Perumusan Masalah Keaslian Penulisan Lembaga Pemasyarakatan Anak

Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian. Telah dijelaskan bahwa pencurian terjadi disebabkan oleh banyaknya kalangan masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli yang sangat rendah. Memang pencurian tetaplah bentuk pencurian, akan tetapi alangkah baiknya jika disesuaikan dengan kejahatan pencuriannya apakah memang pantas untu disidang di Pengadilan atau masih bisa diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan. Saat ini kejahatan pencurian memang sangat marak terjadi, baik yang terjadi di pinggir jalan, di perumahan, bahkan di dalam pasar. Pencurian itu sendiri dapat dilakukan pada siang hari, malam hari, dengan kekerasan, tidak dengan kekerasan, ataupun terhadap keluarganya sendiri. Sanksi yang dijatuhi pun berbeda atas jenis pencurian yang berbeda pula. Pencurian merupakan tindakan kriminalitas yang sengaja mengganggu kenyamanan rakyat. Tindakan konsisten diperlukan dalam penegakan hukum, sehingga terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku pencurian adalah kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat, dibuktikan dari rasio pencurian yang makin meningkat ditengah kondisi objektif pelaku di dalam melakukan aktifitasnya. 7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan dalam bagian pendahuluan pada penulisan skripsi ini, dan juga untuk memberikan pembatasan dari ruang 7 www.google.comTindak Pidana dengan Kekerasan Universitas Sumatera Utara lingkup pembahasan yang kemudian akan diangkat sebagai bahan materi dalam skripsi ini, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan diangkat, yaitu sebagai berikut : 1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan anak? 2. Bagaimana pengaturan hukum anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan? 3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap anak tindak pidana pencurian pemberatan pada putusan No.03Pid.Sus-Anak2014PN.Mdn ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan adalah merupakan salah satu alasan penting bagi kita dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui secara teori perbedaan unsur-unsur kejahatan jenis tindak pidana pencurian, yaitu unsur-unsur tindak pidana pencurian biasa dengan unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan bagi jaksa dalam membuat tuntutan dan dasar hakim dalam pertimbangan bagi membuat putusan.

2. Manfaat Penelitian

Hasil dari pelaksanaan penelitian sudah selayaknya akan dapat bermanfaat tidak hanya bgi penulis saja, tetapi juga dapat bermanfaat pula bagi semua pihak Universitas Sumatera Utara terkait dalam penulisan skripsi ini, untuk itu saya memaparkan tentang hal-hal yang menurut saya akan memberikan manfaat dari hasil penelitian dan penulisan skripsi ini, yaitu antara lain : a. Manfaat Teoritis Diharapkan agar kiranya hasil dari penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum pidana mengenai kejahatan pencurian yang dilakukan pada waktu malam hari. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi seluruh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum di bidang hukum pidana, khususnya mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencurian serta dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

D. Keaslian Penulisan

Proses penulisan skripsi berjudul “Tindak Pidana Membantu melakukan Pencurian Dengan Kekerasan oleh Anak di bawah Umur’’ terhadap perkara kasus Pencurian dengan Kekerasan Pasal ini, sejauh pengamatan dan pengetahuan penulis tentang materi yang diangkat dalam skripsi ini, belum ada penulis lain yang mengemukakannya, sehingga saya tertarik untuk mengangkat judul tersebut serta pokok permasalahannya sebagai judul dan pembahasan yang akan diangkat dan dikembangkan dalam skripsi ini. Apabila di kemudian hari ada judul yang sama sebelum penulisan ini, saya bertanggung jawab sepenuhnya. Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit. 8 Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain : 1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang- Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14. 2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. 3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen 4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya : 8 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2009, halaman 101. Universitas Sumatera Utara a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi. c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan. 9 Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. 10 Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur- unsur tindak pidana, yaitu : a. Unsur objektif 9 Ibid., halaman 102 10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman 49 Universitas Sumatera Utara Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : - Sifat melanggar hukum - Kualitas dari si pelaku - Kausalitas Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. b. Unsur subjektif Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari : - Kesengajaaan atau ketidaksengajaan - Maksut pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP - Macam-macam maksut seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya - Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu - Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP. 11 11 Ibid., halaman 50 Universitas Sumatera Utara

2. Pengertian Membantu Melakukan

Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang demikian rupa eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu terwujudnya tindak pidana. 12 Pembagian “Peserta” inilah yang dipergunakan KUHPidana, ialah : a. Pasal 55 KUHPidana ayat 2 menyebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran. 1 Yang melakukan pleger Ia sendiri telah berbuat dan perbuatan itu memenuhi unsur-unsur dari delik yang bersangkutan. 2 Yang menyuruh melakukan doen pleger Minimal ada 2 orang yaitu menyuruh melakukan dan yang disuruh melakukan. Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan suatu delik, melainkan ia menyuruh orang lain, walaupun demikian tetap dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri. Agar 12 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, halaman 68 Universitas Sumatera Utara sup aya masuk dalam pengertian “menyuruh melakukan” maka orang yang disuruh itu harus hanya merupakan alat saja, maksutnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 3 Yang turut melakukan medepleger, yang berarti “bersama-sama melakukan”, jadi sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah yang melakukan dan turut melakukan. 4 Yang membujuk uitlokker, minimal 2 orang, yaitu yang membujuk dan yang dibujuk. Dan caranya membujuk harus dengan jalan seperti yang tercantum dalam pasal 55 ayat 1 2e KUHPidana dan tidak boleh dengan cara lainnya b. Pasal 56 : Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan : 1 Barang siapa dengan membantu melakukan kejahatan itu. 2 Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, dan upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. 13 Pelajaran umum “Turut Serta” termasuk diatas dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan suatu delik, walaupun perbuatannya sendiri tidak memuat semua unsur delik tersebut. Menurut pendapat VAN HATTUM, pasal 55 dan 56 KUHPidana itu memuat ketentuan-ketentuan yang memperluas lingkungan orang-orang yang bertanggungjawab menurut Hukum Pidana atas terjadinya atau percobaan 13 R.Atang Ranoemiharjo, Hukum Pidana, Tarsito, Bandung 1983, halaman 113-118 Universitas Sumatera Utara melakukan suatu delik yang unsur-unsurnya disebut dalam Undang-Undang Pidana. Seseorang dapat dipersalahkan membantu melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut dan waktu atau sebelum delik itu dilakukan. 14 Pertimbangan bahwa pembantu pembuat itu bukan pembuat dalam suatu perbuatan pidana, yaitu bahwa peranannya jauh lebih santun dibandingkan dengan semua peserta lainnya. Kedudukan yang lebih menguntungkan diri si pembantu pembuat terungkap dalam pengurangan maksimum pidana dan dalam ketentuan bahwa pembantuan dalam pelanggaran-pelanggaran tak dapat dipidana. 15 Tetapi apakah yang membedakan peranan pembantu pembuat dari peranan peserta-peserta lainnya, sehingga kedudukan yang menguntungkan itu dibenarkan Bagaimanapun juga, adalah pasti bahwa prakarsa si pembuat harus sudah ada pada saat si pembantu pembuat dalam tahap pembuatan rencana-rencana atau dalam tahap pelaksanaannya tercampur dalam perkara. Oleh karena itu pembantuan itu secara singkat dapat didefinisikan sebagai kalau diminta, memberikan bantuan pada atau, dalam suatu bentuk tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang, supaya orang lain dapat berbuat kejahatan. Dalam hal ini si pembantu pembuat berdiri sendiri, yaitu semua peserta lainnya, jadi yang tersebut pada 2, 3 dan 4 telah mengambil prakarsa sendiri. 16

3. Pengertian Kejahatan

Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita menangkap 14 Ibid., halaman 118 15 J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 250 16 Ibid. Universitas Sumatera Utara berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. 17 Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato misalnya menyatakan dalam bukunya ‘Republik’ menyatakan antara lain bahwa emas, manusia adalah merupakan sumber dari banyak kejahatan. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan. Thomas Aquino memberikan beberapa pendapatnya tentang pengaruh kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri. 18 Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Kejahatan ditinjau dari sudut yuridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah definitif atau menimbulkan akibat hukum karena unsur deliknya. Maksutnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan Undang-Undang bahwa perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap sebagai perbuatan jahat, dengan kata lain 17 Topo Santoso, Eva Achjani Zulva, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 1 18 Ibid., halaman 1 Universitas Sumatera Utara dalam norma hukum tertentu dalam suatu masyarakat telah ditetapkan berbagai jenis perbuatan yang merupakan kejahatan. 19 Pengertian kejahatan dalam hukum pidana menganut asas legalitas, maksutnya kejahatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan Undang-Undang yang definitif. Kejahatan adalah delik hukum, dan pelanggaran merupakan delik Undang-Undang. Menurut beberapa ahli hukum, pengertian kejahatan adalah : a. Paul Mudikdo Muliono menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan. b. W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan asosial yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat. c. Utrecht mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum. 20

4. Pengertian Anak

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun 19 Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Study Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 28 20 Ibid. Universitas Sumatera Utara demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri anak-anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari salah penerapan kadar penilaian orang dewasa kepada anak, maka perlu diketahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 tiga fase, yaitu : 1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 tujuh tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental. 2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7-14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu : a. Masa anak sekolah dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi. b. Masa remajapra-pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja pubertas bisa dibagi dalam 4 empat fase, yaitu : a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pra pubertas b. Masa menentang kedua, fase negatif c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas anak laki-laki d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19- 21 tahun. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang sitem Peradilan Pidana Anak secara umum dikatakan, Anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 21 Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. 21 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Universitas Sumatera Utara Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.

5. Pengertian Hakim Anak

Hakim Anak adalah hakim yang khusus ditetapkan sebagai hakim anak, baik di tingkat Pertama Pengadilan Negeri, Tingkat Banding Pengadilan Tinggi, dan Tingkat Kasasi Mahkamah Agung. Pada Tingkat Pertama, Hakim Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. 22 Untuk menjadi Hakim Anak, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan undang-undang Pasal 10 ayat 2 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu : a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum b. Mempunyai minat, dedikasi, dan memahami masalah anak. 23 Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakim yang memeriksa dan mengadili perkara anak adalah Hakim Tunggal, namun dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 lima tahun dan sulit pembuktiannya. 22 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 113 23 Ibid., halaman 114 Universitas Sumatera Utara

6. Pertanggungjawaban Pidana

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Tidak adil rasanya jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut. 24 Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan istilah mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. 25 Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh udang-undang. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. 24 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, halaman 155 25 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pida pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut. Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab ini, dalam menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, menurut hukum ditentukan oleh 3 tiga faktor, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan kemampuan bertanggungjawab. Yang dimaksutkan dengan keadaan batin orang yang melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. 2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya. Yang dimaksutkan dengan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupakesengajaan, kealpaankelalaian. 3. Tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksutkan dengan alasan pemaaf ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas. 26

F. Metode penelitian 1.

Spesifikasi penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terdiri dari : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. Penelitian terhadap asas-asas hukum ini seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidah- kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. b. Penelitian terhadap sistem hukum. Penelitian terhadap sistem hukum dapat dilakukan pada perundang- undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah 26 Adami Chazawi, Op.Cit., halaman 30 Universitas Sumatera Utara untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokokdasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing pengertian pokok dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum. c. Penelitian sinkronisasi hukum. Penelitian terhadap sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang- undangan tersebut, sedang apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi secara horizontal, maka yang ditinjau adalah perundang- undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. Penelitian terhadap sejarah hukum merupakan penelitian yang lebih dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan akan menggunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau beberapa sistem hukum. Universitas Sumatera Utara

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan anak dalam suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan objek penelitian dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri Medan. Putusan pengadilan yang menjadi isu hukum yang dihadapi tersebut merupakan bahan hukum primer yang dirujuk oleh peneliti hukum.

4. Analisis Data

Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif, Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang bersifat representatif sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematikan penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab, yaitu sebagai berikut : BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan Universitas Sumatera Utara kepustakaan yang terdiri dari Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Membantu Melakukan, Pengertian Kejahatan, Pengertian Anak, Pengertian Hakim Anak, Pertanggungjawaban Pidana, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Merupakan bab yang membahas anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang terdiri dari pengertian restoratif justice dan diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, pengaturan lembaga pemasyarakatan anak, dan faktor penyebab timbulnya kenakalan anak. BAB III : Merupakan bab yang membahas pengaturan tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam kasus yang terdapat dalam putusan PN Medan No. 03Pid.Sus-Anak2014PN.Mdn. BAB IV : Merupakan bab yang membahas studi putusan dengan melakukan analisis hukum terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berisi kasus posisi yang terdiri dari dakwaan, fakta-fakta hukum, putusan pengadilan negeri, dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada putusan No. 03Pid.Sus-Anak2014PN.Mdn BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran. Universitas Sumatera Utara

BAB II ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

konsep asli praktek keadilan restoratif justice dari praktik pemelihara perdamaian yang dilakukan suku bangsa maori, penduduk asli Selandia Baru. Menurut Helen Cowie keadilan restoratif justice pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif. Bilamana timbul konflik, maka praktek restoratif justice akan menangani pihak pelaku dan korban, yang secara kolektif memecahkan masalah. 27 Peradilan anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa anggapan atau reaksi terhadap perilaku delikuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan. 28 Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratif sebagai berikut : 27 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman 196 28 Ibid., 203 Universitas Sumatera Utara a. Perbaikan, bukanlah memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku criminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain. c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksutnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain. 29 Hower Zehr membedakan retributif justice dengan restoratif justice sebagai berikut : Retributif Justice : 1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem 2. Fokus pada menjatuhkan hukuman 3. Menimbulkan rasa bersalah 4. Korban diabaikan 5. Pelaku pasif 6. Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman 7. Respon terpaku pada perilaku masa lalu pelaku 8. Stigma tidak terhapuskan 29 Ibid., halaman 203 26 Universitas Sumatera Utara 9. Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan 10. Proses bergantung pada aparat 11. Proses sangat rasional 30 Restoratif Jutice : 1. Kejahatan adalah perlakuan terhadap individu danatau masyarakat 2. Fokus pada pemecahan masalah 3. Memperbaiki kerugian 4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan 5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab 6. Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian 7. Respon terpaku pada perilaku menyakitkan akibat perilaku-perilaku 8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat 9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk diberikan oleh korban 10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian 11. Dimungkinkan proses emosional 31 Model keadilan restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga 30 Ibid. 31 Rena Yulia, Victimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, halaman 164 Universitas Sumatera Utara hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang dirugikan. 32 Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah diwakilkan oleh pengacara, sementara alam keadilan restoratif masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya keadilan retributif lekat dengan kompetisi pelaku dan lawan sehingga ada proses tahapanbanding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada keadilan restoratif semua pihak diajak kerja sama untuk menyelesaikan persoalan. Pada keadilan retributif pelaku hanya objek, yang aktif hanya pengacara, sedangkan pada keadilan restoratif justice, pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi peran untuk menyelesaikan persoalan yang ada . 33 Prinsip-prinsip restoratif justice adalah membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah, atau teman bermainya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya. Watchel dan Mc. Cold yang banyak melakukan praktik keadilan restoratif di lingkungan sekolah, mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara berdasarkan hubungan yang positif dan penuh kepedulian. 34 Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak. 32 Ibid., halaman 165 33 Hadi Supeno, Op.Cit., halaman 204 34 Rena Yulia, Op.Cit., halaman 10 Universitas Sumatera Utara Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan atau pemenjaraan. Program diversi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah pengawasan badan-badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem peradilan pidana anak sebagaimana yang disebut dalam undang-undang. 35 Ide mengenai restoratif justice masuk dalam pasal 5 Ayat 1 Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat 1 yang meliputi : a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum. c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan selama proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan 36

2. Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur diversi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses luar pidana Pasal 1 angka 7. Dalam sistem peradilan pidana anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan dalam Sistem 35 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Cetakan Pertama, 2013, halaman 134 36 Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Universitas Sumatera Utara Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, pembinaan, pembimbingan, pengawasan danatau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. 37 Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban danatau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat Pasal 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. 38 Prinsip-prinsip Diversi menurut The Beijing Rules adalah : a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya diberi kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal. b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang 37 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014, halaman 103 38 Ibid., halaman 104 Universitas Sumatera Utara sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dala The Beijing Rules. c. Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua walinya namun demikian keputusan pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut. d. Pelaksanaan diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat, sehubungan dengan adanya program diversi seperti : pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban. 39 Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat. 40 Penerapan diversi dapat ditetapkan di semua tingkat pemeriksaan, dimaksutkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. Terhadap anak yang ditangkap polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila anak sudah berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat melimpahkan ke lembaga sosial. 39 M. Nasir Djamil, Op.Cit., halaman 134 40 Angger Sigit Pramukti Fuandy Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, halaman 68 Universitas Sumatera Utara Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan salah satu metodenya adalah diversi. 41 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum menerapkan lembaga diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya junevile deliquesi semata, yang seharusnya tdak perlu proses sampai ke ranah pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak, hal ini menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia banyak menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide diversi ini sebagai salah satu cara penyelesaian kasus anak sebelum undang-undang No. 11 Tahun 2012 berlaku. KPAI menggunakan dasar Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan diversi. 42 Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan masyarakat, Pembimbingan Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa maupun hakim. 43 41 Angger Sigit Pramukti Fuandy Primaharsya, Op.Cit., halaman 68 42 Ibid. 43 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pada pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi, yakni antara lain : a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif justice yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahhan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana. Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tujuh tahun b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana 44 Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 tujuh tahun maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 tujuh tahun tergolong pada tindakan berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni 44 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Universitas Sumatera Utara menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Upaa diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan. Dalam pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa : 1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tuawalinya, korban danatau orang tuawalinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif justice 2. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksut pada ayat 1 dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, danatau masyarakat. 3. Proses diversi wajib memperhatikan : a. Kepentingan korban b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak c. Penghindaran stigma negatif d. Penghindaran pembalasan e. Keharmonisan masyarakat f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 45 Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimumprovinsi etempat sebagaimana dimaksut dalam Pasal 9 ayat 2 dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku 45 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Sistem Peradilan Pidana Anak. Universitas Sumatera Utara danatau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksut pada ayat 1 dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis psikososial, penyerahan kembali kepada orang tuawali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 tiga bulan, atau pelayanan masyarakat paling lama 3 tiga bulan Pasal 10 UU SPPA. 46 Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggungjaab sebagaimana dimaksut pada ayat 3 wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 tujuh hari. Pasal 15 UU SPPA menentukan bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah. 47 46 Maidin Gultom, Op.Cit., halaman 104 47 Ibid., 105 Universitas Sumatera Utara

B. Lembaga Pemasyarakatan Anak

Sebelum membicarakan tentang Lembaga Pemasyarakatan Anak LAPAS Anak, terlebih dahulu perlu mengetahui mengenai apa yang dimaksut dengan pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diberi pengertian sebagai berikut : Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Permasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 48 Secara umum, yang dimaksut Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Dari pengertian ini, terlihat adanya pembedaan penamaan antara narapidana dan anak didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan. Perbedaan ini tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan bahwa penamaan “anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak”. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakkan ungkapan halus untuk menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan da n mensugestikan sesuatu yag tidak mengenakkan bagi anak. 49 Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja. Pada asasnya, pembinaan anak didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS anak, terpisah dengan pembinaan 48 Nashriana, Op. Cit., halaman 153 49 Ibid., halaman 158 Universitas Sumatera Utara orang dewasanarapidana. Hal ini secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 60 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun pada suatu daerah belum ada LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Telah diketahui di atas bahwa semua anak yang menghuni di LAPAS Anak mempunyai kewajiban untuk menaati seluruh peraturan keamanan dan ketertiban di tempat tersebut. Berhubung hal tersebut merupakan kewajiban, maka konsekuensinya apabila dilalaikan atau dilanggar, kepada si anak akan dikenakan hukuman disiplin. 50 Kemudian, mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat 2 UU Pemasyarakatan mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu : a. Tutupan sunyi paling lama 6 enam hari b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana remisi untuk satu tahun. Anak didik pemasyarakatan Pasal 1 ayat ayat 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1999 terdiri dari : 1. Anak pidana Anak pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun. Anak pidana diitempatkan di Lembaga Pemasyarakatan LAPAS anak dan wajib didaftar dan penggolongan. 50 Ibid., halaman 159 Universitas Sumatera Utara a. Pembinaan dan penggolongan Untuk pembinaan Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 terhadap Anak Pidana di LAPAS anak dilakukan peggolongan berdasarkan, umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. b. Hak-hak Anak Pidana Pasal 22 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 : 1 Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2 Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani 3 Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran 4 Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5 Berhak menyampaikan keluhan 6 Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu 7 Berhak mendapat pengurangan masa pidana remisi 8 Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat 9 Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 2. Anak Negara Anak negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk itu anak negara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun. Universitas Sumatera Utara a. Pembinaan dan penggolongan. Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara Pasal 27 Undang- Undang No. 12 Tahun 1995 di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lamanya pembinaan dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. b. Hak-hak Anak Negara Hak-hak Anak Negara diatur dalam Pasal 29 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 sebagai berikut : 1 Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2 Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani 3 Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran 4 Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5 Berhak menyampaikan keluhan 6 Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu 7 Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat Kiranya perlu dicatat, bahwa Anak Negara tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana remisi, karena dia bukan dipidana. 3. Anak Sipil Anak Sipil, adalah anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan Universitas Sumatera Utara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Menurut Pasal 32 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995, anak sipil ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan LAPAS anak. Penempatan itu paling lama 6 enam bulan bagi mereka yang belum berumur 14 empat belas tahun, dan paling lama1 satu tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 empat belas tahun, dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun. 51 Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang telah terjadi reformasi pelayanan pada beberapa lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang misalnya, talah melakukan berbagai upaya pembaharuan dengan menciptakan Lapas anak bukan sebagai tempat yang menyeramkan. Bangunan di cat terang. Taman-taman di lingkungan Lapas dibangun. Para sipir tidak menggunakan seragam keki, tetapi lengan panjang berdasi. Anak-anak diajari keterampilan hidup, dari pertanian hingga elektronik. Mereka yang berbakat diberi ruang ekspresi, seperti bermain musik atau olahraga. Hak-hak anak tetap diberikan dengan mendatangkan guru-guru profesional yang disediakan Departemen Pendidikan Nasional sehingga kalau kita berkeliling di bagian dalam Lapas anak tangerang, akan mendapati anak-anak yang sibuk dengan berbagai aktifitas, sementara di berbagai sudut ruang kita dapati pajangan karya anak didik berupa lukisan, puisi, maupun karya-karya lainnya. 52 51 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Medan, 1997, halaman 59-63 52 Hadi Supeno, Op.Cit., halaman 218 Universitas Sumatera Utara Namun betapapun baiknya Lapas, itu tetaplah penjara, tempat anak dipidanakan, divonis salah, diberi label sebagai narapidana dengan segala konsekuensi logisnya.Di semua penjara anak di Indonesia, anak-anak yang sekedar mencuri HP, atau berkelahi layaknya dunia anak, dipenjara dicampur dengan pelaku pengguna dan pengedar narkoba, pelaku kekerasan dengan pemberatan bahkan pembunuhan. Kebanyakan Lapas anak di Indonesia juga jauh dari suasana keramahtamahan dan tidak manusiawi. Sel-sel yang jorok adalah pemandangan rill saat ini. Bayangkan kamar mandi dan WC yag sempit, dibatasi tembok satu meter, menyatu dalam sel tahanan. Maka selain tidak sehat, juga menjadi media paling mudah bagi para seniornya untuk melakukan pelecehan seksual. 53

C. Faktor Penyebab Timbulnya Kenakalan Anak

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

1 116 103

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

2 67 120

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Kasus Putusan No:2438/Pid.B/2014/Pn.Mdn )

5 117 134

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

2 17 70

BAB I PENDAHULUAN - Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 25

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

1 27 9