapat menjalankan perannya secara adil terhadap istri dan anak-anaknya maka akan menyebabkan tidak harmonisnya interaksi misalnya kecemburuan sesama istri, kecemburuan sesama anak, kurangnya kasih sayang yang diterima oleh salah satu istri atau anak dari suami tersebut. Hal inilah yang terjadi pada keluarga yang berpoligami di desa Kutarakyat. Tidak berjalannya peran suami bisa menimbulkan rasa tidak memiliki suami oleh istri dan ayah oleh anak. Biasanya suami yang melakukan poligami secara diam-diam tanpa meminta persetujuan dari istri pertamanya, ini bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga. Setelah suaminya menikah lagi maka istri pertama akan menjadi tulang punggung ekonomi dalam membiayai kebutuhan rumah tangganya. Suami yang berpoligami akan mempunyai dua peran (tutur) dalam sebuah pelaksanaan pesta yang diadakan oleh kerabatnya. Hal ini yang akan menyebabkan suami merasa bingung, peran mana yang terlebih dahulu untuk dijalankan. Hal ini merupakan salah satu contoh ketidakadilan dalam keluarga yang berpoligami.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan, perkawinan juga adalah sarana terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi-sendi dasar dari susunan masyarakat, suami-istri harus memikul suatu tanggung jawab serta kewajiban (Rizki, 2007 : 1).

Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kesatuan cinta kasih antara dua insan manusia yang berlainan jenis kelamin, hubungan antara dua insan manusia ini dinyatakan dalam ikatan rumah tangga. Hubungan sebelum memasuki kehidupan rumah tangga memiliki aturan dan norma-norma yang dikeluarkan secara lisan maupun tulisan oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari penuturan ini bertujuan untuk mengumumkan status barunya kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya sehingga pria itu bertindak sebagai suami, sedangkan wanita bertindak sebagai istri.

Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala bidang, termasuk dalam perkawinan. Suatu perkawinan mempunyai tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Bagi suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi,


(12)

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Ada berbagai jenis bentuk perkawinan dalam masyarakat yaitu perkawinan monogami, poligami, poliandri, dan perkawinan kelompok (group marriage). Dari keempat bentuk perkawinan ini, perkawinan monogami dianggap paling ideal yang sesuai untuk dilakukan. Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dimana pada prinsipnya bahwa suami mempunyai satu istri saja dan juga sebaliknya. Walaupun perkawinan monogami merupakan perkawinan yang paling sesuai untuk dilakukan tetapi tak jarang ada masyarakat yang melakukan perkawinan poligami, bahkan oleh publik figure. Sehingga istilah poligami semakin mencuat, menjadi perbincangan di berbagai media massa atau media elektronik juga di berbagai diskusi maupun seminar. Tanggapan dari berbagai kalangan juga berbeda-beda; pemerintah, kaum agamawan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan masyarakat umum (awam), ada yang setuju dan menerima praktek poligami dengan berbagai persyaratan serta sebagian masyarakat lainnya menolaknya.

Poligami berasal dari Bahasa Yunani, kata ini terdiri dari kata poh atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan, maka kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak (Rizki, 2007 : 3). Perkawinan poligami pasti mengundang reaksi dari berbagai pihak terutama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Reaksi tersebut bisa saja berimplikasi buruk atau bisa juga tidak menjadi masalah. Dari berbagai alasan seseorang untuk poligami pasti ada dampak bagi keutuhan rumah tangga, perkembangan psikologi anak yang dilahirkan dari pernikahan poligami. Anak


(13)

yang dilahirkan itu akan merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan merasa secara tidak langsung dididik dalam suasana keluarga yang selalu dihiasi dengan pertengkaran orang tuanya.

Prof. Kholer dalam (Muhammad Thalib, 2004 : 25) memberikan kritik terhadap asas monogami, katanya: “ikatan monogami adalah sesuatu hal yang ideal namun dalam realita hidup sering berlawanan dengan kenyataan, bahkan senantiasa berakibat kurang baik. Akan tetapi jika kedua belah pihak mengalami sengketa, walaupun dalam jangka pendek maka suami dapat melakukan hal-hal yang merugikan istri. Bahkan istri sering kali tidak berdaya berbuat apapun menghadapi suaminya, karena istri tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap kekayaan harta suami. Sekiranya suami seorang pemabuk dan pemboros, misalnya, maka bisa saja istri dipaksa ikut mempertanggungjawabkan akibat buruknya, yaitu mengurangi jatah biaya hidup yang diberikan suaminya untuk diberikan lagi kepadanya, sekalipun ia sendiri dan anak-anaknya serba dalam kekurangan”.

Poligami adalah alternatif terbaik jika dipandang dari segi baiknya, karena menurut Prof. Kholer dalam (Muhammad Thalib, 2004 : 24) mengatakan negara-negara yang memiliki Undang-undang perkawinan monogami, ternyata melapangkan jalan bagi terjadinya prostitusi, dan hasil perkawinan monogami berjalan dengan semu, penuh kebohongan, penipuan dan kemunafikan. Usaha untuk menjamin supaya berlangsung seumur hidup dengan membuat undang-undang untuk itu, ternyata gagal.

Sistem patrilinial khususnya dalam pernikahan pada masyarakat Karo sangat menguntungkan laki-laki, maka akses perempuan hanya memelihara anak


(14)

laki-lakinya untuk kepentingan kekerabatan. Perempuan hampir tidak memiliki hak dan perlindungan hukum, perempuan selalu dianggap sebagai mahluk yang lemah atau kelas rendah. Kondisi tersebut membuat kedudukan perempuan selalu ada pada sub-ordinansi pria.

Menurut catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada 2004, menurut Nasyaruddin dalam poligami. Pada 2005, angka itu naik menjadi 879 kasus dan pada 2006 melonjak menjadi 983 kasus. Pada 2004, Pengadilan Agama mengeluarkan 800 izin poligami dari 1016 permohonan. Pada 2005, 803 ijin dari 989 permohonan, dan pada tahun 2006 sebanyak 776 ijin dari 1148 permohonan.

Berdasarkan data itu, ia melanjutkan, poligami yang seringkali dikatakan dilakukan untuk mengatasi jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, sama sekali tidak beralasan. "Dari jumlah perempuan yang 49,2 persen itu, banyak didominasi oleh janda cerai dan yang ditinggal mati suaminya. Jadi, kalau mau poligami, lebih baik dengan janda-janda itu, jangan dengan perempuan belum menikah. Uji materi UU Perkawinan diajukan oleh M. Insa dalam berpoligami seperti harus ada izin istri dan Pengadilan Agama, merugikan hak konstitusionalnya guna beribadah dan membentuk keluarga melalui poligami yang sah.

Fenomena poligami mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Alasan-alasan seseorang untuk melakukan poligami juga beraneka ragam, tetapi pada dasarnya poligami adalah keinginan seseorang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari pada sebelumnya. Merebaknya fenomena poligami di Indonesia


(15)

termasuk pada masyarakat Karo (yang menjadi objek penelitian) telah melunturkan nilai-nilai monogami yang dianggap ideal selama ini. Secara umum perkawinan bagi orang Karo diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan dan upacara pensakralan. Perkawinan masyarakat Karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang yang diluar merga-nya, dengan kekecualian pada merga Perangin-angin dan merga Sembiring (Darwin Prinst, 2004 : 71). Perkawinan pada masyarakat Karo merupakan ideal apabila seorang laki-laki menikahi putri dari saudara dari laki-laki ibunya (rimpal), seperti terlihat dalam bagan ini :


(16)

Bagan : Pernikahan Yang Ideal Pada Masyarakat Karo Kakek dan Nenek (Bulang ras Nini)

Menikah

Poligami bukan hal yang baru dan tabu bagi masyarakat Karo. Poligami biasanya terjadi karena : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki, saling mencintai, tidak ada kecocokan lagi antara suami dengan istri pertama, dan meneruskan hubungan kekeluargaan (Darwin Prinst, 2004 : 76).

Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai dalam poligami, tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam suku Karo. Perkawinan poligami yang terus terjadi sejak lama sampai sekarang antara orang Karo dengan orang Karo, maupun orang Karo dengan suku lainnya. Masyarakat Karo tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan poligami, sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini mengindikasikan, bahwa faktor budaya Karo yang memberikan kesempatan untuk

Paman dan Bibik

(Mama ras Mami)

Anak Perempuan

Anak Laki-Laki

Anak Perempuan Ayah dan Ibu

(Nande ras Bapa) Anak


(17)

dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama. Hal ini sesuai dengan pendapat Kaare Svalastoga (1989 : 92-93) yang menyatakan bahwa; "syarat umum untuk terciptanya hubungan positif antara interaksi dan kesenangan adalah kondisi saling menambah kesenangan yang diperoleh kedua belah pihak yang terlibat dalam proses interaksi”.

Dari hasil pra-penelitian di desa Kutarakyat ada terdapat 10 keluarga poligami, 3 diantaranya hidup dalam satu rumah serta 7 keluarga lagi berbeda tempat tinggal antara istri yang satu dan istri yang lainnya. Tiga keluarga poligami yang hidup dalam satu rumah ini, bisa dikatakan terdapat suatu interaksi sosial yang positif, dimana ada kerja sama antara satu istri dengan istri yang lain, anak dengan ibu tirinya dan sebaliknya. Interaksi ini bisa tercapai karena adanya suatu kesepahaman antara istri-istri, anak dan suami. Tujuh keluarga poligami lainnya tidak terdapat interaksi sosial yang positif, hal ini terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Selain itu, dengan terjadinya perkawinan poligami maka keluarga yang semula hanya terdiri dari satu keluarga ini saja terbentuk menjadi dua atau lebih keluarga inti, dimana seorang suami menjadi suami atau kepala rumah tangga yang sama untuk beberapa keluarganya, karena itu perkawinan poligami dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi keluarga, karena jika semula suami hanya mempunyai tanggung jawab pada satu keluarga saja maka setelah ia berpoligami ia akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk istri-istri dan anak-anaknya (Rizki, 2007 : 11).

Dalam penelitian ini ada beberapa alasan yang membuat peneliti merasa tertarik untuk mengangkat Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo, yaitu


(18)

dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga, seperti : terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Selain itu, idealnya dalam rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang, tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki yang akan menjadi generasi penerus marga, dan tidak ada kecocokan lagi dengan istri pertama. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Selanjutnya, adanya anggapan dari masyarakat (pelaku poligami) bahwa poligami membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah interaksi sosial keluarga yang berpoligami pada etnis Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya poligami di Desa Kutarakyat, Kec. Naman?

1.3.Tujuan Penelitian


(19)

1. Untuk mengetahui bagaimana Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah : 1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu Sosiologi, dan

2. Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut sistem patriarki dan instansi terkait yang menangani masalah keluarga poligami. 1.4.2. Manfaat Praksis

1. Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu Sosiologi, dan

2. Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut sistem poligami.

1.5. Defenisi Konsep 1. Interaksi Sosial


(20)

Menurut Gillin dan Gillin interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi antara suami dengan istri pertama, bagaimana interaksi antara istri yang satu dengan istri yang lainnya, bagaimana interaksi orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya dan juga bagaimana interaksi antara keluarga luas dari pihak masing-masing.

2. Keluarga

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh negara atau lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah atau adopsi. Jadi keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. 3. Anak

Anak merupakan generasi penerus dalam sebuah keluarga/rumah tangga, yang harus dibina agar nanti dapat diharapkan menjadi pewaris yang berpotensi. Hidup lebih teratur dan serasi sesuai norma dan nilai tata susila yang berlaku dalam masyarakat. Disamping itu, diharapkan menjadi keturunan yang lebih ulet, tabah, serta berguna bagi keluarga, masyarakat, bahkan bangsanya.

4. Suku Karo

Suku Karo adalah satu suku bangsa Batak yang mendiami dataran tinggi Tanah Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) ke seluruh pelosok


(21)

Tanah Air, dan yang menjadi objek penelitian penulis adalah keluarga masyarakat Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

4. Laki-laki

Laki-laki adalah anak dari sebuah keluarga yang akan menjadi penerus marga (clan) yang sistem kekerabatannya menganut sistem patriarkhi.

5. Perkawinan

Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian diantara dua pihak yaitu suami dan istri untuk hidup bersama, berumahtangga dengan landasan, adat dan Negara (Rizki, 2007 : 14).

6. Poligami

Poligami adalah suatu perkawinan antara seorang pria dengan beberapa orang wanita.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti bersama-sama, dan tango berarti menyentuh, jadi pengertian secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan (Zainul, 1997 : 98). Interaksi sangat penting dilihat adalah pengaruh timbal-balik, contohnya : apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai saat mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan seterusnya.

Interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-syarat agar interaksi terjadi dengan baik, yaitu kontak komunikasi. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok agar mempunyai makna bagi pelakunya dan kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok yang lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner (dalam Taneko, 1990 : 110), interaksi itu adalah suatu aksi diantara orang-orang, jadi tidak memperdulikan secara berhadapan muka secara langsung ataukah melalui simbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu tercakup dalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan adanya satu atau lebih bentuk respon. Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum berarti adanya komunikasi.


(23)

Oleh karena komunikasi itu timbul apabila seseorang individu memberi tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran itu, lalu seseorang itu mewujudkannya dengan perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Selanjutnya Zainul Pelly (1997 : 99-100) kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau tidak menghasilkan suatu interaksi.

Menurut Gillin dan Gillin (2001 : 35) interaksi sosial merupakan hubungan- hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi antara suami dengan istri pertama, bagaimana interaksi antara istri yang satu dengan istri yang lainnya, bagaimana interaksi orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya dan juga bagaimana interaksi antara keluarga luas dari pihak-pihak masing-masing.

Selanjutnya Kimbal Young dan Reymond W. Mack dalam (Soekanto, 1990 : 60-61), menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial merupakan suatu kontinuitas dalam arti bahwa interaksi dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian dan berakhir pada akomodasi. Untuk menelaah proses-proses interaksi tersebut dalam bentuk kelangsungan misalnya apa yang terjadi pada kaum transmigrasi dari Jawa datang untuk menetap di suatu daerah yang telah ada penduduknya yang merupakan masyarakat asli daerah tersebut. Dalam buku


(24)

Zainul Pelly yang berjudul Pengantar Sosiologi (1997 : 101-113) mengatakan proses sosial dapat menjelma dalam berbagai bentuk dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa, yaitu :

2.1.1. Kooperasi (co-operation)

Co-operation berasal dari bahasa Latin yang berarti co = bersama-sama, dan operasi = bekerja. Jadi kooperasi adalah bentuk kerjasama dimana satu sama lain saling membantu guna mencapai tujuan. Kerjasama dapat kita jumpai pada semua kelompok manusia, kebiasaan-kebiasaan demikian dimulai sejak masa kanak-kanak terutama dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Atas dasar itu anak tersebut akan mengembangkan bermacam-macam pola kerjasama setelah menjadi dewasa. Kerjasama tersebut dilakukan selain dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang bersahabat saja, juga pada zaman modern ini kerjasama dapat pula dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bersahabat atau bertentangan.

Kerjasama timbul karena adanya oreintasi orang-orang terhadap kelompoknya (in-groupnya), orang-perorangan yang menjadi anggota in-group mengadakan kerjasama untuk memperkuat kelompoknya. Kelompok in-group itu terdapat we-feeling atau persamaan kita dan dengan mengadakan kerjasama ini perasaan dari anggota in-group semakin kuat, sehingga apabila ada pihak luar yang ingin menganggu ketenangan in-group maka semua anggota kelompok bersama-sama menghadapi ancaman tersebut guna mempertahankan kebutuhan kelompoknya.


(25)

Persaingan adalah suatu bentuk perjuangan sosial secara damai; yang terjadi apabila dua belah pihak berlomba atau berbuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Gillin dan Gillin dalam Pelly (1997 : 105) mengatakan persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari publik (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara-cara usaha mencari perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan ancaman kekerasan. Persaingan dapat berupa :

- Mendapatkan status dalam masyarakat (kepangkatan) - Mendapatkan jodoh

- Mendapatkan kekuasaan

- Mendapatkan nama baik (harum)

- Bidang ekonomi yaitu terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen.

Dalam persaingan yang bersifat pribadi (perseorangan) dimana orang-perorangan secara langsung bersaing, misalnya memperoleh kedudukan tertentu di dalam suatu organisasi, memperebutkan jodoh dan lain sebagainya.

2.1.3. Conflict atau Pertikaian/Pertentangan

Kompetisi atau kerjasama dapat menjurus ke konflik hal ini terjadi karena timbul emosi, rasa benci dan rasa marah, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan ingin menyerang, melukai, merusak atau memusnahkan pihak yang lain. Biasanya konfllik timbul karena adanya kepentingan yang bertentangan terutama kepentingan ekonomi. Konflik sering terjadi karena perebutan


(26)

kedudukan dan perebutan kekuasaan, yang apabila terjadi antara kelompok biasanya mempunyai dasar ekonomis, sebab konflik tidak saja terjadi diantara orang-perorangan, tetapi juga terjadi diantara kelompok-kelompok manusia.

Menurut Soerjono Soekanto (dalam Zainul, 1997 : 107) pertentangan adalah proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jelas menentang pihak lawan dengan ancaman dan/atau kekerasan. Pada umumnya pertentangan merupakan proses dissisiatif (persaingan yang tajam), akan tetapi adakalanya pertentangan tersebut mempunyai fungsi di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat yang positif. Pertentangan mempunyai beberapa bentuk antara lain :

- Pertentangan pribadi, yaitu sejak dimulai berkenalan sudah saling tidak menyukai, apabila dikembangkan maka akan timbul rasa saling membenci dimana masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawannya.

- Pertentangan sosial, yaitu pertentangan yang bersumber dari ciri-ciri badaniah dan juga karena perbedaan kepentingan kebudayaan.

- Pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu yang disebabkan karena perbedaan kepentingan, misalnya buruh dengan majikan.

Dari pertentangan atau konflik tersebut maka akan tumbuh solidaritas dari in-group, mereka bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya, terjadi keretakan persatuan suatu kelompok, hancurnya harta benda dan korban manusia, serta takluknya salah satu pihak.

2.1.4. Akomodasi (Accomodation)

Tujuan akhir daripada konflik biasanya menghancurkan pihak lawan, akan tetapi sering konflik itu tidak diteruskan, oleh karena masing-masing pihak yang


(27)

terlibat dalam konflik menimbulkan kerugian, sehingga kedua belah pihak ingin menghentikannya, atau pihak yang merasa dirinya kurang kuat mengalah untuk menghindarkan dari kemusnahannya.

Konflik dihentikan dan kedua belah pihak berusaha menyesuaikan keadaan yang memungkinkan kerjasama. Proses penyelesaian ini disebut dengan akomodasi. Proses akomodasi adalah suatu usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai suatu kestabilan. Ada beberapa cara kita untuk melihat bentuk akomodasi yang umum, yaitu :

- Gencatan senjata atau penundaan pertempuran,

- Kompromi, suatu kompromi bisa terjadi bila pihak-pihak yang berkonflik relatif sama derajatnya, bersedia saling memberi dan mengambil (take and give),

- Toleransi adalah suatu cara akomodasi bila suatu kompromi tidak diwujudkan dalam hal ini tidak ada pihak-pihak yang mengalah dan pihak-pihak terus mempertahankan pendiriannya masing-masing akan tetapi bersedia menghormati pendirian orang lain,

- Konsiliasi dengan toleransi belum berarti adanya pergaulan sesama pihak-pihak yang berkonflik, mungkin mereka tidak bergaul satu sama lainnya, - Konversi adalah suatu keadaan apabila ada sesuatu pihak melepaskan

pendiriannya dan menerima pendirian pihak lain,

- Arbitrasi adalah suatu cara akomodasi dimana konflik didamaikan oleh pihak ketiga dan pihak-pihak tunduk kepada keputusannya. Pihak ketiga ini dipilih oleh kedua belah pihak yang berkonflik dengan sukarela.


(28)

- Mediasi (mediation) dijalankan oleh pihak ketiga juga tetapi keputusannya tidak mengikat seperti halnya arbitrasi, kedudukannya sebagai penasehat belaka dan tidak mempunyai wewenang memberi keputusan.

- Rasionalisasi berarti memberi keterangan atau alasan yang kedengarannya rasional untuk membenarkan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak rasionil, karena mengakui alasan yang sebenarnya dapat menimbulkan konflik.

Akomodasi tidak dapat secara sempurna untuk mengatasi pertentangan-pertentangan, akan tetapi akomodasi tetap diperlukan karena manusia mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, hal inilah yang senantiasa perlunya akomodasi untuk menyelesaikan suatu pertentangan atau konflik.

Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai dalam poligami, tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam suku Karo. Perkawinan poligami yang terus terjadi sejak lama sampai sekarang antara orang Karo dengan orang Karo, maupun orang Karo dengan suku lainnya. Masyarakat Karo tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan poligami, sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini mengindikasikan, bahwa faktor budaya Karo yang memberikan kesempatan untuk berpoligami dan mendambakan keharmonisan menempati posisi penting yang dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama.

2.2. Perkawinan Masyarakat Karo

Perkawinan suku Karo mempunyai tata cara yang khas, namun pada prinsipnya diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (perkawinan), dan upacara pensakralan. Perkawinan pada masyarakat


(29)

Karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang dari luar marganya (merganya), dengan kekecualian pada merga Perangin-angin dan Sembiring. Sifat religius dari perkawinan pada masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang kawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya (Darwin Prinst, 2004 : 71).

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh negara atau lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah. Jadi keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi juga orangtuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya. Kita sering mendengar dari masyarakat bahwa kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Banyak aturan-aturan yang harus dijalankan, aturan yang berhubung dengan adat-istiadat yang mengandung sifat relegio-magis (Soekanto,1981 : 100-101).

Pada umumnya di Indonesia suatu perkawinan didahului dengan lamaran (ngelamar). Akibatnya lamaran ini pada umumnya bukan perkawinan, akan tetapi pertunangan dahulu. Pertunangan baru terikat apabila (seringkali) dan pihak laki-laki sudah diberikan panjer, peningset (Jawa-tengah-timur)., tanda kong narit


(30)

(Aceh), Penyangyang (Jawa-Barat), Ngating Manuk (Karo), di tanganan Pagingsangan (Bali) namanya pertunangan Masawen, artinya meletakkan suatu tanda larangan dengan memberikan sirih. Jelaslah bahwa pemberian panjer adalah suatu perbuatan religio-magis (Soekanto,1981 : 101).

Dalam pernikahan adat Karo, seorang laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sudah sah sebagai suami-istri di saat dilangsungkannya pertemuan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk membicarakan mengenai biaya pernikahan dan tanggal pernikahannya (dalam bahasa Karo sering disebut dengan ngembah belo selambar). Dalam susunan keturunan pihak bapak, pihak laki-laki harus memberikan junjung, sinamot, pangolin, boli, tuhor (Batak), beli (Maluku), belis (Timor), jujur (Tapanuli Selatan, Sumatera Selatan), dan tukur (Karo), yang Bahasa Belanda disebut “bruidschat”. Dengan membayar jujur istri masuk dalam klan suaminya, sehingga anak-anaknya dilahirkan sebagai warga klan sang suami. Dalam lingkungan susunan kekeluargaan ini terdapat juga keadaan dimana suami tak membayar jujur. Perkawinan ini disebut anggap (Gayo), semendo ambil anak, nangkon (Sumatera Selatan), kawin ambil piara (Ambon). Maksud anggap ini (“inlifhuwelijk”) adalah supaya lelaki itu (kadang-kadang) menjadi anaknya. Sedangkan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi keturunan dari klan bapak-perempuan. Hal ini terjadi, misalnya di Lampung jika orang tua hanya mempunyai anak-anak perempuan saja dengan maksud supaya keturunannya tidak terputus (Soekanto,1981 : 102-103S).

Perkawinan pada masyarakat Karo yang sesuai dengan adat (arah adat) peranan orang tua sangat dominan, artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan


(31)

calon mempelai (petandaken), meminang (maba belo selambar). Apabila ada kecocokan pada waktu maba belo selambar dan diterima, maka kedua belah pihak terikat dalam status pertunangan. Pada waktu pertunangan ini sebagai tanda tidak diberikan cincin sebagai tanda ikatan, tetapi disini harus disetujui dan disaksikan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu: senina, anak beru, dan kalimbubu. Ketiga ini disebut dengan rakut sitelu, dan menjadi jaminan yang paling kuat menurut adat Karo.

2.2.1. Sistem Perkawinan Masyarakat Karo

Dalam buku Darwin Prinst (2004 : 75) yang berjudul “ Adat Karo” ada dua sistem perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

a. Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan.

Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luar merga-nya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo, atau Ginting dengan Sembiring.

b. Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring

Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama asal submarganya (lineagea) berbeda. Misalnya dalam merga Peranginangin, antara Bangun dan Sebayang atau Kuta Buluh dan Sebayang. Demikian juga dengan Sembiring, antara Brahmana dan Meliala, antara Pelawi dan Depari, dan sebagainya.


(32)

Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga-nya tidak dikenal kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dan Tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian. Karena tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling kawin, dengan adanya eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebgai hubungan genealogis dan asal-usul merga tidak sama.

2.2.2. Syarat Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 75) ada beberapa syarat perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

- Tidak berasal dari satu merga, kecuali merga Peranginangin dan Sembiring, - Bukan menurut adat dilarang untuk berkawin erturang (bersaudara),

sipemeren, erturang impal.

- Sudah dewasa, dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli). Sedangkan untuk perempuan hal ini diukur dengan telah akil balik, telah mengetahui adat (meteh tutur), dan sebagainya.

-2.2.3. Fungsi Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Ada beberapa fungsi perkawinan bagi masyarakat Karo, yaitu : - Melanjutkan hubungan kekeluargaan,


(33)

- Menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan,

- Melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki-laki dan perempuan, - Menjaga kemurnian suatu keturunan,

- Menghindarkan berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain, dan - Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan.

2.2.4. Jenis-Jenis Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 78-82) dilihat dari status dari pihak yang kawin maka perkawinan pada masyarakat karo dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu :

a. Gancih abu (ganti tikar)

Gancih abu yaitu bila seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai istri. Hal ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi kepentingan anak yang telah dilahirkan pada perkawinan pertama dan menjaga keutuhan harta dari perkawinan yang pertama.

b. Lako Man (turun ranjang)

Lako man yaitu bila seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang awalnya adalah istri saudaranya atau bapaknya yang telah meninggal dunia. Ada beberapa jenis dari perkawinan lako man, yaitu :

- Perkawinan mindo nakan

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri saudara ayahnya.


(34)

- Perkawinan mindo cina

Adalah suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang menurut tutur adalah neneknya.

- Kawin mindo ciken

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri ayah/saudaranya, yang telah dijanjikan terlebih dahulu. - Iyan

Pada zaman dahulu bila seseorang mempunyai dua orang istri dan salah satu diantaranya tidak/belum mempunyai putra (keturunan), di pihak salah seorang saudara suami itu belum mempunyai istri, lalu istri yang tidak berputra itulah dialihkan/disahkan menjadi istrinya, dengan harapan tetap terpeliharanya hubungan kekeluargaan dengan pihak wanita, dan adanya harapan dengan suami baru itu, ia akan memperoleh keturunan.

- Ngalih

Adalah lako man istri abang (Kaka). - Ngianken

Adalah lako man kepada istri adik (agi)

c. Piher Tendi/Erbengkila Bana

Adalah perkawinan antara orang yang menganut tutur si wanita memanggil bengkila kepada suaminya.

2.2.5. Faktor-Faktor Penyebab Poligami bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 76) ada beberapa faktor poligami bagi masyarakat Karo, yaitu :


(35)

- Tidak memperoleh keturunan laki-laki, - Saling mencintai,

- Tidak adanya persesuaian dengan istri pertama, dan - Meneruskan hubungan kekeluargaan.

2.3. Jenis-Jenis Hubungan Keluarga

Menurut Robert R. Bell dalam T.O. Ihromi (1999 : 91) mengatakan ada 3 jenis hubungan keluarga, yaitu :

a. Keluarga dekat (conventional kin).

Kerabat dekat terdiri dari atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua-anak, dan antar suadara (siblings).

b. Kerabat jauh (discretionary kin).

Kerabat jauh terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman-bibi, keponakan dan sepupu.

c. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin).

Seseorang yang dianggap karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar teman.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam sebuah metode penelitian maka diperlukan suatu metode penelitian yang dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Esensi studi kasus, tendensi sentral dari semua jenis studi kasus, adalah mencoba menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya (Schrarman, 1971). Dengan itu studi kasus adalah suatu inkuori empiris yang melihat :

- Menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan, bilamana:

- Batas-batas fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan dimana; - Multi sumber bukti dimanfaatkan (Yin, 1984 : 1b).

Hasil pengamatan dituangkan dalam sebuah catatan lapangan yang nantinya merupakan sumber data. Studi kasus adalah tipe penelitian yang


(37)

penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetail, dan komprehensif (Faisal, 1995 : 22).

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman, Kab. Karo.

Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah : 1. Peneliti menemukan adanya keluarga poligami suku Karo di Desa Kutarakyat,

Kec. Naman yang menjadi obyek penelitian.

2. Peneliti dapat beradaptasi dengan masyarakat Karo yang menetap di Desa Kutarakyat, Kec. Naman sehingga dapat memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian.

3.3. Unit Analisis dan Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Karo yang menetap di Desa Kutarakyat, Kec. Naman, Kab. Karo, Prop. Sumatera Utara. Informan penelitian ini meliputi beberapa macam, seperti: (1) informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian; (2) informan utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti….(Bagong, 2005 : 108). Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini adalah :

1. Informan kunci

• Anak yang lahir dari hasil keluarga poligami. 2. Informan Utama


(38)

Informan utama dalam penelitian ini adalah keluarga poligami (istri maupun suami) masyarakat Karo yang menetap di Desa Kutarakyat, Kec. Naman, dengan karakteristik sebagai berikut :

- Menetap sekurang-kurangnya minimal 5 tahun di Desa Kutarakyat, Kec. Naman. - Istri yang sudah dimadu minimal 5 tahun.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Mengumpulkan data adalah pekerjaan yang sukar, karena apabila diperoleh data yang salah, tentu saja kesimpulannya pun salah pula, dan hasil penelitiannya menjadi palsu (Arikunto, 2002 : 24). Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer ini adalah dengan cara :

- Observasi Langsung

Di dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Apa yang dikatakan ini adalah pengamatan langsung (Arikunto, 2002 : 133). Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi, dalam arti bahwa pengamatan tidak menggunakan “media-media transparan” (Bungin, 2001 : 143). Yang dimaksud dalam hal ini bahwa peneliti secara


(39)

langsung melihat atau mengamati Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

- Wawancara Mendalam (depth interview)

Interview yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 2002 : 132). Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada informan yang telah ditentukan. Wawancara dilakukan dengan proses tanya jawab secara langsung dengan informan mengenai memahami Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan, guna mendapatkan suatu landasan teori yang kuat untuk mendukung penulisan ini dari berbagai literatur seperti buku-buku serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.5. Interpretasi dan Analisa Data

Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan obyektivitas (kesesuaian dengan kebenaran) dan relevansi dengan masalah yang diteliti. Temuan dalam penelitian tersebut kemudian direduksi (diedit), diinterpretasikan atau ditafsirkan, dan diorganisasikan. Keseluruh komponen analisis data dapat digambarkan.


(40)

SIKLUS ANALISIS DATA

Sumber: Pinta, 2006 : 37

Hasil pengumpulan data selanjutnya direduksi, yang mencakup kegiatan mengikthtisarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin dan memilah-milahnya ke dalam satuan konsep, kategori, atau tema tertentu. Seperangkat hasil reduksi data kemudian diorganisasikan ke dalam suatu bentuk (display data). Ini sangat dibutuhkan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan, tujuan akhirnya adalah untuk memahami Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dianalisa untuk selanjutnya (Moleong, 1993 : 103). Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang di peroleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah kemudian tahap selanjutnya adalah mereduksi data yaitu melalui pembuatan abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti. Langkah selanjutnya

Data Collection

Data Display

Conclusion Drawing

and Verifying Data


(41)

adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilanjutkan dengan pengolahan atau analisa dan penulisan laporan hasil penelitian.

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian terutama disebabkan karena terbatasnya

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III

Pra Penelitian:

- Penyusunan Proposal - Perbaikan Proposal Persiapan:

- Pengurusan Izin

- Persiapan Instrumen Penelitian Penelitian:

- Observasi - Wawancara Pasca Penelitian: - Analisis Data - Penyusunan Laporan


(42)

kegiatan penelitian ilmiah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah terbatasnya waktu yang dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan padatnya aktivitas informan. Hal tersebut dapat dimengerti karena umumnya informan adalah bekerja di sektor pertanian. Rendahnya perekonomian keluarga pada masyarakat Karo, khususnya pada masyarakat Karo yang berada di Desa Kutarakyat, Kec. Naman sehingga membuat mereka mempunyai aktifitas kerja yang padat, oleh sebab itu waktu yang informan luangkan kepada peneliti relatif singkat. Ini yang membuat peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan.

Walaupun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha semaksimal mungkin dalam mengumpulkan informasi dari informan, serta informasi yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.


(43)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1.1. Sejarah Singkat

Kecamatan Naman Teran merupakan salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan Ibukota Kecamatan di Desa Naman yang berjarak 20 km dari Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten dan 97 km dari Medan ibukota propinsi. Kecamatan Naman Teran dibentuk atas dasar Perda No.04 tahun 2005, dimana Kecamatan Simpang Empat dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Simpang Empat (sebagai kecamatan induk), Kecamatan Naman Teran (hasil pemekaran) dan Kecamatan Merdeka (hasil pemekaran). Kecamatan Naman Teran dengan luas ± 87,82 km2 berada pada ketinggian rata-rata 1300-1600 m di atas permukaan laut dengan temperatur 160C-170C dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Merdeka  Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tiganderket

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Payung dan Simpang

Empat

Kecamatan Naman Teran berasal dari Kecamatan Simpang Empat dimana pada sejak pra-kemerdekaan yang disebut dengan istilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang disebut Sibayak Lingga yang kekuasaannya meliputi :


(44)

 Urung Tigapancur diperintah oleh Raja Urung merga Sembiring Gurukinayan

 Urung Siempat Teran yang diperintah oleh Raja urung merga Karo-Karo Sitepu.

Dari wilayah urung Siempat Teran inilah sebagian besar menjadi Kecamatan Naman Teran yang telah diresmikan sejak tanggal 29 Desember 2006 lalu.

Pada awalnya Desa Kutarakyat pertama kali dihuni oleh marga Sitepu, Tarigan, dan Ginting. Merekalah yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai desa untuk permukiman masyarakat. Namun sebelum desa tersebut diberi nama Kutarakyat, sebelumnya desa tersebut bernama Toraja.

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah

4.1.2. 1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis

Kondisi iklim di desa Kutarakyat Kecamatan Naman Teran adalah sejuk dan dingin karena terletak di ketinggian 700-1.420 meter di atas permukaan laut. 4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah

Batas-Batas Wilayah Desa Kutarakyat :

1. Sebelah Timur : Desa Kebayaken 2. Sebelah Barat : Desa Kuta Gugung 3. sebelah Utara : Hutan Negara

4. sebelah Tenggara : Desa Sigarang-garang

Luas wilayah administratif dari desa Kutarakyat adalah sekitar14,21 km2 atau sekitar 16,18 % dari luas keseluruhan dari Kecamatan Naman Teran.


(45)

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Tabel 4.1

Persentase Penduduk Menurut Suku

No. Suku Jumlah Persentase (%)

1. Karo 1500 85

2. Jawa 178 10

3. Batak Toba 87 5

Jumlah 1765 100

Sumber : Kepala DesaKutarakyat, 2007

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Tabel 4.3

Persentase Penduduk Menurut Agama

No. Agama Jumlah Persentase (%)

1. Kristen Protestan 794 45

2. Islam 706 40

3. Katolik 265 15

Jumlah 1765 100

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tabel 4.4

Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Sekolah

Lk Pr

Tidak Sekolah Lk Pr

Jumlah 1. 72 84 7 2 165

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

Mata Pencaharian

Tabel 4.5

Mata Pencaharian Penduduk

No. Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1. Bertani 1500 85

2. PNS, ABRI/POLRI 177 10

3. Pegawai swasta 88 5

Jumlah 1765 100

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana Kesehatan


(46)

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. Puskesmas 1

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.1.4.2. Sarana Ibadah

Tabel 4.7

No. Sarana Tempat Ibadah Jumlah

1. Gereja 1

2. Mesjid 1

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.1.4.3. Sarana pendidikan

Tabel 4.8

No. Sarana Pendidikan Jumlah

1. Taman Kanak-kanak 1

2. Sekolah Dasar 1

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.2. PROFIL INFORMAN

Untuk mendapatkan data mengenai Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo maka peneliti melakukan wawancara terhadap anggota keluarga yang melakukan poligami di Desa Kutarakyat, Kec. Naman. Adapun profil informan


(47)

4.2.1. Profil Informan Suami Keluarga Poligami 4.2.1.1. N. Sitepu

Pria berumur 45 tahun, memiliki 6 orang anak yang bekerja sebagai petani dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. N. Sitepu seorang yang penganut agama Islam, tinggal di Kutarakyat, telah memiliki 2 orang istri yang telah melakukan pernikahan pertamanya saat berumur 24 tahun. N. Sitepu lebih sering tinggal bersama istri kedua, hal ini juga menjadi landasan baginya untuk mengatakan bahwa ia sendiri belum dapat bersikap adil. Dia lebih memilih tinggal ditempat istri kedua karena lebih nyaman. Hal ini telah mengakibatkan kurang akur kedua istrinya walaupun tidak pernah terjadi pertengkaran yang muncul. Walaupun demikian N. Sitepu tidak pernah mencoba untuk membagi waktu untuk mencoba menciptakan keadilan diantara kedua istrinya. Untuk anak-anaknya sendiri tidak pernah meminta keadilan atas tindakannya sebagai kepala rumah tangga dari dua orang istri. N. Sitepu juga mengetahui bahwa masyarakat setempat menganggap bahwa pelaku poligami seperti dia kurang baik. Namun baginya poligami tidak ada salahnya untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari yang diberikan istri pertama.

4.2.1.2. J. Sitepu

Seorang penganut agama Islam yang memiliki 5 orang anak dari kedua istrinya. Pria berumur 53 tahun ini mempertahankan hidupnya dengan bertani. J. Sitepu mengaku tidak memiliki niat untuk melakukan pernikahan untuk ke-3 kalinya. Pria tersebut melakukan pernikahan kedua karena merasa tidak memiliki


(48)

kecocokan dengan istri pertama. Hal ini ditandai dengan tidak adanya persetujuan dari istri pertama saat ia melakukan pernikahan kedua. Dia tidak adil dalam hubungan keluarga berpoligami, dan tidak pernah mencoba untuk menciptakan keadilan. Hal ini didasari pilihannya yang memilih tinggal bersama istri kedua yang dianggap memberikan perhatian yang lebih baik padanya. Setelah pernikahan keduanya beliau sangat jarang mengunjungi rumah istri pertamanya yang ia nikahi melalui tata cara agama dan adat.

4.2.1.3. B. Sitepu

Pria berumur 51 tahun ini memiliki 5 orang anak, yang memiliki pekerjaan sebagai petani dalam pemenuhan hidupnya. B. Sitepu merupakan penganut agama Kristen yang memiliki 2 istri, yang menikahi istri pertamanya saat ia berumur 25 tahun. Pria ini tidak memiliki niat untuk menambah istri lagi karena keluarga yang dibinanya saat ini kurang baik, karena ia tidak dapat berlaku adil dengan kedua istrinya. Ia menikahi istri keduanya disebabkan adanya perhatian yang diberikan si istri saat masih gadis ketika ia berada di ladang. Pria ini tidak pernah dituntut oleh anak-anaknya untuk berlaku adil namun kedua istrinya setiap kali bertemu pasti bertengkar. B. Sitepu menikahi istrinya baik secara adat maupun agama. Kini dia lebih sering di rumah istri pertama karena ia ingin memperbaiki hubungan yang kurang harmonis antara dia dan anggota keluarga dari istri pertamanya.

4.2.1.4. Menen Sitepu

Pria berumur 69 tahun yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Pria beragama Kristen ini memiliki anak sebanyak 13 orang, memiliki 2 orang istri dan melakukan pernikahan pertamanya saat berusia 25 tahun. Dia menikahi istri keduanya atas dorongan keluarga yang didasari tidak adanya anak


(49)

laki-laki yang dimiliki istri pertama saat ingin melakukan pernikahan istri kedua. Bahkan istri pertamanya juga ikut mendukung pernikahan kedua tersebut. Menen Sitepu mengatakan jika dia telah bertindak dengan adil atas kedua istrinya, dengan cara ia sering berkunjung ke rumah istri pertama, karena ia kini tinggal bersama dengan istri kedua yang telah ia bangun sebelumnya. Kedua istrinya juga tidak pernah berkelahi, anak-anaknya juga tidak pernah menuntut keadilan untuk bertindak adil darinya. Adapun yang melatarbelakangi ia memilih tinggal bersama istri kedua karena anak laki-lakinya telah menikah dan tinggal bersama istri pertama. Bagi masyarakat Karo dilarang seorang menantu perempuan untuk berbicara dengan mertua pria. Awal saat memiliki 2 istri Menen Sitepu tinggal satu rumah dengan anak-anak dan kedua istrinya, dan sampai saat ini hubungan keluarganya sangat harmonis. Hal inilah yang menjadi landasan baginya menyayangkan pria lain di daerah tersebut yang melakukan pernikahan poligami yang tidak dapat bertindak adil.

4.2.1.5. T. Ginting

Pria berusia 41 tahun ini memiliki 5 orang, beragama Kristen dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Dia melakukan pernikahan pertama saat berusia 26 tahun. Pria ini memiliki 3 orang istri namun 1 orang diantaranya telah meninggal. T. Ginting mengatakan bahwa keluarga yang dia bina kurang harmonis, hal ini dikarenakan istri keduanya selalu memarahi dan melarang jika ia sering mengunjungi istri pertamanya. Seharusnya upaya inilah yang harusnya mewujudkan keluarga berpoligami yang adil dan harmonis. Dia melakukan pernikahan kedua dikarenakan istri pertama kurang dekat dengan keluarganya, baik adik maupun ayah dan ibu. Dimana istrinya tidak melakukan


(50)

fungsinya dengan baik untuk merawat orang tuanya sebagai mertua. Adapun faktor lainnya yang mendorong ia melakukan pernikahan kedua karena jarak yang memisahkannya dengan istri pertama yang tinggal di daerah Tongkoh, dan T Ginting harus tinggal di daerah Kutarakyat untuk mengelola lahan pertanian untuk pemenuhan hidup mereka. Pria ini melakukan pernikahan kedua tanpa sepengetahuan dan campur tangan istri dan keluarga karena takut akan larangan keluarga dan agama yang dianutnya. Hingga saat ini kedua istrinya belum pernah bertemu. T. Ginting takut akan terjadi perkelahian diantara keduanya. Untuk ke depan T. Ginting tidak memiliki niat untuk melakukan pernikahan lagi.

4.2.2. Profil Informan Istri Keluarga Poligami 4.2.2.1. R. br Ginting

Wanita berusia 48 tahun yang memiliki 4 orang anak, menganut agama Kristen Protestan dan bekerja sebagai petani dalam pemenuhan hidupnya. R. br Ginting mengatakan bahwa suaminya adalah pria yang tidak bertanggung jawab karena telah melakukan pernikahan kedua, tanpa seijin dan sepengetahuannya. Walaupun suaminya telah lebih sering untuk tinggal bersamanya namun tetap ada perasaan cemburu yang mendalam. Hal ini ditunjukkan kebencian yang mendalam dimana saat bertemu dengan istri kedua suami R. br Ginting selalu berkelahi dengannya. Berdasarkan pengalaman tersebut suami dari R. br Ginting tidak pernah membawa istri keduanya ke rumah R. br Ginting karena pertemuan keduanya selalu dibarengi perkelahian.

Adanya pengalaman R. br Ginting tersebut, dia berupaya agar anak-anaknya tidak melakukan dan merasakan hal yang sama. R. br Ginting mencoba


(51)

mendidik anak-anaknya dengan memberikan nasehat dan pengarahan, baik berdasarkan agama maupun moral. R. br Ginting juga mengatakan dia prihatin atas penderitaan yang dialami wanita yang juga telah dimadu suaminya, atas dasar pengalaman yang sama. Wanita yang mengalami hal tersebut tentunya memiliki pribadi yang lebih sensitif dan cenderung merasakan kurang diperhatikan dan kasih sayang. Walaupun suaminya memilih untuk tinggal serumah dengan istri pertamanya. Hal ini disebabkan para istri pertama tidak mau kehilangan suaminya, dan untuk itu mereka harus memberikan perhatian yang lebih, kontrol dan memberikan kesempatan kontrol yang lebih dalam rumah tangga maupun keuangan asalkan suami tidak pergi menemui istri keduanya atau anak dari istri kedua.

4.2.2.2. Nd. Bendahara br Bangun

Wanita berusia 65 tahun, beragama Kristen ini menghidupi keluarganya dengan bertani. Ia adalah istri pertama yng sudah 40 tahun dipoligami. Pada awalnya dia merasa kesal karena suaminya melakukan poligami, dimana istri kedua suaminya tinggal serumah dengannya. Kini setelah suaminya membangun rumah untuk istri kedua, suaminya juga tinggal bersama istri keduanya tersebut. Walaupun suaminya telah melakukan poligami namun dari segi kewajiban sebagai suami masih terpenuhi sepenuhnya bagi nande Bendahara. Hubungan mereka juga cukup akur, namun hubungan nande Bendahara dengan istri kedua suaminya kurang harmonis bahkan di setiap pertemuan kedua belah pihak selalu dibarengi dengan perkelahian.


(52)

Nd. Wawan br. Bangun adalah seorang wanita yang berusia 40 tahun yang bekerja sebagai petani di Kuta Rakyat, dia menafkahi keempat orang anaknya dengan penghasilan dia sendiri, sejak suaminya menikah lagi, dia adalah tulang punggung ekonomi keluarganya, sehingga di tidak sempat lagi mengurus dirinya sendiri, seperti layaknya istri atau ibu dari anak orang lain yang berada dan bertempat tinggal di Kuta Rakyat.. awal dari pernikahan suaminya dengan istri keduanya adalah sewaktu mereka sama-sama bekerja upahan di ladang kami, dari situlah awalnya mereka saling kenal dan mencintai….seperti pepatah orang Karo “Katak Puru e pe, adi rusur kita tatap mejile nge pagi dung na” pepatah ini mempunyai makna seperti ini : “apabila kita melihat wanita satu orang dan dia sering kita jumpai dan saling bercerita tentang masalah kita, maka suatu saat kita akan sayang padanya”, begitulah awal terjadinya pertumbuhan benih-benih cinta mereka.

4.2.2.4. Nd. Arus br. Ginting

Nd. Arus br Ginting adalah nenek yang telah berusia 63 tahun, memiliki 5 orang anak dan beberapa cucu. Walaupun Nd. Arus br Ginting telah berusia 63 tahun tetapi dia masih bekerja ke ladang untuk menafkahi dirinya dan anaknya yang belum menikah. Semenjak suami dari Nd. Arus menikah lagi, dia tidak pernah lagi balik ke rumah dan memberikan nafkah kepadanya. Pada awal dia mengetahui suaminya menikah lagi, dia begitu sangat sedih. Tetapi sekarang dia sudah merasa biasa-biasa saja. Dia tidak mempermasalahkan lagi kalau suaminya mau kawin lagi atau tidak, karena sebelum dia menikah, dia sudah sering meninggalkan kampung berhubung pekerjaan suaminya sebagai tabib.


(53)

Supami adalah seorang wanita yang telah berusia 36 tahun, dimana dia bekerja dengan berjualan di warung kopi, dan telah mempunyai 2 orang anak. Pada dasarnya, Supami tidak pernah setuju kalau suaminya menikah lagi. Kalaupun suaminya menikah lagi dengan perempuan lain, dia juga harus membiayai kebutuhan hidupnya. Tetapi dalam kenyataannya sehari-hari suaminya tidak pernah lagi pulang ke rumah. Berikut penjelasan Supami :

“…sebenarnya saya tidak pernah setuju kalau suami saya menikah lagi, dan kalau kawin pun harus mampu membiayai hidupku dan anakku, tetapi kenyataanya dia justru jauh dari kami….inilah yang membuat hatiku sakit sekali…”

4.2.3. Profil Informan Anak Keluarga Poligami 4.2.3.1. Kristian Ginting

Kristian Ginting adalah seorang laki-laki yang berusia 17 tahun, dia belum berumah tangga, dan aktivitas dia sehari-hari adalah membantu ekonomi keluarganya yang telah ditinggalkan ayahnya, karena ayahnya menikah lagi. Ayahnya menikah lagi ketika umurnya masih berusia 10 tahun, pertama dia mengetahui ayahnya menikah lagi, dia sangat malu karena ayahnya berpoligami. “Pernah pada suatu saat ketika berbincang-bincang dengan anak-anak gadis di kampung ini mereka mengejek saya dan mereka bilang saya adalah “anak dari seorang yang tukang kawin”, jadi saya kan malu?

4.2.3.2. Rosa br. Sitepu

Rosa br Sitepu adalah seorang wanita yang berusia 25 tahun, belum menikah dan mempunyai usaha warung kopi. Rosa br Sitepu mempunyai ibu tiri ketika berusia 18 tahun. Pertama-tama Rosa mengetahui bahwa ayahnya menikah lagi dia sangat malu. Semenjak ayah rosa menikah lagi, dia tidak pernah


(54)

membiayai kebutuhan keluarga Rosa, bahkan bukan cuma itu ayah Rosa pun tidak pernah datang dan tinggal di rumah Rosa, berikut penuturan Rosa”

“…ayah saya adalah manusia yang paling egois, dia hanya memikirkan nafsunya saja…saya sangat benci kepada ibu tiri saya, karena sebelum suami ibu tiri saya meninggal dunia…dia telah berselingkuh dengan ayah saya, dan tidak beberapa lama setelah suami ibu tiri saya meninggal dunia mereka langsung menikah…”

4.2.3.3. Muara Sitepu

Muara Sitepu adalah seorang laki-laki yang berusia 32 tahun, bekerja ke lading untuk mencari nafkah dan membiayai anak dan istrinya, dia telah menikah dan telah dikarunia 3 orang anak. Muara belum lahir ketika ayahnya menikah lagi. Ayahnya masih membiayai kebutuhan keluarga sampai saat ini bahkan sampai kuliah. Ayah Muara adalah seorang yang bersikap adil kepada kedua istrinya dan anak-anaknya, seperti penuturannya berikut ini:

“…ketika ayah saya menikah lagi, saya belum lahir…karena alasan itulah dia menikah lagi…dan karena alasan belum memiliki anak laki-lakilah ayah saya menikah lagi…”

4.2.3.4. Wawan Sitepu

Wawan Sitepu adalah seorang laki-laki yang berusia 21 tahun, ayahnya menikah lagi sejak dia masih berusia 14 tahun. Wawan sangat malu melihat ayahnya menikah lagi, karena dia sering diejek “ anak tukang kawin”. Hubungan Wawan dengan ayahnya semenjak ayahnya menikah lagi tidak akur lagi, bahkan ayahnya tidak membiayainya lagi, jadi ibu Wawanlah yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya. Berikut penuturan Wawan :

“…ayah saya tidak membiayai kami lagi, bahkan ketika saya masih sekolah saja dia tidak pernah lagi memberikan uang


(55)

kepada kami…pernah ketika saya perlu uang untuk membayar uang sekolah, dan pada saat itu saya meminta kepada ayah saya dan jawabannya tidak ada uang….dan yang membuat saya sangat sakit hati adalah “beberapa hari kemudian dia membeli sepeda motor yang baru…”

4.2.3.5. R. Sitepu

R Sitepu adalah seorang laki-laki yang berusia 23 tahun, mempunyai pekerjaan bertani dan tinggal di Kutarakyat. R. Sitepu adalah seorang anak yang bisa dikatakan cukup bisa menerima kenyataan walaupun ayahnya menikah lagi, mereka bahkan tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Perilaku ayah dan ibu tirinya juga sama dengan seperti anak kandungnya sendiri, dan R. Sitepu juga menganggap ibu tirinya seperti ibu kandungnya sendiri. Namun, walaupun demikian tanggapan masyarakat terhadap dirinya juga masih negatif, seperti penuturannya berikut ini :

“…teman-teman saya mengejek saya, dibilangnya ayah saya tukang kawin…dan woi anak tukang kawin…saya terkadang merasa berkecil hati dan minder…”

4.3. Interpretasi Data

4.3.1. Interaksi Pada Keluarga Poligami

4.3.1.1. Interaksi antara Istri Pertama dan Istri Kedua

Pada umumnya pola interaksi dalam keluarga bersifat intim, artinya bahwa hubungan suami-istri dan anak-anak memungkinkan mereka dekat satu sama lainnya. Akan tetapi pada keluarga yang berpoligami, pola interaksi sosial antara istri pertama dengan istri kedua tidak akan dapat membina dan menciptakan hubungan yang baik di dalam pergaulan sehari-hari. Ini disebabkan beberapa faktor yaitu ketidaksetujuan mereka terhadap perkawinan poligami yang


(56)

dilakukan para suami, keengganan dari masing-masing istri untuk saling membina hubungan yang baik, perasaan sakit hati dan benci terhadap wanita tersebut, tidak saling mengenal, istri pertama tidak dapat menerima kehadiran istri kedua sehingga keadaan ini yang sering menimbulkan masalah.

Pada umumnya interaksi antara istri pertama dengan istri lainnya tidak begitu baik atau harmonis. Berikut penuturan istri pertama dari keluarga yang berpoligami yaitu nande Wawan br Bangun :

“sejak suami saya menikah lagi, dia tinggal di tempat istri keduanya. Perhatiannya kepada anak-anak juga sudah berkurang, bahkan dia sudah tidak mau memperdulikan kami lagi. Awalnya istri kedua suami saya bekerja upahan di ladang kami dan dari situlah mereka saling mencintai. Ketika awal mereka menikah saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa wanita tersebut telah menjadi istri suami saya. Saya sempat minder dan berniat meninggalkan kampung. Tetapi keluarga besar dari pihak suami saya mencegah saya untuk pergi”.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari ibu Supami berikut ini : “sebenarnya pertama kali saya sudah tidak setuju ketika suami saya meminta ijin kepada saya untuk menikah lagi dengan wanita lain. Tetapi kenyataannya dia justru pergi dari kampung dan menikah dengan waita lain di perantauan. Hal inilah yang membuat hatiku sakit sekali. Ketika suami saya datang membawa istri keduanya ke rumah, saya sangat marah besar dan mengusir mereka dari rumah. Hal itu kulakukan karena ternyata kedatangan suami saya untuk meminta uang yang akan digunakan untuk biaya persalinan istri keduanya”.

Begitu juga dengan penuturan yang dikemukakan oleh ibu R br. Ginting mengenai ketidakharmonisannya dengan istri lain dari suaminya :

“ketika saya mengetahui bahwa suami saya menikah lagi, saya sangat marah sekali. Apalagi saya tahu bahwa istri yang dinikahi suami saya tersebut adalah keponakan saya sendiri.


(1)

Tidak adanya kesesuaian pendapat antara suami dan istri bisa menyebabkan pertengkaran. Banyak hal yang diinginkan atau diidamkan dari seorang insan manusia terhadap lawan jenisnya, misalnya kekayaan, kegantengan/kecantikan, sopan-santun terhadap orang tua dan sebagainya. Dalam suatu pernikahan harus ada suatu kesesuaian keinginan dan tujuan yang sama, apabila salah satu tidak didapatkan oleh lawan jenisnya maka akan bisa menyebabkan pertengkaran, perselingkuhan, perceraian, atau bahkan poligami. Seperti penuturan T. Ginting berikut ini :

”sejak pertama istri saya tidak menyukai keluarga saya yang mempunyai latarbelakang ekonomi yang kurang mampu. Padahal dalam suku Karo menantu perempuan sangatlah diharapkan bisa mencintai dan mengurus ibu mertuanya di saat sudah tua, tetapi istri pertama tidak mau memperhatikan dan menyukai keluarga saya”.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Sistem perkawinan pada masyarakat Karo dilakukan secara patriarki. Dimana pihak perempuan setelah menikah adalah menjadi anggota kerabat pihak laki-laki. Di dalam sistem kekerabatan patriarkhi anak laki-laki adalah penerus garis keturunan generasi selanjutnya. Di dalam rumah tangga masyarakat Karo kehadiran keturunan sangat diharapkan khususnya anak laki-laki.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan, maka ditemukan beberapa kesimpulan yang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga berpoligami dapat berjalan harmonis apabila seorang suami dapat menjalankan perannya secara adil terhadap istri dan anak-anaknya. Sebaliknya, apabila seorang suami tidak dapat menjalankan perannya secara adil terhadap istri dan anak-anaknya maka akan menyebabkan disharmonisasi interaksi misalnya kecemburuan sesama istri, kecemburuan sesama anak, kurangnya kasih sayang yang diterima oleh salah satu istri atau anak dari suami tersebut. Tidak berjalannya peran suami bisa menimbulkan rasa tidak memiliki suami oleh istri dan ayah oleh anak.

2. Biasanya suami yang melakukan poligami secara diam-diam tanpa meminta persetujuan dari istri pertamanya, ini bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga. Tetapi apabila seorang suami meminta ijin kepada istri pertamanya untuk melakukan poligami bisa saja hubungan


(3)

mereka tetap berjalan baik apabila suami memberikan alasan-alasan yang tepat mengapa dia harus menikah lagi.

3. Pada umumnya keluarga istri pertama mengalami kesulitan ekonomi setelah suaminya menikah lagi karena suami tidak memberikan nafkah baik secara materi maupun immateri.

4. Setelah suaminya menikah lagi maka istri pertama akan menjadi tulang punggung ekonomi dalam membiayai kebutuhan rumah tangganya.

5. Pada umumnya hubungan antara seorang anak dengan saudara tirinya berjalan dengan baik dengan catatan ayah dan ibu mereka juga menunjukkan suatu hubungan yang harmonis. Tetapi sebaliknya apabila hubungan ayah dengan ibunya tidak terjalin suatu interaksi yang baik maka cenderung hubungan anak dengan saudara tirinya tidak akan tercipta suatu komunikasi yang baik.

6. Ada beberapa faktor poligami bagi masyarakat Karo, yaitu tidak mendapat keturunan, tidak memperoleh keturunan laki-laki, saling mencintai, tidak adanya persesuaian dengan istri pertama.

5.2. SARAN

1. Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk menciptakan hubungan yang bahagia dan harmonis diantara anggota keluarga yang dilandasi oleh rasa sayang dan kasih sayang, maka diharapkan bagi para pelaku poligami agar bisa tetap menjaga keharmonisan keluarganya, menjalankan segala kewajiban dan tanggung jawabnya tanpa mengabaikan istri dan anak-anaknya.


(4)

2. Agar suami dapat memberikan keadilan terhadap istri pertama dan istri keduanya beserta dengan anak-anaknya baik dalam bidang ekonomi, perhatian, kasih sayang demi menjaga hubungan yang harmonis di dalam keluarga yang berpoligami.

3. diharapkan agar suami yang ingin melakukan poligami agar meminta injin dan restu kepada istri pertamanya, dengan adanya ijin ini maka besar kemungkinan akan terjadi suatu hubungan yang harmonis diantara istri pertama dengan istri yang lain, begitu juga dengan anank-anaknya, serta hubungan anak dengan ibu tirinya juga bisa terwujud suatu interaksi yang harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Payung. 1988. Kebudayaan Batak, dalam Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga University Press.

………, 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Penerbit Kencana.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Daerah Sumatera Utara. Medan : Departemen Pendidikan. Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transpormasi Sosial. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Gultom. D. J. Raja, Marpodang. 1992. Dalihan Natolu; Nilai Budaya Suku Batak. Medan : CV.Armanda.

Ginting’S, E.P. 1995. Adat Istiadat Karo, Kinata Berita si Meriah Ibas Masyarakat Karo. Kabanjahe : Toko Buku dan Percetakan Abdi Karya. Husein, Abdurrahman. 2007. Hitam Putih Poligami. Jakarta : Lembaga Penerbit


(5)

Ihromi, T.O. 1999. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati. 2003. Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat dan Singarimbun, Masri. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia Jakarta : Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi (Universitas Indonesia). Pelly, Zainul H. 1997. Pengantar Sosiologi. Medan : USU Press.

Perangin-angin, L. Martin. 2004. Orang Karo Diantara Orang Batak. Jakarta : Pustaka Suara Mido.

Tarigan, Sarjani, 1986. Bunga Rampai Seminar Kebudayaan Karo dan Kehidupan Masa Kini. Medan : Editor.

Thalib, Muhammad. 2005. Orang Barat Bicara Poligami. Yogyakarta : Wihdah-Press.

Ukur, Pinta. 2006. Diskriminasi Pembagian Warisan pada Suku Karo di Tanah Perantauan (Studi Kasus Masyarakat Karo Yang Menetap di Rura Silindung, Kabupaten Tapanuli Utara). Medan : Fisip-USU.

Soekanto, Soerjono. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.

_______________. 1993. Beberapa Toeri Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

. 1991. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali.

Subekti, R. dan Tjitrosudibio, R. 1990. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yogyakarta : PT. Pradnya Paramita.

Suharsini, Arikanto. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT. Renika Cipta.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Pendekatan Alternatif. Jakarta : Tunas Kencana.

Vergouwen, J. C. dan di Indonesiakan oleh Ihromi, T. O, 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta : Pustaka Azet.

Weinata, Sairin; J.M, Pattiasina. 1996. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.


(6)

Yin, Robert K. 1997. Study Kasus. Jakarta : PT. RajaGrfindo.

Zulaika. 2007. Interaksi Sosial dalam Keluarga Poligami. Medan : Sosiologi FISIP USU

Website :