Wanprestasi Dan Eksekusinya Pada Pelaksanaan Perjanjian Leasing Di PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia

(1)

WANPRESTASI DAN EKSEKUSINYA PADA PELAKSANAAN

PERJANJIAN LEASING DI

PT. MITSUI LEASING CAPITAL INDONESIA

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara Oleh :

MELISA NIM. 070200065

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

WANPRESTASI DAN EKSEKUSINYA PADA PELAKSANAAN

PERJANJIAN LEASING DI

PT. MITSUI LEASING CAPITAL INDONESIA

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara Oleh :

MELISA NIM. 070200065

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA DAGANG Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

Dr.Hasim Purba, SH.,M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M Sunarto Adiwibowo, S.H., M. Hum NIP. 196204211988031004 NIP. 195203301976011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Sanghyang Adi Buddhaya karena atas pancaran sinar cinta kasih dan karunia-Nya lah penulis mampu untuk menjalani perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada jurusan Hukum Perdata Dagang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang banyak membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk semua itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM &H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak Syarifuddin, S.H., M.Hum., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas


(4)

6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

7. Ibu Sinta Uli, S.H., M. Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum

Perdata Dagang Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

8. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S, selaku Dosen Pembimbing I

yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Sunarto Adiwibowo, S.H., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

banyak memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik saya

dari Semester I hingga Semester terakhir di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

11.Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

12.Terima kasih kepada orang tua saya, yang telah memberikan dorongan serta doanya selama penyusunan skripsi ini

13.Terima kasih kepada teman terbaik saya Silvia Sumbogo dan Shasa yang telah membantu serta memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta


(5)

kepada teman-teman seangkatan saya (stambuk 07) yang menjadi teman seperjuangan dan teman untuk berbagi ilmu.

14.Teristimewa kepada “Hendrik Tan (Ace) selaku senior, yang telah

meluangkan waktunya, memberikan masukan dan dorongan semangat hingga selesainya skripsi ini.

15.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya dalam proses penyelesaian

skripsi ini.

Akhir kata penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu sangat diharapkan segala kritikan dan saran yang bersifat konstruktif guna penyempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2011

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….………... i

DAFTAR ISI ……….… iv

ABSTRAKSI ……….………..……. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..….……… 1

B. Perumusan Masalah ……….……….…….……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……….……….……… 6

D. Keaslian Penulisan ……….…….... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ………...……… 8

F. Metode Penulisan ………..……….. 15

G. Sistematika Penulisan ………...………...……… 18

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ………...……… 21

B. Syarat Sahnya Perjanjian ………. 23

C. Jenis – Jenis Perjanjian ……….... 29


(7)

E. Eksekusi dan Jenis – Jenisnya ………. 43

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN LEASING

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Leasing ……….….. 47

B. Jenis – Jenis Perjanjian Leasing ……….………. 57

C. Peranan dan Manfaat Perjanjian Leasing ……….………... 66

D. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Perjanjian Lainnya ………….…………. 72

E. Prosedur Terjadinya Perjanjian Leasing ……….…………. 78

F. Subjek dan Objek Perjanjian Leasing ……….…………. 81

G. Hak dan Kewajiban Lessor dan Lessee ……….………..… 86

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN LEASING PADA PT. MITSUI LEASING & CAPITAL INDONESIA

A. Pelaksanaan Perjanjian Leasing Kendaraan Bermotor Roda Empat dengan

Jaminan BPKB pada PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia …………...……… 94 B. Prinsip – Prinsip yang Diterapkan PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia dalam

Memilih Calon Lessee ………...…… 104 C. Faktor – Faktor penyebab Terjadinya Wanprestasi pada Perjanjian Leasing di PT.


(8)

D. Upaya yang Dilakukan Terhadap Adanya Wanprestasi dalam Perjanjian Leasing pada PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia ……….. 121

E. Pelaksanaan Eksekusi oleh PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia dalam Upaya

Menguasai Kembali Barang Modal yang Disewakan Kepada Lessee yang dalam Keadaan Wanprestasi ………. 128

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan ……….. 134

b. Saran ……… 136


(9)

WANPRESTASI DAN EKSEKUSINYA PADA PELAKSANAAN PERJANJIAN LEASING (STUDI KASUS PADA PT. MITSUI LEASING

CAPITAL INDONESIA)

Abstrak

PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia (selanjutnya disebut PT. Mitsui Leasing) merupakan salah satu perusahaan pembiayaan yang kegiatan usahanya dititikberatkan pada kegiatan Pembiayaan Konsumen dan Sewa Guna Usaha kendaraan bermotor. Dalam menjalankan usahanya, PT. Mitsui Leasing sering mengalami resiko wanprestasi dari lesseenya. Permasalahan wanprestasi hingga dilakukannya eksekusi ini diangkat menjadi permasalahan dalam penelitian ini, untuk memahami keadaan wanprestasi hingga eksekusinya pada perjanjian leasing pada PT. Mitsui Leasing.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan secara kualitatif . Pengumpulan data diadakan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Data pokok dalam penelitian ini adalah data yang meliputi bahan umum primer yaitu KUH Perdata dan peraturan yang berlaku di luar KUH Perdata yang berkaitan dan berhubungan dengan perjanjian leasing, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku, pendapat sarjana, koran, situs internet dan kamus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian leasing ini lahir berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan jika disepakati, akan menjadi undang-undang dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang menyepakatinya. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebasan untuk menentukan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, ketertiban umum dan kesusilaan. Namun dalam perjanjian, khususnya pada perjanjian leasing pada PT. Mitsui Leasing sering terjadi wanprestasi yang dilakukan pihak lessee. Banyak cara yang dilakukan PT. Mitsui Leasing untuk mencegah/mengurangi kerugian yang timbul dari wanprestasi yang dilakukan oleh lessee, mulai dari melakukan analisa kredit terhadap calon lesseenya, memberikan peringatan terhadap lessee yang lalai, tahap negosiasi untuk penyelamatan kredit, pengumuman koran, hingga tahap penarikan (eksekusi) objek perjanjian leasing tersebut.


(10)

WANPRESTASI DAN EKSEKUSINYA PADA PELAKSANAAN PERJANJIAN LEASING (STUDI KASUS PADA PT. MITSUI LEASING

CAPITAL INDONESIA)

Abstrak

PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia (selanjutnya disebut PT. Mitsui Leasing) merupakan salah satu perusahaan pembiayaan yang kegiatan usahanya dititikberatkan pada kegiatan Pembiayaan Konsumen dan Sewa Guna Usaha kendaraan bermotor. Dalam menjalankan usahanya, PT. Mitsui Leasing sering mengalami resiko wanprestasi dari lesseenya. Permasalahan wanprestasi hingga dilakukannya eksekusi ini diangkat menjadi permasalahan dalam penelitian ini, untuk memahami keadaan wanprestasi hingga eksekusinya pada perjanjian leasing pada PT. Mitsui Leasing.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan metode pendekatan secara kualitatif . Pengumpulan data diadakan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Data pokok dalam penelitian ini adalah data yang meliputi bahan umum primer yaitu KUH Perdata dan peraturan yang berlaku di luar KUH Perdata yang berkaitan dan berhubungan dengan perjanjian leasing, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku, pendapat sarjana, koran, situs internet dan kamus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian leasing ini lahir berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan jika disepakati, akan menjadi undang-undang dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang menyepakatinya. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebasan untuk menentukan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, ketertiban umum dan kesusilaan. Namun dalam perjanjian, khususnya pada perjanjian leasing pada PT. Mitsui Leasing sering terjadi wanprestasi yang dilakukan pihak lessee. Banyak cara yang dilakukan PT. Mitsui Leasing untuk mencegah/mengurangi kerugian yang timbul dari wanprestasi yang dilakukan oleh lessee, mulai dari melakukan analisa kredit terhadap calon lesseenya, memberikan peringatan terhadap lessee yang lalai, tahap negosiasi untuk penyelamatan kredit, pengumuman koran, hingga tahap penarikan (eksekusi) objek perjanjian leasing tersebut.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang dicita-citakan, maka pembangunan dilaksanakan secara menyeluruh di berbagai sektor kehidupan oleh pemerintah dan masyarakat. Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan perlu mendapatkan perhatian dan dukungan yang serius dari pemerintah yang berkewajiban mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suatu kondisi yang menunjang, sehingga dapat saling mengisi dan melengkapi dalam satu kesatuan langkah yang nyata.

Pada dasarnya kebutuhan hidup manusia semakin bertambah seiring dengan perkembangan taraf hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut sangat diperlukan sejumlah dana yang dalam dunia perekonomian lazim disebut dengan modal. Modal menjadi faktor yang paling penting dalam menunjang pengembangan kegiatan usahanya. Ditinjau berdasarkan taraf hidup dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka dapat ditemui adanya dua sisi yang berbeda, di satu sisi ada orang atau sekumpulan orang atau badan hukum yang memiliki kelebihan dana dan di sisi lain begitu banyaknya masyarakat baik perorangan maupun lembaga/badan usaha yang membutuhkan dana. Kondisi yang


(12)

demikian ini melahirkan hubungan timbal balik di antara mereka. Dengan adanya kelebihan dana, maka timbul suatu pemikiran untuk menginvestasikan dana tersebut pada suatu usaha yang menguntungkan secara ekonomis maupun sosial. Disinilah kemudian muncul lembaga-lembaga keuangan sebagai perantara yang menjembatani antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga keuangan merupakan perantara keuangan masyarakat.

Bank merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan untuk memberikan kredit, pinjaman dan jasa-jasa keuangan lainnya. Fungsi bank pada umumnya adalah melayani kebutuhan pembiayaan dan melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi banyak sektor perekonomian. Namun pada kenyataannya lembaga keuangan yang disebut “bank” ini tidak cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat, mengingat keterbatasan jangkauan penyebaran kredit, keterbatasan sumber dana dan keharusan memberlakukan prinsip bernuansa kehati-hatian. Hal ini semakin nyata terlihat dari banyaknya bank-bank yang ambruk dan di likuidasi.

Menyikapi berbagai kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan “bank” dalam menyalurkan kebutuhan dana, maka muncul lembaga lainnya yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel daripada bank. Lembaga inilah yang kemudian dikenal sebagai “lembaga pembiayaan”, yang menawarkan model-model


(13)

formulasi baru dalam hal penyaluran dana terhadap pihak- pihak yang membutuhkan. Salah satu lembaga pembiayaan tersebut adalah perusahaan leasing.

Usaha leasing di luar negeri sudah mengalami perkembangan yang lama sekali. Di Indonesia leasing baru mulai berkembang sejak dikeluarkanya peraturan kegiatan usaha leasing yang sementara masih terbatas dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian den Menteri Perdagangan Nomor 122/MK/IV/2/1979, nomor 32/M/SK/1974 dan nomor 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974. Beberapa tahun terakhir ini khususnya di kota-kota besar, telah berkembang perusahaan-perusahaan leasing. Bisnis leasing sudah merupakan cara baru untuk membiayai tambahan modal dalam menunjang perkembangan usaha1

Leasing bermula dari perjanjian sewa–beli yang hidup dan berkembang di

dalam masyarakat. Sewa–beli mulanya timbul untuk menjawab pertanyaan ”bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual mengalami permintaan untuk membeli barangnya, tetapi calon-calon pembeli tersebut tidak

.

Leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa yang kemudian

berkembang dan disebut dengan leasing atau kadang-kadang disebut sebagai lease saja, dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia, leasing sering di istilahkan dengan sewa guna usaha atau sewa pakai.

1

Amin Widjaja Tunggal, Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm 2.


(14)

mampu membayar harga barang-barang sekaligus, dimana penjual bersedia untuk menerima bahwa harga barang tersebut dicicil, tetapi ia juga memerlukan jaminan bahwa barangnya tidak akan dijual oleh pembeli sebelum harganya dibayar lunas?” 2

Dalam perkembangannya, leasing memperkenalkan suatu metode baru untuk memperoleh dan mendapatkan barang modal, yaitu dengan jalan membayar angsuran tiap bulan atau tiap triwulan kepada perusahaan leasing, sehingga lessee (penyewa barang modal, yang biasanya perusahaaan-perusahaan), dapat menggunakan barang Maka sebagai jalan keluarnya, ditemukan suatu macam perjanjian yaitu perjanjian sewa–beli, dimana selama harga belum dibayar lunas, si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya, tetapi harga sewa tersebut sebenarnya merupakan cicilan atas barang yang dibelinya. Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran yang terakhir.

Pada umumnya, objek pembiayaan leasing adalah barang–barang modal atau alat-alat produksi yang harganya sangat mahal. Namun, pada masa ini, penggunaan jasa leasing tidak lagi terfokus pada barang-barang modal atau alat-alat produksi saja. Tetapi menjadi lebih luas, mulai dari leasing barang modal yang terbilang mahal, seperti leasing pesawat terbang oleh perusahaan-perusahaan penerbangan, sampai kepada leasing atas barang keperluan kantor maupun keperluan sehari-hari, bahkan terhadap yang tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis, seperti leasing atas kendaraan bermotor untuk dipergunakan secara pribadi sehari-hari.

2


(15)

modal tanpa harus memilikinya. Bila perusahaan ingin membeli barang modal tersebut, maka hanya harga sisa yang telah disepakati bersama saja yang dilunasi, sedangkan harga barang modal yang digunakan perusahaan ditanggung oleh pihak

leasing. Pihak perusahaan mempunyai hak opsi dimana dapat memilih apakah akan

membeli atau memperpanjang pinjaman atau mengakhiri pinjaman leasing tersebut. Melalui lembaga leasing ini, lessee dapat memanfaatkan keberadaan barang modal yang bersangkutan, dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang optimal, tanpa harus memiliki terlebih dahulu. Berdasarkan pemikiran tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa lessee memperoleh keuntungan melalui penggunaan dari barang modal, bukan dari pemilikan barang modal.

Walaupun lembaga leasing sudah cukup populer dan telah menunjukkan perkembangan yang pesat dalam dunia bisnis (khususnya di Indonesia), namun dalam prakteknya sering timbul permasalahan antara lessor (perusahaan leasing) dan lessee (penyewa) dalam penggunaan jasa leasing. Berbagai persoalan dan yang utama serta paling sering adalah tertundanya pemenuhan kewajiban dari lessee pada lessor. Tidak terlaksananya kewajiban lessee seperti yang diperjanjikan, merupakan tindakan wanprestasi yang dalam perusahaan leasing. Permasalahannya baru muncul pada saat terjadi wanprestasi oleh lessee yang mengakibatkan lessor harus mengeksekusi objek


(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penulis membuat batasan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian pembiayaan leasing kendaraan bermotor

roda empat pada PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia ?

2. Bagaimana upaya PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia untuk mencegah

terjadinya wanprestasi ?

3. Bagaimana pelaksanaan eksekusi oleh PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia

dalam upaya menguasai kembali barang modal yang disewakan kepada lessee yang dalam keadaan wanprestasi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

a. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “Wanprestasi dan Eksekusinya pada Pelaksanaan Perjanjian Leasing di PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia” selain untuk melengkapi tugas-tugas dan persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum


(17)

Universitas Sumatera Utara, juga mempunyai tujuan pembahasan yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan, antara lain :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian pembiayaan leasing kendaraan

bermotor roda empat pada PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia ;

2. Untuk mengetahui upaya PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia untuk

mencegah terjadinya wanprestasi ; dan

3. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi oleh PT. Mitsui Leasing Capital

Indonesia dalam upaya menguasai kembali barang modal yang disewakan kepada lessee yang dalam keadaan wanprestasi.

b. Manfaat Penulisan.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Dari segi teoretis sebagai suatu bentuk peningkatan pengetahuan penulis di bidang hukum perdata dagang, khususnya dalam penerapan wanprestasi dan eksekusinya pada pelaksanaan perjanjian leasing.

2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan

bagi para pihak yang berkepentingan.


(18)

Skripsi yang berjudul “Wanprestasi dan Eksekusinya pada Pelaksanaan Perjanjian Leasing di PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia” ini adalah merupakan hasil karya tulis penulis sendiri. Dari hasil peninjauan kepustakaan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis ada menemukan perihal wanprestasi dalam perjanjian leasing yang dibuat sebagai judul pada skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu : Upaya Hukum Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Leasing pada PT. Saseka Gelora Finance.

Namun pokok permasalahan yang diangkat penulis sebagai judul dalam penulisan skripsi ini belum pernah dibahas dalam skripsi-skripsi yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan karya tulis ini terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Wanprestasi

Setiap perjanjian akan menimbulkan adanya prestasi. Prestasi adalah segala sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Apabila prestasi tersebut tidak dilaksanakan, maka akan terjadi wanprestasi. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu wanbeheer yang artinya pengurusan buruk dan wandaad yang artinya perbuatan buruk. Maka


(19)

wanprestasi adalah tidak memenuhi yang diwajibkan seperti yang ditetapkan dalam perikatan.3

Dalam Black’s Law Dictionary, wanprestasi (default) diartikan sebagai:4

Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa wujud dari tidak memenuhi perikatan atau wanprestasi ada tiga macam, yaitu:

“ default: by its derivation, a failure an omission of that which ought to be

done, specially, the omission or failure to perform a legal or contractual duty; to observe a promise or discharge an obligation (e.g. to pay interest or principal on a debt when due) or to perform an agreement.”, yang artinya

wanprestasi adalah kelalaian yang dilakukan, khususnya kelalaian atau kegagalan untuk melakukan kewajiban hukum ataupun perjanjian, untuk melaksanakan janji ataupun kewajiban (misalnya untuk membayar bunga atau hutang pokok pada saat jatuh tempo) atau untuk menjalankan perjanjian.

5

c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi.” “a. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi;

b. Debitur terlambat memenuhi prestasi;

3

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 203

4

Henry Campbell Black,M.A, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minn: West Publishing. Co, 1983), hlm 217.

5

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001),hlm 18.


(20)

Menurut Subekti, wanprestasi ada empat macam, yaitu :6

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana

yang diperjanjikan;

“a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

c. Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.”

Pada umumnya, suatu wanprestasi baru dapat terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya atau dengan kata lain wanprestasi ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu diluar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan tenggang waktunya, maka kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut sommatie.

Menurut Subekti, ada empat sanksi yang dapat dikenakan kepada debitur yang lalai, yaitu:7

b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; “a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau disebut ganti

rugi;

6

R. Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta: P.T. Pembimbing Masa, 1970), hlm 50.

7


(21)

c. Peralihan risiko;

d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka

hakim.”

Menurut Abdul Kadir Muhammad, akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut: 8

2. Eksekusi

“a. Debitur diharuskan ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);

b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari suatu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata); c. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu;

d. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR;

e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (1267 KUH Perdata).”

Eksekusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai: 9

a. Pelaksanaan putusan hakim, pelaksanaan hukuman badan peradilan,

b. Penjualan harta orang karena berdasarkan penyitaan

8

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1982), hlm 6.

9

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005) hlm 288.


(22)

M. Yahya Harahap, dalam bukunya Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Perdata, memberikan pengertian eksekusi sebagai berikut: 10

Pedoman tentang tata cara eksekusi diatur di dalam HIR atau RBG, yaitu terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBG. Cara–cara menjalankan eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal ini berlaku. Yang masih berlaku adalah Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling), tidak lagi diberlakukan secara efektif.

“Eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara.”

11

Eksekusi dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :12

a. Eksekusi Riil, yaitu eksekusi yang hanya mungkin terjadi berdasarkan

putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau riil yang : 1. Telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (res judicata);

10

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm 1.

11

Ibid.

12


(23)

2. Bersifat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad,

provisionally enforceable);

3. Berbentuk provisi (interlocutory injunction); 4. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.

b. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas bentuk

akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, berupa:

a. Grosse akta pengakuan hutang;

b. Grosse akta hipotek; c. Crediet verband ;

d. Hak Tanggungan ;

e. Jaminan Fidusia

3. Leasing

Istilah leasing berasal dari kata lease dalam bahasa inggris yang berarti sewa. Perjanjian leasing salah satu jenis pembiayaan perusahaan yang merupakan hasil modifikasi dari perjanjian sewa-menyewa.


(24)

Menurut Henry Campbell Black, istilah lease dijelaskan sebagai berikut:13

Equipment Leasing Association di London (Inggris), memberikan

definisi sebagai berikut:

“an agreement which give rises to relationship of landlord and tenant (real property) or lessor and lessee (real or personal property)”, yang

artinya leasing adalah sebuah persetujuan untuk menimbulkan hubungan antara pemilik tanah dengan petani (benda tidak bergerak) atau antara

lessor dan lessee (benda bergerak atau tidak bergerak).

14

Perjanjian leasing sesuai dengan Perpres Nomor 9 Tahun 2009 adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha “Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih / ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan

lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan

pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu”

13

Henry Campbell Black,M.A, , op.cit, hlm 461.

14


(25)

(lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.”15

a. Jenis Penelitian

F. Metode Penulisan

Dalam setiap usaha penulisan haruslah menggunakan metode penulisan yang sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut:

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis untuk melakukan penelusuran terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta memperoleh data/keterangan yang terdapat dalam literature, jurnal/hasil penelitian, koran, situs internet dan sebagainya. Metode pendekatan kualitatif bermanfaat untuk

15

Iswi Hariyani, R. Serfianto. D.P., Gebyar Bisnis dengan Cara Leasing, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hlm 67.


(26)

melakukan analisis data secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic).16

b. Data dan Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum perdata yang mengikat, antara lain KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yakni kamus hukum, dan lain-lain.

16

Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1996), hlm 22.


(27)

c. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis pada prinsipnya bertendensi pada penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan cara

mengumpulkan literatur dengan sumber data berupa bahan hukum primer dan/atau sekunder yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

Untuk memperoleh data pendukung maka dilakukan wawancara secara mendalam (in depth interviewing) dengan menggunakan petunjuk umum yang telah dipersiapkan terlebih dahulu pada informan yang mengetahui pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian.17

d. Analisis Data

Penelitan yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :

1. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan

yang diteliti;

17


(28)

2. Memilih kaidah-kaidah hukum, azas, atau doktrin yang sesuai dengan penelitian ;

3. Mensistematiskan kaidah-kaidahhukum, azas, atau doktrin ;

4. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal, atau

doktrin yang ada ; dan

5. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif maupun induktif

sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah disusun.

G. Sistematika Penulisan

Pada dasarnya, sistematika adalah gambaran-gambaran umum dari keseluruhan isi penulisan ini, sehingga mudah dicari hubungan antara satu pembahasan dengan pembahasan yang lain yang teratur menurut sistem.

Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan jangkauan penulisan dan pembahasan bab yang dimaksudkan.

Berikut ini garis besar / sistematika dari penulisan ini, yaitu :


(29)

Dalam bab ini diuraikan segala hal yang umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

Dalam bab ini diuraikan segala hal yang umum tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, wanprestasi dan akibatnya dalam perjanjian, serta eksekusi dan jenis-jenisnya.

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN LEASING

Dalam bab ini diuraikan segala hal yang umum tentang pengertian perjanjian

leasing, dasar hukum perjanjian leasing, jenis-jenis perjanjian leasing, peranan

perjanjian leasing, manfaat perjanjian leasing, perbedaan perjanjian leasing dengan perjanjian lainnya, prosedur terjadinya perjanjian leasing, subjek dan objek perjanjian

leasing, serta hak dan kewajiban lessor dan lessee.

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN LEASING PADA PT. MITSUI LEASING CAPITAL INDONESIA

Dalam bab ini dibahas secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan judul karya ilmiah yang diajukan. Dalam bab ini diuraikan tentang pelaksaan


(30)

perjanjian leasing kendaraan bermotor roda empat dengan jaminan BPKB pada PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia, prinsip-prinsip yang diterapkan PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia dalam memilih calon lessee, faktor-faktor penyebab terjadinya wanprestasi pada perjanjian leasing di PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia, upaya yang dilakukan terhadap adanya wanprestasi dalam perjanjian leasing pada PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia, dan pelaksanaan eksekusi oleh PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia dalam upaya menguasai kembali barang modal yang disewakan kepada lessee yang dalam keadaan wanprestasi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari hal-hal yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Penulis akan mencoba untuk memberikan saran-saran yang berguna bagi proses perkembangan permasalahan wanprestasi dan eksekusinya dalam pelaksanaan perjanjian leasing.


(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata, perjanjian didefenisikan sebagai:

“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.18

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan juga terlalu luas.19

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Kelemahannya antara lain:

Frase tersebut dapat dilihat dalam perumusan “satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, dan bukan dari dua belah pihak. Frase ini seharusnya dirumuskan dengan “saling mengikatkan diri”, sehingga terjalin makna konsensus antara pihak-pihak.

2. Kata “perbuatan” mencakup tanpa konsensus.

18

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 91.

19


(32)

Dalam pengertian “perbuatan” tercakup tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung makna suatu konsensus. Oleh karenanya, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut dinilai terlalu luas karena kata perjanjian dapat mencakup juga dalam perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Adapun yang dimaksudkan dalam perjanjian ini hanyalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaaan yang bersifat kebendaan.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan batasan tujuan untuk mengadakan perjanjian. 20

Untuk memperjelas pengertian perjanjian itu sendiri, maka harus diperhatikan dalam doktrin (teori lama), dimana yang disebut perjanjian adalah: “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.21

Para ahli hukum memberikan suatu pengertian perjanjian yang berbeda-beda. Menurut Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian adalah: ”Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal

20

Abdulkadir Muhammad, op. cit, hlm 224.

21

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 15.


(33)

dalam lapangan harta kekayaan”, Persetujuan ini merupakan arti yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang. Sedangkan Subekti memberikan pengertian perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.22

Apabila diperinci makna dalam definisi-definisi yang dirumuskan oleh para sarjana ahli hukum dan doktrin yang berkembang, maka perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 23

1. Ada pihak – pihak, sedikitnya dua orang (subjek), 2. Ada persetujuan antara pihak – pihak (konsensus),

3. Ada objek yang berupa benda,

4. Ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan), 5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tulisan).

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract ).24

22

Joko Hartanto, http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/ HASH2ed0/ b3c28f12.dir/doc.pdf, diakses pada 14 November 2010.

23


(34)

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan memenuhi syarat-syarat perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Sepakat mereka yang mengikatkan diri artinya pihak-pihak yang mengikatkan perjanjian ini mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak, mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak.

Menurut Sudikno Mertokusumo, ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan:25

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.karena

dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

24

Ibid, hlm 229. 25


(35)

e. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuannya adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 26

a. Salah pengertian (dwaling) atau kekeliruan;

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian tidak dianggap sah jika kesepakatan itu diberikan karena:

b. Pemerasan atau dipaksakan (dwang);

c. Adanya penipuan (bedrog).

Persetujuan yang diberikan karena salah pengertian, paksaan dan penipuan, disebut dengan “persetujuan kehendak yang cacat” (wilsgebrek). Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan pembatalan

(vernietigbaar), tapi bukan batal dengan sendirinya. Hal ini tidak mengurangi

pendapat, bahwa terhadap persetujuan yang diperoleh dengan dwaling, dwang

26


(36)

dan bedrog mereka anggap “batal dengan sendirinya” (Van Rechts Wege

Nietig).27

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan artinya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”, sedangkan orang – orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam membuat persetujuan diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu :

a. Orang-orang yang belum dewasa.

Pada umumnya seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun.28

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang-orang yang disebut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri

27

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hlm 25.

28


(37)

harus ada izin suaminya. Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Nomor

1 Tahun 1974 jo SEMA No.3 Tahun 1963.29

3. Suatu hal tertentu

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang yang jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh undang-undang. Menurut Pasal 1334 KUH Perdata, objek itu bisa terdiri dari barang yang di “harapkan” dimasa yang akan datang.

Isi Pasal 1334 KUH Perdata : “barang – barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepas suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan mengenai suatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178”.

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Pada Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal (geoorloofde oorzaak). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya

29


(38)

disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan “ suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Kata ‘causa’ berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.30

Hoge Raad (1927) mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh, A menjual sepeda motor kepada B. tetapi sepeda motor yang dijual A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak

30


(39)

mencapai tujuan dari pihak B. karena B menginginkan barang yang dibelinya itu adalah barang yang sah.31

Para ahli tidak memiliki kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian. Masing-masing ahli mempunyai pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berikut jenis-jenis perjanjian tersebut:

C. Jenis- Jenis Perjanjian

32

1. Perjanjian menurut sumbernya

Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber hukumnya menjadi lima macam, yaitu:

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti perkawinan;

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan

dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan

bewijsovereenkomst;

31

Salim H.S, op. cit., hlm 25

32


(40)

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan

publiekrechtelijke overeenkomst.

2. Perjanjian menurut namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1319 KUH Perdata; artikel 1355 NBW. Dalam Pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW, disebutkan 2 (dua) macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama).

Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. Terdapat 15 (lima belas) jenis perjanjian nominaat yang diatur di dalam KUH Perdata, seperti jual–beli, tukar–menukar, sewa–menyewa, perjanjian melakukan pekerjaan, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam–meminjam, bunga tetap/abadi, perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUH Perdata. Contohnya seperti leasing, beli sewa, franchise, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain.

Selain dari 2 jenis kontrak di atas, Vollmar mengemukakan jenis kontrak campuran, yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam titel I, II


(41)

dan IV. Berdasarkan jenis kontrak ini, di dalam perjanjian ini terdapat ketentuan – ketentuan khusus yang sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, misalnya pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) yang menyewakan kamar-kamar (sewa-menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak ini disebut juga dengan Contractus Sui

Generis.

3. Perjanjian menurut bentuknya.

Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu kontrak lisan dan kontrak tertulis.

a. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja (Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi. Yang termasuk kedalam perjanjian ini adalah perjanjian konsensual dan riil.

Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang terjadi apabila ada kesepakatan para pihak, sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (seperti adanya penyerahan barang).


(42)

b. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat para pihak dalam bentuk tulisan. Contoh ketentuan ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah, yang harus dilakukan dengan akta notaris.

Kontrak tertulis dapat dibagi dalam 2 (dua) macam yaitu dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta notaris. Akta dibawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik adalah merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.

4. Perjanjian timbal balik

Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Menurut Achmad Ichsan, perjanjian ini terbagi atas dua macam yaitu, perjanjian persetujuan sepihak dan timbal balik.

Dalam persetujuan sepihak hanya terdapat satu pihak yang dibebani kewajiban pokok, sedangkan yang lainnya hanya berhak. Prestasi hanya dipenuhi oleh satu pihak, untuk mana ia terikat. Contohnya perjanjian jaminan, penghibahan.


(43)

Sedangkan pada perjanjian timbal balik, kedua belah pihak saling berkewajiban dan saling berhak, sehingga keduanya wajib memberikan prestasi. Contohnya perjanjian jual beli, sewa–menyewa.33

5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan alas hak yang membebani

Menurut Vollmar, penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian yang menurut hukum hanya menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian yang disamping prestasi pihak yang satu dan senantiasa ada kontra prestasi dari pihak lain, yang menurut hukum saling berhubungan. Misalnya, A menjanjikan kepada B sesuatu dengan jumlah tertentu, B menyerahkan sebuah benda tertentu kepada A.34

Perjanjian dengan alas hak yang membebani terbagi dalam dua bagian yaitu: 35

a. Persetujuan pembalasan ialah persetujuan yang menekankan bahwa

berhadapan dengan prestasi pihak yang satu ada keharusan prestasi dari pihak yang lain, seperti persetujuan jual beli, sewa–menyewa.

33

Achmad Ichsan, Hukum Perdata 1B, (Jakarta : P.T Pembimbing Masa, 1969) , hlm 28.

34

Salim H.S, op. cit., hlm 20.

35


(44)

b. Persetujuan aleatoir ialah persetujuan dalam mana kewajiban pihak satu atau pihak kedua-duanya tergantung kepada kejadian yang belum pasti akan terjadi, seperti perjanjian asuransi.

6. Perjanjian berdasarkan sifatnya

Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenkomst) dan perjanjian obligatoir.

Dalam pemilikan selalu terdapat persetujuan penyerahan barang yang disebut perjanjian obligatoir, yang menimbulkan hak perseorangan. Seperti pembeli mempunyai hak untuk menuntut penyerahan terhadap penjualnya, sedangkan penyerahannya sendiri disebut dengan persetujuan kebendaan.36

7. Perjanjian berdasarkan aspek larangannya

Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi 13 (tiga belas) jenis, antara lain : 37

a. Perjanjian oligopoli,yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha lainnya secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat

36

Ibid.

37


(45)

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat;

b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan. Pengecualian dari ketentuan ini adalah suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku;

c. Perjanjian dengan harga yang berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha, yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang seharusnya dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda;

d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang

dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang di bawah harga pasar. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;

e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan. Persyaratannya adalah penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat;


(46)

f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat; g. Perjanjian pemboikotan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku usaha lain melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri;

h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan jasa, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama


(47)

menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan;

k. Perjanjian integrasi vertikal, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Perjanjian ini dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat;

l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu; m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara

pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya di luar negeri dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

D. Wanprestasi dan Akibatnya dalam Perjanjian

Pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi. Dan jika debitur tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa, maka ia


(48)

dianggap melakukan ingkar janji. Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah keadaan dimana debitur tidak memenuhi prestasi (ingkar janji) yang telah diperjanjikan.

Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu:38

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban

maupun karena kelalaian

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, di luar kemampuan

debitur. Debitur dalam pengertian ini dianggap tidak bersalah.

Dalam membicarakan wanprestasi, kita tidak bisa terlepas dari masalah pernyataan lalai (ingerbrekke stelling) dan kelalaian (verzuim). 39Wanprestasi terbagi atas tiga bentuk, antara lain : 40

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasinya sama sekali;

2. Memenuhi prestasinya tetapi tidak tepat waktunya

38

20 Desember 2010.

39

M. Yahya Harahap., op.cit, hlm 60.

40


(49)

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, wanprestasi ada empat macam, yaitu :41

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang

diperjanjikan;

c. Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Apabila terjadi wanprestasi, ada kemungkinan bahwa pihak yang berhak masih menuntut adanya pelaksanaan dari perjanjian itu. Apabila hal ini sama sekali tidak dimungkinkan, maka adanya wanprestasi ini dapat mempunyai akibat-akibat sebagai berikut :42

41

R. Subekti, loc. cit.

42


(50)

1. Resiko terhadap sesuatu benda, yang menurut undang-undang menjadi tanggung jawab dari kreditur, berpindah kepada debitur apabila ini telah terbukti melakukan mora debitoris.

2. Dengan adanya wanprestasi dapat diadakan tuntutan ganti rugi.

3. Untuk persetujuan–persetujuan timbal balik, tuntutan memuat Pasal 1266

(pemutusan persetujuan) dapat dilakukan.43

4. Bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dapat juga

diadakan tuntutan hak reklame.

Dalam hal wanprestasi dapat menimbulkan akibat keharusan atau kemestian bagi debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding. Hal ini dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No. 70 HK/ Sip/1972 : apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual beli.44

Sedangkan tentang ganti rugi dapat kita lihat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang berisi “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu”.

43

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa unutk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya. Jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

44


(51)

Mengenai ganti rugi, terdapat pengecualian terhadap debitur yang karena

overmacht atau karena toeval tidak berkesempatan melakukan kewajibannya

(menyerahkan, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu), maka ganti rugi itu ditiadaan. Pengecualian terhadap ganti rugi ini terdapat di dalam Pasal 1245 KUH Perdata, yang menyatakan “ tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan, atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Jadi alasan untuk bebas dari pemberian ganti rugi adalah adanya overmacht bagi pihak debitur.

Kewajiban ganti rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur setelah debitur dinyatakan lalai. Dengan kata lain harus ada pernyataan lalai dari kreditur (debitur harus berada dalam

in gebrekke stelling atau in mora stelling).45

Pernyataan berada dalam keadaan lalai ini ditegaskan dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yang berbunyi “penggantian pengongkosan, kerugian dan bunga, baru merupakan kewajiban yang harus dibayar debitur, setelah ia untuk itu ditegur kealpaannya melaksanakan perjanjian, akan tetapi sekalipun sudah ditegur ia tetap juga melalaikan peringatan dimaksud”. Dari ketentuan di atas terdapat asas umum

45


(52)

bahwa untuk lahirnya kewajiban ganti rugi, debitur harus terlebih dahulu diletakkan dalam keadaan lalai, melalui prosedur peringatan/pernyataan lalai.

Mengenai kapan seseorang baru dapat dikatakan lalai atau wanprestasi, dapat kita lihat dari Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyebutkan : ”si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan”.

Menurut Subekti, ada empat sanksi yang dapat dikenakan kepada debitur yang lalai, yaitu:46

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau disebut ganti rugi; 2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; 3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.

Pada Pasal 1240 dan 1241 KUH Perdata, diatur mengenai pihak yang berhak dapat menuntut :

1. Penghapusan hak-hak yang telah dilakukan oleh pihak wajib yang merupakan

pelanggaran janji

2. Mengerjakan sendiri hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak wajib atas

biayanya.47

46


(53)

Isi Pasal 1240 KUH Perdata : “Dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tidak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu”.

Pasal 1241 KUH Perdata “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang”.

E. Eksekusi dan Jenis-Jenisnya

Istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan putusan. Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi merupakan tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi dapat pula diartikan menjalankan putusan pengadilan, yang melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau

47


(54)

menjalankan secara sukarela. Eksekusi dapat dilakukan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap. 48

Pedoman tentang tata cara eksekusi diatur di dalam HIR atau RBG, yaitu terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBG. Pada bagian tersebut telah diatur pasal – pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan mulai dari :49

1. Tata cara peringatan (aanmaning); 2. Sita eksekusi (executoriale beslag); dan 3. Penyanderaan (gijzeling).

Cara–cara menjalankan eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal ini berlaku. Yang masih berlaku adalah Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling), tidak lagi diberlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan

48

Victor M Situmorang, Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan

Eksekusi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm 119. 49


(55)

pengadilan tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya

melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.50

Eksekusi dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :

Di samping itu, terdapat lagi Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBG yang mengatur tentang pelaksanaan putusan secara serta–merta (uitvoerbaar bij voorraad) atau provisionally enforceable (to have immediately effect), yaitu pelaksanaan putusan segera dapat dijalankan lebih dahulu, sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun ketentuan pasal–pasal tersebut tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat dalam asas-asas hukum, yurisprudensi, maupun praktik peradilan sebagai alat pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul, seperti memecahkan masalah eksekusi antara instansi pengadilan dengan PUPN, tidak bisa dipecahkan tanpa mengaitkan aturan pasal-pasal eksekusi dengan Undang-Undang Nomor 49 Prp/1960, sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan parate eksekusi (parate executie) yang dilimpahkan undang–undang kepada instansi PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Selain itu, peraturan yang berhubungan erat dengan eksekusi adalah Peraturan Lelang No.189 / 1980 (Vendu Reglement St.1908 / no.189).

51

50

Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling), tidak lagi diberlakukan secara efektif dengan diterbitkannya SEMA Nomor 2 Tahun 1964 pada tanggal 22 Januari 1964. Namun cara penerapan penyanderaan pada SEMA tersebut dianggap tidak realistis, karena terdapat celah bagi debitur untuk terbebas dari kesalahannya dengan cara licik. Maka untuk menyempurnakan SEMA Nomor 2 Tahun 1964 tersebut, diterbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.


(56)

1. Eksekusi Riil, yaitu eksekusi yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau riil yang :

c. Telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (res judicata);

d. Bersifat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad, provisionally

enforceable);

e. Berbentuk provisi (interlocutory injunction); f. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.

2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas bentuk akta

yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, berupa:

f. Grosse akta pengakuan hutang;

g. Grosse akta hipotek; h. Crediet verband ;

i. Hak Tanggungan ;

j. Jaminan Fidusia

51


(57)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN LEASING

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Leasing

1. Pengertian Perjanjian Leasing

Sewa guna usaha (leasing) adalah salah satu jenis pembiayaan perusahaan yang merupakan hasil modifikasi dari perjanjian sewa-menyewa. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, lease yang artinya sewa menyewa. karena leasing sebenarnya adalah perjanjian sewa menyewa yang telah berkembang di kalangan para pengusaha, dimana lessor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu barang modal kepada lessee (penyewa) untuk suatu jangka waktu tertentu.52

52

R. Subekti, op.cit. hlm.55.

Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Perindustrian, dan Perdagangan yang dimaksud dengan leasing adalah

“setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai-nilai sisa yang disepakati.”


(58)

Selain pengertian leasing yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama, juga terdapat beberapa pengertian yang dipaparkan oleh para ahli hukum Indonesia. Menurut Subekti, leasing adalah “perjanjian sewa-menyewa yang telah berkembang dikalangan pengusaha, dimana lessor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk servis, pemeliharaan, dan lain – lain kepada lessee (penyewa) untuk suatu jangka waktu tertentu.”53

a. Leasing sama dengan sewa – menyewa.

Subekti mengkonstruksikan leasing sebagai berikut:

b. Subjek hukum yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah pihak lessor dan

lessee.

c. Objeknya perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk pemeliharaan

dan lain – lain.

d. Adanya jangka waktu sewa.

Kelemahan dari definisi ini adalah tidak mencantumkan hak opsi dan jumlah angsuran yang harus dibayarkan oleh pihak lessee, padahal hakikat dari lembaga

leasing adalah ada atau tidaknya hak opsi.

53


(59)

Berdasarkan konsep The International Accounting Standard, sewa guna usaha (leasing) adalah “suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.”54

Definisi lain, dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, leasing adalah “suatu perjanjian dimana si penyewa barang modal (lessee) menyewa barang modal untuk usaha tertentu, untuk jangka waktu tertentu, dan jumlah angsuran tertentu”. Definisi ini dibuat dengan memandang bahwa institusi leasing merupakan suatu kontrak atau perjanjian antara pihak lessee dengan pihak lessor terdapat hubungan hukum sewa – menyewa. objek yang disewa adalah barang modal. Jangka waktu dan jumlah angsuran ditentukan oleh para pihak.55

54

Juli Irmayanto, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2004), hlm 149.

55

Salim H.S, loc. cit.

Sedangkan Siti Ismijati Jenie mendefinisikan leasing sebagai :

“suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (lessor) tanpa melepaskan hak miliknya mengikatkan dirinya untuk memberikan hak pakai atas alat-alat produksi atau batrang-barang modal yang dimilikinya kepada pihak lain (lessee) yang bermaksud mempergunakan benda tersebut tanpa memilikinya untuk suatu jangka waktu tertentu yang berkaitan dengan umur ekonomis benda tersebut, dan oleh karena itu mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah disepakati bersama.”


(60)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka secara prinsipil pengertian perjanjian leasing yang dipaparkan memiliki makna yang sama dan mengandung beberapa unsur sebagai berikut : 56

a. Suatu pembiayaan perusahaan.

Awal mulanya leasing memang dimaksudkan sebagai usaha memberikan

kemudahan pembiayaan kepada perusahaan tertentu yang memerlukannya. Tetapi dalam perkembangan kemudian, bahkan leasing dapat juga diberikan kepada individu dengan peruntukan barang yang belum tentu untuk kegiatan usaha.

b. Penyediaan barang modal.

Unsur selanjutnya dari leasing adalah adanya penyediaan barang modal oleh pihak supplier atas biaya dari lessor. Barang modal tersebut akan dipergunakan oleh lessee umumnya untuk kepentingan bisnisnya. Barang modal ini sangat bervariasi. Dapat misalnya berupa mesin-mesin, pesawat terbang, peralatan kantor seperti komputer, mesin foto copy, kendaraan bermotor dan sebagainya.

c. Keterbatasan jangka waktu.

56

Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam teori dan praktek, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm 11.


(61)

Salah satu unsur penting dari lembaga leasing adalah adanya jangka waktu yang terbatas. Dengan demikian apabila ada kesepakatan yang tidak terbatas jangka waktunya, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai leasing, melainkan sewa-menyewa biasa. Biasanya dalam kontrak leasing ditentukan untuk berapa tahun leasing tersebut dilakukan. Selanjutnya setelah jangka waktu tertentu tersebut berakhir, ditentukan pula bagaimana status kepemilikan dari barang tersebut. Biasanya pada saat jangka waktu yang ditentukan oleh kontrak leasing berakhir, kepada lessee diberikan “hak opsi” yakni pilihan apakah lessee akan membeli barang tersebut pada harga yang terlebih dahulu disepakati bersama, atau lessee tetap menyewa,ataupun mengembalikan barang kepada pihak lessor.

Dalam hubungan leasing dengan hak opsi, maka oleh Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991, tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) ditentukan bahwa jangka waktu leasing ditetapkan dalam tiga kategori sebagai berikut:

1) Jangka Singkat, yaitu minimal dua tahun, dan berlaku bagi barang modal golongan I;

2) Jangka Menengah, yaitu minimal tiga tahun, dan berlaku bagi barang


(62)

3) Jangka Panjang, yaitu minimal tujuh tahun, dan berlaku bagi golongan bangunan. Penggolongan barang modal kepada golongan I, II dan III tersebut sesuai penggolongan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

d. Pembayaran kembali secara berkala.

Setelah lessor telah membayar lunas harga barang modal kepada pihak penjual (supplier), maka adalah kewajiban lessee untuk mengangsur pembayaran kembali harga barang modal kepada lessor. Jika menilik kepada besarnya dan lamanya angsuran, maka leasing mirip dengan suatu kredit bank, dengan barang itu sendiri sebagai jaminan / agunannya.

e. Hak opsi untuk membeli barang modal.

Hak opsi yang dimiliki oleh lessee untuk membeli barang modal pada saat dan syarat tertentu, juga merupakan salah satu unsur dari leasing. Artinya, di akhir masa leasing, diberikan hak (bukan kewajiban) kepada

lessee untuk membeli barang modal tersebut dengan harga yang bersangkutan

atau tidak. Meskipun demikian, tidak semua jenis leasing memberikan hak opsi ini karena ada juga jenis leasing yang sama sekali tidak memberikan hak opsi tersebut kepada lessee, melainkan harus menyerahkan kembali barang modal tersebut kepada pihak lessor di akhir masa leasing.


(63)

f. Nilai Sisa.

Nilai sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali kepada lessor oleh lessee diakhir masa berlakunya leasing atau pada saat lessee mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya telah ditentukan terlebih dahulu secara bersama dalam kontrak leasing.

2. Dasar hukum leasing

Pada saat mulai masuk dan berkembangnya kegiatan usaha leasing di Indonesia, peraturan tentang leasing dapat dikatakan masih sangat sederhana, dan pelaksanaannya hanya didasarkan pada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada (Surat Keputusan Tiga Menteri tahun 1974). Peraturan lainnya kemudian di keluarkan untuk mengatur perihal perjanjian – perjanjian dan kegiatan – kegiatan leasing di Indonesia, terutama yang bersifat administratif. 57

Menurut Gani Djemat, dasar hukum secara umum yang melandasi perjanjian

leasing di Indonesia antara lain adalah sebagai berikut :58

a. Asas Konkordansi Hukum berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

atas Hukum Perdata yang berlaku bagi penduduk Eropa.

57

Amin Widjaja Tunggal, Arif Djohan Tunggal, op.cit, hlm 11.

58


(64)

b. Pasal 1338 KUH Perdata mengenai Asas Kebebasan Berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam Bab I Buku III KUH Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kepentingan / kebijaksanaan umum (public policy) dan kesusilaan.

c. Pasal 1548 sampai 1580 KUH Perdata (Buku III Bab VII), yang berisikan

ketentuan-ketentuan tentang sewa-menyewa sepanjang tidak diadakan penyimpangan oleh para pihak. Pasal – pasal ini membahas hak dan kewajiban lessor dan lessee.

Selain dasar hukum secara umum di atas, terdapat dasar-dasar hukum yang secara khusus yang melandasi perjanjian leasing di Indonesia baik terkait secara langsung maupun yang tidak terkait secara langsung, antara lain :59

a. Dasar hukum yang terkait langsung dengan kegiatan usaha leasing, meliputi:

1) Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga

Pembiayaan

2) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 84/PMK.012/2006 tentang

Perusahaan Pembiayaan

59


(65)

3) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non-Bank

4) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 166/PMK.010/2008 tentang

Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan

5) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 81/PMK.03/2009 tentang

Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurang Sebagai Biaya

6) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1169/KMK.010/1991 tentang

Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)

7) Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor PER-03/BL/2008 tentang Penilaian

Kemampuan dan Kepatutan Bagi Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan

8) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan

RI, Nomor KEP-1500/LK/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan dan Penyampaian Laporan Perusahaan Pembiayaan

b. Dasar hukum yang tidak terkait langsung antaranya adalah:


(66)

2) Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999)

3) Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (UU 3/1982)

4) Undang-Undang Dokumen Perusahaan (UU 8/1997)

5) Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU 40/2007)

6) Undang-Undang Perkoperasian (UU 25/1992)

7) Undang-Undang Penanaman Modal (UU 25/2007)

8) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (UU 37/2004)

9) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU

30/1999)

10) Undang-Undang Pajak Penghasilan-PPh (UU 7/1983 jo UU 36/2008)

11) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai/PPN (UU 8/1983 jo UU

42/2009)

12) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 15/2002 jo UU


(1)

2. Upaya yang dilakukan PT. Mitsui Leasing untuk menghindari terjadinya wanprestasi adalah dengan melakukan analisa kredit dalam memilih calon lesseenya. Analisa kredit yang diterapkan yaitu berupa prinsip 5 C (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition Of Economic), prinsip 5 P ( Party, Purpose, Payment , Prospect dan Protection) dan prinsip 3 R (Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability). Selain itu sebelum dilakukannya eksekusi, PT. Mitsui Leasing melakukan upaya-upaya sebagai berikut:

a. Melakukan pemberitahuan tentang hal keterlambatan pembayaran melalui telepon dan surat menyurat yaitu surat pemberitahuan dan surat peringatan dari pengacara lessor.

b. Negosiasi untuk melakukan penyelamatan kredit yaitu berupa rescheduling, reconditioning, Restructuring, novasi dan sale and lease back.

c. Pengumuman koran

3. Dalam hal terjadinya wanprestasi, berdasarkan Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 tahun 1999, ketentuan tentang eksekusi yang diatur dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Mitsui Leasing dalam Pasal 9 ayat (2) dan Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah batal demi hukum karena ketentuan yang diperjanjikan dalam perjanjian pembiayaan Konsumen bertentangan dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia Tahun 1999. Dengan demikian ketentuan yang diberlakukan


(2)

adalah ketentuan eksekusi yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Akan tetapi oleh karena objek perjanjian leasing tidak didaftarkan dan tidak dibuat dalam akta notariil, maka keistimewaan eksekusi berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 (eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, parate eksekusi melalui pelelangan umum, dan penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak) tidak dapat dinikmati. Dengan demikian, eksekusi hanya dapat dilaksanakan dengan cara pengajuan permohonan gugatan kepada Pengadilan Negeri.

B. Saran

1. Dalam klausula-klausula perjanjian pembiayaan yang dibuat oleh PT. Mitsui Leasing masih terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Oleh karenanya, perjanjian pembiayaan tersebut hendaknya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, sehingga perjanjian pembiayaan tersebut tidak batal demi hukum. 2. Walaupun dalam perjanjian pembiayaan pada PT. Mitsui Leasing telah

diperjanjikan tentang dilakukannya jaminan secara fidusia, serta telah diberikannya kuasa kepada lessor untuk melakukan pendaftaran terhadap jaminan tersebut, namun pendaftaran terhadap jaminan fidusia tidaklah dilakukan. Dengan demikian, hak-hak istimewa yang terdapat dalam jaminan fidusia tidak dapat dinikmati oleh PT. Mitsui Leasing. Oleh karenanya, PT Mitsui Leasing seharusnya mendaftarkan objek perjanjian leasing dan dibuat


(3)

dalam akta notariil, sehingga kelak bila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee, PT. Mitsui Leasing dapat melakukan tindakan eksekusi sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian yang telah disesuaikan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Ashyadie, Zaeni, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing. Co, St. Paul, Minn, 1983.

Fuady, Munir, Hukum tentang Pembiayaan dalam teori dan praktek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Harahap M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

---, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Hariyani, Iswi, Serfianto. D.P., Gebyar Bisnis dengan Cara Leasing, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011.

Ichsan, Achmad, Hukum Perdata 1B, P.T Pembimbing Masa, Jakarta, 1969.

Irmayanto, Juli, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2004.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

Maleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.


(5)

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Situmorang, Victor M, Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Soekadi, Eddy P, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Subekti , R, Hukum Perjanjian, P.T. Pembimbing Masa, Jakarta, 1970. ---, Aneka Perjanjian, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan , Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Triandaru, Sigit, Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2008.

Tunggal, Amin Widjaja, Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

II. Internet

“BAB II. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia pada

Lembaga Pembiayaan Konsumen”,

Hartanto, Joko, http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH2ed0/ b3c28f 12.dir/doc.pdf.

“Sekilas Mitsui Leasing”

“Wanprestasi”,

“Resiko Wanprestasi (force major)”,

Grace P. Nugroho, “Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta

di Bawah Tangan”,

legalbanking.wordpress.com/2009/04/05/studi-skmht-dalam-perjanjian-kpr-btn III. Peraturan Perundang-undangan.


(6)

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Jaminan Fidusia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

IV. Artikel.

Harian Analisa halaman 20, ‘Surat Panggilan’, terbit pada tanggal Perjanjian Pembiayaan Konsumen Mitsui Leasing Capital Indonesia