Interaksi pada teknis operasional

119 perikanan tangkap. Hal ini ditunjukkan oleh probabilitas pengaruh kegiatan perikanan budidaya BDY terhadap pertumbuhan kegiatan perikanan budidaya X61 yang tidak jelas fix. Sedangkan untuk mobilisasipenyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan budidaya ini juga sejak awal sudah dikeluarkan dari model karena korelasinya yang rendah. Pada tataran teknis ini, kegiatan perikanan budidaya ini secara tidak langsung mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan Y11, pendidikan Y12, dan penyerapan tenaga kerja Y14 masing-masing dengan koefisien 5,198, 5,277, dan 1,041. Ketiga komponen ini merupakan dimensi konstruk dari komponen kesejahteraan nelayan. Terkait dengan ini, maka pengembangan kegiatan perikanan budidaya sangat membantu peningkatan kesejahteraan nelayan secara umum dalam aspek pendapatan, pendidikan anak, dan pekerjaan, meskipun secara langsung tidak semuanya dipengaruhi. Adanya pengaruh langsung dan tidak langsung menghasilkan pengaruh total kegiatan perikanan budidaya ini terhadap komponen lainnya berjumlah 7 pengaruh. Semua pengaruh tersifat positif yang menunjukkan bahwa setiap upaya pengembangan usaha perikanan budidaya di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi akan menghasilkan pengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Tabel 52 menyajikan pengaruh langsung PL, pengaruh tidak langsung PTL, dan pengaruh total PT dari interaksi yang dilakukan oleh kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Tabel 52 Pengaruh koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi PROS pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Konstruk Dimensi Konstruk PL PTL PT LU KOT TKP BDY X22 PROS X41 X83 KN -0,741 -0,741 120 Tabel 52 lanjutan Konstruk Dimensi Konstruk PL PTL PT X61 X63 X81 X82 X53 X52 X51 X34 X33 X23 X11 X13 X73 0,179 0,179 Y11 -0,741 -0,741 Y14 -0,752 -0,752 Y12 -0,148 -0,148 X71 1 1 X91 X92 X31 X42 X21 X12 Berdasarkan Tabel 52, kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan nelayan KN, incomependapatan nelayan pengolah X73, dan pertumbuhan kegiatan pengolahan hasil perikanan X71, yaitu masing-masing dengan koefisien -0,741, 0,179, dan 1,000. Dari tiga pengaruh tersebut, pengaruh kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS terhadap kesejahteraan nelayan KN merupakan signifikan P = 0,017. Terkait dengan ini, maka kesejahteraan nelayan KN menjadi indikator atau hal serius yang harus diperhatikan dalam operasional kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Tabel 53 menyajikan probabalitas pengaruh dari interaksi dari kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS. 121 Tabel 53 Probabalitas pengaruh interaksi PROS pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Estimate S.E C.R. P Label KN  PROS -0,741 0,311 -2,381 0,017 par-24 X71  PROS 1,000 Fix X73  PROS 0,179 0,117 1,525 0,127 par-2 Bila melihat pengaruh kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS yang bersifat negatif terhadap kesejahteraan nelayan KN, maka ini mengindikasikan bahwa pengembangan kegiatan pengolahan justru berdampak kurang bagi kesejahteraan nelayan, dan ini berbeda dengan dampak terhadap kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Hal ini mungkin karena kegiatan pengolahan yang ada selama ini cenderung dalam bentuk ikan kering yang harga jualnya lebih rendah daripada ikan segar. Bahan baku ikan kering tersebut banyak dari ikan segar yang sudah rusak, sehingga bila ini terlalu dibiarkan maka nelayan cenderung kurang perhatian dalam penggunaan bahan pendukung seperti es dan lainnya. Secara jangka panjang, nelayan dapat dicitrakan banyak menjual ikan rusak. Secara tidak langsung, kegiatan pengolahan hasil perikanan PROS ini berpengaruh negatif terhadap dimensi konstruk kesejahteraan nelayan yaitu terhadap pendapatan Y11, kesempatan kerja Y14, dan pendidikan anak Y12, masing dengan koefisien -0.741, -07528, dan -0,145. Pengaruh tidak langsung ini merupakan turunan pengaruh langsung yang negatif dari kegiatan pengolahan hasil perikanan PROS terhadap kesejahteraan nelayan. Terkait dengan ini, maka pembenahan pada kegiatan pengolahan di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau perlu dilakukan dalam bentuk perbaikan kualitas hasil pengolahan dan diversifikasi produk. Dari awal jenis produk yang dihasilkan harus sudah direncanakan sehingga bahan baku dapat dipersiapkan dengan baik dan tidak harus menunggu menjadi rusak ikan terlebih dahulu. Bila mengacu kepada model lanjutan Gambar 12 yang dikembangkan pada Bab 4, maka interaksi yang terjadi pada tataran teknis operasional yang melibatkan kegiatan operasional langsung seperti kegiatan perikanan tangkap 122 TKP, kegiatan perikanan budidaya BDY, dan kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS, dan kegiatan pendukungnya seperti lingkup usaha perikanan LU, Kewenangan Pemerintah Pusat KP dan Kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Otonom KOT, dan lainnya, maka interaksi yang terkait dapat dirumuskan dengan beberapa persamaan : TKP = -0,043 LU + 0,268 KP + 0,007 KOT BDY = -0,303 LU + 0,005 KOT + 0,010 PROS = -3,557 LU + 0,134 KOT + 0,010 Nilai koefisien pengaruh pada rumus tersebut menggambarkan bentuk interaksi yang terjadi diantara suatu kegiatan teknis perikanan dengan kegiatan pendukung yang mempengaruhinya yaitu lingkup usaha perikanan LU, Kewenangan Pemerintah Pusat KP dan Kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Otonom KOT. Secara umum, kegiatan teknis perikanan kurang berkembang dengan lingkup usaha perikanan yang terlalu luas nilai koefisien pengaruh negatif, karena kegiatan teknis menjadi tidak fokus. Menurut Dahuri, 2001, suatu program pengembangan dapat berhasil baik bila fokus pada lingkup usaha perikanan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan kegiatan pembinaan intensif dilakukan selama kurun waktu yang ditentukan. Hal ini karena masyarakat nelayanpedagangpengolah ikan umumnya berpendidikan rendah, dimana mereka kesulitan mengimplementasikan program bila tidak didampingi terus menerus. Mereka tidak begitu tertarik dengan program pengembangan usaha yang muluk-muluk yang tidak berkaitan langsung dengan yang dilakukan sehari-hari. Kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Otonom KOT mempunyai pengaruh positif bagi pengembangan kegiatan perikanan tangkap TKP, kegiatan perikanan budidaya BDY, dan kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS, sedangkan kewenangan pemerintah tidak banyak berpengaruh. Hal ini diduga karena program Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir selama ini cenderung bersifat pembinaan personil dan pendampingan usaha kecil, sehingga lebih dirasakan manfaatnya. Hasil survai lapang menunjukkan program pemerintah pusat banyak dirasakan di lokasi, yang bisa jadi karena lokasinya cukup jauh dari pusat kota propinsi Pekanbaru. Kegiatan penyuluhan perikanan 123 yang sering dilakukan Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir dianggap positif oleh pelaku perikanan nelayanpedagangpengolah ikan, dan beberapa usaha pengolahan ikan berkembang baik dengan pendampingan penyuluh. Menurut Fauzi 2005, kebijakan perikanan dan kelautan harus lebih menyentuh pada hal- hal teknis yang dibutuhkan nelayan dan pelaku perikanan kecil di kawasan perikanan. Hal ini karena mereka merupakan penggerak utama dan menentukan maju mundurnya kegiatan perikanan di kawasan perikanan.

5.3.3 Interaksi pada level kewenangan

Interaksi pada level kewenangan ini dibangun oleh interaksi yang dilakukan oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Otonomi terkait usaha perikanan. Hal ini terjadi karena pelaksanaan usaha perikanan di lokasi tidak lepas dari campur tangan pemerintah baik dalam penyediaan infrastruktur, perijinan, maupun pengaturan hubungan dan interaksi dari kelembagaan yang ada. Ini dibutuhkan untuk memberikan penyamanan, jaminanlegalisasi usaha, dan perlindungan hukum sehingga usaha perikanan dapat berjalan baik untuk peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat sekitar secara umum. Tabel 54 Pengaruh koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi KP pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Konstruk Dimensi Konstruk PL PTL PT LU KOT 0,073 0,073 TKP 0,268 0,269 BDY X22 PROS 0,01 0.01 X41 X83 1 1 KN -0694 0,232 -0,462 X61 X63 0,001 0,001 X81 -0,069 -0,069 X82 2,122 2,122 X53 0,973 0,973 X52 2,153 2,153 X51 0,269 0,269 X34 X33 X23 124 Tabel 54 lanjutan Konstruk Dimensi Konstruk PL PTL PT X13 X73 0,002 0,002 Y11 -0,462 -0,462 Y14 -0,469 -0,469 Y12 -0,092 -0,092 X71 0,01 0,01 X91 -0,151 -0,151 X92 0,073 0,073 X31 0,969 0,969 X42 X21 X12 Pada model yang dikembangkan, interkasi pada level kewenangan dibangun oleh dua konstruk yaitu Kewenangan Pemerintah Pusat KP dan Kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Otonom KOT. Pada pengembangan parsial model, konstruk Kewenangan Pemerintah Pusat KP kemudian berinteraksi dengan tiga komponen yang terdiri dari Infrastruktur yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X81, Perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X82, dan Kelembagaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X83. Sedangkan konstruk Kewenangan Pemerintah Otonomi KOT berinteraksi dengan dua komponendimensi konstruk yaitu Perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi X91 dan Kelembagaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi X92. Jumlah komponen yang berinteraksi tersebut kemudian dikembangkan lebih banyak untuk menjadi model tersebut fit. Pada dunia nyata hal ini sering terjadi karena interaksi bisa terbentuk secara bebas berdasarkan kesesuaian dan kepentingan komponen dalam interaksi meskipun interaksi tersebut tidak disukai atau tidak diproyeksikan sebelumnya. Untuk memulai pembahasan ini, Tabel 54 menyajikan pengaruh langsung PL, pengaruh tidak langsung PTL, dan pengaruh total PT dari interaksi komponen Kewenangan Pemerintah Pusat KP. Pada Tabel 54 terlihat pengaruh Kewenangan Pemerintah Pusat KP yang bersifat langsung dalam interaksi dengan komponen lain ada enam lebih dari tiga. Pengaruh langsung tersebut adalah pengaruh terhadap Kewenangan Pemerintah Otonomi KOT, kegiatan perikanan tangkap TKP, Kelembagaan 125 yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X83, kesejahteraan nelayan KN, infrastruktur yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X81, dan perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X82 masing-masing dengan koefisien 0,073, 0,268, 1,000, -0,694, -0,069, dan 2,122. Tabel 55 Probabilitas pengaruh interaksi KP pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Estimate S.E C.R. P Label KOT  KP 0,073 0,056 1,298 0,194 par-12 TKP  KP 0,268 0,087 3,087 0,002 par-21 X83  KP 1,000 Fix KN  KP -0,694 0,327 -2,125 0034 par-15 X81  KP -0,069 0,051 -1,345 0,179 par-9 X82  KP 2,122 0,374 5,673 0,000 par-10 Bila melihat koefisien pengaruh ini, maka kewenangan Pemerintah Pusat terkait perijinan merupakan pengaruh positif yang paling tinggi, dan pengaruh terhadap kesejahteraan nelayan merupakan pengaruh negatif tertinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat mempunyai konsentrasi yang sangat tinggi dalam hal perijinan usaha perikanan yang ada di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Hal ini mungkin karena perairan sekitar merupakan perbatasan sehingga rawan dari penangkapan ikan ilegal dan bila terjadi pelanggaran perbatasan, maka Pemerintah Pusat kesulitan memberikan pembelaan bila surat atau berkas perijinan tidak lengkap. Namun di sisi lain, sikap proaktif dan tegas Pemerintah Pusat ini justru berdampak kurang baik terhadap kesejahteraan nelayan, karena nelayan merasa direpotkan dengan perijinan dan lainnya sehingga tidak berani melaut pada areal yang lebih luas dan jauh. Akibatnya, hasil tangkapan yang didapat menjadi terbatas. Namun demikian, apakah pengaruh langsung yang positif maupun negatif tersebut berdampak serius atau tidak dapat ditunjukkan oleh probabilitas pengaruh dari interaksi Kewenangan Pemerintah Pusat dengan komponen lainnya seperti disajikan pada Tabel 55. 126 Berdasarkan Tabel 55, pengaruh Kewenangan Pemerintah Pusat KP terhadap kesejahteraan nelayan KN dan perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat X82 bersifat signifikan yang ditandai oleh prababilitas pengaruhnya di bawah 0,005, yaitu masing-masing 0,034 dan 0. Dengan demikian, maka kedua komponen tersebut menjadi indikator Kewenangan Pemerintah Pusat KP dan kekhawatiran dari pengaruh kewenangan ini terhadap kesejahteraan dan perijinan seperti dinyatakan sebelumnya memang wajar karena dapat berpengaruh serius dan nyata di lokasi. Selain terhadap dua komponen tersebut, Kewenangan Pemerintah Pusat KP juga berpengaruh signifikan terhadap kegiatan perikanan tangkap P = 0,003. Oleh karena itu, kegiatan perikanan tangkap juga secara serius harus diperhatikan dalam pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat. Disamping berpengaruh secara langsung, Kewenangan Pemerintah Pusat juga mempengaruhi 10 komponen lainnya secara tidak langsung Tabel 54. Dari pengaruh tidak langsung tersebut, pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan tangkap X52 merupakan pengaruh positif paling tinggi koefisien pengaruh = 2,153, dan pengaruh terhadap dimensi kesejahteraan berupa kesempatan kerja Y14 merupakan pengaruh negatif yang tinggi koefisien pengaruh = -0,469. Terkait dengan ini, maka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat juga harus melihat dampak lanjutannya. Ulasan di atas memberi gambaran tentang pentingnya kewenangan Pemerintah Pusat bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, pelaksanaan kewenangan daerah otonomi, kegiatan teknis perikanan tangkap, serta interaksi lainnya yang secara tidak langsung mendukung kegiatan perikanan dan perbaikan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir. Pada Gambar 12, tidak ada interaksi yang mengilustrasikan ketergantungan kewenangan Pemerintah Pusat terhadap komponen utama perikanan lainnya. Hal ini cukup wajar karena dalam tatanan kebijakan, kewenangan Pemerintah Pusat ini berada di level paling atas, sehingga dalam interaksinya lebih banyak memberi pengaruh dan tidak sebalikya. Berdasarkan Gambar 12, interaksi ketergantungan terjadi untuk kewenangan Pemerintah Otonomi terhadap kewenangan Pemerintah Pusat KP, lingkup usaha perikanan LU, dan industri non usaha perikanan LIN. Interaksi terkait 127 ketergantungan kewenangan Pemerintah Otonomi KOT terhadap komponen utama lainnya dirumuskan dengan persamaan : KOT = 0,070 KP – 0,250 LU – 4,450 KP - 0,010 Berdasarkan rumusan tersebut, kewenangan Pemerintah Pusat berpengaruh positif atau selalu menjadi rujukan bagi pengembangan kebijakankewenangan Pemerintah Otonomi PEMDA Rokan Hilir terkait bidang perikanan termasuk dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun lingkup usaha perikanan dan indutri non perikanan cenderung menjadi pembatas koefisien negatif dalam implementasi kewenangan PEMDA Rokan Hilir di bidang perikanan. Namun demikian, rumusan tersebut dan ilustrasi model Gambar 12 memberi informasi tentang polarespon nyata yang terjadi dalam interaksi kewenangan Pemerintah Otonomi dengan kewenangan Pemerintah Pusat KP, lingkup usaha perikanan LU, dan industri non usaha perikanan LIN. Informasi ini tentu sangat bermanfaat bagi pengembangan kegiatan perikanan tangkap dalam upaya perbaikan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, dimana interaksi dengan pengaruh positif dipertahankan, sedangkan yang pengaruhnya cenderung negatif dapat diantisipasi secara dini. Interaksi pada level kewenangan ini, Kewenangan Pemerintah Otonomi juga merupakan penggerak interaksi yang khusus pada lingkup wilayah administrasi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Tabel 56 menyajikan pengaruh langsung PL, pengaruh tidak langsung PTL, dan pengaruh total PT dari interaksi komponen Kewenangan Pemerintah Otonomi KOT. Tabel 56 Pengaruh koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi KOT pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Konstruk Dimensi konstruk PL PTL PT LU KOT TKP 0,007 0,007 BDY 0,005 0,005 X22 PROS 0,134 0,134 X41 X83 KN -0,159 -0,069 -0,229 128 Tabel 56 lanjutan Konstruk Dimensi konstruk PL PTL PT X63 0,013 0,013 X81 X82 X53 0,018 0,018 X52 0,054 0,054 X51 0,007 0,007 X34 X33 X23 X11 X13 X73 0,024 0,024 Y11 -0,229 -0,229 Y14 -0,232 -0,232 Y12 -0,046 -0,046 X71 0,134 0,134 X91 0,279 0,279 X92 1 1 X31 X42 X21 X12 Berdasarkan Tabel 56, kewenangan Pemerintah Otonomi berpengaruh secara langsung terhadap enam komponen lainnya, yaitu kegiatan perikanan tangkap TKP, kegiatan perikanan budidaya BDY, kegiatan processingpengolahan hasil perikanan PROS, kesejahteraan nelayan KN, perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi X91, dan kelembagaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi X92 masing- masing dengan koefisien 0,007, 0,005, 0,113, -0,159, 0,279, dan 1,000. Bila melihat pengaruhnya terhadap teknis operasional usaha perikanan, maka kewenangan Pemerintah Otonomi KOT berpengaruh dan berinteraksi lebih banyak daripada kewenangan Pemerintah Pusat KP. Kewenangan Pemerintah Otonomi KOT berinteraksi dengan ketiga kegiatan operasional yang ada perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan hasil, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat KP hanya berinteraksi dengan kegiatan dominan yang ada di lokasi kegiatan perikanan tangkap. Jumlah interaksi ini sekaligus menunjukkan kesesuaian model fitting bahwa kewenangan Pemerintah Otonomi berinteraksi pada tataran lebih teknis daripada kewenangan Pemerintah Pusat. 129 Tabel 57 Probabalitas pengaruh interaksi KOT pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Estimate S.E C.R. P Label TKP  KOT 0,007 0,003 2,044 0.041 par-35 BDY  KOT 0,005 0,025 0,187 0,852 par-36 PROS  KOT 0,134 0,113 1,191 0,234 par-37 KN  KOT -0,159 0,119 -1,335 0,82 par-13 X91  KOT 0,279 0,062 4,505 0,000 par-8 X92  KOT 1,000 Fix Bila melihat koefisien pengaruh yang ada, maka kewenangan Pemerintah Otonomi KOT dalam hal kelembagaan merupakan pengaruh positif yang paling tinggi, dan pengaruh terhadap kesejahteraan nelayan merupakan pengaruh negatif yang paling tinggi. Data ini menunjukkan bahwa Pemerintah Otonomi selama ini telah melakukan pembenahan pada kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan usaha perikanan. Penyediaan gedung dan pembenahan organisasi bagi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rokan Hilir yang dilakukan tiga tahun terakhir ini dapat meningkatkan eksistensi usaha dan kegiatan perikanan yang ada. Sebaliknya upaya yang dilakukan Pemerintah Otonomi selama ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan bahkan cenderung berdampak negatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa program pemerintah Otonomi yang tidak tepat sasaran, seperti pemberian bantuan perahu kepada nelayan tanpa membantu dalam biaya operasionalnya menyebabkan nelayan jarang bahkan tidak pernah mengoperasikan perahu tersebut, sehingga terpaksa dijual. Namun demikian, pengaruh kewenangan Pemerintah Otonomi ini terhadap kesejahteraan secara umum dan pembenahan kelembagaan bersifat tidak signifikan yang ditunjukkan oleh nilai probabilitasnya yang di atas 0,05 Tabel 57, yaitu masing-masing 0,257 dan fix tidak jelas. Oleh karena itu, maka berbagai kekhawatiran terkait kesejahteraan dan manfaat pembenahan kelembagaan yang dilakukan Pemerintah Otonomi tidak perlu ditanggapi berlebihan karena tidak akan berpengaruh berserius. 130 Diantara enam pengaruh tersebut, pengaruh kewenangan Pemerintah Otonomi dalam perijinan dan secara teknis terhadap kegiatan perikanan tangkap TKP bersifat signifikan, karena probabilitasnya 0,5, yaitu masing-masing 0,000 dan 0,041. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dapat secara serius mengganggu mekanisme perijinan yang sudah ada bila diselewengkan, dan penyelewengan kewenangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan pelaku perikanan tangkap terhadap Pemerintah Daerah yang pada akhirnya mengganggu secara serius operasional kegiatan perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Rokan Hilir dapat membawa pengaruh yang serius terhadap kegiatan perikanan tangkap yang ada di lokasi. Dalam kaitan ini, maka Pemerintah OtonomiKabupaten Rokan Hilir harus lebih hati-hati dalam merancang dan mengimplementasikan berbagai PERDA yang sensitif dengan operasional perikanan tangkap terutama yang berkaitan biaya perijinan bagi nelayan kecil, sehingga usaha perikanan tetap eksis bahkan lebih berkembang di Kabupaten Rokan Hilir, dan bukan sebaliknya.

5.4 Pengembangan Kebijakan Perikanan Dalam Rangka Peningkatan

Kesejahteraan Nelayan. Bagian ini akan memberikan ulasan terkait dengan respon interaksi dari berbagai komponen usaha perikanan hasil analisis SEM dalam perannya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang dikaitkan tingkat kesejahteraan nelayan saat ini. Hasil analisis indikator kesejahteraan menurut BPS 1991 dan hasil analisis kelayakan finansial usaha yang dijalankan nelayan telah memberikan informasi secara kualitatif dan kuantitatif tentang tingkat kesejahteraan di Kabupten Rokan Hilir Provinsi Riau. Bila mengacu kepada model lanjutan Gambar 12 yang dikembangkan pada Bab 4, interaksi kesejahteraan nelayan KN dengan komponen utama pengelolaan perikanan dapat diilustrasikan dengan rumus : KN = -0,694 KP – 0,159 KOT + 0,927 TKP + 5,198 BDY – 0741 PROS – 0,010 Mengacu kepada ilustrasi rumus tersebut, maka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat KP dan kewenangan Pemerintah Otonomi KOT belum membawa manfaat langsung bagi kesejahteraan nelayan. Semakin banyak peraturan perikanan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Otonomi,