Tinjauan Teori dan Konsep 1. Kebijakan Fiskal

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori dan Konsep 2.1.1. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian. Menurut John. F. Due 1968 dalam buku Pengantar Kebijakan Fiskal 2010 disebutkan bahwa kebijakan fiskal sebenarnya ditujukan untuk tiga hal, antara lain ; menjamin pertumbuhan perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju pertumbuhan potensial, dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh, mencapai suatu tingkat harga umum yang stabil dan wajar, dan meningkatkan laju pertumbuhan potensial tanpa mengganggu pencapaian tujuan-tujuan lain dari masyarakat. Dari penjelasan diatas maka secara umum tujuan dari kebijakan fiskal menurut John F. Due 1968 adalah : 1. Meningkatkan produksi nasional PDB dan pertumbuhan ekonomi atau memperbaiki keadaan ekonomi. 2. Memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran atau mengusahakan kesempatan kerja dan menstabilkan harga-harga secara umum. 3. Mengatasi inflasi Kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pengeluaran negara jika ditinjau dari berbagai segi adalah sebagai berikut : 1. Pengeluaran yang merupakan investasi, yaitu yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang. 2. Pengeluaran yang secara langsung dapat memberikan kegembiraan dan kesejahteraan kepada masyarakat. 3. Pengeluaran yang merupakan pengehematan untuk pengeluaran yang akan datang. 4. Pengeluaran untuk menyediakan kesempaan kerja yang lebih banyak dan penyebaran tenaga kerja yang lebih luas. Dalam teori ekonomi, pada saat perekonomian berada dalam keseimbangan, diasumsikan bahwa pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran yang direncanakan. Kondisi keseimbangan dapat ditulis sebagai berikut : Pengeluaran aktual = Pengeluaran yang direncanakan Y = AE Kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah Δ G menyebabkan bergesernya keseimbangan dari titik A ke titik B dan output akan meningkat sebesar Δ Y Gambar 2.1.. Dengan demikian kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap output. Peningkatan output diharapkan akan meningkatkan permintaan tenaga kerja karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi besar kecilnya output yang dihasilkan. Tenaga kerja yang diserap dari semakin banyaknya output ini diharapkan akan mengurangi jumlah pengangguran. AE Y = AE = C + I + G + N x B AE 1 = C 1 + I 1 + G 1 + N x1 Δ G AE = C + I + G + N x0 A Y Δ Y Y 1 Y Sumber : Mankiw,2003 Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah memiliki perbedaan dengan kebijakan otonomi sebelum otonomi daerah. Pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan, kebijakan fiskal daerah sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya tinggal melaksanakan semua kebijakan tersebut. Setelah otonomi daerah, pemerintah pusat menyerahkan banyak kewenangan kepada pemerintah daerah termasuk pengelolaan keuangan. Kebijakan fiskal nasional tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Dana perimbangan disalurkan oleh pemerintah pusat dalam jumlah yang besar untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dana perimbangan dan dana yang diusahakan sendiri oleh pemerintah daerah melalui kebijakan fiskal daerah. Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Ada beberapa sektor perekonomian yang terpengaruh karena pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal daerah antara lain sektor produksi, sektor konsumsi masyarakat dan keseimbangan perekonomian. Pada sektor produksi, pengeluaran pemerintah dapat menunjang tersedianya faktor-faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja. Misal pengeluaran pemerintah sektor pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terdidik. Sumber daya manusia yang terdidik itu memperbesar faktor produksi yang berupa tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produksi. Pada sektor distribusi, pengeluaran negara akan berpengaruh baik itu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi distribusi barang dan jasa. Misal pengeluaran pemerintah untuk subsidi barang dan jasa akan mempermudah masyarakat yang berdaya beli rendah menjadi mudah untuk memperoleh barang dan jasa tertentu. Di sektor konsumsi, pengeluaran pemerintah dapat mengubah atau memperbaiki pola dan tingkat konsumen masyarakat terhadap barang dan jasa yang disediakan langsung oleh pemerintah maupun mekanisme pasar. Misal penambahan penyediaan barang yang bersifat kolektif maupun barang-barang lain yang harganya disubsidi oleh pemerintah.

2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi terutama dalam bidang politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas. Di bidang ekonomi, otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan ekonomi regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola dengan baik demi menciptakan dan memelihara kehidupan sosial serta nilai-nilai lokal. Pemerintahan daerah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sedangkan perimbangan keuangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan dari kedua Undang-Undang otonomi daerah di atas, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintahan daerah provinsi yang terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi serta pemerintahan daerah kabupatenkota yang terdiri dari pemerintah daerah kabupatenkota dan DPRD kabupatenkota. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaran urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja serta urusan wajib lainnya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hak dan kewajiban daerah yang timbul karena adanya otonomi daerah diwujudkan dengan rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan seluas- luasnya untuk menggali potensi keuangan daerah masing-masing dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal asal tidak melanggar peraturan yang ada. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal harus memperhatikan prinsip money follow function artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Perlimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah mengindikasikan kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Semakin besar biaya yang dikelola membuat tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar pula. Komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang penting pada pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang merupakan konsekuensi dari pelimpahan kewenangan ke daerah. Dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut : 1. Dana bagi hasil, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB, PPh perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penetapan bagi hasil pajak dan bukan pajak didasarkan pada persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diatur dalan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. 2. Dana Alokasi Umum DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kegiatan daerah. 3. Dana Alokasi Khusus DAK adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional. Dalam pelaksanaan pemerintahan suatu negara pada dasarnya memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan terhadap masyarakat. Fungsi alokasi tercermin dari pengeluaran pemerintah dimana sangat menentukan keberpihakan pemerintah daerah kepada sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan yang mampu menjadi roda perekonomian daerah. Fungsi distribusi terkait dengan pendapatan dan kekayaan masyarakat serta pemerataan pembangunan. Ketiga, fungsi stabilisasi yang meliputi stabilisasi pertahanan dan keamanan, stabilisasi ekonomi dan moneter dan lain-lain. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, fungsi distribusi dan stabilisasi biasanya lebih tepat bila dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah. Ada dua asumsi yang setidaknya harus ada dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal Tiebot 1956, antara lain : 1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat daerah dapat dengan cepat disediakan oleh pemerintah daerah. 2. Perpindahan penduduk akan membuat pemerintah daerah berkompetisi untuk menyediakan pelayanan barang publik sesuai dengan keinginan masyarakat agar masyarakat tidak meninggalkan daerah serta menarik penduduk lain untuk datang ke suatu daerah. Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain menandakan preferensi masyarakat akan barang publik. Tiebout menilai bahwa pemerintah daerah harus berkompetisi agar dapat meningkatkan pelayanan publik. Otonomi daerah bukan tanpa konsekuensi negatif. Seiring berjalannya pelaksanaan desentralisasi fiskal ada beberapa dampak negatif yang timbul antara lain : 1. Integrasi Nasional Otonomi daerah memiliki potensi besar mengancam integrasi nasional. Kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial antar daerah. 2. Primordialisme Kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerah dalam proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan. Apabila promodialisme ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan mengganggu berjalannya otonomi daerah secara sehat. Jabatan-jabatan yang membutuhkan keahlian tertentu mungkin akan diisi oleh orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam bidang tertentu karena orang yang memiliki kualifikasi dikalahkan oleh pertimbangan primordialisme. Seharusnya otonomi daerah mampu didefinisikan secara tepat oleh pemimpin daerah sehingga tidak merugikan rakyat. 3. Otonomi Bertingkat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memiliki kelemahan karena secara eksplisit dijelaskan bahwa tidak ada hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten dan kota. Hal ini mengakibatkan bupati dan walikota merasa tidak punya kepentingan dengan gubernur. Tidak berjalannya koordinasi antara provinsi dan kabupatenkota tentu akan menghambat berjalannya pemerintahan secara sinergis di tingkat nasional. Kelemahan ini disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Mankiw 2003, Ukuran pertumbuhan ekonomi yang biasa digunakan adalah produk domestik bruto PDB. Semakin tinggi PDB maka dapat disimpulkan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. PDB mengukur output barang dan jasa serta pendapatan total suatu negara. PDB yang besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi menjadi variabel makroekonomi yang mampu menggambarkan keadaan ekonomi suatu negara. Dalam perekonomian, PDB dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dengan harga barang dan jasa tersebut. Harga yang digunakan untuk mengukur PDB ada dua yaitu dihitung dengan harga berlaku dan harga konstan. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku disebut dengan PDB nominal. Ukuran PDB nominal tidak mampu mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memuaskan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini karena kenaikan PDB tidak hanya diakibatkan karena terjadi peningkatan barang dan jasa yang dihasilkan. Akan tetapi dapat terjadi karena ada kenaikan harga tiap tahunnya. Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung barang dan jasa yang dihasilkan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan yaitu PDB riil. PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tetap. Karena harga dipertahankan konstan, maka PDB riil akan bervariasi dari tahun ke tahun hanya jika jumlah yang diproduksi berbeda. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sangat bergantung pada barang dan jasa yang diproduksi. Hal inilah yang menyebabkan PDB riil memberikan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik daripada PDB nomial. Output barang dan jasa suatu perekonomian PDB bergantung pada jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output. Faktor produksi adalah input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja. Modal adalah seperangkat sarana yang dipergunakan oleh para pekerja. Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada waktu tertentu. Sedangkan fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Output, Y F K,L MPL Tenaga Kerja, L Sumber : Mankiw, 2003 Gambar 2.2. Fungsi Produksi Pada Gambar 2.2. memperlihatkan fungsi produksi untuk memperlihatkan produk marginal tenaga kerja marginal product of labor, MPL. Output tergantung pada pada input tenaga kerja dengan menganggap modal tetap. MPL adalah perubahan output ketika input tenaga kerja ditambah 1 unit. Model pertumbuhan Solow Solow growth model merupakan salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang mampu menjelaskan bagaimana perekonomian berproduksi dan menggunakan outputnya pada waktu tertentu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian dan pengaruhnya terhadap output barang dan jasa di suatu negara. Penawaran dan permintaan terhadap barang memiliki peran penting dalam model pertumbuhan Solow. Dengan melihat penawaran dan permintaan terhadap barang, maka dapat ditentukan banyaknya output yang diproduksi pada waktu tertentu. Penawaran barang dalam model Solow berdasarkan pada fungsi produksi yang menyatakan bahwa output Y bergantung pada persediaan modal K dan angkatan kerja L seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 2.1. sebagai berikut : Y = FK,L 2.1. Pada model pertumbuhan Solow diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan constant return to scale.

2.1.4. Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah yang akan selalu ada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kependudukan menjadi persoalan penting, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan lapangan pekerjaan setiap tahunnya. Apabila pemerintah tidak mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan menimbulkan masalah sosial lain seperti kemiskinan terus meningkat karena penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, selanjutnya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kejahatan dan masalah sosial lainnya. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dan ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap tenaga kerja yang senantiasa bertambah tiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk BPS,2007. BPS membagi pengangguran berdasarkan penyebabnya, pada dasarnya hampir sama dengan pengangguran dilihat dari perspektif ekonomi tetapi definisi dari BPS lebih mudah dipahami. Berikut adalah beberapa jenis pengangguran dikelompokkan berdasarkan penyebabnya : 1. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga menganggur. Contoh petani menganggur karena daerahnya berubah menjadi daerah industri. 2. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja. 3. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen. 4. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja. 5. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan tenaga kerja manusia. Perdebatan para ahli ekonomi tentang faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran masih selalu ada karena perbedaan kondisi masyarakat di suatu masing-masing negara. Kekakuan upah merupakan hal sering terjadi di pasar tenaga kerja, biasanya pada pasar tenaga kerja yang dipengaruhi oleh serikat kerja upah akan lebih kaku lagi. Upah ditetapkan untuk periode waktu tertentu tanpa penyesuaian sesuai dengan kesepakatan antara serikat pekerja dan perusahaan. Misalnya dalam waktu tiga tahun upah telah ditetapkan dan tidak akan dilakukan penyesuaian walaupun terjadi kelebihan penawaran maupun penawaran pada jenis pekerjaan tertentu. Teori kekakuan upah dan pengangguran terpaksa menyatakan bahwa penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan kelebihan maupun kekurangan dalam masing-masing pasar tenaga kerja. Ada beberapa konsep pengangguran menurut BPS, antara lain pengangguran terbuka dan pengangguran setengah terbuka. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka open unemployment adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja 15 tahun keatas yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja, dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja, dan pada saat yang bersamaan mereka tidak bekerja jobless. Pengangguran dengan definisi di atas disebut dengan pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: TPT = UEAK100 2.2 dimana : UE = jumlah orang usia kerja yang tidak berkerja AK = total angkatan kerja Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah pengangguran setengah terbuka Under Unemployment yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

2.1.5. Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang akan selalu ada di setiap negara terutama negara berkembang seperti Indonesia. Indikator kemiskinan di setiap negara berbeda-beda, kemiskinan yang ada di negara maju akan berbeda definisi dengan kemiskinan di Indonesia sehingga penanganan kemiskinan di setiap negara pun pasti berbeda. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan juga terkait dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik bahkan pada akhirnya kemiskinan akan menimbulkan masalah sosial dan politik. Penanggulangan kemiskinan di Indonesia harus tepat sasaran sehingga langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerjemahkan definisi dan konsep kemiskinan. Menurut BPS, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. BPS melihat kemiskinan dari pengeluaran suatu rumah tangga untuk membelanjakan komoditi pokok makanan dan non makanan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan, penduduk miskin diartikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi kebutuhan terdiri atas 52 jenis komoditi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll. Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen. Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Suvei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS : 1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein. 2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. 3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air. 4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku. 5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat- obatan. Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembanglan kehidupan yang bermartabat Bappenas, 2004 . Hak-hak dasar antara lain a terpenuhinya kebutuhan pangan, b kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, c rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, d hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Jenis-jenis Kemiskinan adalah sebagai berikut : 1. Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. 2. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki rata-rata pendapatanpengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Terminologi kemiskinan yang lain adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Tatanan tersebut tidak hanya menciptakan kemiskinan tetapi juga membuat kemiskinan tetap langgeng di dalam masyarakat. Kemiskinan struktural tidak disebabkan oleh sebab-sebab alami atau sebab-sebab pribadi melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil ini sehingga menjadi serba kekurangan dan miskin. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap menjadi miskin. Padahal seharusnya kemiskinan tersebut dapat dikurangi dengan mengabaikan faktor- faktor adat yang menghalangi seseorang melakukan perubahan ke tingkat kehidupan yang lebih baik lagi. Kemiskinan kultural biasanya dialami oleh suku- suku pedalaman di Indonesia seperti yang terjadi dengan suku Badui dan suku Dayak.

2.1.6. Kaitan Kebijakan

Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan Desentralisasi fiskal diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pada akhirnya mampu mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Ravallion dan Datt 1996 dalam BPS 2009 melakukan studi dengan menggunakan kasus India mendapatkan hasil bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani 2001 dalam BPS 2009 juga menyimpulkan hasil penelitiannya di Filipina bahwa peningkatan 1 persen output di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1 persen. Sebaliknya peningkatan 1 persen output di sektor industri dan jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan sekitar 0,25 – 0,30 persen. Berdasarkan penelitian di dua negara ASEAN yang merupakan negara berkembang bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja secara efektif yaitu sektor primer. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mampu mengurangi kemiskinan secara efektif karena berbagai alasan sebagai berikut Rajasa, 2007 : 1. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Keberpihakan pada sektor-sektor tertentu walaupun tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak akan menghambat berkembangnya sektor-sektor yang seharusnya mampu membuka peluang kesempatan kerja yang lebih banyak. 2. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh industri milik negara yang memiliki proteksi dari pemerintah. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak menjamin dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan. 3. Pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh industri canggih justru akan berpotensi memperparah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerja berkemampuan rendah. 4. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi. Teori ekonomi tentang kaitan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat melalui Gambar 2.3. dimana kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah Δ G menggeser AE ke atas sehingga keseimbangan bergeser dari titik A ke titik B dan meningkatkan output sebesar Δ Y. Kurva yang menunjukkan pengeluaran pemerintah ini berhubungan dengan kurva permintaan dan penawaran agregat. Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat terhadap sehingga meningkatkan output sebesar Δ Y. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan PDB atau PDRB. Apabila pada periode awal t=0 output PDB sebesar Y 0, maka pertumbuhan ekonomi terjadi apabila pada periode berikutnya menghasilkan output sebesar Y 1 . Peningkatan output ini diharapkan akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang digunakan sebagai salah satu faktor produksi yang memengaruhi output. Dengan diserapnya tenaga kerja maka akan mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan. Pengeluaran, AE AE = Y AE 1 = C 1 + I 1 + G 1 + N x1 B Δ G AE = C + I + G + N x0 A Δ Y Output, Y Y Y 1 Harga,P AD 1 AD Output, Y Y Y 1 Sumber : Mankiw,2003 Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan Permintaan Agregat

2.2. Penelitian Terdahulu