Syarat Sahnya Perjanjian TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

dalam lapangan harta kekayaan”, Persetujuan ini merupakan arti yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang. Sedangkan Subekti memberikan pengertian perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. 22 Apabila diperinci makna dalam definisi-definisi yang dirumuskan oleh para sarjana ahli hukum dan doktrin yang berkembang, maka perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 23 1. Ada pihak – pihak, sedikitnya dua orang subjek, 2. Ada persetujuan antara pihak – pihak konsensus, 3. Ada objek yang berupa benda, 4. Ada tujuan yang bersifat kebendaan mengenai harta kekayaan, 5. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang yang sah diakui dan diberi akibat hukum legally concluded contract . 24 22 Joko Hartanto, http:digilib.unnes.ac.idgsdlcollectskripsiarchives HASH2ed0 b3c28f12.dirdoc.pdf, diakses pada 14 November 2010. 23 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 225. Universitas Sumatera Utara Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan memenuhi syarat-syarat perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Sepakat mereka yang mengikatkan diri artinya pihak- pihak yang mengikatkan perjanjian ini mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak, mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak. Menurut Sudikno Mertokusumo, ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan: 25 a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan; c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; 24 Ibid, hlm 229. 25 Ibid. Universitas Sumatera Utara e. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuannya adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 26 a. Salah pengertian dwaling atau kekeliruan; Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian tidak dianggap sah jika kesepakatan itu diberikan karena: b. Pemerasan atau dipaksakan dwang; c. Adanya penipuan bedrog. Persetujuan yang diberikan karena salah pengertian, paksaan dan penipuan, disebut dengan “persetujuan kehendak yang cacat” wilsgebrek. Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan pembatalan vernietigbaar, tapi bukan batal dengan sendirinya. Hal ini tidak mengurangi pendapat, bahwa terhadap persetujuan yang diperoleh dengan dwaling, dwang 26 Salim H.S., op. cit., hlm 25 Universitas Sumatera Utara dan bedrog mereka anggap “batal dengan sendirinya” Van Rechts Wege Nietig. 27 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan artinya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”, sedangkan orang – orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam membuat persetujuan diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu : a. Orang-orang yang belum dewasa. Pada umumnya seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. 28 b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Orang-orang yang disebut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri 27 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hlm 25. 28 Abdulkadir Muhammad, loc. cit. Universitas Sumatera Utara harus ada izin suaminya. Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA No.3 Tahun 1963. 29 3. Suatu hal tertentu Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang yang jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh undang-undang. Menurut Pasal 1334 KUH Perdata, objek itu bisa terdiri dari barang yang di “harapkan” dimasa yang akan datang. Isi Pasal 1334 KUH Perdata : “barang – barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepas suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan mengenai suatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178”. 4. Suatu sebab yang halal causa Pada Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal geoorloofde oorzaak. Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya 29 Salim H.S, op. cit., hlm 24. Universitas Sumatera Utara disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan “ suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Kata ‘causa’ berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. 30 Hoge Raad 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh, A menjual sepeda motor kepada B. tetapi sepeda motor yang dijual A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak 30 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 230. Universitas Sumatera Utara mencapai tujuan dari pihak B. karena B menginginkan barang yang dibelinya itu adalah barang yang sah. 31 Para ahli tidak memiliki kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian. Masing-masing ahli mempunyai pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berikut jenis-jenis perjanjian tersebut:

C. Jenis- Jenis Perjanjian