sebagian lainnya seksualitas bisa dimaknai sebagai kebebasan untuk mengekspresikan diri dan mengambil keputusan atas tubuh mereka. Keberagaman
pengalaman dan isu yang berhubungan dengan hal ini dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan.
Jadi, Gender dapat dimaknai sebagai pembedaan atara laki-laki dan perempuan secara nilai dan tingkah laku yang dibentuk oleh konstruksi sosial
kemasyarakatan tidak baku dan dapat berubah sewaktu-waktu.
2.3 Gender dan Perempuan
Perempuan secara langsung menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the
other sex yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan
bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
Pembahasan tentang perempuan sebagai suatu kelompok memunculkan sejumlah kesulitan. Konsep “Posisi perempuan” dalam masyarakat memberi kesan
bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat. Kenyataannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang
sederhana tentang “Posisi perempuan” yang universal, tetapi di sebagian besar masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan sebagai kelompok yang
memiliki kepentingan bersama Triwijati 2010 : 1. Perempuan ikut andil dalam stratifikasi masyarakat. Ada perempuan kaya, ada perempuan miskin, dan latar
belakang kelas kaum perempuan mungkin sama penting dengan jendernya dalam
Universitas Sumatera Utara
menentukan posisi mereka di masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, latar belakang etnis seorang perempuan, bahkan mungkin lebih penting daripada kelas.
Istilah gender juga berguna, karena istilah itu mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali
amat penting dalam menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang dapat berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan
konsekuensi dan pendefinisian perilaku jender yang semestinya dilakukan olah
masyarakat 2.4
Syarat-Syarat Sah Perkawinan
Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat dari sudut
padang Hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan Indonesia yaitu Undang- Undang Perkawinan UUP dan Kompilasi Hukum Islam KHI yang dapat
dijelaskan sebagai berikut: 1. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum islam untuk sahnya perkawinan adalah setelah terpenuhi syarat dan rukun yang telah diatur dalam agama Islam. Yang dimaksud syarat ialah
suatu yang harus ada dalam sebelum perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi
maka perkawinan itu tidak sah. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah
satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. http:ayonikah.netprosedur- nikah diakses pada tanggal 2 Desember 2013 pukul 07.45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa syarat sah sebelum dilangsungkannya perkawinan adalah. a. Perkawinan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan larangan-larangan
yang termaktub dalam ketentuan QS II ayat 221 perbedaan agama dengan pengecualian khusus laki-laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab Yahudi
dan Nasrani. Moh. Idris Ramulyo, 2002 : 50 b. Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan yang keduanya telah akil
baligh dewasa dan berakal. Dewasa menurut Hukum Perkawinan Islam akan berbeda menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.
c. Adanya persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh dipaksakan.
d. Adanya wali nikah untuk calon pengatin perempuan yang memenuhi syarat yaitu; laki-laki beragama Islam, dewasa, berakal sehat dan berlaku adil.
Mawardi, 1984 : 10 e. Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa, dan adil.
f. Membayar Mahar mas kawin calon suami kepada calon isteri berdasar QS. An- Nisa ayat 25.
g. Adanya pernyataan Ijab dan Qabul kehendak dan penerimaan.
Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah sebagai berikut: a. Adanya pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan Pihak-pihak yang
hendak melakukan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu supaya perkawinan yang
dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Beberapa syarat itu diantara imam
Universitas Sumatera Utara
madzhab berbeda pendapat baik madzhab syafi,i dan maliki, serta jumhur ulama. Abd, Rahman Ghazaly, 2003: 47-48
b. Adanya wali perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk
seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah
rukum dalam artian wali harus ada terutama bagi orang-orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap tidak sah.
c. Adanya dua orang saksi dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah.
Keharusan adanya saksi dalam perkawinan dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak antara suami dan isteri. Misalnya terjadi tuduhan atau
kecurigaan orang lain terhadap keduanya maka degan mudah keduanya dapat menuntut saksi tentang perkawinannya.
d. Adanya sighat aqad nikah. Sighat aqad nikah adalah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh calon suami atau calon isteri. Sighat aqad nikah ini terdiri dari
ijab dan qobul. Ijab yaitu pernyataan dari pihak calon isteri, yang biasanya dilakukan oelh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan
dengan calon suaminya. Qobul yaitu pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon isterinya menjadi istrinya. selain
rukun beserta syarat yang sudah diuraikan diatas, masih ada hal yang dianurkan dipenuhi sebagai kesempurnaan perkawinan, yaitu acara walimatul ursy pesta
perkawinan. Namun demikian acara walimahan ini sifatnya hanya anjuran.
Universitas Sumatera Utara
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan UUP lalu dikeluarkan Peraturan Pemeritah PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undan-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP
tersebut disebukan: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan dan pasal 2 ayat 2 UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut
dalam PP 91975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut mengatur
tatacara perkawinan; a. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. b. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pecatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Mempertegas UUP dan PP tersebut diatas, dalam berkaitan dengan itu diuraikan dalam KHI yaitu; Pasal 4 disebutkan; Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatatan perkawinan untuk menjamin ketertiban
dan dilakukan oleh PPN Pasal 5 6, akta nikah dan itsbat nikah Pasal 7. Rukun perkawinan adalah; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan Ijab
Kabul Pasal 14 - Pasal 29. Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
Universitas Sumatera Utara
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak Pasal 30 - Pasal 38. Larangan Perkawinan karena beberapa sebab Pasal 39-
44. Wasian, 2010 : 26 Bila dicermati dari penjabaran HPI diatas lalu dibandingkan degan uraian
menurut hukum Islam sebelumnya maka dijumpai adanya perbedaan dalam hal pencatatan perkawinan. Hukum perkawinan Islam tidak mengharuskan suatu
perkawinan dicatat oleh lembaga negara sementara dalam Hukum Perkawinan Indonesia perkawinan harus dilakukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
PPN yang biasanya dari Kantor Urusan Agama KUA tempat domisili calon pengantin akan melangsungkan perkawinan. Bila suatu perkawinan tidak dicatatkan
maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tindakan administratif.
2.5 Kedudukan Suami Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan