Wawancara dengan informan biasa.

d. Wawancara dengan informan biasa.

Selanjutnya akan disajikan wawancara yang dilakukan dengan informan biasa untuk memperoleh informasi tambahan, yaitu kepada orang-orang yang datang untuk meminta pelayanan di Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan. Informan biasa yang pertama ditemui penulis ialah Ibu Lasma Sinurat. Beliau adalah seorang guru yang mengajar pada Yayasan GKPS Siantar, yang kebetulan datang ke Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan karena ada keperluan dengan Kepala Dinas Pendidikan, Bpk. Hasan Basri, M.M. Dan pertanyaan yang diajukan kepada ibu tersebut ialah: bagaimana tanggapan Ibu atas kebijakan pemerintah mengenai standarisasi Ujian Nasional? Dan Beliau menjawab: “UN merupakan satu kebijakan pemerintah yang sangat baik bagi pendidikan dinegara kita. Saya sangat setuju sekali dengan adanya standarisasi UN ini. Karena dengan adanya UN para siswa itu termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Karena sebelum ada UN sistem belajar siswa ini cenderung lebih santai.” Hal senada juga diutarakan oleh Febriansi Sihaloho, seorang siswi SMU Negeri 11 Medan yang pada saat ini sendang duduk di bangku kelas 2 SMU. Dia berpendapat bahwa: “Saya sih setuju dengan adanya standarisasi UN. Saya jadi lebih semangat lagi belajar karena saya tidak ingin nantinya saya tidak lulus UN. Tapi maunya sih pemerintah memperbaiki juga dan menambah fasilitas atau sarana dan prasarana ditiap-tiap sekolah. Apalagi sekolah negeri fasilitasnya sangat sedikit dan sudah lama. Misalnya, memperbaiki gedung sekolah yang rusak dan banyak yang bocor, meja dan kursi yang sudah rusak, terus menambah fasilitas seperti masukan jaringan internet ke sekolah-sekolah negeri, dan subsidi buku-buku yang lebih banyak lagi ke perpustakaan sekolah.” Dari jawaban informan diatas dapat disimpulkan bahwa mereka mendukung kebijakan pemerintah tentang UN ini. Karena menurut mereka UN dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi. Dengan adanya UN sistem belajar siswa berubah dari yang Universitas Sumatera Utara santai menjadi giat belajar karena ada yang dikejar yaitu lulus UN. Mereka juga berharap program UN diimbangi dengan fasilitas yang lebih baik lagi. Berbeda dengan argumen diatas, Yanto seorang siswa SMU Swasta yang tidak lulus UN pada tahun ajaran 20062007 lalu, sehingga dia harus mengulang 1 satu tahun ajaran lagi untuk dapat mengikuti UN dan dinyatakan lulus. Dia berpendapat sebagai berikut: “Saya tidak setuju dengan adanya UN ini, apalagi dengan tidak adanya ujian ulangan. Belum tentu juga yang lulus UN itu lulus dengan murni. Kasihan kan dengan yang tidak lulus itu, kami terpaksa harus mengulang 1 satu tahun lagi untuk UN ulangan. Memangnya dengan lulus ujian 3 tiga mata pelajaran yang di ujiankan sudah pasti siswa tersebut berkualitas? Belum tentu kan? Bagaimana kalau dia ahli di bidang yang lain, misalnya olah raga, seni musik, dll? Toh selama ini yang mengharumkan bangsa kita ke luar negeri itu kebanyakan dari bidang oleh raga dan musik kan? Jadi saya sangat tidak setuju ada UN.” Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa UN tidak relevan untuk diterapkan, karena hanya mengukur kualitas seorang peserta didik berdasarkan tiga mata pelajaran saja. Jadi, UN hanya akan menghambat kreatifitas seseorang saja. Anak tersebut juga mengusulkan agar sistem evaluasi kembali lagi ke sistem Ebtanas saja. Lebih mudah dan semua siswa dinyatakan lulus. Selain itu dilakukan juga wawancara kepada 3 tiga orang yang dianggap paham mengenai kondisi pendidikan di Kota Medan. Ketiga orang tersebut adalah dosen dibidang pendidikan di UNIMED, yaitu: Prof. Dra. Sortha Silalahi; Prof. Dr. Herbet Sipahutar, M..S.,M.Sc.; dan Prof. Drs. Mulia Sembiring. Yang ketiganya merupakan dosen bidang pendidikan yang mengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA Unimed. Dan jawaban mereka akan disajikan satu persatu dibawah ini. Menurut Prof. Drs. Mulia Sembiring, bahwa: “Bicara mengenai ujian nasional sebenarnya tidak ada manfaatnya sama sekali, apa lagi membicarakan perlu atau tidaknya itu dilakukan. Memang melalui Universitas Sumatera Utara informasi yang kita dengar selama ini bahwa persentase kelulusan siswa mengalami peningkatan tiap tahunnya. Tapi bagaimana mungkin angka standar kelulusan dan jumlah kelulusan siswa tersebut menjadi ukuran kualitas pendidikan? Apalagi hanya dinilai melalui tiga mata pelajaran saja. Itu berarti arah pendidikan kita adalah hanya demi mahirnya peserta didik untuk menjawab soal-soal ujian. Apalagi kalau dihubungkan dengan tujuan pendidikan kita. Secara singkat tujuan pendidikan kita adalah untuk mencerdaskan peserta didik dan mendampingi mereka agar menjadi pribadi yang baik. Dari situ sudah jelas bahwa tujuan pendidikan menjadi cerdas dan baik, cerdas artinya mampu menggunakan akal budinya untuk menghadapi dan menjawab persoalan secara kreatif. Sedangkan baik artinya mempunyai karakter, tahu nilai-nilai dan mampu mewujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Jadi, tidak hanya demi untuk menjawab soal-soal ulangan saja.” Dari jawaban diatas diketahui bahwa UN tidak sesuai dengan dasar tujuan pendidikan negara kita, yaitu menjadikan peserta didik sebagai individu yang cerdas dan baik. Karena kualitas seseorang tidak dapat diukur melalui sistem evaluasi yang distandarisasi dengan hanya mengacu pada 3 tiga mata pelajaran saja. Pertanyaan yang sama diajukan juga kepada Prof. Dra. Sortha Silalahi, dosen yang mengajar pada fakultas yang sama di Unimed. Dan Beliau berpendapat: “Kita perlu ingat terlebih dahulu bahwa Indonesia ini sangat beragam, baik geografis, ekonomi, sosial dan budaya, maka UN hanya tepat untuk dijadikan sebagai alat pemetaan saja. Kalau standarisasi itu sangat tidak tepat karena kondisinya tidak bisa distandarisasi. Dijadikan sebagai penentuan kelulusan juga tidak tepat karena input dan asupannya berbeda sehingga tidak bisa mengharapkan output yang sama pula. Argumen yang diucapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tentunya akan mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Apalagi kita semua juga tahu bahwa mutu pendidikan di Indonesia adalah yang terjelek di Asia Tenggara. Dan kebijakan pemerintah tentang UN yang terpusat seperti sekarang ini, tentu tidaklah jelek. Namun, ujian semacam itu diselenggarakan dengan satu prasyarat mutlak, yaitu terdapat kesamaan akses dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh nusantara. Terdapat kesamaan buku, standar guru, dan kemudahan akses informasi dimana-mana di seluruh negeri. Bila tidak, maka UN adalah sebuah kejahatan sosial. Karena ratusan ribu bahkan jutaan murid yang ada di daerah yang tidak lulus disebabkan ketidakadilan dalam sarana, mutu guru, dan akses informasi. Sehingga pada akhirnya kebijakan pemerintah ini hanya akan dianggap sebagai lahan untuk menghambur-hamburkan uang, lahan untuk meraup keuntungan yang besar di kalangan birokrat yang terlibat dalam penyelenggaraan UN ini.” Universitas Sumatera Utara Dari argumen diatas diketahui bahwa UN tidak tepat untuk distandarisasi karena kurikulum, standar guru, dan kemudahan akses informasi yang di dapat tiap-tiap daerah itu tidak sama. Yang mana pada akhirnya kebijakan UN ini menimbulkan perspektif negatif di kalangan birokrat terhadap anggaran yang dikeluarkan untuk UN ini. Kalau memang kebijakan UN tersebut harus dilakukan, maka seharusnya pemerintah menyamakan segala akses, ketersediaan sarana dan prasarananya terlebih dahulu di seluruh negeri. Prof. Dr. Herbet Sipahutar, M.S., M.Sc. mengeluarkan pendapat yang sedikit berbeda dengan diatas, yaitu: “Standarisasi yang dilakukan melalui UN, dilakukan tanpa menggunakan akal sehat. UN yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. Individu peserta didik ditempah menjadi sekadar barang produksi yang bisa distandarisasi. Karena yang diutamakan dalam UN ini adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu tersebut kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan. Dan sikap pemerintah yang ngotot agar UN dijalankan tanpa memberi pertimbangan yang valid dan sah, tidak memberi tidak lanjut dalam kebijakan pendidikan post UN, serta bersikap tuli atas masukan bisa dicap sekadar bagi-bagi uang saja. Apalagi dana yang dikeluarkan untuk UN ini cukup besar.” Jawaban diatas menyimpulkan bahwa masing-masing individu itu mempunyai kelebihannya sendiri yang tidak dapat diukur melalui standarisasi UN. Kebijakan UN dianggap hanya menghambat keluarnya kreativitas para peserta didik. Beliau juga menganggap UN hanya sekadar proyek yang bisa menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pelaksananya. Lalu penulis mengajukan pertanyaan kedua kepada mereka bertiga pada waktu yang berbeda pula, yaitu bagaimana dampaknya terhadap siswa dan guru atas kebijakan ini? Dan mereka mengeluarkan pendapat yang hampir sama, penulis merampungkan jawaban mereka, yaitu bahwa siswa dan guru tentu saja menjadi korban dari keserakahan para Universitas Sumatera Utara pengambil kebijakan ini. Para siswa disandera oleh dominasi guru, buku, standarisasi, tempat belajar yang hanya sebatas ruang kelas. Dan guru pun akhirnya berusaha mengkatrol nilai mereka tinggi. Para guru tentu ingin agar muridnya lulus, sehingga hasil kerja mereka pun dinilai baik. Kalau sudah begini yang kecurangan dimana-mana yang akan timbul. Jadi, kita pun tidak bisa pastikan bahwa yang lulus UN itu benar-benar berkualitas. Pertanyaan ketiga ialah metode pendidikan yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan pada dunia pendidikan di negara kita? Prof. Drs. Mulia Sembiring menjawab: “Paradigma siswa sebagai objek harus dibuang. Pendidikan harus dikembalikan kepada filosofi yang sesungguhnya, yakni memerdekakan siswa untuk berani berinovasi, berkreasi, berimajinasi, berkhayal, dan berfantasi. Sudah saatnya anak didik menjadi subjek, sehingga ia bebas memilih pelajaran sesuai dengan minat. Biarkan siswa belajar di jagad raya. Dan guru pun tampil sebagai sosok sahabat bagi murid. Selama ini negara sudah terlalu banyak mengatur, sehingga memacetkan seluruh kreativitas mereka. Kan sudah ada universitas negeri, jadi biarkan saja universitas negeri yang menampi siswa dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan.” Pendapat diatas didukung oleh pendapat dari Prof. Dra. Sortha Silalahi, yang berpendapat tidak jauh berbeda, yaitu: “Pendidikan nasional kita saat ini tergolong menganut paradigma dominasi, yang berpusat pada guru yang dominan, buku, seragam, standarisasi, tempat belajar yang hanya sebatas kelas. Dunia sekarang sedang berubah menuju paradigma yang berpusat pada murid: murid bebas memilih sesuai minat; sumber ilmu adalah perpustakaan; lokasi belajar adalah jagad raya; individual; dan sekolah tidak lagi menyeramkan. Guru berfungsi sebagai fasilitator.” Diperkuat lagi dengan pendapat dari Prof. Dr. Herbet Sipahutar, M.S., M.Sc. yaitu: “Perkembangan dunia pendidikan dari schoolteacher centre menuju child centre akan lebih baik apabila sepenuhnya diakomodasi baik oleh sekolah-sekolah maupun lewat kebijakan pendidikan. Salah satu tolok ukur pendidikan sudah bercorak child centre, yakni dengan memanfaatkan siswa sebagai subjekpusat. Jadi variasi prestasi siswa semakin diakui dan berkembang di sekolah-sekolah, dengan demikian kualitas pendidikan itu sendiri akan terdongkrak.” Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ketiga jawaban diatas diketahui bahwa sistem pendidikan kita saat ini sangat mematikan kreativitas peserta didik, dan ini harus dirubah. Siswa yang selama ini dijadikan sebagai objek harus diganti menjadi subjek. Berikan kebebasan kepada mereka untuk memilih, berkhayal, berkreasi, berinovasi dengan jagad raya, sedangkan fungsi guru adalah sebagai mediatorfasilitator atas kreativitas mereka. Demikianlah hasil wawancara yang dilakukan kepada para informan biasa, dan jawaban mereka akan penulis gunakan sebagai bahan pendukung pada pembahasan hasil penelitian yang akan disajikan pada bagian sub bab ini.

4.2. PEMBAHASAN.