Hipotesis Kerangka Pemikiran Pengelolaan Zona Penangkapan Ikan Di Selat Madura dan Sekitarnya dengan Pendekatan Spasial dan Temporal

9 Berdasarkan dinamika ZPPI, kondisi oseanografi Selat Madura dan sekitarnya, serta kondisi pengelolaan ikan hasil tangkapan, dikembangkan pola kerjasama penangkapan ikan antara PPI di Situbondo, serta kerjasama regional penangkapan dan pengolahan ikan hasil tangkapan antara Situbondo dengan daerah lain di sekitar Selat Madura, serta antara nelayan Situbondo dengan nelayan dari PPI di luar Selat Madura yaitu sekitar Selat Bali, Laut Bali, dan di sisi selatan Laut Jawa bagian timur. Gambaran singkat tentang pemikiran ini disajikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan zona penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya bagi nelayan Kabupaten Situbondo – Jawa Timur dengan pendekatan spasial dan temporal. Dinamika spasial dan temporal ZPPI mingguan, bulanan, musiman Klorofil-a SPL Pola pengaturan operasi penangkapan ikan Pengelolaan Perikanan Terpadu: Kerjasama nelayan dan pemerintah daerah di tepian Selat Madura Angin dan Gelombang Teknologi Penangkapan Pengelolaan Ikan Hasil Tangkapan 10 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang

Narendra 1993 menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3 - 11,3 µm dan 11,5 - 12,5 µm serta resolusi spasial 1,1 km untuk menentukan suhu permukaan laut SPL. SPL yang dihasilkan selanjutnya menjadi data utama dalam menentukan zona potensi penangkapan ikan. Dalam perhitungan SPL dilakukan 3 tiga tahap proses yaitu : 1 koreksi radiometrik; 2 koreksi geometrik; 3 perhitungan SPL. Koreksi radiometrik terhadap data NOAA-AVHRR dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh atmosfir pada saat transmisi energi dari matahari ke permukaan laut dan emisi dari permukaan laut ke sensor pada satelit. Koreksi geometrik dilakukan untuk menghilangkan efek kelengkungan permukaan bumi dan rotasi bumi pada saat observasi oleh satelit. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dari segi geometrik juga digunakan beberapa titik kontrol peta sebagai acuan pada saat koreksi geometrik. Sedangkan perhitungan suhu permukaan laut menggunakan multi kanal yaitu kanal 4 dan kanal 5, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat. Gastellu 1983 menyatakan bahwa, untuk keperluan pengguna ilmiah sangat berkepentingan dengan data yang didapat dari satelit khususnya yang berkaitan dengan determinasi dari SPL dan dinamika oseanografi thermal front, upwelling , dan arus eddy. Keterbatasan aspek fisik dan teknologi menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan hasil pengamatan SPL dari satelit. Permasalahan utama disebabkan oleh kandungan uap air di atmosfir yang menyebabkan kesalahan sampai 10 o K. Keragaman emisivitas permukaan laut dan noise pada sensor satelit juga merupakan faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam perhitungan SPL. Dengan menggunakan koreksi radiometrik dan proses pengolahan yang baik memungkinkan untuk mendapatkan SPL yang cukup teliti. Gordon 2005 menyimpulkan, berdasarkan penelitian menggunakan data MODIS Aqua dan data Sea WiFS diketahui bahwa SPL, klorofil-a, dan upwelling masing-masing sangat dipengaruhi oleh angin monsun. Dari hasil penelitian arus 11 lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan Indonesia dekat 12 o LS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh pergerakan arus lintas kepulauan Indonseia ALKI dan diganti oleh air laut dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama pada perairan laut Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis dengan salinitas tinggi dan Samudera Hindia bagian utara. Tangdom 2005 menyatakan bahwa, monsun Asia mempunyai pengaruh dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5 o C, dengan suhu minimum pada daerah upwelling sebelah selatan Pulau Jawa dan di atas paparan Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim bersangkutan lebih tinggi dari 29 o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29 o C. Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan 12 dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime Continent ” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik secara lokal maupun global. Penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil. Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi selama periode salinitas tinggi 34 00 . Hasil tangkapan ikan tertinggi selama periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo. Fenomena ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang dapat diterangkan dengan jelas bahwa pergeseran massa air dari arah timur ke barat menyebabkan meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut. Hasil tangkapan rata-rata sekitar kepulauan Masalembo dengan jelas menunjukkan siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin monsun. Hasil tangkapan tonhari penangkapan cenderung tinggi pada bulan Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 tonhari. Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Makassar dan Laut Flores dengan kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musiman. Hasil penelitian pada stasiun dekat pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa SPL maksimum mencapai 30 o C selama angin dari barat laut atau musim basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26 o C pada Februari 1994. Suhu minimum dengan nilai 28 o C terjadi selama akhir musim angin tenggara atau musim kering pada bulan September 1993.