Kajian Aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Laut (Studi Pt. Samudera Indonesia Cab. Belawan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ashsofa Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. Rineka Cipta.

Badrulzaman Darus Mariam, Siahdeini Remy Sultan, Soepraptomo Heru, Djamil Faturrahman, Soenandar Tryana. 2001 Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. Citara Aditya Bakti.

Kramadibrata Soedjono. 2002 . Perencanaan Pelabuhan. Bandung.Penerbit ITB. Muhammad Abdulkadir. 2011. Hukum Perdata Indonesia. Bandung.Citra Aditya

Bakti.

---. 2008. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung. Citra Aditya Bakti,

Prodjodikoro Wirjono. 2011. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung. Mandar maju.

Purba Hasim. 2005. Hukum Pengangkutan Dilaut. Pustaka Bangsa Press. Medan. Purwosutjipto. Purwosutjipto H.M.N. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang

Indonesia 5. Jakarta. Penerbit Djambatan.

Sembiring Sentosa. 2008. Hukum Dagang. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Simorangkir J.C.T, Rudy T, Erwin, Prasetyo J.T. 2004. Jakarta. Kamus Hukum. Sinar Grafika.

Simamora Y Sogar. 2005. Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan

Jasa oleh Pemerintah (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas

Airlangga. Surabaya.

Subagyo P Joko. 2013. Hukum Laut Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.

Suharsono dan Retnoningsih Ana. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang.Widya Karya.


(2)

Suyono R.P. 2003, Shipping Pengangkutan Internasional Ekspor Impor Melalui Laut. Jakarta. PPM.

Uli sinta. 2006. Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Transport, Angkutan Laut,

Angkutan Darat, dan Angkutan Udara. Medan.USUpress.

Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Sistem

Multimoda. Jakarta. (Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Tahun 2004.

B. Peraturan Undang-undang dan Konvensi Internasional

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. The Hague Rules Tahun 1924.

The Hamburg Rules Tahun 1978.

C. Data Lapangan

Hasil Wawancara pada PT. Samudera Indonesia

D. Internet

http://folorensus.blogspot.com/2008/07/hukum-tentang-perjanjian-pengangkutan.html, diakses tanggal 7 April 2014

http://garmenstudionline.blogspot.com/2013/01/pengiriman-barang dengan-menggunakan.html, diakses tanggal 11 April 2014


(3)

A. Pengertian Pengangkutan Laut

Sebelum memahami dan mengetahui apa itu perjanjian pengangkutan, maka ada baiknya terlebih dahulu mengenal dan mengetahui apa yang dimaksud dengan pengangkutan dan apa saja sarana dan prasarana dalam pengangkutan, khususnya pada pengankutan laut.

Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien38. Dengan demikian pengangkutan merupakan

pemindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang dituju untuk meningkatkan daya guna dan nilainya. Dengan demikian peningkatan daya guna dan nilai merupakan tujuan dari diadakannya pengangkutan. Menurut HMN. Poerwosutjipto mengatakan bahwa “ Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ketempat tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan” 39 .

      

38 Sinta uli, Pengangkutan suatu tinjauan hukum multimoda transport angkutan laut

angkutan darat dan angkutan udara, Medan, USUPress, 2006, hlm. 20

39 Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit


(4)

Usaha pengangkutan bukan hanya berupa kegiatan pemindahan barang dan orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara dan kondisi yang statis, akan tetapi pengangkutan itu selalu diusahakan perbaikan dan kemajuannya sesuai dengan perkembangan peradaban dan teknologi. Dengan demikian pengangkutan itu selalu diusahakan perbaikan dan peningkatannya, sehingga akan tercapai efisiensi pengangkutan yang lebih baik. Ini berarti bahwa orang akan selalu berusaha mencapai efisiensi terhadap pengangkutan, agar pengangkutan barang dan orang tersebut dapat memakan waktu yang secepat mungkin dan dengan pengeluaran biaya yang sekecil mungkin.

Untuk pengiriman produk atau barang yang masih satu pulau dapat dilakukan dengan menggunakan sarana transportasi darat dengan dokumen-dokumen yang tidak serumit ketika pengiriman dilakukan ke luar pulau atau ke luar negeri. Umumnya, pengiriman suatu produk atau barang dapat dilakukan dengan menggunakan alat transportasi seperti angkutan laut (konvensional atau kontainer/peti kemas) dan angkutan udara40.

Angkutan diindonesia terbagi menjadi 3 bagian yaitu angkutan melalui angkutan darat, angkutan udara dan angkutan laut. Sesuai dengan namanya, pengangkutan darat adalah segala jenis pengangkutan baik barang maupun penumpang yang dilakukan dengan angkutan darat, seperti angkutan yang bergerak menggunakan jalan raya maupun dengan rel. Sementara angkutan udara adalah segala setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat untuk mengangkut

      

40 Pengiriman Barang dengan Menggunakan Angkutan Laut (Kapal Konvensional).,

http://garmenstudionline.blogspot.com/2013/01/pengiriman-barang-dengan-menggunakan.html., diakses tanggal 15 Mei 2014.


(5)

penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandara ke bandara udara yang lain atau beberapa bandara lain (PP No.40 Tahun 1995)41.

Pengangkutan laut adalah merupakan kegiatan mengangkut ataupun membawa maupun memindahkan penumpang, hewan, dan barang dengan menggunakan kapal tertentu yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran baik swasta dan juga pemerintah dari satu pelabuhan di suatu pulau ke pelabuhan lain yang terdapat di pulau lain tersebut. Pengangkutan laut dapat berlangsung antarpulau dalam satu negara atau secara nasional dan antarpulau dari satu negara ke negara lain atau secara internasional.

Jenis-jenis angkutan laut di Indonesia sebagai berikut :

1. Angkutan Laut Khusus yaitu kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.

2. Angkutan Laut Pelayaran Rakyat yaitu suatu usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan diperairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan kapal motor sederhana dengan berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

3. Angkutan laut dalam negeri yaitu suatu angkutan laut yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia dan

      


(6)

dapat melayani kegiatan mengangkut penumpang dan barang antar pulau dan antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.

4. Angkutan laut luar negeri yaitu kegiatan angkutan laut yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan perusahaan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia atau kapal asing. Dan angkutan laut luar negeri hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagi agen umum.

Dalam pengangkutan barang melalui laut tentu alat pengangkutan yang dipergunakan adalah kapal laut, dan sarana-sarana penunjang dalam pengangkutan laut. Untuk itu perlu rasanya saya membahas apa itu kapal laut dan sarana-sarana dalam pengankutan laut.

1. Kapal Laut.

Yang dimaksud dengan kapal laut adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang dilaut (sungai dan sebagainya)42. Pengertian kapal ini rumusannya dapat dilihat pada Pasal 309 ayat (1) KUHD dimana disebutkan bahwa kapal adalah semua alat berlayar, apapun nama dan sifatnya. Dari rumusan pengertian kapal yang telah disebutkan oleh Pasal 309 ayat (1) KUHD yang perlu diperhatikan adalah adanya unsur berlayar. Kata berlayar ada yang menerjemahkan dengan padanan bahtera, dan ada juga yang menerjemahkan dengan padanan kapal atau perahu layar. Namun dengan demikian, Prof

      

42 R. P. Suyono, Shipping Pengangkutan Internasional Ekspor Impor Melalui Laut,


(7)

Soekardono dan Purwosutjipto dan beberapa penulis lain menerjemahkan itu adalah alat berlayar. Jelas yang dinamakan kapal itu bukan cuma kapal atau perahu sebagaimana yang dilihat sehari-hari, tetapi juga meliputi benda-benda lain, seperti :

1. Dok Terapung.

2. Mesin Pengeruk Lumpur. 3. Alat Pengangkut Apung. 4. Mesin Penyedot pasir di laut. 5. dan lain-lain.

Kapal laut dibedakan atas ukuran besarnya, bessarnya ukuran kapal dikenal dengan gross register ton (GRT) dan net register ton (NRT). Kemudian yang menjadi ukuran besar kapal adalah panjangnya, yang berpengaruh terhadap penyediaan tempat untuk kapal bersandar. Selain itu ukuran berat kapal yang dikenal dengan displacement. Displacement adalah jumlah berat air yang dipindahkan oleh kapal, yang beratnya sama dengan berat kapal.

Muatan kapal laut berkaitan erat dengan daya angkut kapal. Dalam hal ini daya angkut kapal dikenal dengan istilah deadwight ton dan cargo capacity. Deadwight ton adalah daya angkut kapal termasuk didalamnya penumpang/muatan, bahan bakar, air, perbekalan dan sparepart pada syarat maksimum dinyatakan dengan long ton. Sementara cargo capacity adalah daya angkut kapal membawa muatan (DTW) dikurangi bunker, air, perbekalan dan sparepart.


(8)

2. Pelabuhan.

Saran pembantu dalam pengankutan laut adalah pelabuhan. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan, yang dimaksud dengan pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi dipergunakan sebagai tempat bersandar, berlabuh, naik turun penumpang, dan atau bongkar muat yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi42.

Untuk menunjang perdagangan dengan lalu lintas muatan, diciptakan pelabuhan sebagai titik simpul (central) yang memungkinkan perpindahan muatan dan penumpang, tempat kapal-kapal dapat berlabuh dan bersandar untuk kemudian melakukan bongkar muat dan/ atau meneruskan pelayaran ke daerah tujuan43.

Fungsi pelabuhan paling tidak terdapat empat, yaitu sebagai tempat pertemuan, gapura, identitas entitas industri dan mata rantai transportasi44.

a) Tempat Pertemuan.

Pelabuhan merupakan tempat pertemuan dua moda transportasi utama yaitu, darat dan laut serta berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang-barang yang diangkut oleh kapal laut akan dibongkar dan dipindahkan ke angkutan darat, dan sebaliknya. Oleh karena itu

      

43 Soedjono Kramadibrata, Perencanaan Pelabuhan, Bandung, Penerbit ITB, 2002, hlm.

77


(9)

di pelabuhan terdapat berbagai kepentingan bertemu, maka di pelabuhan berdiri fasilitas-fasilitas seperti Bank, Bea Cukai dan lain sebagainya.

b) Gapura.

Pelabuhan juga berfungsi sebagai gapura atau pintu gerbang suatu negara. Warga negara dan barang-barang dari negara asing yang memiliki pertalian ekonomi masuk ke suatu negara akan melewati pelabuhan tersebut. Sebagai pintu gerbang negara, citra negara sangat ditentukan oleh baiknya pelayanan di pelabuhan tersebut. c) Entisitas Industri.

Dengan berkembangnya industri yang berorientasi ekspor maka fungsi pelabuhan menjadi sangat penting. Dengan adanya pelabuhan, hal ini memudahkan industri mengirim produknya dan mendatangkan bahan baku. Dengan demikain, pelabuhan berkembang menjadi suatu jenis industri sendiri yang menjadi ajang bisnis berbagai jenis usaha.

d) Mata Rantai Transportasi.

Pelabuhan merupakan mata rantai transportasi. Dipelabuhan, berbagai transportasi bertemu dan bekerja. Pelabuhan laut merupakan salah satu titik dari mata rantai angkutan laut dan angktan darat.


(10)

Untuk menunjang kelancaran aktivitas di pelabuhan, terdapat berbagai fasilitas sebagai sarana penunjang dipelabuhan diataranya:

1. Penahan Gelombang.

Penahan gelombang adalah konstruksi dari batu-batuan yang kuat dan dibuat melingkar memanjang kearah laut dari pelabuhan dimaksudkan untuk sebagai pelindung pelabuhan. Gunanya untuk menahan ombak dan gelombang, karena di dalam pelabuhan terdapat dermaga-dermaga tempat kapal-kapal bersandar. 2. Jembatan.

Jembatan adalah bangunan berbentuk jembatan yang dibuat menjorok keluar ke arah laut dari pantai atau daratan. Biasanya terbuat dari beton, baja atau kayu dan dibuat untuk menampung sementara barang yang akan dibongkar dari/ke kapal yang sandar dijembatan itu.

3. Dolphin.

Dolphin adalah kumpulan dari tonggak-tonggak yang terbuat dari besi, kayu atau beton agar kapal dapat bersandar disitu untuk melakukan kegiatan bongkar muat.

4. Pelampung pengikat.

Pelampung dimana kapal ditambatkan untuk melakukan suatu kegiatan. Pelampung pengikat berguna agar kapal dat melakukan bongkar muat pada kedua sisinya.


(11)

Tempat labuh adalah tempat perairan di mana kapal melego jangkarnya untuk melakukan kegiatan. Tempat labuh juga berfungsi sebagai tempat menunggu untu masuk ke suatu pelabuhan.

6. Single Buoy Mooring.

Adalah pelampung pengikat dimana kapal tanker dapat bongkar muat muatannya melalui pipa dipelampung itu yang menghubungkan ke daratan atau sumber pasokan.

7. Tongkang.

Tongkang adalah perahu-perahu kecil yang dipergunakan untuk mengangkut muatan atau barang dati atau ke kapal yang dimuat atau dibongkar, yang biasanya ditarik oleh kapal tunda.

8. Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan.

Alur kapal adalah bagian dari perairan di pelabuhan tempat masuk/ keluarnya kapal. Alur pelayaran kapal memiliki kedalaman tertentu agar kapal bisa masuk dan keluar kolam pelabuhan atau sandar di dermaga. Kolam pelabuhan juga harus disiapkan oleh pelabuhan, agar tersedia tempat cukup sesuai dengan jenis kapal dan muatannya.

9. Rambu Kapal.

Rambu kapal adalah tanda-tanda yang dipasang diperairan menuju pelabuhan untuk memandu kapal. Bila letak rambu-rambu kuran jelas maka akan mengakibatkan kapal kandas, juga bila kapal berlabuh, jangkarnya dapat


(12)

menggaruk kabel komunikasi atau kabel listrik bawah air, atau terjadi kapal berlabuh didaerah yang terlarang.

10. Gudang.

Gudang adalah tempat penempatan penampungan barang yang tertutup agar terlindung dari segala cuaca. Namun ada juga gudang terbuka untuk barang tertentu atau petikemas. Gudang merupakan bagian yang penting dalam pelabuhan, karena di dalam gudang inilah barang yang akan dimuat atau dibongkar dari kapal untuk sementara disimpan, kecuali bila muatan dimuat dalam petikemas.

11. Dermaga.

Upaya untuk melayani kapal yang masuk, pelabuhan menyediakan dermaga, yaitu tempat di mana kapal dapat berlabuh atau bersandar guna melakukan kegiatannya, baik bongkar muat maupun kegiatan lainnya. Dermaga terbagi atas 3 bagian, yaitu :

1) Dermaga Konvensional.

Dermaga konvensional adalah dermaga yang digunakan untuk melakukan aktivitas bongkar muat kapal kargo. Dermaga konvensional dipakai untuk kapal-kapal kargo biasa, yaitu kapal-kapal yang dilengkapi dengan peralatan bongkar muat dan membawa berbagai jenis muatan yang memerlukan pemadatan khusus bila disimpan dalam palkanya. Di dermaga konvensional terdapat lebih banyak tenaga manusia (buruh). Buruh di


(13)

dermaga ini dipergunakan untuk mengangkat barang dari gudang ke gudang.

2) Dermaga Petikemas.

Dermaga petikemas adalah dermaga yang digunakan untuk melakukan bongkar muat kapal-kapal petikemas. Dermaga petikemas terdiri dari lapangan yang terbuka dan dilengakapi dengan keran-keran untuk bongkar muat petikemas. Buruh disini dimanfaatkan untuk mengisi atau membongkar barang dari petikemas. Dermaga petikemas juga dilengkapi dengan beberapa gudang untuk menampung muatan petikemas.

3) Dermaga Khusus.

Selain kapal petikemas dan general cargo, ada juga kapal-kapal dengan muatan khusus, seperti kapal ferry dan ro-ro. Biasanya untuk kapal-kapal seperti ini disediakan dermaga khusus. Kapal-kapal pengangkut minyak atau tanker juga disediakan tempat khusus untuk aktivitasnya, terpisah dari kapal-kapal lainnya karena tanker biasanya mengangkut bahan bakar yang bisa membahayakan kapal-kapal lainnya45 .

B. Perjanjian Pengankutan Barang Melalui Angkutan Laut

Dalam pengangkutan barang melalui angkutan laut terlebih dahulu diadakan perjanjian pengangkutan, karena adanya perjanjian diantara kedua belah pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Terjadinya perjanjian pengangkutan barang terlebih dahulu didahului oleh serangkaian

      


(14)

perbuatan penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim/penumpang yang dilakukan secara timbal balik.

Dalam proses pengangkutan ada yang disebut pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengankutan barang atau penumpang, singkatnya pengangkut adalah penyelenggara pengangkutan dengan menggunakan alat pengangkut mekanik dan menerbitkan dokumen atas pengangkutan tersebut. Penyelenggaraan pengangkutan dapat bersetatus Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta, dan Perseorangan yang melakukan usaha dibidang jasa dalam pengangkutan. Sementara pengirim adalah pihak yang mengikatkan dirinya untuk membayar biaya pengangkutan atas barang atau orang yang diangkut yang statusnyaadalah pemilik barang, yang sekaligus pemegang atas dokumen pengangkutan yang diterbitkan oleh pihak pengangkut.

Pengirim barang pada peraktiknya bukanlah pemilik barang. Karena pemilik barang itu lazimnya menyerahkan pengiriman barang barang kepada orang lain, dalam hal ini disebut ekspeditur46. Sesuai dengan ketentuan dalam

Pasal 86 KUHD yang dimaksud dengan ekspeditur adalah orang yang menyuruh mengangkut barang-barang perniagaan dan barang-barang di darat atau di perairan. Jadi secara singkat dapat pula disebutkan bahwa pengirim dalam kaitannya dengan pengangkutan barang-barang melalui laut adalah orang yang dengan kuasa yang diperolehnya dari pemilik barang menutup perjanjian

      


(15)

pengangkutan barang-barang melalui laut. Pengangkut barang adalah penyelenggara usaha angkutan yang berada di perairan di indonesia yang bergerak khusus dibidang pengangkutan di perairan yang dilakukan oleh badan hukum dan tunduk serta patuh terhadap peraturan hukum di Indonesia.

Kewajiban pengangkut adalah menyerahkan barang angkutannya kepada penerima (seseorang atau perusahaan) yang telah ditentukan namanya dalam bill of lading dan kepada siapa barang yang diangkut tersebut diserahkan. Dalam The Hamburg Rules 1978 bahwa yang dimaksud penerima barang adalah mereka yang diberi atau memperoleh hak untuk menerima barang.

Berdasarkan Pasal 491 KUHD, apabila barang-barang muatan telah diserahkan maka penerima wajib membayar uang angkutan. Apabila si penerima tidak mengambil barangnya atau tidak memberi jaminan pembayaran uang angkutan atau karena sebab-sebab lain, maka pengangkut dapat menyimpan barang yang bersangkutan di gudang pelabuhan atas tanggungan si penerima atau pengirim barang (Pasal 495 KUHD).

Dengan demikian perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan /atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan47.

Dengan selamat, keadaaan tidak selamat mengandung dua arti:

      

47 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, 2008, Citra Aditya Bakti,


(16)

1. pada pengangkutan barang, barangnya tak ada atau musnah, barangnya ada tetapi rusak sebagian atau seluruhnya disebabkan berbagai kemungkinan peristiwa;

2. pada pengakutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau menderita cacat tetap atau sementara, karena sesuatu peristiwa atau kejadian48.

Perjanjian pengangkutan dapat terjadi secara tidak langsung maupun langsung. Secara tidak langsung terjadi dengan menggunakan jasa perantara, seperti ekspeditur untuk pengangkutan barang dan agen perjalanan untuk pengangkutan penumpang. Apabila perjanjian langsung maka penawaran dari pihak pengangkut menghubungi pengirim/ penumpang atau melalui media massa. Disini berarti pihak pengangkut yang mencari barang yang akan dikirim atau penumpang untuk diangkut. Pada pengangkutan diperairan, kapal menyinggahi pelabuhan untuk mengangkut barang dan penumpang. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi.

Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkutan baru diselenggarakan setelah biaya angkutan dibayar terlebih dahulu. Tetapi di samping ketentuan undang-undang juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan sebagian dahulu dan melunasinya setelah selesai atau

      

48 Hukum tentang Perjanjian Pengangkutan,

http://folorensus.blogspot.com/2008/07/hukum-tentang-perjanjian-pengangkutan.html, diakses tanggal 18 Mei 2014. 


(17)

membayar biaya angkutan setelah peroses pengangkutan selesai baru melakukan pembayaran ongkos pengangkutan seluruhnya kepada pengangkut 49 .

Dalam hukum positif di indonesia perjanjian pengangkutan merupakan suatu sebab yang mengakibatkan timbulnya tanggung jawab dalam pengangkutan. Perjanjian pengangkutan haruslah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan perundang-undangan yang belaku, yaitu berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Adapun peryaratan tersebut adalah sebagai berikut :

1) Adanya kesepakatan diantara para pihak mengenai apapun yang diperjanjikan diantara para pihak.

2) Kecakapan bagi mereka yang membuat perjanjian, artinya harus mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

3) Hal tertentu, yaitu bahwa setiap perjanjian harus mempunyai objek perjanjiannya.

4) Kausa yang halal berarti tujuan dari perjanjian itu haruslah halal dan tidak bertentangan dengan hukum.

Adapun mengenai isi perjanjiannya tergantung pada para pihak yang membuat perjanjian, sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak.

Dalam The Hangue Rules yang disebut perjanjian pengangkutan dapat dilihat dalam article I (b) sebagai berikut :

      


(18)

“ Contract of carriage” applies only to contracts of carriage covered by lading or any similar document of title, in so far as such document relates so the carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document as aforesaid issued under or pursuant to a charterparty from the moment at which such bill of lading or similar document of titles regulates the

relations between a carrier and a holder of the same50.

Dalam The Hambrug Rules yang dimaksud perjanjian pengangkutan disebutkan dalam article 1 (6) :

“Contract of carriage by sea” means any contract whereby the carrier undertakes against payments of freight to carry goods by sea from one port to another; however, a contract which involes carriage by sea and also carriage by some other means is deemed to be a contract of carriage by sea for the

purpose of this convention in so far as it relates to the carriage by sea51.

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian pengangkutan tidak termasuk kepada perjanjian-perjanjian tertentu seperti yang diatur didalam KUHPerdata, akan tetapi merupakan jenis perjanjian khusus yang diatur didalam KUHD52. Perjanjian pengankutan harus dapat dibuktikan dengan dokumen pengangkutan. Melalui dokumen pengangkutan tersebut baru dapat diketahui saat terjadi perjanjian pengangkutan, yaitu tempat, tanggal dan tanda tangan atau paraf yang tertulis pada dokumen angkutan.

Dalam KUHD ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang saat terjadinya persetujuan kehendak, mengenai pengankutan barang. Menurut Pasal 504 KUHD, pengirim yang telah menyerahkan barang kepada pengankut di kapal dan menerima surat tanda terima yang merupakan bukti bahwa barangnya telah

      

50 The Hangue Rules Article I (b). 51 The Hamburg Rules Article I (6). 52


(19)

dimuat di dalam kapal. Jika pengirim mengkehendaki bill of lading, dia dapat menukarkan surat tanda terima itu dengan bill of lading yang diterbikan oleh pengangkut. Konosemen atau bill of lading memiliki beberapa fungsi:

1. Tanda Terima Barang atau Muatan (Document of Receipt).

Bill of Lading berfungsi sebagai tanda terima barang untu menyatakan bahwa barang telah dimuat di atas kapal.

2. Dokumen Pemilikan (Document of Title).

Bill of Lading berfungsi bagi siapa yang dapat mengambil barang di pelabuhan pembongkaran.

3. Kontrak Pengangkutan (Contract of Carriage).

Bill of Lading berfungsi sebagai kontrak perjanjian bahwa barang atau muatan akan dimuat di atas kapal hingga tempat tujuan53 .

Surat tanda terima membuktikan bahwa barang yang sudah diterima dan dimuat dalam kapal sesuai dengan penyerahan pengirim. Dengan demikian, perjanjian sudah terjadi dan mengikat sejak surat tanda terima ditanda tangani oleh pengankut atau orang atas nama pengankut pada tangal yang tertera dalam dokumen.

Dalam pengangkutan laut bill of lading adalah suatu dokumen yang berfungsi sebagai dokumen angkutan, sebagai dokumen penerimaan barang oleh pengangkut dan sebagai dokumen hak pemilikan arus barang dan yang dapat

      

53 Abdulkadir Muhammad.,Op.cit., hlm. 310.  


(20)

dipindah tangankan (document of title)54. Bill of lading merupakan suatu tanda

terima sejumlah barang dapat dilihat pada isi dari pembentukan persyaratan-persyaratan yang tertulis pada setiap bill of lading.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang.

Dengan ditutupnya perjanjian pengangkutan, maka akan timbul hak dan kewajiban diantara para pihak. Hak-hak yang dimiliki oleh pengirim barang antara lain adalah sebagai berikut :

1) Berhak menerima barang dengan selamat sampai pada tempat tujuan.

2) Berhak menerima barang sesuai dengan kapan barang tersebut diperjanjikan untuk diterima. Jika baran tersebut terlambat, maka pengirim dapat menuntutnya (Pasal 477 KUHD).

Sementra hak-hak yang dimiliki oleh pengangkut barang adalah :

1) Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 (2), dan 479 (1) KUHD.

2) Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang-barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan pada Pasal 478 (1) KUHD.

      


(21)

Setelah membahas tentang hak masing-masing pihak, tentunya akan timbul pula kewajiban dari para pihak. Kewajiban pengirim barang antara lain sebagai berikut :

1) Memberitahukan tentang sifat, macam dan harga barang yang diangkut.

2) Menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pengangkutan barang.

3) Membayarkan upah atau ongkos dari pengangkutan barang. Kewajiban pengangkut adalah:

1. Menyediakan kapal (Pasal 467 KUHD)

Tentunya dalam melakukan pengangkutan menggunakan angkutan laut adalah dengan menggunakan kapal. Kapal tersebut harus laik untuk berlayar dan memiliki anak buah yang cukup, sehingga dapat digunakan untuk membawa barang dengan selamat ke tempat tujuan.

2. Menjaga keselamatan barang yang diangkut, sejak penerimaan barang sampai ketempat tujuan barang (Pasal 468 (1) KUHD).

3. Dalam Pasal 470 KUHD kewajiban yang disebutkan antara lain :

a. Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya.

b. Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan.


(22)

c. Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut untuk mengurangi resiko-resiko Sheepvaart mhdrijf55,

Kejahatan-kejahatan yang dilakukan di atas kapal atau yang berhubungan dengan pelayaran.

4. Menyerahkan muatan di pelabuhan tujuan sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan.

Apabila salah satu kewajiban yang disebutkan di atas dilanggar, maka pengangkut harus bertanggungjawab. bahkan berdasarkan Pasal 470 (1) KUHD secara tegas dinyatakan : “ Janji-janji yang bermaksud demikian adalah batal “. Hal ini berarti apabila pengangkut mengadakan janji yang bertentangan dengan kewajiban yang disebutkan di atas pengangkut tetap harus bertanggungjawab56.

Oleh karena itu keadilan adalah suatu fokus tuju yang prima dan setiap cabang hukum, dimanapun dan sampai kapanpun.

Dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal itu adalah:

1. Keadaan memaksa (overmacht)

2. cacat pada barang atau penumpang itu sendiri

3. kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang itu sendiri.

      

55

J.C.T Simorangkir, Rudy T, Erwin, J.T Prasetyo. 2004. Jakarta. Kamus Hukum. Sinar Grafika, hlm 112.

56 Syaiful Watni. dkk (ed.), Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggungjawab

Pengangkutan Dalam Sistem Pengangkutan Multimoda (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), hlm. 22


(23)

Ketiga hal ini diakui dalam undang-undang maupun dalam doktrin ilmu hukum. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi tanggung jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung jawab berdasarkan kelayakan. Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan dituliskan secara tegas dalam syarat-syarat atau klausula perjanjian.

Tetapi apabila perjanjian dibuat secara tidak tertulis maka kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan memegang peranan penting, disamping ketentuan undang-undang. Bagaimanapun pihak-pihak dilarang menghapus sama sekali tanggung jawab (Pasal 470 ayat 1 KUHD, untuk pengangkut).

Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam Pasal 1236 dan 1246 KUHPdt, menurut Pasal 1236 pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyerahkan barang muatan.

D. Peraturan-Peraturan Tentang Pengankutan Barang.

Lautan yang membentang luas dengan posisi untuk menghubungkan wilayah daratan satu dengan yang lain dan kemungkinan berlaku hukum yang berbeda, disadari atau tidak pada dasarnya setiap insan manusia mempunyai hak untuk menikmati kekayaan yang terkandung di dalamnya57.

      


(24)

Ada beberapa konfensi internasional mengenai pengangkutan, baik laut, darat, dan udara. Seperti konvensi Hague Rules 1924, Hague Visby Rules, Protocol 1968 dan Protocol 1978, CMR (Road) Convention 1956, CMI. (Rail) Convention 1956, Warsawa (Air) Convention 1929 dengan perubahan-perubahannya. Dan terakhir adalah The Hamburg Rules 1978 yang dimaksudkan untuk melengkapi The Hague Rules dan Hague Visby Rules. Konvensi-konvensi tersebut pada umumnya mengatur hal-hal sebagai berikut :

a. Jangka waktu (periode) tanggung jawab (responsibility) pengangkut. b. Dasar bagi tanggung jawab ganti rugi (liability) pengangkut.

c. Batas tanggung jawab ganti rugi pengangkut. d. Tanggung jawab atas sub kontraktor.

e. Persyaratan-persyaratan dokumen angkutan, tanggung jawab ganti rugi termasuk ketentuan-ketentuan khusus mengenai pengankutan barang-barang berbahaya.

f. Jangka waktu berakhirnya batas waktu untuk mengajukan tuntutan ganti rugi 58.

Walaupun konvensi-konvensi tersebut mengatur hal-hal yang sama seperti digambarkan diatas, namun diantaranya terdapat perbedaan antaralain mengenai lingkup berlakunya seperti The Hamburg Rules dan CMR Road Convention. The Hamburg Rules adalah konvensi dibidang pengangkutan laut, sementara CMR Road Convention pengangkutan didarat. Disamping antara

      

58 Syaiful Watni. dkk (ed.),Op.cit. ,hlm.24.  


(25)

konvensi-konvensi tersebut tidak terdapat kesamaan mengenai dasar dari tanggung jawab ganti rugi pengangkut mengenai hal-hal yang dapat membebaskan dari tanggung jawab tersebut.

Seperti dalam pengangkutan laut, baik barang dan penumpang diatur dalam konvensi internasional pertama sekali yang dipergunakan adalah konvensi internasional The Hague Rules 1924 kemudaian dilengkapi dengan The The Hangue Visby Rules 1971, yang akhirnya dikembangkan dan kemudian muncullah The Hamburg Rules 1978 sebagai pengaganti dan pelengkap dari The Hangue Rules dan The Hangue Visby Rules. Pada dasarnya baik The Hangue Rules, The Hangue Visby Rules dan The Hmaburg Rules merupakan konvensi internasional yang memuat tentang ketentuan-ketentuan dalam pengangkutan laut, baik hak, kewajiban, tanggung jawab serta dokumen dalam pengangkutan laut dipelayaran internasional.

Laut sebagai wilayah teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara yang bersangkutsan dengan penerapan hukum yang berlaku di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan59.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang pengangkutan laut diatur dalam Buku kedua tentang Hak-Hak Dan Kewajiban-Kewajiban Yang Terbit Dari Pelyaran. Seperti tentang kapal-kapal laut dan muatannya, perusahaan-perusahaan kapal dan perusahaan perkapalan, nakhoda, anak kapal dan penumpang, perjanjian kerja laut, pencarteran kapal, pengangkutan barang, pengangkutan orang,

      


(26)

penubrukan, pecahnya kapal, pendamparan dan ditemukannya barang-barang dilaut, pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan terhadap terhadap bahaya pembudakan, kerugian laut dan lain-lain.

Disamping konvensi internasional yang mengatur tentang pengangkutan laut di wilayah internasional dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terdapat peraturan khusus yang mengatur pengangkutan laut di indonesia yakni undang-undang seperti undang-undang-undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran yang mengganti undang-undang nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran. Dalam undang-undang tentang pelayaran memuat tentang ketentuan-ketentuan dalam pelayaran, keselamatan pelayaran, perkapalan hingga sarana dan prasarananya di wilayah hukum indonesia. Baik tentang pengangkutan barang atau penumpang maupun tentang alat transportasi pengangkutan dilaut. Juga terdapat beberapa Peraturan Pemerintah seperti PP No. 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan DiperairanPP NO. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan, PP No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan.

E. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan Barang.

Untuk mengetahui berakhirnya pemajian pengangkutan perlu dibedakan dua keadaan yaitu:

1. Dalam keadaan tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan pembayaran biaya pengangkutan yang telah


(27)

disepakati. Perjanjian pengangkutan berakhir apabila barang yang dikirim telah sampai ketempat yang dituju dengan aman dan selamat. Namun apabila barang yang di kirim atau diangkut oleh pengangkut sampai ketempat yang di tuju namun barang tersebut sampai dalam keadaan terlambat.

2. Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah pembesaran kewajiban membayar. Maksudnya adalah apabila barang dalam diterima dalam keadaan tidak utuh atau rusak maka bagaimanakan besaran ganti kerugian tersebut.


(28)

BAB IV

KAJIAN ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN LAUT

A. Tanggung Jawab Pengangkut Mengenai Pemuatan Dan Pembongkaran

Barang

Sebelum masuk kedalam pembahasan maka terlebih dahulu penulis memperkenalkan objek penelitian penulis, yakni PT. Samudera Indonesia Tbk Cabang Belawan. PT. Samudera Indonesia adalah perusahaan pelayaran nasional yang bergerak dibidang transportasi kargo dan pelayaran logistik. Perusahaan ini merupakan perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta sejak tahun 1999 dan Bursa Efek Singapura pada tahun 1997. Perusahaan yang didirikan oleh Soedarpo Sastrosatomo pada tahun 1964 ini awalnya merupakan perusahaan keagenan pengiriman untuk yang memelopori pengiriman barang antar pulau di Indonesia, kargo spesial, proyek kargo berat, bongkar muat, galangan kapal, logistik pihak ketiga, industri dan pengiriman minyak & gas, serta investasi infrastruktur pelabuhan.

Soedarpo Sastrosatomo, pendiri perusahaan, merupakan seorang tokoh revolusi di Indonesia yang pernah menjadi partisan politik dan bekerja di departemen luar negeri. Karena tidak cocok dengan dunia birokrasi, Sodarpo mengundurkan diri dan kemudian menggeluti dunia bisnis. Berbagai ancaman dan tantangan datang dari kondisi Indonesia yang saat itu masih berumur jagung.


(29)

Namun, Soedarpo tidak lantas menyerah dari kekecewaan dan kesedihan ketika perusahaan mengalami kebangkrutan saat pemerintahan Orde Baru. Perusahaan tetap bertahan dan membuktikan kekuatan Maritime Asia Hall of Fame dari Soedarpo.

Perusahaan ini memiliki visi untuk menjadi perusahaan transportasi kargo terpadu terdepan dan terkemuka di pasar yang kami layani. Sedangkan misinya adalah untuk menyediakan transportasi kargo berkualitas tinggi untuk pelanggan mereka dengan menjunjung nilai-nilai perusahaan. Sebagai perusahaan yang luas bidang kegiatannya, terutama bergerak dalam bidang jasa angkutan laut. PT. Samudera Indonesia Tbk memegang peranan penting untuk memajukan perdagangan di dalam dan luar negeri karena perusahaan memperlancar arus barang.

Seiring dengan berkembangnya perusahaan serta tingginya tingkat kompleksitas dari oprasional, maka dibutuhkan kantor cabang untuk mempermudah oprasional di setiap kota pelabuhan utama di indonesia. Untuk melayani para pelanggannya, PT. Samudera Indonesia Tbk didukung oleh kurang lebih 23 anak perusahaan, 19 kantor cabang dan agen di pelabuhan-pelabuhan utama yang terletak diseluruh indonesia.

PT. Samudera Indonesia Tbk Cab. Belawan didalamnya juga terdapat 3 perusahaan yang menjadi member / anggota dari PT. Samudera Indonesia Tbk, antara lain :


(30)

2. PT Masaji Tatanan Container. 3. PT Silkargo Indonesia.

Dimana ketiga perusahaan tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda di dalam melaksanakan pengangkutan yang dilakukan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk Cabang Medan.

Didalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah perantara antara pengirim barang dengan penerima barang. PT. Samudera Indonesia Tbk Cabang Belawan adalah penjual jasa yang melayani pengangkutan barang dari pengirim barang kepada penerima barang. Pada masa sekarang ini, sebelum pengirim barang mengirimkan dan mengadakan perjanjian pengangkutan barang dengan pengangkut, pengirim tidak langsung megurus dokumen-dokumennya sendiri melainkan melalui Perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut atau biasa disebut dengan EMKL.

Pengirim barang berhubungan langsung dengan perusahaan EMKL yang akan mengirimkan barang, sekaligus mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam pengangkutan seperti : Konosemen, Shipping Instruction, Copy

Letter of Credit, Nomor Pokok Wajib Pajak, Izin Perdagangan, dan seterusnya.

Setelah dokumen tersebut diterima, maka perusahaan EMKL akan membukukannya didalam buku kegiatan ekspor yang selanjutnya diberikan kepada bagian clearence supaya diserahkan kepada bea cukai agar diregistrasi, kemudian barang akan dicek di gudang untuk ditentukan tanggal pengiriman barang. Penghitungan barang yang diangkat akan dihitung oleh bagian Tally, yang


(31)

kemudian menyerahkan sebagian Bill of Leading kepada pengirim yang sisanya di kembalikan kepada clearence agar diserahkan ke bea cukai. Setelah sebagian dokumen diterima maka bea cukai akan akan memeriksa barang yang akan dikirim. Jika tidak terjadi kesalahan maka dokumen fiat muat dan fiat ekspor akan diserahkan kepada perusahaan pelayaran atau pengangkut untuk mengangkut barang.

Dalam membuat suatu perjanjian pengangkutan dengan pengirim, PT. Samudera Indonesia Cab. belawan mendapat kebebasan untuk menandatangani perjanjian pengangkutan laut, tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada kantor pusat. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu seperti claim asuransi dan sebagainya perlu mendapat persetujuan dari kantor pusat. Dengan demikian, setiap cabang dari Perusahaan Pelayaran PT. Samudera Indonesia Tbk mendapat wewenang untuk membuat dan menandatangani perjanjian pengangnkutan laut dengan pengirim barang atau perusahaan EMKL.

PT Samudera Indoesia Tbk adalah perusahaan yang taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di indonesia, oleh sebab itu segala peraturan mengenai pembongkaran dan pemuatan barang yang dilakukan akan dipatuhi dan ditaati oleh PT Samudera Indonesia Tbk Cabang Belawan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya atau berkewajiban memikul dan menanggung tanggung jawab serta menanggung akibatnya. Tanggung jawab terdisi dari 2 aspek yaitu, tanggung jawab bersifat kewajiban dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan tanggung


(32)

jawab ganti rugi. Didalam hukum pengangkutan ada beberapa janis tanggung jawab antara lain :

1. Tanggung Jawab Karena Kesalahan.

Berdasarkan prinsip ini, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya. Dan pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Perinsip ini terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum.

2. Tanggung Jawab Karena Praduga.

Berdasarkan prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, akan tetapi jika pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah maka dia dapat terbebas dari tanggung jawab membayar ganti rugi.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak.

Berdasarkan prinsip ini, pihak pengangkut harus bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakannya. Tanpa keharusan pembuktian adanya kesalahan pengangkut.

Tanggung jawab pengangkut dapat ditemui didalam KUHD maupun konvensi-konvensi internasional.


(33)

1. Tanggung jawab pengangkut menurut KUHD60

Pasal 468 KUHD menyatakan : persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut.

Seperti yang dikatahui dalam prakteknya penerimaan barang dapat dilakukan diberbagai tempat, seperti di gudang, di pelabuhan, di tonggang maupun ditempat lain sebagainya yang dikehendaki untuk melakukan pertemuan untuk penerimaan pengiriman barang dari pangirim. Begitu juga halnya dengan penerimaan barang, dapat dilakukan di pelabuhan tujuan, terminal bongkar muat, di atas kapal dan tempat lain.

Selanjutnya dalam Pasal 468 Ayat 3 KUHD menyebutkan bahwa pengangkut bertanggung jawab untuk perbuatan dari segala mereka yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda yang dipakainya dalam penyelenggaraan pengangkutan tersebut. Di dalam pasal ini berarti semua pekerja dan alat yang digunakan untuk melaksanakan pengangkutan baik pemuatan dan pembongkaran barang menjadi tanggung jawab dari pengangkut

2. Tanggung jawab pengangkut menurut The Hague Rules 1924

Menurut The Hague Rules, pertanggung jawaban pengangkut itu adalah sejak saat barang itu dimuat sampai barang dibongkar. Sehingga dengan demikian

      

60 Hasim Purba, Pengangkutan Di Laut,2005 Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan,


(34)

pertanggungjawaban pengangkut itu berakhir pada saat barang dibongkar dari kapal laut

Kemudian dalam Pasal 3 ayat 2 ditetapkan bahwa pengangkut berkewajiban agar barang-barang yang dimuat, dirawat, diangkat, dijaga, dipelihara, dan dibongkar sewajarnya. Selain itu pengangkut juga bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan barang yang diangkat yaitu :

a) Pada waktu pemuatan barang b) Dalam pemadatan di palka kapal

c) Selama pengangkutan mulai dari pelabuhan muat sampai degan pelabuhan tujuan untuk dibongkar

d) Pada waktu pembongkaran sampai barang tiba di gudang

3. Tanggung jawab pengangkut menurut The Hamburg Rules 1978

Tanggung jawab pengangkut terurai didalam Pasal 4 ayat 1 The Hamburg Rules yang berdasarkan pasal ini menyebutkan pertanggungjawaban pengangkut adalah saat barang-barang telah berada dibawah penguasaanya mulai dari pemuatan barang, berlangsungnya pengangkutan sampai dengan pembongkaran.

Menurut Keputusan Menteri No. 14 tahun 2002, yang dimaksud dengan perusahaan bongkar muat adalah badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan dan mengusahakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal61. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 32 Undang-Undang       


(35)

Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang menjelaskan bahwa usaha bongkar muat dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk itu.

Selain badan usaha yang didirikan khusus, kegiatan bongkar muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioprasikan. 

Sebagai perusahaan yang melayani pembongkaran dan pemuatan barang ke dalam kapal atau dari gudang ke kapal, dalam hal ini PT. Deli Jaya Samudera sebagai perusahaan stavedoring yang melaksanakan jasa pembongkaran dan pemuatan barang di pelabuhan yang merupakan angota dari PT. Samudera Indonesia Tbk Cabang Medan. Dalam melakukan usahanya, perusahaan bongkar muat memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban tersebut antara lain:  

a. Melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin usaha dalam keputusan ini, dan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang penyelenggaraan bongkar muat dari dan ke kapal.

b. Memenuhi batas minimal kecepatan bongkar muat barang yang telah ditetapkan pada setiap pelabuhan.

c. Mengenakan atau memberlakukan tarif yang berlaku sesuai peraturan. d. Meningkatkan keterampilan kerja.

e. Bertanggung jawab terhadap barang selama berada di bawah pengawasannya .


(36)

f. Bertanggung jawab kepada kerusakan alat bongkar muat kapal yang disebabkan oleh kesalahan, kelalaian orang-orang yang bekerja dibawah pengawasannya.

g. Menyampaikan laporan kegiatan usahanya secara berkala kepada :

1) Administrator pelabuhan setempat berupa laporan harian, bulanan, dan tahunan.

2) Direktur Jenderal Perhubungan Laut.

h. Mentaati segala peraturan perundangan yang berlaku62 .

Dalam melakukan pelayanan, perusahaan bongkar muat harus bekerja sama dengan berbagai pihak seperti PT. Pelabuhan Indonesia, perusahaan pelayaran, EMKL, Pemilik barang, penyedia tenaga buruh dan sebagainya. Masing-masing pihak memiliki tugas dan tanggung jawab. Sedangkan perusahaan bongkar muat memiliki tanggung jawab atas :

a. Kelancaran kegiatan bongkar muat,

b. Keselamatan penerimaan dan penyerahan barang, c. Kebenaran laporan yang disampaikan,

d. Mengatur penggunaan tenaga kerja bongkar muat dan peralatan sesuai kebutuhan63 .

Perusahaan bongkar muat juga bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita akibat hilang atau rusaknya barang yang dimuat atau dibongkar akibat kelalaiannya dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, terkait dengan

      

62 

wawancara Pada PT. Samudera Indonesia Cab. Belawan, tanggal 6 Juli 2014 

63 


(37)

pelaksanaan bongkar muat maupun berlabuhnya kapal di pelabuhan yang dilakukan di pelabuhan, perusahaan bongkar muat maupun operator kapal juga bertanggung jawab atas kerusakan fasilitas di pelabuhan tersebut, seperti yang termuat dalam Pasal 100 Undang-undang No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran.Oleh sebab itu, dalam menjalankan kewajibannya pengangkut bertanggung jawab atas segala kejadian yang menimpa barang muatannya.

B. Ganti Rugi Apabila Barang Yang Diterima Dalam Keadaan Rusak

Ganti rugi apabila barang yang diterima oleh penerima barang dalam keada rusak. Setiap perusahaan pengangkutan berusaha sebaik-baiknya untuk dapat menyerahkan barang sesuai dengan jumlah dan keadaan yang tercantum didalam Bill of Lading, akan tetapi dalam prakteknya tidak mungkin barang-barang yang diterima selalu dalam keadaan tanpa kekurang atau kerusak. Untuk itu, biasanya perusahaan pengangkutan (PT Samudera Indonesia Cab. Belawan) biasanya mengasuransikan barang yang diangkutnya agar meminimalisir resiko kerugian didalam pengangkutan64 .Pada umumnya tuntutan terhadap ganti rugi

dilakukan kepada pihak pengangkut apabila barang yang diterima dalam keadaan rusak/ kurangnya barang yang diterima. Baik rusak maupun kurang lengkapnya barang yang diterima oleh penerima bisa saja terjadi di pelabuhan, baik saat pemuatan barang maupun saat diatas kapal hingga saat pembongkaran muatan di pelabuhan pembongkaran.

      

64 


(38)

Setelah barang-barang dibongkar dari kapal di pelabuhan, maka bagian pergudangan membuat laporan yaitu :

1. Laporan Kekurangan.

Laporan kekurangan diterima oleh bagian klaim daftar semua muatan yang dibongkar, untuk melihat apakah ada barang yang tidak dibongkar. Karena akan selalu ada kemungkinan barang terbongkar dan tertimbun di dalam gudang, tetapi tidak tercantum di dalam daftar.

2. Laporan Kerusakan.

Kerusakan dapat terjadi baik di kapal atau di gudang setelah pembongkaran barang dari kapal. Oleh sebab itu setelah pembongkaran barang dari kapal haruslah diadakan pemeriksaan bersama dengan pihak kapal dan pihak gudang. Setelah diperiksa maka dicatatkanlah didalam buku tentang segala kerusakan-kerusakan yang terjadi yang ditandatangani oleh kepala gudang.

3.Laporan Kelebihan.

Tidak selalu barang yang dibongkar dari kapal sesuai dengan jumlah yang harus dibongkar di pelabuhan. Apabila terjadi barang yang tidak termasuk di bongkar di pelabuhan yang bukan pelabuhan tujuan apabila diketahui maka segera dimuat lagi ke kapal, namun apabila tidak termuat lagi maka barang-barang ini disebut kelebihan bongkar.


(39)

Untuk dapat mengajukan permintaan ganti rugi terhadap perusahaan pelayaran, penerima perlu melengkapi dan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut :

1. E.B (Except Bewijs) untuk kekurangan dan C.C.B (Claint Constutering

Bewijs) untuk kerusakan dan kehilangan barang.

2. Copy Bill of Leding agar mempermudahkan perusahaan pelayaran untuk

mempermudah mengecek barang yang dimuat.

3. Untuk mengetahui apakah jumlah tuntutan sesuai dengan harga barang tersebut.

4. Packing List untuk mengetahui secara detail tentang rincian barang, ukuran, harga dan lain-lain yang tidak termuat.

5. Polis Asuransi apabila barang tersebut diasuransikan.

Setelah itu maka diajukanlah surat tuntuan ganti rugi sebagai berikut : 1. Keterangan mengenai pengiriman barang tersebut :

a. Jenis barang menurut Surat Muat.

b. Nama kapal yang mengangkut dan Nakhodanya (Jika mengetahui).

c. Nama pelabuhan pemuatan dan dan tanggal keberangkatan kapal dari pelabuhan muat.


(40)

2. Penunjukan E.B (Except Bewijs) atau C.C.B (Claint Constutering

Bewijs)serta penjelasan secara ringkas mengenai kekurangan

barang yang di konstatir.

3. Jumlah ganti rugi yang dituntut serta penjelasan dan dasar dari perhitungan jumlah tersebut. Biasanya didasarkan pada faktur harga pembelian65 .

Dengan cara mengajukan tuntutan secara tertulis pemilik barang telah melakukan tugasnya untuk upaya meminta ganti rugi. Tuntutan tersebut diajukan kepada perusahaan pelayaran sebagai pengangkut.

Setelah tuntutan tersebut diterima pengangkut melihatnya secara teliti sampai dimana kerusakan yang menjadi tanggung jawabnya atau pengangkut terbebaskan dari tanggung jawab tersebut. Jika ternyata pengangkut harus mempertanggungjawabkan kekurangan/kerusakan barang, maka ia segera merancang besarnya kerugian yang diderita tersebut tanpa menunggu datangnya surat tuntutan ganti rugi dari pemilik barang. Selain itu pengangkut juga memperhatikan apakah tuntutan ganti rugi tersebut masih berlaku atau sudah kadaluarsa seperti yang tercantum didalam Pasal 487 KUHD dan Pasal III ayat 6 The Hague Rules.

Jumlah ganti rugi yang diberikan kepada penerima barang haruslah dalam batas kewajaran. Artinya jumlah yang diberikan oleh pengangkut sesuai

      

65 


(41)

dengan tarif pengangkutannya tidak boleh lebih. Ini berarti ganti rugi tidak akan memberikan keuntungan kepada penerima barang.

Ganti rugi berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Dagang tertuang dalam Pasal 472 – 476 KUHDIndonesia.

Pasal 472 KUHD

Didalam Pasal ini ditetapkan bahwa ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut atas barang-barang yang tidak diserahkan seluruh atau sebagian. Besarnya ganti rugi dihitung menurut harga barang yang demikian serta jenis dan keadaan di tempat tujuan.

Pasal 473 KUHD

Didalam Pasal ini ditetapkan ganti rugi atas barang-barang yang rusak. Cara menghitungnya sama dengan Pasal 472 tetapi dari jumlah ganti rugi dikurangkan harga barang-barang yang rusak, kemudian dikurangi pajak, bea dan biaya angkut yang tidak dibayar karena barang-barang rusak.

Pasal 476 KUHD

Didalam Pasal ini ditetapkan atas ganti rugi sepenuhnya, jika kerugian disebabkan kesenganjaan atau kesalahan besar dari pengangkut.

Pengangkut dapat mengambil keputusan menyetujui tuntutan, membatalkan tuntutan atau menolak tuntutan.


(42)

Jika tuntutan ganti rugi disetujui oleh pengangkut, maka persetujuannya itu dia beritahukan secara tertulis. Ada 2 macam kemungkinan persetujuan ganti rugi yang diberikan pengangkut :

a. Menyetujui ganti rugi sepenuhnya, berarti jumlah uang ganti rugi yang dimintakan oleh pemilik barang disetuju.

b. Yang disetujui hanya ganti ruginya saja, berarti pengangkut mengakui bertanggung jawab atas kekurangan/kerusakan barang, tetapi jumlah uang yang diganti rugi belum di setujui.

Jumlah ganti rugi yang menjadi beban pengangkut haruslah dalam koridor kewajaran, artinya tidak mengharap keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh pengangkut terhadap tuntutan ganti rugi. Jumlah ganti rugi ditentukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku sebagai mana ditentukan oleh undang-undang maupun yang tercantum didalam Surat Muatan (Bill of

Lading).Setelah ganti rugi disetujui dan jumlah uang ganti rugi telah ditetapkan,

maka pihak pengangkut menyusun laporan ganti rugi, terutama untuk keperluan intern pengangkutan.

2. Tuntutan ganti rugi dibatalkan.

Ada beberapa yang menyebabkan tuntutan ganti rugi dibatalkan atau menjadi batal, antara lain :

a. Apabila pada barang yang hilang dan sudah dicatatkan didalam E.B ditemukan kembali oleh pengangkut dan diserahkan kepada


(43)

penerima barang. Maka dengan demikian tuntuan atas kekurangan yang dituntut menjadi batal.

b. Ada kalanya pengangkut meawarkan barang yang serupa/sejenis untuk menganti barang yang telah rusak, dan penerima barang menerima barang pengangti tersebut maka tuntutan ganti rugi tersebut batal.

3. Tuntutan ganti rugi ditolak.

Jika pengangkut mempunyai dasar-dasar dan bukti yang kuat bahwa kekurangan atau kerusakan barang tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaianya, maka pengangkut dapat menolak tuntutan ganti rugi.

Ada beberapa dasar penolakan ganti rugi yaitu :

1. Force majeure.

Dalam setiap Surat Muat sudah terdapat syarat yang menentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerusakan/keterlambatan barang terhadap suatu kejadian yang tidak dapat dicegah oleh pengangkut selama dalam pengangkutan barang.

2. Pelampauan jangka waktu.

Di dalam surat muat sudah dicantumkan batas waktu tertentu untuk menuntut ganti rugi secara tertulis. Jangka waktu mengenai tuntutan ganti rugi biasanya ditentukan oleh pengangkut .


(44)

Penolakan tersebut diberitahukan secara tertulis dan diterangkan dasar-dasar penolakannya kepada pemilik barang. Tetapi, jika pemilik barang tidak dapat menerima dasar dan bukti penolakan pengangkut, maka penerima barang dapat membuat surat protes atas penolakan dan memberikan tangkisan dengan bukti atas bukti yang digunakan oleh pengangkut. Apabila protes ini juga ditolak oleh pengangkut maka pemilik barang boleh mempertimbangkan apakah masalah ganti rugi diajukan ke pengadilan.

C. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Keterlambatan Barang.

Pengangkut bertanggung jawab terhadap keterlambatan barang yang ia serahkan kepada penerima barang, baik karena kelalaian yang ia sebabkan maupun terhadap kejadian-kejadian yang tidak dapat ia elakkan dalam pelaksanaan pengangkutan.

Kejadian-kejadian yang sering memperlambat penyerahan barang kepada penerima barang yang dikatakan force majeure antara lain :

a. Rusaknya baling-baling pada kapal sehingga pelayaran terpaksa ditunda untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

b. Kapal melakukan perubahan arah rute karena terjadi topan di rute yang dijadwalkan.

c. Kapal terpaksa sandar dipelabuhan yang seharusnya tidak disinggahi karena membutuhkan pertolongan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang berada dikapal.


(45)

e. Kapal dihadang oleh bajak laut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 477 KUHD tentang pertanggung jawaban ganti kerugian akibat keterlambatan meyerahkan barang.

Pasal 477 KUHD

Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia dapat membuktikannya, bahwa keterlambatan itu adalah akibat sesuatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya

Keterlambatan penerimaan barang juga terjadi karena muatan barang terbongkar dipelabuhan lain mengakibatkan nilai barang merosot atau pabrik yang memerlukan barang tersebut terpaksa berhenti beroprasi karena tidak memiliki barang utama untuk diproduksi.

Seperti yang tercantum didalam Pasal 40 Undang-Undang N0. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Pasal 40 Undang-undang No.17 Tahun 2008 :

1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keaman penumpang atau barang yang diangkutnya. 2) Perusahaan angkutan di perairang bertanggung jawab terhadap muatan

kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan /atau perjanjian atau kontrak pengankutan yang telah disepakati.


(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian-uraian diatas, penulis mencoba untuk menyimpulkan serta memberikan saran-saran mengenai perjanjian dan tanggung jawab pengangkut dalam pengiriman barang.

1. Perjanjian pengangkutan terjadi karena adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri. Yang mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan, sementara pengirim mengikatkan dirinya untuk membayar ongkos pengangkutannya sampai ketempat tujuannya. Untuk membuktikan bahwa telah terjadi kesepakatan antara pengangkut dengan pengirim barang maka diterbitkanlah Bill of lading. Sebagai pengangkut, PT. Samudera Indonesia Tbk berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan mulai dari pelabuhan muat sampai dengan pelabuhan tujuan untuk dibongkar dan diserahkan kepada penerima barang. dasar tanggung jawab PT.Samudera Indonesia Tbk Cabang Medan menggunakan Pasal 468-480 KUHD, Pasal 40-43 Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 1 ayat 3 The Hague Rules, dan Pasal IV The Hamburg Rules.

2. Dalam bongkar muat barang baik dari kapal maupun ke kapal harus dilakukan oleh perusahaan bongkar muat dalam hal ini stavedor, maka


(47)

stavedor bertanggungjawab kepada pimpin perusahaan bongkar muat yang didirikan khusus untuk melaksanakan bongkar muat barang hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri No. 14 tahun 2002. Pada umumnya tuntutan terhadap ganti rugi lakukan kepada pihak pengangkut apabila barang yang diterima dalam keadaan rusak/ kurangnya barang yang diterima. Baik rusak maupun kurang lengkapnya barang yang diterima oleh penerima bisa saja terjadi di pelabuhan, baik saat pemuatan barang maupun saat diatas kapal hingga saat pembongkaran muatan di pelabuhan pembongkaran. Dengan cara mengajukan tuntutan secara tertulis pemilik barang telah melakukan tugasnya untuk upaya meminta ganti rugi. Tuntutan tersebut diajukan kepada perusahaan pelayaran sebagai pengangkut.

3. Kejadian-kejadian yang sering memperlambat penyerahan barang kepada penerima barang yang dikatakan force majeure antara lain :

a) Rusaknya baling-baling pada kapal sehingga pelayaran terpaksa ditunda untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

b) Kapal melakukan perubahan arah rute karena terjadi topan di rute yang dijadwalkan.

c) Kapal terpaksa sandar dipelabuhan yang seharusnya tidak disinggahi karena membutuhkan pertolongan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang berada dikapal.

d) Kapal menolong orang yang tertimpa bahaya dilautan. e) Kapal dihadang oleh bajak laut.


(48)

Berdasarkan ketentuan Pasal 477 KUHD tentang pertanggung jawaban ganti kerugian akibat keterlambatan meyerahkan barang : “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia dapat membuktikannya, bahwa keterlambatan itu adalah akibat sesuatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya”.

B. Saran

1. Perlu kiranya sebelum membuat suatu perjanjian pengangkutan masyarakat memahami tentang perjanjian pengangkutan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam melakukan perjanjian pengangkutan. 2. Agar didalam isi perjanjian pengangkutan dijelaskan tanggung jawab

para pihak, sehingga benar-benar mengetahui hak dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing pihak dalam pelaksanaan pengangkutan laut.

3. Agar dalam penyelesai ganti rugi tidak memakan waktu yang lama, sehingga segala urusan mengenai ganti rugi cepat terlaksana, mengingat banyaknya urusan dan tanggung jawab para pihak, serta diharapkan pemerintah agar meningkatkan lagi peraturan di bidang tuntutan ganti kerugian sehingga akan menjamin kepastian hukum didalam proses pengajuan tuntuan ganti rugi .


(49)

A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya. Pada dasarnya konsep perjanjian terdiri atas 5 konsep yaitu:

1. Subyek Perjanjian

Subyek perjanjian yaitu para pihak yang melakukan perjanjian tersebut, sekurang-kurangnya ada dua pihak. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi maupun badan hukum. Subyek perjanjian harus wewenang dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang diatur didalam undang-undang10.

2. Persetujuan Tetap

Persetujuan tetap, yaitu antara pihak-pihak sudah tercapai kata kesepakatan yang final, sebagai hasil akhir yang dicapai dalam negosiasi. Negosiasi adalah suatu perbuatan pendahuluan sebagai proses menuju pada persetujuan atau persepakatan final. Persetujuan itu dinyatakan dengan penerimaan atas suatu tawaran. Persetujuan final tersebut berisi hak dan kewajiban yang mengikat masing-masing pihak yang wajib dipenuhi dengan itikad baik, dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak11.

      

10 Abdulkadir Muhammad, 2011, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung. hlm 291


(50)

3. Objek Perjanjian

Objek perjanjian, yaitu berupa prestasi yang wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak12. Objek perjanjian harus benda yang tidak dilarang untuk diperjanjikan didalam undang-undang. Jadi objek perjanjian harus halal, jelas objeknya dan dapat diserahkan berdasarkan pada perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak.

4. Tujuan Perjanjian.

Tujuan perjanjian yaitu, hasil akhir yang diperoleh oleh para pihak berupa pemanfaatan, penikmatan dan pemilikan benda atau hak kebendaan sebagai pemenuhak kebutuhan para pihak. Pemenuhak kebutuhan tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara para pihak. Tujuan perjanjian tersebut dapat dicapai bila sifatnya halal. Yang artinya tidak dilarang oleh undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan didalam masyarakat13.

5. Bentuk Perjanjian.

Bentuk perjanjian perlu dilakukan karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memilliki kekuatan bukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta yang dibuat dihadapan notaris maupun akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak itu sendiri. Bentuk tertulis sangat diperlukan jika perjanjian tersebut

      

12 Abdulkadir Muhammad ,ibid.hlm 292. 13 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm292.


(51)

berisikan hak dan kewajiban yang sulit diingat. Jika perjanjian dibuat tertulis makakepastian hukumnya tinggi.

Perjanjian dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya akan udah diingat dan dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah cukup. Walaupun perjanjian lisan biasanya didukung oleh dokumen, misalnya tiket penumpang, faktur penjualan, dan kwitansi14.

Menurut Subekti tentang pengertian Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada oranglain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan menurut KRMT Tirtodiningrat memberikan defenisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.

Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas penting yang menjadi dasar para pihak untuk mencapai tujuan masing-masiang. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut :

a) Asas Kebebasan Berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas sentral dalam hukum perjanjian. Pada asas ini terdapat dalam pasa 1313 KUHPerdata yang berbunyi “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

      


(52)

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam asas ini semua orang bebas melakukan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur oleh undang-undang maupun yang belum15. Asas ini memberi keleluasan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum mereka. Akan tetapi asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh Pasal 1339 KUHPerdata, agar tidak terjadinya kesewenang-wenangan dalam membuat suatu perjanjian. Dalam Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan “ suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga segala sesuatu menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang “. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan16. b) Asas Konsensualisme.

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara para pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Berdasar pada asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup secara lisan saja, sebagai penjelmaan asas “manusia itu dapat dipegang mulutnya”, artinya dapat percaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Akan tetapi, ada perjanjian tertentu yang dibuat secara

      

15 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 295. 16 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 295.


(53)

tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hibah dan pertanggungan (asuransi). Tujuannya adalah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian dengan formalitas tertentu ini disebut perjanjia formal17.

c) Asas Itikad Baik.

Sebagaimana diketahui dalam pasaal 1338 (3) yang menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang maksudnya persetujuan harus didasarkan dengan itikad baik. Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan18. Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas. Dalam Pasal 1963 KUHPerdata adalah

kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan statis. Sementara itu, pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak

      

17 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 296.

18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas, Kencana Prenada Media Group, jakarta, 2010, hlm. 134.


(54)

lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi19.

Menurut Arthur S. Hartkamp,20 terdapat dua model pengujian tentang ada atau tidaknya itikad

baik dalam kontrak, yaitu pengujian objektif dan pengujian subjektif. Pengujian objektif pada umumnya dikaitkan dengan kepatutan, artinya salah satu pihak tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak jujur manakala ternyata ia tidak bertindak secara sepatutnya. Sementara itu pengujian subjektif terdapat kewajiban itikad baik dikaitkan dengan keadaan karena ketidaktahuan.

Memang diketahui untuk dapat memahami itikad baik bukanlah hal yang mudah. Pada kenyataanya itikad baik acap kali tumpang-tindih dengan kewajaran dan kepatutan. Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Oleh karena itu dalam pengadilan, itikad baik dan kepatutan dipahami sebagai asas atau prinsip yang saling melengkapi.21

d) Asas Obligator.

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan, yaitu melalui penyerahan. Hukum perdata Prancis mengenal perjanjian

obligator. Perjanjian yang dibuat itu sekaligus bersifat Zakelijk, yaitu memindahkan hak milik. Hukum perdata prancis tidak mengenal lembaga penyerahan (levering).

       19

Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 139.

20 Periksa Y. Sogar Simamora, Perinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan

Jasa oleh Pemerintah, (ringkasan Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005, hlm. 39 (selanjutnya disingkat Y. Sogar Simamora-II).


(55)

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.

Perjanjian sah dan mengikat apabila perjanjian tersebut memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dan mengikat diakui dam memiliki akibat hukum (legally conclued

contract). Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, setiap perjanjian selalu memiliki

empat unsur dan pada setiap unsur melekat syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.22 Sebagaimana bunyi Pasal 1320 KUHPerdata “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Dan suatu sebab yang halal”.23

a.1. Kesepakatan.

Pada Pasal 1320 KUHPerdata syarat pertama mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan suatu kontrak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu cocok atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal yang

      

22 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 299


(56)

mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.24 Persetujuan kehendak adalah persepakatan seia sekata antara para pihak mengenai pokok (esensi) perjanjian. Apa yang dikehendaki para pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya final, tidak lagi dalam tawar-menawar.

Untuk itu sebelum adanya suatu perjanjian, para pihak biasanya mengadakan negosiasi, masing-masing pihak mengajukan penawaran kepada pihak yang lain mengenai syarat-syaratnya. Dan pihak yang lainnya menyatakan kehendak sehingga tercapilah persetujuan yang final. Persetujuan kehendak adalah bebas, tidak ada paksaan maupun tekanan dari pihak mana pun, dan murni atas kemauan para pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kekhilafan atau penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan menakut-nakuti (Pasal 1324 KUHPerdata).

Diaktakan tidak ada kekhilafan atau kekliruan atau kesesatan jika salah satu pihak tidak khilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 1322 KUHPerdata, apabila ada kekeliruan atau kehilafan dalam suatu perjanjian maka perjanjian tersebut batal demi hukum, kecuali kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakikat benda yang menjadi pokok perjanjian atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.

Menurut Pasal 376 KUHPidana, penipuan adalah sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk lawanya supaya menyetujui objek yang ditawarkan. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata jika tipu muslihat digunakan oleh salah satu pihak sedemikian rupa sehingga terang dan nyata membuat para pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Jika tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lain tidak akan membuat perjanjian. Penipuan ini merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian.25

a. 2. Kewenangan (Kecakapan).

      

24 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 162. 25 Abdulkadir Muhammad,op.cit., hlm. 301


(57)

Yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat nomor 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.26

Pihak-pihak yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh; walaupun belum 21 tahun penuh, tetapi sudah pernah kawin; sehat akal (tidak gila); tidak di bawah pengampuan, dan memiliki surat kuasa apabila mewakili pihak lain.

Pada umumnya orang dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum apabila dia sudah dewasa. Artinya, sudah mencapai usia 21 tahun atau sudah pernah kawin walaupun belum berumur 21 tahun penuh. Menurut hukum perdata nasional kini, wanita bersuami sudah dinyatakancakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suami. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh istri adalah sah dan mengikat menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.27

Akibat hukum tidak wewenang membuat perjanjian, maka perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan. Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi para pihak.28

a. 3. Objek Tertentu (Suatu Hal Tertentu).

      

26 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 184. 27 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 302 28 Abdulkadir Muhammad Ibid, hlm. 302


(58)

Adapun yang dimaksud dalam Pasal 1320 syarat ke 3 adalah prestasi yang menjadi kewajiban pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak29. Suatu

objek tertentu atau prestasi tertentu merupakan objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi tertentu hatus ditentukan mengenai kejelasan objek perjanjian untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika objek perjanjian atau prestasi tersebut kabur, tidak jelas, sulit, bahkan tidak mungkin dilaksanakan, perjanjian itu batal.

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, objek perjanjian atau asuransi yang wajib dipenuhi pihak-pihak itu dapat berupa memberikan benda tertentu, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud.

Disamping melakukan perbuatan tertentu, boleh juga tidak melakukan perbuatan tertentu, misalnya tidak membuat tembok tinggi yang menghalangi pemandangan tetangganya. Jika perbuatan ini tetap dilakukan berarti ini merupakan pelanggaran hukum.30

a. 4. Kausa Yang Diperbolehkan

Ajaran tentang kausa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat ke 4, sampai saat ini sebenarnya masih tidak terlalu jelas. KUHPerdata sendiri mengadopsi dari BW dari Belanda sedangkan BW Belanda mengadopsi syarat kuasa dari Code Civil Prancis yang bersumber dari pandangan Domat dan Pothier. Apa saja yang menjadi dasar keterikatan para pihak pada prestasi masing-masing, karena menerima perikatan berarti para pihak menerima kewajiban-kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut.31

      

29 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 191. 30 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 302. 31 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 193


(59)

Tujuan perjanjian yang akan dicapai oleh para pihak sifatnya harus halal. Artinya, tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dalam masyarakat. Kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukan sebab mendorong orang membuat suatu perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri menjadi tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab para pihak mengadakan suatu perjanjian, akan tetapi tetap diawasi oleh

undang-undang adalah isi perjanjian tersebut sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak. Akibat hukum perjanjian yang isi atau tujuannya tidak halal adalah “batal”. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan prestasi dimuka pengadilan. Demikian jika perjanjian yang dibuat tanpa kausa, dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata)32.

C. Akibat Hukum Perjanjian Bagi Para Pihak.

Akibat hukum perjanjian yang sah termuat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah dan mengikat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya, dan tidak dapat dibatalkan tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

1. Berlaku Sebagai Undang-Undang.

Yang artinya adalah perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada para pihak yang membuatnya. Para pihak wajib mentaati perjanjian tersebut sama dengan mentaati

undang-      


(60)

undang. Apabila ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dia dianggap sama dengan melanggar undang-undang sehingga diberi akibat hukum tertentu, yaitu sanksi hukuman. Jadi siapa yang melanggar perjanjian, dia dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang (perjanjian)33.

2. Tidak Dapat Dibatalkan Sepihak.

Karena perjanjian adalah persetujuan kedua belah pihak, jika akan dibatalkan harus dengan persetujuan kedua belah pihak juga. Akan tetapi jika ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak. Alasan-alasan ditetapkan undang-undang itu adalah sebagai berikut :

a) Perjanjian yang bersifat terus menerus, berlakunya dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya tentang sewa menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan pemberitahuan kepada penyewa. b) Perjanjian sewa rumah, setelah berakhir waktu sewa seperti ditentukan

dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut tanpa ada teguran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa-menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika pemilik ingin menghentikan sewa-menyewa tersebut, dia harus memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat.

      


(1)

3. Bapak Syafriddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Kepala Departemen

Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rabiatul Sahriah, SH, M.Hum selaku Sekertaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Sinta Uli, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini.

8. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen / Staff Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan

membantu penulis selama masa perkuliahan.

10.Bapak Aswan selaku Kordinator HC & GS Dept Head PT. Samudera

Indonesia Cab Belawan yang telah banyak membantu saya dalam

penulisan skripsi ini


(2)

seperti sekarang ini, terima kasih yang sedalam-dalamnya atas

dukungannya baik dukungan moril maupun materil yang mendorong

penulis hingga selesainya skripsi ini dan juga kepada adik-adikku

tersayang Veny Irawani Pulungan dan Lulu Azura Pulungan.

12.Kepada teman-teman seperjuangan Group A Angkatan 2010, Ikhsan Don

Mambo, Khoerudin Kengon, Pra Daniel, Lae Ricky, Widodo, Fachrul

Aceh, Boby, Frenky, Okto serta teman-teman angkatan 2010 yang tak

mungkin bisa disebutkan satu-satu,

13.Kepada teman-teman satu kost, Fahmi, Muda, Tama, Wahyu, Fitri, Riska

dan lain-lain serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan

skripsi ini.

Akhir kata penulis memohon maaf apabila ada kesalahan baik itu kata

maupun perbuatan. Semoga kiranya apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini

dapat bermanfaat bagi kita semua

Medan, September 2014


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian... 5

E. Tinjauan Kepustakaan... 5

F. Metode Penelitian... 6

G. Sistematika Penulisan... 8

H. Keaslian Penulisan... 9

BAB II : TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian... 11

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian... 17

C. Akibat Hukum Perjanjian Bagi Para Pihak... 22

D. Jenis-Jenis Perjanjian dan Berakhirnya Perjanjian.... 25

BAB III : PERJANJIAN PENGANGKUTAN LAUT A. Pengertian Pengangkutan Laut... 36

B. Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Laut... 46


(4)

D. Peraturan-Peraturan Tentang

Pengangkutan Barang... 56 E. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan Barang... 59

BAB IV : KAJIAN ASPEK HUKUM PERJANJIAN

PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN LAUT

A. Tanggung Jawab Pengangkut Mengenai

Pemuatan dan Pembongkaran Barang... 61 B. Ganti Rugi Apabila Barang Yang

Diterima Dalam Keadaan Rusak... 70 C. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap

Keterlambatan Barang... 77

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 79 B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

ABSTRAK Sinta Uli SH, M.Hum 1 Ramli Siregar SH, M.Hum 

Prayudha H. Pulungan 

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh pengangkutan barang melalui angkutan laut yang dilaksanakan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk yang sering digunakan oleh masyarakat dalam mengangkut ataupun mengirimkan barang. Karena beban muatan yang akan diangkut atau dikirim lebih besar daripada menggunakan pesawat udara dan angkutan darat serta jarak tempuh yang dibutuhkan relatif lebih jauh dan ongkosnya relatif murah sehingga masyarakat banyak menggunakan pengangkutan melalui laut. Seperti yang tertulisn didalam pasal 8 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang menyebutkan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Adapun pertimbangan penulis memilih judul Kajian Aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Laut adalah karena ingin memberikan gambaran mengenai tanggung jawab pengangkut mengenai pemuatan dan pembongkaran barang, ganti rugi apabila barang yang diterima dalam keadaan rusak, dan tanggung jawab pengangkut terhadap keterlambatan barang.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengolah data skunder saja yaitu berupa peraturan perundang-undangan, teori hukum dan beberapa pendapat para sarjana. Dan juga ditambah dengan melakukan penelitian kelapangan untuk mendukung informasi dan mendukung teori yang ada, yaitu dengan melakukan wawancara.

Hasil penelitian skripsi ini, bahwa PT. Samudera Indonesia Tbk Cabang Belawan menunjuk PT. Deli Jaya Samudera Sebagai perusahaan yang melayani pembongkaran dan pemuatan barang ke dalam kapal atau dari gudang ke kapal. Dalam melakukan usahanya sebagai perusahaan stavedoring yang melaksanakan jasa pembongkaran dan pemuatan barang di pelabuhan, perusahaan bongkar muat yang memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Ganti rugi yang diberikan apabila tuntutan ganti rugi disetujui, tidak akan memberikan keuntungan kepada penerima barang atas terkabulnya tuntutan ganti rugi sehingga nominal harga kerusakan atau kehilangan diganti dengan nilai itu juga. Pengangkut sangat bertanggung jawab terhadap kerusakan dan keterlambatan barang yang dilakukan, baik karena kelalaian pengangkut sehingga mengakibatkan terlambatnya barang yang disampaikan kepada penerima barang maupun terjadinya kejadian-kejadian yang       


(6)

tidak dapat dielakkan sewaktu pengangkutan barang berlangsung. Akan tetapi pengangkut harus dapat membuktikan penyebab terjadinya keterlambatan penyampaian barang.