Kedudukan Suami Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan Perempuan, Agama, dan Perkawinan

calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak Pasal 30 - Pasal 38. Larangan Perkawinan karena beberapa sebab Pasal 39- 44. Wasian, 2010 : 26 Bila dicermati dari penjabaran HPI diatas lalu dibandingkan degan uraian menurut hukum Islam sebelumnya maka dijumpai adanya perbedaan dalam hal pencatatan perkawinan. Hukum perkawinan Islam tidak mengharuskan suatu perkawinan dicatat oleh lembaga negara sementara dalam Hukum Perkawinan Indonesia perkawinan harus dilakukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN yang biasanya dari Kantor Urusan Agama KUA tempat domisili calon pengantin akan melangsungkan perkawinan. Bila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tindakan administratif.

2.5 Kedudukan Suami Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan

Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami isteri dalam undang-undang perkawinan dapat ditemukan di Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan yang menjelaskan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan sosial. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga Pasal 31 ayat 1-3. Suami isteri harus mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami isteri bersama Pasal 32. suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia memberi Universitas Sumatera Utara bantuan lahir batin yang pada yang lain Pasal 33. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadialn Pasal 34 ayat 1-3.

2.6 Perempuan, Agama, dan Perkawinan

Perkawinan adalah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan tersebut makhluk hidup dapat berkembang biak atau mengembangkan keturunannya sehingga dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya di alam. Perkawinan, bagi manusia, sebagaimana makhluk-makhluk hidup yang lain, adalah suatu cara yang dipilih sebagai jalan untuk beranak, berkembang biak untuk kelestarian hidupnya, setelahnya masing-masing pasangan melakukan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Perkawinan dalam Islam, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah kontrak antara pasangan anak manusia yang setara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syarat- syarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Sehingga dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih sayang mawaddah wa rahmah. Universitas Sumatera Utara Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh laki-laki dan perempuan setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan suami dan istri. Dengan masing-masing pasangan tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban. Keseimbangan ini sebagai modal dalam menselaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami dan istri laki-laki dan perempuan. Jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan suami mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian menjadi pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan secara konsepsional. Bisa jadi diskrimansi yang terjadi adalah akibat perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan. Hukum Islam berdasarkan gender dalam hukum keluarga mencakup perkawinan dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama laki-laki dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan satu laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Kedua seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istri-istrinya tanpa kewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya terhadap seseorang atau otorita. Sebaliknya perempuan, dapat bercerai hanya dengan kerelaan suami atau Universitas Sumatera Utara dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri. Zahroh, 2010 : 13 Sehingga dari hukum tersebut tercipta asumsi relasi subyek obyek antara laki- laki dan perempuan dalam perkawinan yang tergambarkan sebagai berikut. Pertama laki- laki yang berhak menikahi, sedangkan perempuan statusnya sebagai pihak yang dinikahi. Mahar atau mas kawin, suatu unsur yang dalam aturan perkawinan mirip dengan pembayaran harga dalam perdagangan, diserahkan laki-laki kepada perempuan, bukan sebaliknya. Kedua, keharusan agama atas perempuan untuk memenuhi permintaan suami, termasuk untuk hal-hal yang menurut agama sunnah dilaksanakan. Misalnya permintaan suami agar istrinya tidak lagi membiasakan puasa Senin Kamis. Terutama permintaan yang berkaitan dengan hasrat seksual, anjuran agama sangat kuat agar istri mengabulkannya. Dan adanya larangan perempuan istri untuk keluar rumah tanpa seijin laki-laki suami. Hak-hak perkawinan Marital Right merupakan salah satu indikator penting bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak laki-laki suami dan perempuan istri. Akan tetapi jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar dalam mengatasi hal tersebut. Apik, 2006 : 16 Universitas Sumatera Utara Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai suamiisteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwaacara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pelaksanaan nikah tamasya melalui pemberitahuan atau pengumuman disurat kabar setempat tentang pelaksanaan nikah tamasya ini, yang memiliki tujuan yang sama yakni memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa telahdilaksanakannya pernikahan bersangkutan dan telah terikatnya dalam perkawinan pasangan suamiisteri tersebut. Adat dan pandangan inilah yang dipegang teguholeh masyarakat Tionghoa Indonesia hingga saat ini Keengganan dan ketidaktahuan hukum masyarakat Tionghoa atas pencatatan perkawinan tanpa disadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga kepada familinya keluarga-keluarganya. Fenomena ini sering dihadapi oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya sehari-hari serta menjadi masalah dan kendala yang sepantasnya mendapat perhatian besar. Universitas Sumatera Utara

2.7 Posisi Sosial Perempuan dalam Keluarga

Dokumen yang terkait

Analisis Posisi Perempuan dalam Status Sosial Keluarga Pakpak (Studi kasus pada Keluarga Etnis Pakpak di Kelurahan Sidiangkat Kecamatan Sidikalang)

4 72 115

Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)

6 98 76

Pengaruh Tingkat Status Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilu Presiden 2009 (Studi deskriptif: Kelurahan Sitirejo I, Medan, Sumatera Utara)

1 29 105

Status Gizi Balita Di Posyandu Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru

1 23 58

Gerakan Sosial HIPPMA ( Himpunan Pensiunan Perkebunan Maju Bersama) Dalam Memperjuangkan Hak-Hak Pensiunan Buruh PTPN II (Studi Deskriptif Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang)

1 30 109

Gerakan Sosial HIPPMA ( Himpunan Pensiunan Perkebunan Maju Bersama) Dalam Memperjuangkan Hak-Hak Pensiunan Buruh PTPN II (Studi Deskriptif Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang)

0 83 109

Pembagian Waris Dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan)

2 38 84

KESETIAAN PASANGAN SUAMI ISTERI (Studi Kasus Pelaku Perkawinan Anak Dibawah Umur Kesetiaan Pasangan Suami Isteri (Studi Kasus Pelaku Perkawinan Anak Dibawah Umur Di Kecamatan Candi Sari, Semarang).

1 2 15

KESETIAAN PASANGAN SUAMI ISTERI (Studi Kasus Pelaku Perkawinan Anak Dibawah Umur Kesetiaan Pasangan Suami Isteri (Studi Kasus Pelaku Perkawinan Anak Dibawah Umur Di Kecamatan Candi Sari, Semarang).

1 1 19

STATUS HUKUM PERNIKAHAN YANG TIDAK TERCATAT MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN INDONESIA

0 0 13