II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Tinjauan Teori dan Konsep 2.1.1.   Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan
mengarah  pada  kondisi  perekonomian  yang  lebih baik  dengan  jalan  mengubah penerimaan  dan  pengeluaran  pemerintah. Pemahaman  lain  dari  kebijakan  fiskal
adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam  rangka  menstabilkan  perekonomian.  Menurut  John.  F.  Due  1968  dalam
buku Pengantar  Kebijakan  Fiskal 2010    disebutkan  bahwa  kebijakan  fiskal sebenarnya  ditujukan  untuk  tiga  hal,  antara  lain  ;  menjamin  pertumbuhan
perekonomian  yang  sebenar-benarnya  menyamai  laju  pertumbuhan  potensial, dengan  mempertahankan  kesempatan  kerja  yang  penuh,  mencapai  suatu  tingkat
harga umum yang stabil dan wajar, dan meningkatkan laju pertumbuhan potensial tanpa mengganggu pencapaian tujuan-tujuan lain dari masyarakat.
Dari  penjelasan  diatas  maka  secara  umum  tujuan  dari  kebijakan  fiskal menurut John F. Due 1968 adalah :
1. Meningkatkan  produksi  nasional  PDB  dan  pertumbuhan  ekonomi  atau
memperbaiki keadaan ekonomi. 2.
Memperluas lapangan
kerja dan
mengurangi pengangguran
atau mengusahakan kesempatan kerja dan menstabilkan harga-harga secara umum.
3. Mengatasi inflasi
Kebijakan  fiskal  mengusahakan  peningkatan  kemampuan  pemerintah  dalam rangka  meningkatkan  kesejahteraan  rakyat  dengan  cara  menyesuaikan
pengeluaran  dan  penerimaan  pemerintah.  Pengeluaran  negara  jika  ditinjau  dari berbagai segi adalah sebagai berikut :
1. Pengeluaran  yang  merupakan  investasi,  yaitu  yang  menambah  kekuatan  dan
ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang. 2.
Pengeluaran  yang  secara  langsung  dapat  memberikan  kegembiraan  dan kesejahteraan kepada masyarakat.
3. Pengeluaran  yang  merupakan pengehematan  untuk  pengeluaran  yang  akan
datang. 4.
Pengeluaran  untuk  menyediakan  kesempaan  kerja  yang  lebih  banyak  dan penyebaran tenaga kerja yang lebih luas.
Dalam  teori  ekonomi,  pada  saat  perekonomian  berada  dalam keseimbangan, diasumsikan bahwa pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran
yang direncanakan. Kondisi keseimbangan dapat ditulis sebagai berikut : Pengeluaran aktual = Pengeluaran yang direncanakan
Y = AE Kebijakan  fiskal  melalui  peningkatan
pengeluaran    pemerintah  Δ G menyebabkan  bergesernya  keseimbangan  dari  titik  A  ke  titik  B  dan  output  akan
meningkat  sebesar    Δ Y Gambar  2.1..  Dengan  demikian  kebijakan  fiskal memiliki  dampak  terhadap  output.
Peningkatan  output  diharapkan  akan meningkatkan permintaan tenaga kerja karena tenaga kerja merupakan salah satu
faktor  produksi  yang  mempengaruhi  besar  kecilnya  output  yang  dihasilkan.
Tenaga  kerja  yang  diserap  dari  semakin  banyaknya  output  ini  diharapkan  akan mengurangi jumlah pengangguran.
AE                                                 Y = AE = C + I + G + N
x
B AE
1
= C
1
+ I
1
+ G
1
+ N
x1
Δ G   AE = C
+ I + G
+ N
x0
A
Y Δ Y
Y
1
Y
Sumber : Mankiw,2003
Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kebijakan  fiskal  pada  masa  otonomi  daerah  memiliki  perbedaan  dengan
kebijakan  otonomi  sebelum  otonomi  daerah.  Pada  saat  sebelum  otonomi  daerah diberlakukan,  kebijakan  fiskal  daerah  sudah  ditentukan  oleh  pemerintah  pusat.
Pemerintah daerah hanya tinggal melaksanakan semua kebijakan tersebut. Setelah otonomi  daerah,  pemerintah  pusat  menyerahkan  banyak  kewenangan  kepada
pemerintah  daerah  termasuk  pengelolaan  keuangan.  Kebijakan  fiskal  nasional tetap  dipegang  oleh  pemerintah  pusat.  Dana  perimbangan  disalurkan  oleh
pemerintah  pusat  dalam  jumlah  yang  besar  untuk  mendukung  pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dana
perimbangan  dan  dana  yang  diusahakan  sendiri  oleh  pemerintah  daerah  melalui kebijakan fiskal daerah.
Pengeluaran  pemerintah  memiliki  pengaruh  terhadap  perekonomian masyarakat.  Ada  beberapa  sektor  perekonomian  yang  terpengaruh  karena
pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal daerah antara lain sektor produksi, sektor  konsumsi  masyarakat  dan  keseimbangan  perekonomian.  Pada  sektor
produksi,  pengeluaran  pemerintah  dapat  menunjang  tersedianya  faktor-faktor produksi  seperti  modal  dan  tenaga  kerja.  Misal  pengeluaran  pemerintah  sektor
pendidikan  akan  meningkatkan kualitas  sumber  daya  manusia  yang  terdidik. Sumber daya manusia yang terdidik itu memperbesar faktor produksi yang berupa
tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produksi. Pada  sektor  distribusi,  pengeluaran  negara  akan  berpengaruh  baik  itu
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi distribusi barang dan jasa.  Misal  pengeluaran  pemerintah  untuk  subsidi  barang  dan  jasa  akan
mempermudah  masyarakat  yang  berdaya  beli  rendah  menjadi  mudah  untuk memperoleh  barang  dan  jasa  tertentu.  Di  sektor  konsumsi,  pengeluaran
pemerintah  dapat  mengubah  atau  memperbaiki  pola  dan  tingkat  konsumen masyarakat  terhadap  barang  dan  jasa  yang  disediakan  langsung  oleh  pemerintah
maupun  mekanisme  pasar.  Misal  penambahan  penyediaan  barang  yang  bersifat kolektif maupun barang-barang lain yang harganya disubsidi oleh pemerintah.
2.1.2.   Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Otonomi  daerah  adalah  hak,  wewenang,  dan  kewajiban  daerah  otonom untuk  mengatur  mengurus  sendiri  urusan  pemerintahan  dan  kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Visi otonomi daerah  dapat  dirumuskan  dalam  tiga  ruang  lingkup  interaksi  terutama  dalam
bidang  politik,  ekonomi  serta  sosial  dan  budaya.  Dalam  bidang  politik  otonomi daerah  adalah  hasil  dari  kebijakan  desentralisasi  dan  demokratisasi.
Memungkinkan  berlangsungnya  penyelenggaraan  pemerintah  yang  responsif terhadap  kepentingan  masyarakat  luas.  Di  bidang  ekonomi,  otonomi  daerah
membuka  peluang  bagi  pemerintah  daerah  untuk  mengembangkan  kebijakan ekonomi  regional  dan  lokal  untuk  mengoptimalkan  pendayagunaan  potensi
ekonomi  di  daerahnya.  Di  bidang  sosial  dan  budaya,  otonomi  daerah  harus dikelola  dengan  baik    demi  menciptakan  dan  memelihara  kehidupan  sosial  serta
nilai-nilai lokal. Pemerintahan daerah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun  2004  sedangkan  perimbangan  keuangan  diatur  dalam  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan dari kedua Undang-Undang otonomi daerah
di  atas,  Desentralisasi  adalah  penyerahan  wewenang  pemerintahan  dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan  dalam  sistem  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  NKRI. Pemerintahan  daerah  menjalankan  otonomi  seluas-luasnya  dengan  tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Pemerintah  daerah  yang  dimaksud  adalah  pemerintahan  daerah  provinsi  yang
terdiri  dari  pemerintah  daerah  provinsi  dan  DPRD  provinsi  serta  pemerintahan daerah  kabupatenkota  yang  terdiri  dari  pemerintah  daerah  kabupatenkota dan
DPRD kabupatenkota. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri
atas  urusan  wajib  dan  urusan  pilihan.  Penyelenggaran  urusan  pemerintahan  yang bersifat  wajib    berpedoman  pada  standar  pelayanan  minimal.  Berdasarkan
Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang  pemerintahan  daerah  mengatur
kewenangan  daerah  dalam  pelaksanaan  otonomi  daerah.  Bidang  pemerintahan yang  wajib  dilaksanakan  oleh  daerah  kabupaten  dan  daerah  kota  meliputi
pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan,
pelayanan kependudukan dan catatan sipil, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan,
koperasi dan tenaga kerja serta urusan wajib lainnya. Urusan  pemerintahan  yang  bersifat  pilihan  meliputi  urusan  pemerintahan
yang  secara  nyata  ada  dan  berpotensi  untuk  meningkatkan  kesejahteraan masyarakat  sesuai  dengan  kondisi,  kekhasan,  dan  potensi  unggulan  daerah  yang
bersangkutan.  Hak  dan  kewajiban  daerah  yang  timbul  karena  adanya  otonomi daerah  diwujudkan  dengan  rencana  kerja  pemerintahan  daerah  dan  dijabarkan
dalam  bentuk  pendapatan,  belanja,  dan  pembiayaan  daerah  yang  dikelola  dalam sistem  pengelolaan  daerah.  Pemerintah  daerah  memiliki  kewenangan  seluas-
luasnya  untuk  menggali  potensi  keuangan  daerah  masing-masing  dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal asal tidak melanggar peraturan yang ada.
Desentralisasi  fiskal  adalah  suatu  proses  distribusi  anggaran  dari  tingkat pemerintahan  yang  lebih  tinggi  kepada  pemerintahan  yang  lebih  rendah  untuk
mendukung  fungsi  atau  tugas  pemerintahan  dan  pelayanan  publik  sesuai  dengan banyaknya  kewenangan  bidang  pemerintahan  yang  dilimpahkan.  Dalam
pelaksanaan  desentralisasi  fiskal  harus  memperhatikan  prinsip money    follow function
artinya  setiap  penyerahan  atau  pelimpahan  wewenang  pemerintahan membawa  konsekuensi  pada  anggaran  yang  diperlukan  untuk  melaksanakan
kewenangan  tersebut.  Perlimpahan  kewenangan  dari  pemerintah  pusat  ke pemerintah  daerah  mengindikasikan  kecenderungan  semakin  besar  biaya  yang
dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Semakin besar biaya yang dikelola  membuat tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar pula.
Komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang penting  pada  pelaksanaan  desentralisasi  fiskal  yang  bersumber  dari  Anggaran
Pendapatan  dan  Belanja  Negara  APBN.  Hubungan  keuangan  pusat  dan  daerah merupakan  suatu  mekanisme  distribusi  sejumlah  dana  anggaran  dari  pemerintah
pusat  ke  pemerintah  daerah  yang  merupakan  konsekuensi  dari  pelimpahan kewenangan ke daerah. Dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut :
1. Dana bagi hasil, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan
Hak  atas  Tanah  dan  Bangunan  BPHTB,  PPh  perorangan,  dan  penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum,
kehutanan  dan  perikanan.  Penetapan  bagi  hasil  pajak  dan  bukan  pajak didasarkan pada persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang
diatur  dalan  Undang-Undang  Nomor  33  Tahun  2004  tentang  pemerintahan daerah.
2. Dana  Alokasi  Umum  DAU  adalah  dana  yang  bersumber  dari  APBN  yang
dialokasikan  dengan  tujuan  pemerataan  kemampuan  keuangan  antar  daerah untuk mendanai kegiatan daerah.
3. Dana  Alokasi  Khusus  DAK  adalah  dana  yang  dialokasikan  dari  APBN
untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional.
Dalam  pelaksanaan  pemerintahan suatu    negara  pada  dasarnya  memiliki tiga  fungsi  utama  yaitu  fungsi  alokasi,  fungsi  distribusi,  dan  fungsi  stabilisasi.
Fungsi  alokasi  meliputi  sumber-sumber  ekonomi  dalam  bentuk  barang  dan  jasa pelayanan  terhadap  masyarakat.  Fungsi  alokasi  tercermin  dari pengeluaran
pemerintah  dimana  sangat  menentukan  keberpihakan  pemerintah  daerah  kepada sektor-sektor  yang  menjadi  sektor  unggulan  yang  mampu  menjadi  roda
perekonomian  daerah.  Fungsi  distribusi  terkait  dengan  pendapatan  dan  kekayaan masyarakat  serta  pemerataan  pembangunan.  Ketiga,  fungsi  stabilisasi  yang
meliputi  stabilisasi  pertahanan  dan  keamanan,  stabilisasi  ekonomi  dan  moneter dan  lain-lain.  Dalam  pelaksanaan  desentralisasi  fiskal,  fungsi  distribusi  dan
stabilisasi  biasanya  lebih  tepat  bila  dilakukan  oleh pemerintah  pusat  sedangkan fungsi alokasi lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah.
Ada  dua  asumsi  yang  setidaknya  harus  ada  dalam  pelaksanaan desentralisasi fiskal Tiebot 1956, antara lain :
1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah daerah
dalam  menyediakan  pelayanan  kepada  masyarakat.  Kebutuhan  masyarakat daerah dapat dengan cepat disediakan oleh pemerintah daerah.
2. Perpindahan penduduk akan membuat pemerintah daerah berkompetisi untuk
menyediakan  pelayanan  barang  publik  sesuai  dengan  keinginan  masyarakat agar  masyarakat  tidak  meninggalkan  daerah  serta  menarik  penduduk  lain
untuk  datang  ke  suatu  daerah.  Perpindahan  penduduk  dari  satu  daerah  ke daerah  lain  menandakan  preferensi  masyarakat  akan barang  publik.  Tiebout
menilai  bahwa  pemerintah  daerah  harus  berkompetisi  agar  dapat meningkatkan pelayanan publik.
Otonomi  daerah  bukan  tanpa  konsekuensi  negatif.  Seiring  berjalannya pelaksanaan desentralisasi fiskal ada beberapa dampak negatif yang timbul antara
lain : 1.
Integrasi Nasional Otonomi  daerah  memiliki  potensi  besar  mengancam  integrasi  nasional.
Kesenjangan  sosial  dan  ekonomi  antar  daerah  menyebabkan  terjadinya kecemburuan sosial antar daerah.
2. Primordialisme
Kecenderungan  beberapa  daerah  untuk  mengutamakan  putra  daerah  dalam proses
rekrutmen untuk
jabatan-jabatan pemerintahan.
Apabila promodialisme  ini  terus  berlanjut,  dikhawatirkan  akan  mengganggu
berjalannya otonomi daerah secara sehat. Jabatan-jabatan yang membutuhkan keahlian  tertentu  mungkin  akan  diisi  oleh  orang  yang    tidak  mempunyai
kualifikasi  dalam  bidang  tertentu  karena  orang  yang  memiliki  kualifikasi dikalahkan  oleh  pertimbangan primordialisme.  Seharusnya  otonomi  daerah
mampu  didefinisikan  secara  tepat  oleh  pemimpin  daerah  sehingga tidak merugikan rakyat.
3. Otonomi Bertingkat
Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  1999  tentang  pemerintahan  daerah memiliki  kelemahan  karena  secara  eksplisit  dijelaskan  bahwa  tidak  ada
hubungan  hirarkis  antara  provinsi  dengan  kabupaten  dan  kota.  Hal  ini mengakibatkan  bupati  dan  walikota  merasa  tidak  punya  kepentingan  dengan
gubernur.  Tidak  berjalannya  koordinasi  antara  provinsi  dan  kabupatenkota
tentu  akan  menghambat  berjalannya  pemerintahan  secara  sinergis  di  tingkat nasional.  Kelemahan  ini  disempurnakan  oleh  Undang-Undang  Nomor  32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
Menurut  Mankiw  2003,  Ukuran  pertumbuhan  ekonomi  yang  biasa digunakan adalah produk domestik bruto PDB. Semakin tinggi PDB maka dapat
disimpulkan  bahwa  negara  tersebut  mengalami  pertumbuhan  ekonomi.  PDB mengukur output barang dan jasa serta pendapatan total suatu negara. PDB yang
besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi menjadi variabel  makroekonomi  yang  mampu  menggambarkan  keadaan  ekonomi  suatu
negara. Dalam  perekonomian,  PDB  dihitung  dengan  cara  menjumlahkan  seluruh
barang  dan  jasa  yang  dihasilkan  dengan  harga  barang  dan  jasa  tersebut.  Harga yang  digunakan  untuk  mengukur  PDB  ada  dua  yaitu  dihitung  dengan  harga
berlaku  dan  harga  konstan.  Nilai  barang  dan  jasa  yang  diukur  dengan  harga berlaku  disebut  dengan  PDB  nominal.  Ukuran  PDB  nominal  tidak  mampu
mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memuaskan permintaan rumah tangga,  perusahaan  dan  pemerintah.  Hal  ini  karena  kenaikan  PDB  tidak hanya
diakibatkan  karena  terjadi  peningkatan  barang  dan  jasa  yang  dihasilkan.  Akan tetapi dapat terjadi karena ada kenaikan harga tiap tahunnya.
Ukuran  kemakmuran  ekonomi  yang  lebih  baik  akan  menghitung  barang dan  jasa  yang  dihasilkan  dan  tidak  dipengaruhi  oleh  perubahan  harga.  Nilai
barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan yaitu PDB riil.
PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah  berubah  tetapi  harga  tetap.  Karena  harga  dipertahankan  konstan,  maka
PDB  riil  akan  bervariasi  dari  tahun  ke  tahun  hanya  jika  jumlah  yang  diproduksi berbeda.  Kemampuan  masyarakat  untuk  memenuhi  kebutuhan  ekonomi  sangat
bergantung pada barang dan jasa yang diproduksi. Hal inilah yang menyebabkan PDB  riil  memberikan ukuran  kemakmuran  ekonomi  yang  lebih  baik  daripada
PDB nomial. Output  barang  dan  jasa  suatu  perekonomian  PDB  bergantung  pada
jumlah  input,  yang  disebut  faktor-faktor  produksi  dan  kemampuan  untuk mengubah  input  menjadi  output.  Faktor  produksi  adalah  input  yang  digunakan
untuk  menghasilkan  barang  dan  jasa.  Dua  faktor  produksi  yang  paling  penting adalah  modal  dan  tenaga  kerja.  Modal  adalah  seperangkat  sarana  yang
dipergunakan  oleh  para  pekerja.  Tenaga  kerja  adalah  orang  yang  bekerja  pada waktu  tertentu.  Sedangkan  fungsi  produksi  mencerminkan  teknologi  yang
digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Output, Y
F K,L MPL
Tenaga Kerja, L
Sumber : Mankiw, 2003
Gambar 2.2. Fungsi Produksi
Pada Gambar 2.2. memperlihatkan fungsi produksi untuk memperlihatkan produk marginal tenaga kerja marginal product of labor, MPL. Output tergantung pada
pada input tenaga kerja dengan menganggap modal tetap. MPL adalah perubahan output ketika input tenaga kerja ditambah 1 unit.
Model  pertumbuhan  Solow  Solow  growth  model  merupakan  salah  satu teori  pertumbuhan  ekonomi  yang  mampu  menjelaskan  bagaimana  perekonomian
berproduksi  dan  menggunakan  outputnya  pada  waktu  tertentu.  Model pertumbuhan  Solow  menunjukkan  bagaimana  pertumbuhan  persediaan  modal,
pertumbuhan  angkatan  kerja  dan  kemajuan  teknologi  berinteraksi  dalam perekonomian dan pengaruhnya terhadap output barang dan jasa di suatu negara.
Penawaran dan permintaan terhadap barang memiliki peran penting dalam model pertumbuhan Solow. Dengan melihat penawaran dan permintaan terhadap barang,
maka dapat ditentukan banyaknya output yang diproduksi pada waktu tertentu. Penawaran  barang  dalam  model  Solow  berdasarkan  pada  fungsi  produksi
yang  menyatakan  bahwa  output  Y bergantung  pada  persediaan  modal  K  dan angkatan kerja L seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 2.1. sebagai berikut :
Y = FK,L 2.1.
Pada  model  pertumbuhan  Solow  diasumsikan  bahwa  fungsi  produksi  memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan constant return to scale.
2.1.4. Pengangguran
Pengangguran  merupakan  masalah  yang  akan  selalu  ada  di  negara berkembang,  termasuk  Indonesia.  Masalah  kependudukan  menjadi  persoalan
penting, laju pertumbuhan penduduk yang terus  meningkat menuntut penyediaan
lapangan  pekerjaan  setiap  tahunnya.  Apabila  pemerintah  tidak  mampu  untuk menyediakan  lapangan  pekerjaan  seiring  dengan  semakin  bertambahnya  jumlah
penduduk,  maka akan menimbulkan  masalah  sosial  lain  seperti  kemiskinan  terus meningkat karena  penduduk  tidak  mampu  memenuhi  kebutuhan  hidupnya,
selanjutnya  akan  berdampak  pada  meningkatnya  tingkat  kejahatan  dan  masalah sosial lainnya.
Pengangguran  dari  sisi  ekonomi  merupakan  produk  dan  ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan
kerja  yang  relatif  terbatas  tidak  mampu  menyerap  tenaga  kerja  yang  senantiasa bertambah  tiap  tahunnya  seiring  dengan  bertambahnya  jumlah  penduduk
BPS,2007.  BPS  membagi  pengangguran  berdasarkan  penyebabnya,  pada dasarnya hampir sama dengan pengangguran dilihat dari perspektif ekonomi tetapi
definisi  dari  BPS  lebih  mudah  dipahami.  Berikut  adalah  beberapa  jenis pengangguran dikelompokkan berdasarkan penyebabnya :
1. Pengangguran  struktural  yaitu  pengangguran  yang  terjadi karena  adanya
perubahan  dalam  struktur  perekonomian.  Penduduk  tidak  mempunyai keahlian  yang  cukup  untuk  memasuki  sektor  baru  sehingga  menganggur.
Contoh  petani  menganggur  karena  daerahnya  berubah  menjadi  daerah industri.
2. Pengangguran  siklus  adalah  pengangguran  yang  terjadi  karena  menurunnya
kegiatan  perekonomian  sehingga  menyebabkan  berkurangnya  permintaan tenaga kerja.
3. Pengangguran  musiman  adalah  pengangguran  yang  terjadi  karena  adanya
pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen. 4.
Pengangguran  friksional  adalah  pengangguran  yang  muncul  akibat  adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
5. Pengangguran  teknologi  adalah  pengangguran  yang  terjadi  karena  adanya
penggunaan  alat-alat  teknologi  yang  semakin  modern  yang  menggantikan tenaga kerja manusia.
Perdebatan  para  ahli  ekonomi  tentang  faktor-faktor  yang  menyebabkan pengangguran  masih  selalu  ada  karena  perbedaan  kondisi  masyarakat  di  suatu
masing-masing negara. Kekakuan  upah  merupakan  hal  sering  terjadi  di  pasar  tenaga  kerja,
biasanya  pada  pasar  tenaga  kerja  yang  dipengaruhi  oleh  serikat  kerja  upah  akan lebih kaku lagi. Upah ditetapkan untuk periode waktu tertentu tanpa penyesuaian
sesuai dengan kesepakatan antara serikat pekerja dan perusahaan. Misalnya dalam waktu  tiga  tahun upah  telah  ditetapkan  dan  tidak  akan  dilakukan  penyesuaian
walaupun  terjadi  kelebihan  penawaran  maupun  penawaran  pada  jenis  pekerjaan tertentu.  Teori  kekakuan  upah  dan  pengangguran  terpaksa  menyatakan  bahwa
penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan kelebihan maupun kekurangan dalam masing-masing pasar tenaga kerja.
Ada  beberapa  konsep  pengangguran  menurut  BPS,  antara  lain pengangguran  terbuka  dan  pengangguran  setengah  terbuka.  Konsep  yang
digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  konsep  pengangguran  terbuka. Pengangguran  terbuka  open  unemployment  adalah  orang  yang  masuk  dalam
angkatan  kerja  15  tahun  keatas  yang  sedang  mencari  pekerjaan,  yang mempersiapkan  usaha,  yang  tidak  mencari  pekerjaan  karena  merasa  tidak
mungkin  mendapatkan  pekerjaan  sebelumnya  dikategorikan  sebagai  bukan angkatan  kerja,  dan  yang  sudah  punya  pekerjaan  tetapi  belum  mulai  bekerja
sebelumnya  dikategorikan  sebagai  bekerja,  dan  pada  saat  yang  bersamaan mereka  tidak  bekerja  jobless.  Pengangguran  dengan  definisi  di  atas  disebut
dengan pengangguran terbuka. Tingkat  pengangguran  terbuka  dapat  dihitung  dengan  rumus  sebagai
berikut: TPT = UEAK100
2.2 dimana :
UE = jumlah orang usia kerja yang tidak berkerja
AK = total angkatan kerja
Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah pengangguran setengah terbuka Under Unemployment yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang
bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
2.1.5. Kemiskinan
Masalah  kemiskinan  merupakan  masalah  yang  akan selalu  ada  di  setiap negara  terutama  negara  berkembang  seperti  Indonesia.  Indikator  kemiskinan  di
setiap  negara  berbeda-beda,  kemiskinan  yang  ada  di  negara  maju  akan  berbeda definisi  dengan  kemiskinan  di  Indonesia  sehingga  penanganan  kemiskinan  di
setiap negara pun pasti berbeda. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu  kurangnya  kesempatan,  rendahnya  kemampuan,  kurangnya  jaminan  dan
ketidakberdayaan.  Kemiskinan  juga  terkait  dengan  keterbatasan  hak-hak  sosial, ekonomi  dan  politik  bahkan  pada  akhirnya  kemiskinan  akan  menimbulkan
masalah  sosial  dan  politik.  Penanggulangan  kemiskinan  di  Indonesia  harus  tepat sasaran  sehingga  langkah  awal  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  adalah
menerjemahkan definisi dan konsep kemiskinan. Menurut BPS, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi  pengeluaran.  BPS  melihat  kemiskinan  dari  pengeluaran  suatu  rumah  tangga
untuk  membelanjakan  komoditi  pokok  makanan  dan  non  makanan.  Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis
kemiskinan  non  makanan,  penduduk  miskin  diartikan  sebagai  penduduk  yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Garis  kemiskinan  makanan adalah  nilai  pengeluaran  kebutuhan  minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi
kebutuhan terdiri atas 52 jenis komoditi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur  dan  susu,  sayuran,  kacang-kacangan,  buah-buahan,  minyak  dan  lemak  dll.
Garis  kemiskinan  non  makanan  adalah  kebutuhan  minimum  untuk  perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan
diwakili  oleh  51  jenis  komoditi  di  perkotaan  dan  47  jenis  komoditi  di  pedesaan. Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya
kebutuhan  minimum  untuk  masing-masing  komponen.  Indikator  kebutuhan minimum  untuk  masing-masing  komponen  tersebut  dapat  dijelaskan  sebagai
berikut berdasarkan Suvei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS :
1. Pangan,  dinyatakan  dengan  kebutuhan  gizi  minimum  yaitu  perkiraan  kalori
dan protein. 2.
Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.
3. Perumahan,  dinyatakan  dengan  indikator  pengeluaran  rata-rata  untuk  sewa
rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air. 4.
Pendidikan,  dinyatakan  dengan  indikator  pengeluaran  rata-rata  untuk keperluan biaya sekolah uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku.
5. Kesehatan,  dinyatakan  dengan  indikator  pengeluaran  rata-rata  untuk
penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat- obatan.
Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembanglan
kehidupan  yang  bermartabat  Bappenas,  2004  .  Hak-hak  dasar  antara  lain  a terpenuhinya  kebutuhan  pangan,  b  kesehatan,  pendidikan,  pekerjaan,
perumahan,  air  bersih,  pertanahan,  sumberdaya  alam  dan  lingkungan  hidup,  c rasa  aman  dari  perlakuan  atau  ancaman  tindak  kekerasan,  d  hak  untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Jenis-jenis Kemiskinan adalah sebagai berikut :
1. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan  relatif  merupakan  kondisi  miskin  karena  pengaruh  kebijakan pembangunan  yang belum  mampu  menjangkau  seluruh  lapisan  masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.
2. Kemiskinan  absolut  ditentukan  berdasarkan  ketidakmampuan  untuk
mencukupi  kebutuhan  dasar  minimum  seperti  pangan,  perumahan,  sandang, pendidikan,  dan kesehatan  yang  diperlukan  untuk  bisa  hidup  dan  bekerja.
Kebutuhan  dasar  minimum  diterjemahkan  sebagai  ukuran  finansial  dalam bentuk uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk
yang  memiliki  rata-rata  pendapatanpengeluaran  per  kapita  per  bulan  di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Terminologi  kemiskinan  yang  lain  adalah  kemiskinan  struktural  dan kemiskinan  kultural.  Kemiskinan  struktural  adalah  kemiskinan  yang  disebabkan
oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Tatanan tersebut  tidak  hanya  menciptakan  kemiskinan  tetapi  juga  membuat  kemiskinan
tetap langgeng di dalam masyarakat. Kemiskinan struktural tidak disebabkan oleh sebab-sebab  alami  atau  sebab-sebab  pribadi  melainkan  oleh sebab  tatanan  sosial
yang  tidak  adil.  Masyarakat  tidak  memiliki  kesempatan  untuk  mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil ini
sehingga menjadi serba kekurangan dan miskin. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu
daerah  tertentu  yang  membelenggu  seseorang  tetap  menjadi  miskin.  Padahal seharusnya  kemiskinan  tersebut  dapat  dikurangi  dengan  mengabaikan  faktor-
faktor  adat  yang  menghalangi  seseorang  melakukan  perubahan  ke  tingkat kehidupan yang lebih baik lagi. Kemiskinan kultural biasanya dialami oleh suku-
suku  pedalaman  di  Indonesia  seperti  yang  terjadi  dengan  suku  Badui  dan  suku Dayak.
2.1.6. Kaitan Kebijakan
Fiskal dengan
Pertumbuhan Ekonomi,
Kemiskinan dan Ketenagakerjaan
Desentralisasi fiskal diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang  tinggi  dan  pada  akhirnya  mampu  mengurangi  jumlah  orang  miskin  di
Indonesia. Ravallion dan Datt 1996 dalam BPS 2009 melakukan studi dengan menggunakan  kasus  India  mendapatkan  hasil  bahwa  pertumbuhan  output  di
sektor-sektor primer pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan  sektor-sektor  sekunder.  Kakwani  2001  dalam  BPS  2009  juga
menyimpulkan hasil penelitiannya di Filipina bahwa peningkatan 1 persen output di  sektor  pertanian  dapat  mengurangi  jumlah  orang  yang  hidup  di  bawah  garis
kemiskinan  sedikit  di  atas  1  persen.  Sebaliknya  peningkatan  1  persen  output  di sektor  industri  dan  jasa  hanya  mengakibatkan  pengurangan  kemiskinan  sekitar
0,25 – 0,30 persen. Berdasarkan  penelitian  di  dua  negara  ASEAN  yang  merupakan  negara
berkembang bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh sektor-sektor yang mampu  menyerap  tenaga  kerja  secara  efektif      yaitu  sektor  primer.  Pertumbuhan
ekonomi  yang  tinggi  belum  tentu  mampu  mengurangi  kemiskinan  secara  efektif karena berbagai alasan sebagai berikut Rajasa, 2007 :
1. Pertumbuhan  ekonomi    ditopang  oleh  sektor-sektor  yang  memiliki  elastisitas lapangan kerja rendah sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan.
Keberpihakan pada  sektor-sektor  tertentu  walaupun  tidak  mampu  menyerap tenaga  kerja  yang  banyak  akan  menghambat  berkembangnya  sektor-sektor
yang  seharusnya  mampu  membuka  peluang  kesempatan  kerja  yang  lebih banyak.
2. Pertumbuhan  ekonomi  ditopang  oleh  industri  milik  negara yang  memiliki proteksi  dari  pemerintah.  Pertumbuhan  ekonomi  seperti  ini  tidak  menjamin
dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan. 3. Pertumbuhan  ekonomi  dengan  ditopang  oleh  industri  canggih  justru  akan
berpotensi  memperparah  kemiskinan  dan  pengangguran jika  struktur  tenaga kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerja berkemampuan rendah.
4. Pertumbuhan  ekonomi  yang  ditopang  oleh  kekuatan  ekonomi  yang terkonsentrasi.
Teori ekonomi tentang kaitan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi  dapat  dilihat melalui  Gambar  2.3.  dimana  kebijakan  peningkatan
pengeluaran  pemerintah  akan  memengaruhi  pertumbuhan  ekonomi.  Kebijakan peningkatan  pengeluaran  pemerintah  Δ G  menggeser  AE  ke  atas  sehingga
keseimbangan  bergeser  dari  titik  A  ke  titik  B  dan  meningkatkan  output  sebesar Δ Y.  Kurva  yang  menunjukkan  pengeluaran  pemerintah  ini  berhubungan  dengan
kurva permintaan dan penawaran agregat. Pengeluaran  pemerintah  akan  meningkatkan  permintaan  agregat  terhadap
sehingga  meningkatkan  output  sebesar    Δ Y.  Pertumbuhan  ekonomi  yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan PDB atau PDRB. Apabila pada
periode awal  t=0 output PDB sebesar Y
0,
maka pertumbuhan ekonomi terjadi apabila  pada  periode  berikutnya  menghasilkan  output  sebesar  Y
1
.  Peningkatan output  ini  diharapkan  akan  meningkatkan  jumlah  tenaga  kerja  yang  digunakan
sebagai salah satu faktor produksi yang memengaruhi output. Dengan diserapnya tenaga kerja maka akan mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Pengeluaran, AE AE = Y
AE
1
= C
1
+ I
1
+ G
1
+ N
x1
B Δ G
AE = C
+ I + G
+ N
x0
A Δ Y
Output, Y Y
Y
1
Harga,P
AD
1
AD Output, Y
Y Y
1
Sumber : Mankiw,2003
Gambar  2.3. Hubungan Kebijakan  Pengeluaran  Pemerintah  dengan  Permintaan Agregat
2.2. Penelitian Terdahulu