1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menjalankan kegiatan usaha yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara individu, baik kebutuhan primer,
sekunder maupun tersier. Sebagaimana tujuan dari kegiatan usaha tersebut, banyak orang ingin pula menjalankan berbagai jenis kegiatan usaha karena
kebutuhan hidup harus selalu terpenuhi. Tumbuhnya berbagai macam jenis kegiatan usaha inilah yang sesungguhnya melahirkan persaingan usaha antara
pelaku usaha, berupa persaingan usaha yang sehat fair competition dan persaingan usaha yang tidak sehat unfair competition
1
. Persaingan usaha yang tidak sehat tentunya tidak diinginkan oleh masyarakat karena akan mengakibatkan
hilangnya kesejahteraan serta keadilan secara ekonomi. Salah satu jenis persaingan usaha tidak sehat yang sering terjadi di Indonesia adalah kartel.
Berbagai kasus kartel terjadi di Indonesia, seperti kasus kartel penetapan harga fuel surcharge oleh 9 maskapai penerbangan di Indonesia yaitu PT. Garuda
Indonesia, PT. Sriwijaya Air, PT. Mandala Airlines, PT. Travel Express Aviation,
1
Hermansyah, 2009, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 4
PT. Lion Mentari Airlines, PT. Wings Abadi Airlines, PT. Metro Batavia, PT. Merpati Nusantara Airlines dan PT. Kartika Airlines yang telah diputus bersalah
dengan Putusan KPPU No. 25KPPU-I2009. Kasus ini bermula ketika terjadi peningkatan harga avtur pada pertengahan tahun 2006, sehingga 9 maskapai
penerbangan secara sepakat menetapkan harga fuel surcharge yang dibebankan kepada masing-masing penumpang angkutan udara sebesar Rp 20.000,- dengan
kondisi harga avtur rata-rata Rp 5.600,-liter sejak 1 Mei 2006. Dalam menilai kasus tersebut, KPPU beranggapan bahwa unsur penetapan harga dan adanya
dugaan kartel telah terpenuhi dikarenakan harga yang ditetapkan kepada suatu barang danatau jasa dimana dalam hal ini ialah fuel surcharge harus dibayar oleh
konsumen dengan kondisi bahwa harga yang ditetapkan sejalan dengan melambungnya harga avtur pada saat itu. Ketika terjadi penurunan harga avtur,
fuel surcharge tidak mengalami penurunan, sehingga dalam hal ini KPPU
menduga telah terjadi prakik kartel dengan melanggar ketentuan pasal 5 UU No. 51999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
selanjutnya disebut UU No. 51999. Kasus kartel lainnya yang pernah terjadi ialah kartel SMS oleh 6
perusahaan telekomunikasi yang melanggar pasal 5 UU No. 51999. KPPU menemukan pelanggaran dalam Perjanjian Kerja Sama PKS interkoneksi antar
operator. Salah satu klausul perjanjian memuat penetapan tarif SMS yang
mengakibatkan terjadinya kartel harga SMS off-net pada periode 2004-2008
2
. Pada tahun 2013, praktik kartel tidak hanya terjadi dibidang jasa penerbangan dan
telekomunikasi. Indikasi praktik kartel terjadi pada produsen daging sapi di sejumlah wilayah Indonesia dan sebanyak 32 terlapor yang merupakan pelaku
usaha yang saling bersaing ini diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No. 51999. Dalam pertemuan-pertemuan di asosiasi,
pelaku usaha diduga melakukan pembicaraan mengenai harga jual sapi dan pembahasan harga melalui asosiasi merupakan perilaku yang saling mengikatkan
diri satu sama lain yang merupakan bentuk perjanjian
3
. Bentuk perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri dan atau bersama-sama untuk
melakukan tindakan mengatur pasokan sapi dengan cara membatasi penjualan sapi ke Rumah Pemotongan Hewan RPH dengan alasan untuk menjaga
keberlangsungan persediaan ini telah mengakibatkan peningkatan harga sapi yang berdampak pada peningkatan harga daging sapi
4
. Walaupun tidak diketahui berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya kartel, namun
kecenderungan yang terjadi memperlihatkan, bahwa kelebihan harga karena kartel cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel merupakan
harga yang lebih tinggi dari harga yang tercipta karena persaingan. Oleh
2
-------, Putusan
Kartel Diperkuat
MA, Ini
Respon KPPU
, URL
: http:www.hukumonline.comberitabacalt56d905b202e6fputusan-kartel-sms-diperkuat-ma--ini-
respon-kppu, diakses pada 18 April 2016
3
-------, Ini
Hasil Investigasi
Sementara Dugaan
Kartel Sapi
, URL
: http:www.hukumonline.comberitabacalt55f7e08c52242ini-hasil-investigasi-sementara-dugaan-
kartel-daging-sapi, diakses pada 18 April 2016
4
Ibid
karenanya tidak mengherankan bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah.
Ketiga kasus diatas menunjukan bahwa unsur perjanjian merupakan unsur terpenting dalam pembuktian kasus kartel. Perjanjian yang di bentuk oleh para
pelaku usahaorganisasi yang terdiri atas pelaku usaha ini dapat dibentuk dalam perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Pada praktiknya, perjanjian yang memuat
klausul-klausul antara pelaku usaha untuk melakukan praktik kartel ini dibentuk secara tidak tertulis, dengan tujuan agar kolusi para pelaku usaha yang tergabung
dalam suatu organisasiasosiasi ini tidak serta merta diketahui, sehingga menyebabkan sulitnya pembuktian kasus kartel oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha selanjutnya disebut KPPU. Ketiadaan wewenang KPPU untuk melakukan penggeledahan dan menyita surat-surat atau dokumen
perusahaan juga menjadi salah satu penyebab sulitnya pembuktian
5
, oleh karena itu penggunaan bukti tidak langsungcircumstantial evidence tidak dapat
dihindari. Circumstantial evidence terdiri atas bukti ekonomi dan bukti komunikasi ini hanya digunakan pada pemeriksaan di tingkat KPPU, sedangkan
lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, tidak menggunakan alat bukti tersebut
6
.
5
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia : Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya
, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta h. 607
6
I Made Sarjana, 2014, Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Persaingan Usaha, Zifatama Publisher, Sidorajo, h. 150
Pembuktian dengan menghadirkan alat-alat bukti dalam persidangan merupakan tahap terpenting, agar dicapai suatu putusan yang objektif. Alat-alat
bukti yang digunakan dalam pembuktian kasus persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam pasal 42 UU No. 51999 jo. Pasal 72 ayat 1 Peraturan KPPU
No. 12010, namun circumstantial evidence tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan pasal tersebut. Dalam ketentuan lainnya seperti peraturan KPPU
No. 42010 yang dibentuk KPPU sebagai pedoman untuk penanganan kasus kartel, hanya menerangkan bahwa circumstantial evidencebukti tidak langsung
ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membuktikan kasus kartel. Belum terdapat ketentuan undang-undang maupun peraturan KPPU yang
menerangkan secara jelas kedudukan circumstantial evidence dalam kasus kartel ini sebagai suatu alat bukti. Selain itu, circumstantial evidence menghadirkan
bukti non hukumbukti dari bidang ilmu lain juga menyebabkan banyak pihak mempertanyakan apakah circumstantial evidence ini sebagai alat bukti yang sah
atau tidak digunakan guna pembuktian kasus kartel di Indonesia. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk membahas dan
memilih usulan
penelitian d
engan judul “KEDUDUKAN HUKUM CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE
DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA ANALISA UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999”
1.2 Rumusan Masalah