BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Reproduksi Hewan Jantan
Sistem reproduksi hewan jantan terdiri atas testis, epididimis, duktus deferens, kelenjar aksesori kelenjar vesikulosa, prostat dan
bulbouretralis, uretra dan penis. Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ
kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal
reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim.
William, 2005.
Gambar 1 . Anatomi sistem reproduksi tikus jantan Suckow,
2006
2.2 Testis
2.2.1 Anatomi Testis
Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dan sedikit gepeng. Testis terletak dalam skrotum dan dikelilingi oleh simpai tebal
jaringan ikat kolagen, yaitu tunika albuginea. Tunika albuginea menebal pada permukaan posterior testis dan membentuk mediastinum testis, yaitu
tempat penjuluran yang membagi kelenjar menjadi sekitar 250 kompartemen piramid yang disebut lobulus testis. Setiap lobulus dihuni
oleh 1-4 tubulus seminiferus. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis
dibentuk dari peritoneum saat testis masih berada dalam rongga abdomen. Sedangkan permukaan posterior menjadi tempat masuknya pembuluh
darah, pembuluh limfe, dan saraf. Skrotum memiliki peran penting dalam memelihara testis pada suhu di bawah suhu intra abdomen, yaitu sekitar
4°C-7°C Manika, 1991.
2.2.2 Fisiologi Testis
Testis merupakan organ yang berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dan menghasilkan hormon testosteron. Sekitar 80, testis
terdiri dari tubulus seminiferus yang berkelak-kelok, yang di dalamnya berlangsung spermatogenesis. Tubulus yang berkelak-kelok dalam lobulus
semua duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididimis Heffner, 2008.
Tubulus seminiferus
merupakan tempat
terjadinya spermatogenesis. Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di
dekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang
berkembang disepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus
berada dalam berbagai tahap pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan secara metabolik dan struktural untuk menjaga
spermatozoa yang sedang berkembang. Sel Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah dikeluarkan. Sel ini juga berfungsi pada proses
aromatisasi prekursor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan umpan balik lokal pada sel Leydig yang
memproduksi androgen. Selain itu sel Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi androgen sendiri terjadi di dalam kantong
dari sel khusus sel Leydig yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus Heffner, 2008.
Gambar 2 . Testis dan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus
Junqueira, 2007.
2.3 Epididimis dan Duktus Vas Deferens
2.3.1 Anatomi Epididimis dan Duktus Vas Deferens
Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk koma yang menahan batas posterolateral testis. Epididimis dibentuk oleh saluran
berkelok-kelok secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Duktus epididimis diperkirakan mempunyai tiga regio : kaput kepala, korpus
badan, dan kauda ekor. Permukaan sel epitel duktus ini ditutupi oleh mikrovili panjang yang bercabang dan tidak teratur yang biasa disebut
stereosilia. Epitel duktus epididimis turut serta dalam pengambilan dan pencernaan badan-badan residu yang dikeluarkan selama proses
spermatogenesis berlangsung. Duktus-duktus epididimis dari setiap testis menyatu untuk membentuk sebuah saluran berdinding tebal dan berotot
yang disebut duktus vas deferens. Dari setiap testis duktus deferens berjalan keluar dari kantong skrotum dan kembali ke dalam rongga
abdomen dan berakhir di ureter di bagian leher kandung kemih. Dinding duktus deferens tebal dan berotot dengan lubang kecil sehingga terasa
padat dan dapat diraba lewat kulit di bagian leher skrotum dan dapat diikat atau dipotong pada saat vasektomi Fawcett, 2002.
2.3.2 Fisiologi Epididimis dan Duktus Vas Deferens
Epididimis merupakan daerah penumpukan dan penyimpanan spermatozoa setelah meninggalkan testis. Secara umum epididimis
memiliki fungsi utama, yaitu transportasi, pemekatan konsentrasi, pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Duktus-duktus epididimis
melaksanakan beberapa fungsi penting tersebut. Sewaktu meninggalkan
testis, spermatozoa belum mampu bergerak atau membuahi belum matang secara fisiologis. Spermatozoa memperoleh kedua kemampuan tersebut
selama perjalanannya melintasi epididimis. Proses pematangan ini dirangsang oleh testosteron yang tertahan di dalam cairan tubulus oleh
protein pengikat androgen. Kapasitas spermatozoa untuk membuahi semakin ditingkatkan ketika disekresikan ke dalam saluran reproduksi
wanita, yang disebut kapasitasi Sherwood, 2001. Epididimis juga memekatkan spermatozoa beberapa ratus kali lipat
dengan menyerap sebagian besar cairan yang masuk dari tubulus seminiferus. Spermatozoa yang telah matang secara perlahan bergerak
melintasi epididimis ke dalam duktus deferens akibat kontraksi ritmik otot polos di dinding saluran-saluran tersebut. Duktus vas deferens berfungsi
sebagai tempat penyimpanan spermatozoa yang penting. Hal ini disebabkan karena spermatozoa yang terkemas rapat relatif inaktif dan
kebutuhan metabolit mereka juga rendah. Spermatozoa dapat disimpan dalam duktus deferens selama beberapa hari walaupun tidak mendapat
pasokan nutrisi dari darah dan hanya mendapat makanan dari gula-gula sederhana yang terdapat disekresi tubulus Sherwood, 2001.
2.4 Spermatogenesis
2.4.1 Tahap-Tahap Spermatogenesis
Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada
saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel yang baru
dibentuk dapat mengikuti satu dari dua jalur. Sel-sel ini dapat terus membelah sebagai sel induk, yang disebut spermatogonium tipe A, atau
dapat berdeferensiasi selama siklus mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B. Spermatogonium B merupakan sel progenitor yang
akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer. Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis pertama.
Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya kromosom dalam berbagai
tahap proses penggelungan di dalam intinya Fawcett, 2002. Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih
kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan
berada dalam tahap interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis kedua. Pembelahan spermatosit sekunder
menghasilkan spermatid. Karena tidak ada fase-S sintesis DNA yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua pada spermatosit,
jumlah DNA per sel berkurang setengah selama pembelahan kedua ini, yang menghasilkan sel haploid n. Oleh karena itu, proses meiosis
menghasilkan sel dengan jumlah kromosom haploid. Dengan adanya pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid yang normal
Junqueira, 2007.
Gambar 3. Tahapan pembentukan spermatogenesis Junqueira,
2007.
2.4.2 Sel Spermatogenik
Perkembangan sel spermatogenik merupakan suatu kejadian yang sangat kompleks dari berbagai tipe sel spermatogenik yang disebut
spermatogenesis. Sebagian besar sel-sel yang menyusun epitel seminiferus adalah sel spermatogenik dengan berbagai tahap perkembangan tertentu
Naz, 2006. Telah dijelaskan pada tahap-tahap perkembangan spermatogenenesis, bahwa perkembangan spermatogonium menjadi
spermatozoa memerlukan beberapa perkembangan tertentu.
Proses perkembangan tersebut dibagi menjadi tiga tahap: a.
Spermatositogenesis: Diferensiasi spermatogonia menjadi spermatosit primer.
b. Meiosis: perkembangan sel, dimana spermatosit primer memiliki
kromosom diploid membentuk spermatid haploid. c.
Spermiogenesis: Transformasi spermatid menjadi spermatozoa sperma.
Diferensiasi Spermatogonia Spermatogonia yang terletak di lapisan paling luar tubulus secara
terus menerus membelah dengan cara mitosis dimana sel baru yang terbentuk identik dengan sel induk. Peristiwa ini disebut proliferasi
mitotik. Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinyu sel-sel germinativum baru.
Menurut gambaran inti selnya, pada manusia dikenal tiga jenis spermatogonia :
a. Spermatogonia gelap tipe A, dengan inti sel lonjong berwarna gelap.
Sel-sel tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahankan jumlah spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia
pucat tipe A yang memiliki inti lonjong pucat. b.
Spermatogonia pucat tipe A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi spermatogia B menjadi spermatogonia pucat tipe A yang
lain. c.
Spermatogonia tipe B mempunyai inti bulat yang mengandung kromatin padat dengan membran inti. Bila spermatogonia tipe B
membelah diri dengan cara mitosis, sel-sel tersebut menghasilkan sel- sel anak yang seluruhnya berdiferensiasi menjadi spermatosit primer
Leeson, 1996. Setelah pembelahan mitosis spermatogonia, salah satu sel anak
tetap berada diluar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak berdiferensiasi untuk mempertahankan lapisan sel germinativum.
Sementara itu, sel-sel anak lainnya berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer masuk ke fase istirahat selama kromosom
mengalami duplikasi dan untai-untai ganda tetap bersatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama Sherwood, 2001.
Pembelahan Meiosis Spermatosit Pembelahan meiosis pertama dari spermatosit primer, diikuti
dengan pembelahan meiosis kedua spermatosit sekunder, dimana jumlah kromosom berkurang dan DNA spermatid menjadi haploid n.
Profase I pada pembelahan meiosis pertama melibatkan empat tahap:
1. Leptoten
2. Zigoten
3. Pakiten
4. Diakinase
Kromosom dari spermatosit primer mulai migrasi, membentuk benang panjang selama leptoten dan pasangan homolog selama zigoten.
Selanjutnya hasil migrasi singkat kromosom terjadi selama pakiten. Pertukaran
kromosom homolog
terjadi selama
diakinase.
Metafase I, pasangan kromosom homolog berbaris di garis khatulistiwa. Setiap pasangan kromosom berpisah dan bermigrasi ke kutub yang
berlawanan dari sel pada anafase I, dan sel-sel terpisah membentuk dua spermatosit sekunder selama telofase I spermatosit sekunder adalah sel
yang relatif kecil, dan karena mereka berumur pendek, mereka tidak mudah terlihat di epitel seminiferus. Selama mitosis spermatogonia dan
meiosis dari spermatosit, pembelahan melibatkan dua komponen : pembelahan nukleus dan pembelahan sitoplasma sitokinesis Gartner,
2007. Spermiogenesis
Spermiogenesis merupakan tahap akhir produksi spermatozoa. Spermiogenesis
adalah proses
transformasi spermatid
menjadi spermatozoa, yaitu sel yang sangat dikhususkan untuk menyampaikan
DNA jantan kepada ovum. Tidak terjadi pembelahan sel selama proses ini berlangsung Junqueira, 2007.
Spermatid dapat dikenali dari ukurannya yang kecil dan intinya dengan daerah kromatin padat. Letak spermatid di dalam tubulus
seminiferus adalah di dekat lumen. Spermiogenesis adalah suatu proses perkembangan rumit yang mencakup pembentukan akrosom, pemadatan
dan pemanjangan inti, pembentukan flagelum, dan hilangnya sebagian besar sitoplasma. Hasil akhirnya adalah spermatozoa matang yang
kemudian dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus Gartner, 2007.
Spermiogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase : a.
Fase golgi Sitoplasma spermatid mengandung kompleks Golgi di dekat inti,
mitokondria, sepasang sentriol, ribosom bebas, dan tubulus retikulum endosplasma halus. Granula proakrosom berkumpul di kompleks Golgi
dan kemudian menyatu membentuk satu granula akrosom yang terdapat dalam vesikel akrosom.
b. Fase akrosom
Vesikel dan granula akrosom menyebar untuk menutupi belahan anterior inti yang memadat yang dikenal akrosom. Akrosom
mengandung beberapa enzim hidrolitik, seperti hialuronidase, asam fosfatase, neuraminidase, dan protease. Jadi, akrosom berfungsi
sebagai lisosom. c.
Fase pematangan Sitoplasma residu dibuang dan difagositosis oleh sel Sertoli dan
spermatozoa dilepaskan ke dalam lumen tubulus Junqueira, 2007.
2.4.3 Siklus Epitel Seminiferus
Satu siklus seminiferus merupakan satu tingkat perkembangan sel tertentu dari epitel tubulus seminiferus dimana, terjadi perkembangan dari
satu sel menjadi satu tingkat sel yang lebih dewasa pada siklus yang sama. Epitel seminiferus testis terdiri dari sel Sertoli dan sel spermatogenik.
Perkembangan epitel seminiferus bergantung pada perbedaan waktu proliferasi dan diferensiasi sel induk spermatogonia. Pada tikus, waktu
yang dibutuhkan untuk satu siklus epitel seminiferus adalah 12,9 hari 13
hari. Sedangkan satu siklus spermatogenesis spermatogonia menjadi spermatozoa adalah 51,6 hari sekitar 8 minggu. Sehingga dapat
dikatakan bahwa satu siklus spermatogenesis memerlukan 4 siklus epitel seminiferus. Pada potongan melintang tubulus seminiferus testis tikus tipe
asosiasi sel dibagi dalam 14 tahapan. Setiap asosiasi sel, terdiri dari sekumpulan sel spermatogenik yang selalu tersusun teratur dari
spermatogonia, spermatosit dan spermatid yang terdapat pada berbagai tingkat perkembangan Franca, 1998.
Tahapan spermatogenesis
tersusun dari
susunan antara
spermatogonia A,
spermatogonia intermedia,
spermatogonia B,
spermatosit primer dalam berbagai tahap profase leptoten, zigoten, pakiten, diploten dan diakinase dan spermatid dengan 19 langkah
spermatogenesis Franca, 1998.
Gambar 4 . Tahapan perkembangan sel spermatogenik dalam
tubulus seminiferus Dunkel, 1997
Pada manusia, satu siklus epitel seminiferus membutuhkan waktu 16 hari dan waktu yang diperlukan untuk satu siklus spermatogenesis 64
hari sekitar 8 minggu. Sedangkan satu siklus spermatogenesis memerlukan 4-5 siklus epitel seminiferus dimana tipe asosiasi sel dibagi
dalam 6 tahapan Weinbauer, 1999. Pentingnya mengidentifikasi tahapan spermatogenesis berkaitan dengan sifat siklus dan proses biokimia yang
terjadi selama pematangan epitel spermatogenik Heninger, 2004.
2.5 Peranan Hormon Pada Spermatogenesis
Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Pengaturan
pembentukan spermatogenesis dimulai dengan sekresi gonadotropin releasing hormone GnRH oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya
merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin, yaitu Follicle Stimulating
Hormone FSH, Luteinizing Hormone LH. Selanjutnya, Luteinizing Hormone LH merupakan rangsangan utama untuk sekresi testosteron
pada sel Leydig yang diperlukan untuk perkembangan normal sel spermatogenik, sedangkan Follicle Stimulating Hormone FSH untuk
merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen oleh sel Sertoli, yang merupakan komponen tubulus
testis yang berguna menyokong pematangan sel spermatozoa dalam proses spermatogenesis Sherwood, 2001.
Gambar 5
. Mekanisme pengaturan hormon spermatogenesis Dee, 2004
Maka, dapat disimpulkan bahwa hormon memiliki peranan yang penting terhadap terbentuknya spermatogenesis. Adapun hormon yang
terlibat diantaranya testosteron, Follicle Stimulating Hormone FSH, Luteinizing Hormone LH, estrogen, dan hormon pertumbuhan lainnya
Naz, 2006. A.
Testosteron Testosteron merupakan salah satu bentuk hormon kelamin pria,
androgen. Androgen berasal dari testis dan sebagian diproduksi oleh kelenjar adrenal. Androgen sendiri terdiri dari beberapa hormon, yaitu
testosteron, hidrotestosteron dan androstenedion. Namun demikian, jumlah testosteron lebih banyak dibandingkan dengan hormon yang lain. Hormon
ini memegang peranan penting pada satu tahap penting proses pembelahan sel-sel germinal untuk pembentukan spermatozoa, terutama pembelahan
meiosis untuk membentuk spermatosit sekunder. Hormon ini mengontrol
perkembangan organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder pada pria berupa pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan rambut ketiak,
pubis, dada, kumis dan jenggot serta untuk pertumbuhan otot dan tulang Ascobat, 2008.
B. Luteinizing Hormone LH dan Follicle Stimulating Hormone
FSH Luteinizing Hormone LH disekresikan oleh sel karminofil dari
kelenjar hipofisis bagian anterior. Berperan dalam stimulasi sel-sel Leydig
untuk memproduksi testosteron, juga berperan dihasilkannya estradiol.
Follicle Stimulating Hormone FSH merangsang pertumbuhan testis dan
mempertinggi produksi protein pengikat androgen ABP oleh sel Sertoli. Peningkatan ABP ini menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang
penting bagi pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis. Dengan demikian Follicle Stimulating Hormone
FSH bekerja menyiapkan kadar androgen yang cukup untuk sel germinal dan
memacu pendewasaan spermatozoa di dalam epididimis Junqueira, 2007. C.
Estrogen Dibentuk oleh sel-sel Sertoli ketika sedang distimulasi oleh
Follicle Stimulating Hormone FSH. Hormon ini kemungkinan
diperlukan pada proses spermiasi. Sel-sel Sertoli juga mengsekresikan suatu protein pengikat androgen yang mengikat baik testosteron dan
estrogen maupun keduanya ke dalam cairan tubulus seminiferus, yang diperlukan untuk maturasi spermatozoa Suherman, 2008.
D. Hormon pertumbuhan lainnya
Seperti juga pada sebagian besar hormon lainnya diperlukan untuk mengatur latarbelakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan
secara khusus
meningkatkan pembelahan awal
spermatogenesis Sherwood, 2001.
2. 6 Testosteron Undekanoat
Testosteron Undekanoat TU 17-hydroxy-4androsten-3-one 17- undecanoate merupakan testosteron ester golongan asam lemak alifatik
yang mempunyai rantai samping panjang, sehingga lebih bersifat lipofilik. Esterifikasi testosteron menghasilkan molekul yang kurang polar dan dapat
larut dalam minyak dan jaringan lemak. Testosteron Undekanoat TU merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif
testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Testosteron Undekanoat TU mempunyai waktu paruh yang panjang yakni 6-10 minggu. Hal ini
disebabkan karena rantai samping alifatik yang panjang, semakin panjang rantai karbon maka waktu paruhnya akan memanjang pula Woferst,
2007.
Gambar 6 . Rumus bangun Testosteron Undekanoat Ilyas, 2008.
Testosteron Undekanoat TU yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi liquid. Sediaan tersebut
diberikan dengan cara injeksi secara intramuskular. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisis Testosteron Undekanoat TU tersebut terjadi
setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk kompleks homon-reseptor. Kompleks hormon-reseptor
tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA. Tujuan utama pemberian
Testosteron Undekanoat TU adalah mempertahankan tingginya kadar testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kotrasepsi pria
Ilyas, 2008.
2.7 Medroksiprogesteron Asetat