Saran Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan ketentuan Pasal 477 KUHD tentang pertanggung jawaban ganti kerugian akibat keterlambatan meyerahkan barang : “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia dapat membuktikannya, bahwa keterlambatan itu adalah akibat sesuatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya”.

B. Saran

1. Perlu kiranya sebelum membuat suatu perjanjian pengangkutan masyarakat memahami tentang perjanjian pengangkutan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam melakukan perjanjian pengangkutan. 2. Agar didalam isi perjanjian pengangkutan dijelaskan tanggung jawab para pihak, sehingga benar-benar mengetahui hak dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing pihak dalam pelaksanaan pengangkutan laut. 3. Agar dalam penyelesai ganti rugi tidak memakan waktu yang lama, sehingga segala urusan mengenai ganti rugi cepat terlaksana, mengingat banyaknya urusan dan tanggung jawab para pihak, serta diharapkan pemerintah agar meningkatkan lagi peraturan di bidang tuntutan ganti kerugian sehingga akan menjamin kepastian hukum didalam proses pengajuan tuntuan ganti rugi . Universitas Sumatera Utara BAB II TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya. Pada dasarnya konsep perjanjian terdiri atas 5 konsep yaitu: 1. Subyek Perjanjian Subyek perjanjian yaitu para pihak yang melakukan perjanjian tersebut, sekurang-kurangnya ada dua pihak. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi maupun badan hukum. Subyek perjanjian harus wewenang dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang diatur didalam undang-undang 10 . 2. Persetujuan Tetap Persetujuan tetap, yaitu antara pihak-pihak sudah tercapai kata kesepakatan yang final, sebagai hasil akhir yang dicapai dalam negosiasi. Negosiasi adalah suatu perbuatan pendahuluan sebagai proses menuju pada persetujuan atau persepakatan final. Persetujuan itu dinyatakan dengan penerimaan atas suatu tawaran. Persetujuan final tersebut berisi hak dan kewajiban yang mengikat masing-masing pihak yang wajib dipenuhi dengan itikad baik, dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak 11 . 10 Abdulkadir Muhammad, 2011, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm 291 11 Abdulkadir Muhammad ,ibid.hlm 291. Universitas Sumatera Utara 3. Objek Perjanjian Objek perjanjian, yaitu berupa prestasi yang wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak 12 . Objek perjanjian harus benda yang tidak dilarang untuk diperjanjikan didalam undang-undang. Jadi objek perjanjian harus halal, jelas objeknya dan dapat diserahkan berdasarkan pada perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak. 4. Tujuan Perjanjian. Tujuan perjanjian yaitu, hasil akhir yang diperoleh oleh para pihak berupa pemanfaatan, penikmatan dan pemilikan benda atau hak kebendaan sebagai pemenuhak kebutuhan para pihak. Pemenuhak kebutuhan tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara para pihak. Tujuan perjanjian tersebut dapat dicapai bila sifatnya halal. Yang artinya tidak dilarang oleh undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan didalam masyarakat 13 . 5. Bentuk Perjanjian. Bentuk perjanjian perlu dilakukan karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memilliki kekuatan bukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta yang dibuat dihadapan notaris maupun akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak itu sendiri. Bentuk tertulis sangat diperlukan jika perjanjian tersebut 12 Abdulkadir Muhammad ,ibid.hlm 292. 13 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm292. Universitas Sumatera Utara berisikan hak dan kewajiban yang sulit diingat. Jika perjanjian dibuat tertulis makakepastian hukumnya tinggi. Perjanjian dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya akan udah diingat dan dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah cukup. Walaupun perjanjian lisan biasanya didukung oleh dokumen, misalnya tiket penumpang, faktur penjualan, dan kwitansi 14 . Menurut Subekti tentang pengertian Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada oranglain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan menurut KRMT Tirtodiningrat memberikan defenisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas penting yang menjadi dasar para pihak untuk mencapai tujuan masing-masiang. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut : a Asas Kebebasan Berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas sentral dalam hukum perjanjian. Pada asas ini terdapat dalam pasa 1313 KUHPerdata yang berbunyi “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai 14 Abdulkadir Muhammad ,ibid.hlm 293. Universitas Sumatera Utara undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam asas ini semua orang bebas melakukan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur oleh undang-undang maupun yang belum 15 . Asas ini memberi keleluasan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum mereka. Akan tetapi asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh Pasal 1339 KUHPerdata, agar tidak terjadinya kesewenang- wenangan dalam membuat suatu perjanjian. Dalam Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan “ suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga segala sesuatu menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang “. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan 16 . b Asas Konsensualisme. Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat konsensus antara para pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Berdasar pada asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup secara lisan saja, sebagai penjelmaan asas “manusia itu dapat dipegang mulutnya”, artinya dapat percaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Akan tetapi, ada perjanjian tertentu yang dibuat secara 15 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 295. 16 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 295. Universitas Sumatera Utara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hibah dan pertanggungan asuransi. Tujuannya adalah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian dengan formalitas tertentu ini disebut perjanjia formal 17 . c Asas Itikad Baik. Sebagaimana diketahui dalam pasaal 1338 3 yang menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang maksudnya persetujuan harus didasarkan dengan itikad baik. Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan 18. Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas. Dalam P asal 1963 KUHPerdata ada lah kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan statis. Sementara itu, pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 3 KUHPerdata yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak 17 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 296. 18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas, Kencana Prenada Media Group, jakarta, 2010, hlm. 134. Universitas Sumatera Utara lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi 19. Menurut Arthur S. Hartkamp, 20 terdapat dua model pengujian tentang ada atau tidaknya itikad baik dalam kontrak, yaitu pengujian objektif dan pengujian subjektif. Pengujian objektif pada umumnya dikaitkan dengan kepatutan, artinya salah satu pihak tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak jujur manakala ternyata ia tidak bertindak secara sepatutnya. Sementara itu pengujian subjektif terdapat kewajiban itikad baik dikaitkan dengan keadaan karena ketidaktahuan. Memang diketahui untuk dapat memahami itikad baik bukanlah hal yang mudah. Pada kenyataanya itikad baik acap kali tumpang-tindih dengan kewajaran dan kepatutan. Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Oleh karena itu dalam pengadilan, itikad baik dan kepatutan dipahami sebagai asas atau prinsip yang saling melengkapi.21 d Asas Obligator. Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan, yaitu melalui penyerahan. Hukum perdata Prancis mengenal perjanjian obligator. Perjanjian yang dibuat itu sekaligus bersifat Zakelijk, yaitu memindahkan hak milik. Hukum perdata prancis tidak mengenal lembaga penyerahan levering. 19 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 139. 20 Periksa Y. Sogar Simamora, Perinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005, hlm. 39 selanjutnya disingkat Y. Sogar Simamora-II. 21 Y. Sogar Simamora, Ibid., hlm. 39 Universitas Sumatera Utara

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.