16 Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak
memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan
dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS 1991 yang sudah dimodifikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan
dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas: 1 pendapatan rumah tangga; 2 konsumsi rumah tangga; 3 keadaan tempat
tinggal; 4 fasilitas tempat tinggal; 5 kesehatan anggota keluarga; 6 kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medisparamedis,
termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana KB dan obat- obatan; 7 kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan;
8 kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi; 9 perasaan aman dari gangguan kejahatan; dan 10 kemudahan dalam melakukan olah raga.
Tingkat Kesejahteraan Keluarga menurut Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional 1996 yang diacu dalam Primayuda 2002 adalah sebagai
berikut: 1 Keluarga Pra Sejahtera PS, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2 Keluarga Sejahtera Tahap-1 S-1, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan
kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keluarga Berencana KB, interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tinggal serta kebutuhan
transportasi. 3 Keluarga Sejahtera Tahap-2 S-2, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar dan juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan
pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi. 4 Keluarga Sejahtera Tahap-3 S-3, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar, prsikologis dan pengembangannya akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di masyarakat
17 dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial,
keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya. 5 Keluarga Sejahtera Tahap-3 plus S-3
+
, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis,
maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
2.2.2 Kemiskinan nelayan
Masyarakat nelayan di Indonesia identik dengan kemiskinan meskipun dari banyak literatur menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan adalah suatu atribut
global, terkecuali untuk negara-negara maju seperti Jepang. Kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena suatu kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan, dimana
sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung
jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya Subade and Abdullah 1993; Panayotou 1992; Johnston 1992. Sementara itu, Johnston 1992 mengatakan
bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara
nelayan skala industri dan skala rumah tangga kecil, maka nelayan kecil yang menanggung eksternalitas disekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan
pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan. Secara terstruktur, Dahuri 2000 mengajukan alasan kemiskinan nelayan,
yang pada intinya kemiskinan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu biaya tinggi yang harus dibayar dan penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan.
Seterusnya bila diteliti lebih jauh, biaya tinggi disebabkan karena struktur pasar yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerimaan yang rendah adalah
karena volume hasil tangkapan danatau harga ikan yang rendah. Dahuri 2000 mengklasifikasikan alasan kemiskinan nelayan kedalam empat hal yaitu 1
kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan, 2 kemiskinan karena kekurangan prasarana, 3 kemiskinan karena kualitas sumberdaya manusia yang
rendah, dan 4 kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dan memberikan insentif usaha. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan
18 nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait
karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa
menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan
di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun
usaha dengan hubungan kemitraan seperti demikian tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.
Panayotou 1992 mengatakan bahwa nelayan tetap bertahan dalam kemiskinan, karena tidak ada pilihan untuk menjalani kehidupan itu preference
for a particular way of life. Pendapat Panayotou 1992 ini dikuatkan oleh Subade dan Abdullah 1993, yang menekankan bahwa nelayan lebih senang dan
memiliki kepuasaan hidup dari menangkap ikan dan bukan semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Sehingga dengan way of life yang
demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, bukanlah masalah baginya, sementara prinsip hidup sangat sukar untuk diubah. Karena itu maka
meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan
kehidupan itu. Smith 1979 yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di
berbagai negara Asia menyimpulkan, bahwa kekakuan aset perikanan fixity and rigidity of fishing assets adalah alasan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau
bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset
perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat
produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu, meskipun rendah