KEDUDUKAN HUKUM CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999).

(1)

DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL

DI INDONESIA (ANALISIS UNDANG-UNDANG

NOMOR 5 TAHUN 1999)

IDA AYU PUTU WIDYA INDAH SARI NIM. 1203005051

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

DI INDONESIA (ANALISIS UNDANG-UNDANG

NOMOR 5 TAHUN 1999)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA AYU PUTU WIDYA INDAH SARI NIM. 1203005051

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang berjudul

“KEDUDUKAN HUKUM CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM

PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA (ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999)” dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H., Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H.,M.H., Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

3. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Made Dedy Priyanto, S. H., M.kn., selaku Sekretaris Bagian Hukum

Perdata.

5. Dr. I Gede Artha, S.H.,M.H, sebagai Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vi

dan masukan yang telah diberikan selama penyelesaian skripsi.

8. Bapak dan Ibu Dosen lain di lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Udayana yang telah sangat berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

9. Seluruh Staf Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

10.Untuk orang tua penulis, Ida Bagus Surya Wedanta, Cokorda Istri Agung

Nilam Kencana Dewi, Ida Ayu Resi Sudewi, S.T., dan Bobby Setyo Nugroho atas dukungan semangat, materi dan doa selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11.Untuk kakak Muhammad Zainal Abidin Koa, S.H. dan I Wayan Arya

Kurniawan, S.H., yang telah memberikan arahan serta dukungan kepada penulis dari awal menjadi mahasiswa Fakultas Hukum sampai pada tahap penyelesaian skripsi ini.

12.Untuk sahabat, Nik Mirah Mahardani, Ni Made Asri Mas Lestari, Gede

Angga Prawirayuda, Made Mas Maha Wihardana, I Gst Ngr Satria Wibawa, Zhafran Raihan Zaky, Zhanniza Elrian Angelita, S.H., Ayu Lahuru, teman-teman ALSA serta teman-teman-teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan motivasi.


(7)

vii

Made Diah Ayuni Karang, Komang Pramana Putra, Desak Putu Kurnia Dewi, Yogi Ari Dwipayana serta rekan-rekan lainnya di Programa 2 RRI Denpasar yang telah membantu penulis untuk mengatur jadwal siaran dan selalu memotivasi penulis dalam menyusun skripsi ini.

14.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang selalu

memberi doa, dukungan, bantuan, atau pun semangat yang tiada henti-hentinya kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap bertanggung jawab terhadap isi skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Denpasar, Februari 2016


(8)

viii

Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 4 Februari 2016 Yang menyatakan,

(Ida Ayu Putu Widya Indah Sari) NIM. 1203005051


(9)

ix HALAMAN SAMPUL DALAM

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENETAPAN PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2Rumusan Masalah ……….. 6

1.3Ruang Lingkup Masalah………. 6

1.4Orisinalitas Penelitian………. 6

1.5Tujuan Penelitian………. 8

1.5.1 Tujuan Umum ... 8

1.5.2 Tujuan Khusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.6.2 Manfaat Praktis ... 9

1.7 Landasan Teoritis ... 9

1.8 Metode Penelitian ... 12


(10)

x

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE, PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA, DAN KARTEL 2.1Pengertian Tentang Circumstantial Evidence………. 19

2.1.1 Jenis-jenis Circumstantial Evidence……….. 22

2.2Pengertian Tentang Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha 22 2.2.1 Teori Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha…….. 26

2.2.2 Pendekatan Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha 28 2.2.3 Alat Bukti Dalam Hukum Persaingan Usaha……….. 31

2.3Pengertian Tentang Kartel……… 40

2.3.1 Landasan Hukum Kartel………. 45

2.3.2 Jenis-Jenis Kartel……… 47

2.3.3 Dampak Kartel……….. 47

BAB III PENGATURAN CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DALAM RANGKA PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA 3.1Circumstantial Evidence Dalam Pembuktian Kasus Kartel 50


(11)

xi

BAB IV KEDUDUKAN HUKUM CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE

DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA

4.1Perkembangan Circumstantial Evidence Dalam Pembuktian Kasus

Kartel di Indonesia ……….. 65

4.2Analisis Circumstantial Evidence Dalam Putusan KPPU

Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Kasus Kartel Fuel Surcharge 67

4.3Kedudukan Hukum Circumstantial Evidence Dalam Putusan KPPU

Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Kasus Kartel Fuel Surcharge 71

BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan……….. 73

5.2Saran……….... 73

DAFTAR PUSTAKA RINGKASAN


(12)

xii

dalam hukum persaingan usaha karena berdampak buruk bagi perekonomian negara. Dalam mengungkap kasus kartel, KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha

di Indonesia menggunakan alat bukti circumstantial evidence, yaitu berupa bukti

ekonomi dan bukti komunikasi. Circumstantial evidence digunakan dalam

pembuktian kasus kartel sebagai implikasi dari penerapan prinsip rule of reason

dalam Pasal 11 UU No. 5/1999, yaitu adanya penilaian dampak yang ditimbulkan dari perjanjian pelaku usaha yang bersengkongkol untuk melakukan praktik kartel. Namun, dalam pasal 42 UU No. 5/1999 tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai

kedudukan hukum circumstantial evidence ke dalam jenis alat-alat bukti yang

digunakan dalam penanganan kasus persaingan usaha. Dari uraian tersebut, permasalahan yang dapat diangkat ialah bagaimana pengaturan hukum serta

kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel di

Indonesia.

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini ialah penelitian hukum normatif, karena pembahasan karya ilmiah ini menganalisis undang-undang dan beberapa literatur terkait. Adapun pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan konseptual analisis.

Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah, Pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia tidak diatur secara jelas dan tidak termasuk ke dalam jenis alat bukti yang dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. pasal 72 ayat (1)

Peraturan KPPU No. 1/2010. Circumstantial evidence merupakan fakta- fakta yang

mampu memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap alat bukti yang termuat dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1/2010 dan hal ini

telah digunakan dalam salah satu kasus kartel di Indonesia, yaitu kasus fuel

surcharge. Kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel adalah sebagai alat bukti pendukung dari jenis alat bukti lainnya yang tertera dalam Pasal 42 UU No. 5/1999.


(13)

xiii

business competition controller uses circumstantial evidence, in the form of economic analysis and communications evidence. Circumstantial evidence used in proving the cartel case, as the implications of the rule of reason principle in Article 11 Act No. 5/1999, namely the impact assessment of the businesses agreement between parties for cartel practices. However, in article 42 of Act Number 5 of 1999 do not explicitly clarify legal position of circumstantial evidence to the types of evidence used in handling business competition cases. Thus, from description above, the problem that can be raised is how the rule of law and legal position of circumstantial evidence applied as proof of cartel cases in Indonesia.

The method used in writing this study is a normative legal research, due to its discussion analyzing the legislation and some related literature. This study use several approaches, they are statutory approach, cases approach, and analytical conceptual approach.

The finding shows that although, the role of circumstantial evidence in handling Indonesia’s cartelis not clearly regulated and does not belong to the kind of evidence based in legislation as mentioned on the article 42 Act No. 5/1999 jo. Article 72 paragraph (1) Commision Regulation No. 1/2010. Circumstantial evidence are facts that provide further explanation of the evidence contained in article 42 of Act No. 5/1999 jo. Article 72 paragraph (1) Commision Regulation No. 1/2010, it has been used in handling a cartel case in Indonesia, namely the case of the fuel surcharge. The legal position of circumstantial evidence in cartel cases is used as supporting evidence of other types evidence listed in Article 42 Act Number 5/1999. Keywords: Circumstantial Evidence, Evidence, Cartel


(14)

1

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menjalankan kegiatan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara individu, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Sebagaimana tujuan dari kegiatan usaha tersebut, banyak orang ingin pula menjalankan berbagai jenis kegiatan usaha karena kebutuhan hidup harus selalu terpenuhi. Tumbuhnya berbagai macam jenis kegiatan usaha inilah yang sesungguhnya melahirkan persaingan usaha antara

pelaku usaha, berupa persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan

persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition)1. Persaingan usaha yang

tidak sehat tentunya tidak diinginkan oleh masyarakat karena akan mengakibatkan hilangnya kesejahteraan serta keadilan secara ekonomi. Salah satu jenis persaingan usaha tidak sehat yang sering terjadi di Indonesia adalah kartel.

Berbagai kasus kartel terjadi di Indonesia, seperti kasus kartel penetapan

harga fuel surcharge oleh 9 maskapai penerbangan di Indonesia yaitu PT. Garuda

Indonesia, PT. Sriwijaya Air, PT. Mandala Airlines, PT. Travel Express Aviation,

1 Hermansyah, 2009, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 4


(15)

PT. Lion Mentari Airlines, PT. Wings Abadi Airlines, PT. Metro Batavia, PT. Merpati Nusantara Airlines dan PT. Kartika Airlines yang telah diputus bersalah dengan Putusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009. Kasus ini bermula ketika terjadi peningkatan harga avtur pada pertengahan tahun 2006, sehingga 9 maskapai

penerbangan secara sepakat menetapkan harga fuel surcharge yang dibebankan

kepada masing-masing penumpang angkutan udara sebesar Rp 20.000,- dengan kondisi harga avtur rata-rata Rp 5.600,-/liter sejak 1 Mei 2006. Dalam menilai kasus tersebut, KPPU beranggapan bahwa unsur penetapan harga dan adanya dugaan kartel telah terpenuhi dikarenakan harga yang ditetapkan kepada suatu

barang dan/atau jasa dimana dalam hal ini ialah fuel surcharge harus dibayar oleh

konsumen dengan kondisi bahwa harga yang ditetapkan sejalan dengan melambungnya harga avtur pada saat itu. Ketika terjadi penurunan harga avtur, fuel surcharge tidak mengalami penurunan, sehingga dalam hal ini KPPU menduga telah terjadi prakik kartel dengan melanggar ketentuan pasal 5 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5/1999).

Kasus kartel lainnya yang pernah terjadi ialah kartel SMS oleh 6 perusahaan telekomunikasi yang melanggar pasal 5 UU No. 5/1999. KPPU menemukan pelanggaran dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) interkoneksi antar operator. Salah satu klausul perjanjian memuat penetapan tarif SMS yang


(16)

mengakibatkan terjadinya kartel harga SMS off-net pada periode 2004-20082. Pada tahun 2013, praktik kartel tidak hanya terjadi dibidang jasa penerbangan dan telekomunikasi. Indikasi praktik kartel terjadi pada produsen daging sapi di sejumlah wilayah Indonesia dan sebanyak 32 terlapor yang merupakan pelaku usaha yang saling bersaing ini diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No. 5/1999. Dalam pertemuan-pertemuan di asosiasi, pelaku usaha diduga melakukan pembicaraan mengenai harga jual sapi dan pembahasan harga melalui asosiasi merupakan perilaku yang saling mengikatkan

diri satu sama lain yang merupakan bentuk perjanjian3. Bentuk perjanjian yang

dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri dan atau bersama-sama untuk melakukan tindakan mengatur pasokan sapi dengan cara membatasi penjualan sapi ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan alasan untuk menjaga keberlangsungan persediaan ini telah mengakibatkan peningkatan harga sapi yang

berdampak pada peningkatan harga daging sapi4. Walaupun tidak diketahui

berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya kartel, namun kecenderungan yang terjadi memperlihatkan, bahwa kelebihan harga karena kartel cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel merupakan harga yang lebih tinggi dari harga yang tercipta karena persaingan. Oleh

2 ---, Putusan Kartel Diperkuat MA, Ini Respon KPPU, URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56d905b202e6f/putusan-kartel-sms-diperkuat-ma--ini-respon-kppu, diakses pada 18 April 2016

3 ---, Ini Hasil Investigasi Sementara Dugaan Kartel Sapi, URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55f7e08c52242/ini-hasil-investigasi-sementara-dugaan-kartel-daging-sapi, diakses pada 18 April 2016


(17)

karenanya tidak mengherankan bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah.

Ketiga kasus diatas menunjukan bahwa unsur perjanjian merupakan unsur terpenting dalam pembuktian kasus kartel. Perjanjian yang di bentuk oleh para pelaku usaha/organisasi yang terdiri atas pelaku usaha ini dapat dibentuk dalam perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Pada praktiknya, perjanjian yang memuat klausul-klausul antara pelaku usaha untuk melakukan praktik kartel ini dibentuk secara tidak tertulis, dengan tujuan agar kolusi para pelaku usaha yang tergabung dalam suatu organisasi/asosiasi ini tidak serta merta diketahui, sehingga menyebabkan sulitnya pembuktian kasus kartel oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU). Ketiadaan wewenang KPPU untuk melakukan penggeledahan dan menyita surat-surat atau dokumen

perusahaan juga menjadi salah satu penyebab sulitnya pembuktian5, oleh karena

itu penggunaan bukti tidak langsung/circumstantial evidence tidak dapat

dihindari. Circumstantial evidence terdiri atas bukti ekonomi dan bukti

komunikasi ini hanya digunakan pada pemeriksaan di tingkat KPPU, sedangkan lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, tidak

menggunakan alat bukti tersebut6.

5 Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia : Dalam Teori dan Praktik

serta Penerapan Hukumnya, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta h. 607

6 I Made Sarjana, 2014, Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Persaingan Usaha, Zifatama Publisher, Sidorajo, h. 150


(18)

Pembuktian dengan menghadirkan alat-alat bukti dalam persidangan merupakan tahap terpenting, agar dicapai suatu putusan yang objektif. Alat-alat bukti yang digunakan dalam pembuktian kasus persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU

No. 1/2010, namun circumstantial evidence tidak tercantum secara eksplisit

dalam rumusan pasal tersebut. Dalam ketentuan lainnya seperti peraturan KPPU No. 4/2010 yang dibentuk KPPU sebagai pedoman untuk penanganan kasus

kartel, hanya menerangkan bahwa circumstantial evidence/bukti tidak langsung

ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membuktikan kasus kartel. Belum terdapat ketentuan undang-undang maupun peraturan KPPU yang

menerangkan secara jelas kedudukan circumstantial evidence dalam kasus kartel

ini sebagai suatu alat bukti. Selain itu, circumstantial evidence menghadirkan

bukti non hukum/bukti dari bidang ilmu lain juga menyebabkan banyak pihak

mempertanyakan apakah circumstantial evidence ini sebagai alat bukti yang sah

atau tidak digunakan guna pembuktian kasus kartel di Indonesia. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk membahas dan

memilih usulan penelitian dengan judul “KEDUDUKAN HUKUM

CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL


(19)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yaitu sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan

perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia?

1.2.2 Bagaimana kedudukan hukum circumstantial evidence dalam

pembuktian kasus kartel di Indonesia? 1.3Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan dari circumstantial evidence dalam

peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam

pembuktian kasus kartel di Indonesia 1.4Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis menampilkan dua judul karya tulis dengan pembahasan yang hampir mirip dengan penelitian penulis. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa di wajibkan untuk mampu


(20)

menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian yang terdahulu sebagai pembanding.

No Judul Penelitian Penulis

1 TINJAUAN MENGENAI INDIRECT

EVIDENCE (BUKTI TIDAK

LANGSUNG) SEBAGAI ALAT

BUKTI DALAM KASUS DUGAAN

KARTEL FUEL SURCHARGE

MASKAPAI PENERBANGAN DI

INDONESIA

INGRID GRATSYA

ZEGA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCA

SARJANA UNIVERSITAS INDONESIA 2012

2 BUKTI TIDAK LANGSUNG

(INDIRECT EVIDENCE) DALAM

PENANGANAN KASUS

PERSAINGAN USAHA

RIRIS MUNADIYA JURNAL PERSAINGAN

USAHA : KOMISI

PENGAWAS

PERSAINGAN USAHA

EDISI 5 TAHUN 2011

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya.


(21)

1.5Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:

1.5.1Tujuan Umum

1. Untuk menganalisis mengenai kedudukan hukum circumstantial

evidence dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

1.5.2Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan circumstantial evidence dalam

peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum circumstantial evidence

dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia 1.6Manfaat Penelitian

1.6.1Manfaat Teoritis

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan

sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum bisnis khususnya pemahaman teoritis mengenai

kedudukan hukum circumstantial evidence dalam pembuktian


(22)

1.6.2Manfaat Praktis

1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum

2. Dapat memberikan kontribusi bagi lembaga penegak hukum

terkhusus bagi KPPU yang memiliki kewenangan penuh dalam penanganan kasus-kasus persaingan usaha seperti kartel yang ada di Indonesia dengan tetap memperhatikan perkembangan dari hukum yang ada dalam masyarakat.

1.7Landasan Teoritis

1.7.1Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari

hukum, terutama untuk norma hukum tertulis7. Keteraturan yang terjadi

dalam masyarakat berkaitan dengan kepastian yang tertera dalam hukum. Sudikno Mertokusumo memberikan definisi kepastian hukum yang merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan harus dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan.

Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan8.

7 M. Sulaeman Jajuli, 2015, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam—Ed.1, Cet. 1, Deepublish, Yogyakarta, h. 51

8 Sudikno Mertokusumo, 2011, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, h.160, dalam


(23)

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan

kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial9. Berkaitan dengan

penelitian ini, penulis menganggap bahwa circumstantial evidence atau

bukti tidak langsung berupa bukti ekonomi dan bukti komunikasi dalam hukum persaingan usaha merupakan hal yang sangat penting dalam

pembuktian kasus kartel, namun circumstantial evidence belum memiliki

kedudukan hukum yang jelas, apakah dapat dikatakan sebagai alat bukti

atau tidak, serta berkedudukan sebagai apakah circumctantial evidence ini

dalam pembuktian kasus kartel.

1.7.2 Teori Welfare State

9 M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, h. 76


(24)

Lahirnya konsep Welfare ini tidak lain dikarenakan munculnya

pemikiran ekonomi Keynesian yang menekankan keterlibatan aktif

pemerintah dalam perekonomian suatu Negara. Konsep welfare state

menggambarkan suatu negara mengambil tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan masyarakatnya, seperti penyediaan asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, sakses pelayanan kesehatan, serta dibidang perekonomian.

Terdapat pula definisi welfare state lainnya seperti “The welfare state often

refers to an ideal model of provision, where the state accepts responsibility

for the provision of comprehensive and universal welfare for its citizens”10 (Negara kesejahteraan sering mengacu pada model penyediaan, dimana negara menerima tanggung jawab untuk penyediaan kesejahteraan yang

komprehensif dan universal bagi warganya (terjemahan bebas)).

Pemerintah dalam hal ini memiliki berbagai cara dengan tujuan untuk menjamin kesejahteraan untuk menghadapi kemungkinan yang akan dihadapi dengan adanya masyarakat yang cenderung modernitas serta berperilaku

individual. Welfarestate sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan peran

negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, pembuktian kasus kartel yang menggunakan

10 Paul Spicker, Social Policy : Theory And Practice, URL : http://www.spicker.uk/social-policy/socpol.htm, diakses pada 2 Desember 2015


(25)

bukti tidak langsung/circumstantial evidence semata-mata ingin mengetahui apakah praktik kartel yang dilakukan pelaku usaha berimplikasi pada kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga penggunaan bukti ini dapat membantu perealisasian dari tujuan dibentuknya UU No. 5/1999, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembuktian yang dilakukan dengan menggunakan analisa non hukum sebagai konsekuensi dari penanganan kasus

persaingan usaha yang berkenaan ilmu ekonomi11, sehingga penerapannya

berpengaruh positif terhadap persaingan usaha dan mendukung kegiatan ekonomi negara.

1.8Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan

dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam praktik hukum12.

Penelitian hukum normatif terdiri dari beberapa norma yaitu norma kabur, norma kosong dan norma konflik dan didalam penelitian ini, penulis mengkaji

mengenai kedudukan circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel

11 I Made Sarjana, op.cit., h.177

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan


(26)

di Indonesia dengan menganalisis UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu mengenai pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pembuktian kasus kartel serta kedudukannya dalam pembuktian kasus kartel.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penelitian ini ingin melihat pengaturan circumstantial evidence dalam

peraturan perundang-undangan serta kedudukannya dalam pembuktian kasus kartel, sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam

penelitian penelitian ini adalah pendekatan perundang undangan (statutory

approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual

analisis (analytical conceptual approach).

1. Pendekatan Perundang undangan

Dalam metode pendekatan perundang–undangan peneliti perlu

memahami hierarki, dan asas–asas dalam peraturan perundang – undangan.

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang–

undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam

peraturan perundang – undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat


(27)

regulasi13. Jadi demikian pendekatan perundang – undangan adalah pendekatan dengan menggunakan produk legislasi dan regulasi. Produk

yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu keputusan yang

diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus, misalnya keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan bupati, dan keputusan suatu badan tertentu, tidak dapat digunakan dalam pendekatan

perundang – undangan14. Pendekatan ini digunakan in case terhadap UU

No. 5/1999 dan penulis bukan saja melihat pada bentuk peraturan, melainkan menelaah pula dasar ontologis atau alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut sehingga dalam penggunaan pendekatan ini, penulis dapat menggali sumber bahan penelitian yang lebih terperinci.

2. Pendekatan Kasus

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh

peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan–alasan hukum yang digunakan

oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio

decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta – fakta

materiel15. Fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang

13 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group, Jakarta, h. 137

14Ibid 15Ibid., h. 158


(28)

menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya16 yang merupakan dasar dari dibangunnya suatu argumentasi hukum.

Pemahaman mengenai ratio decidendi ini menunjukkan bahwa ilmu

hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif17.

Sehingga ketika dilakukan penelitian terhadap suatu kasus hukum, yang harus diteliti oleh peneliti bukan diktum putusan pengadilan, melainkan alasan-alasan hukum yang digunakan hakim sehingga sampai pada putusan pengadilan tersebut yang termuat dalam bagian menimbang pada putusan perkara.

3. Pendekatan Konseptual Analisis

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum terdapat hukum atau tidak ada aturan hukum yang mengatur untuk masalah yang sedang dihadapi. Seperti contohnya seorang peneliti dalam topik penelitiannya akan meneliti tentang makna kepentingan umum dalam Perpres No. 35 Tahun 2005. Apabila peneliti mengacu kepada peraturan itu, ia tidak akan menemukan pengertian yang ia cari, hanya saja yang ia temukan ialah makna bersifat umum yang tentunya tidak tepat untuk membangun argumentasi hukum. Sehingga, ia harus membangun suatu

16Ibid


(29)

konsep untuk dijadikan acuan di dalam penelitiannya18. Dari apa yang dikemukakan, sebenarnya dalam melakukan pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Walaupun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat ditemukan di dalam undang-undang. Hanya saja, dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu

memahami konsep tersebut melalui pandangan dan doktrin yang ada19.

1.8.3 Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :

1. Sumber bahan hukum primer20

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Bahan hukum ini merupakan bahan yang bersifat autoritatif, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari perundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

undang-undang dan putusan-putusan hakim21.

18Ibid., h. 177

19Ibid., h.178

20 Lihat Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, h. 76 21 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., h. 181


(30)

2. Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku,

jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan22.

3. Sumber bahan hukum tersier

Sumber bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Online) dan kamus hukum.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian penelitian ini.

22Ibid


(31)

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam

ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.

3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

atau tidak setuju oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum, semakin banyak argumentasi yang dibangun, semakin menunjukkan kedalaman

penalaran hukum23.

23Ibid., h. 77


(32)

19

2.1Pengertian Tentang Circumstantial Evidence

Doktrin res ipsa loquitur dalam bahasa Inggris berarti the thing speaks for

itself (benda tersebut yang berbicara (terjemahan bebas)). Doktrin ini dalam hukum perdata hanya relevan dan berlaku untuk kasus perbuatan melawan hukum

dalam bentuk kelalaian (negligence) dan tidak berlaku untuk perbuatan melawan

hukum dalam bentuk kesengajaan atau tanggung jawab mutlak.

Doktrin ini merupakan doktrin pembuktian dalam hukum perdata yang membantu pihak penggugat untuk membuktikan kasusnya. Pihak yang mengajukan gugatan harus membuktikan kesalahan dari pelaku, jika merupakan kelalaian maupun kesengajaan. Pembuktian ini seringkali sangat menyulitkan korban untuk membuktikan bahwa terdapat kelalaian pelaku sehingga terjadi perbuatan melawan hukum yang merugikan korban. Pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian dalam kasus-kasus tertentu tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian dari pihak pelaku, akan tetapi cukup dengan menunjukkan fakta yang terjadi dan menarik sendiri kesimpulan bahwa pihak pelaku kemungkinan besar melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, bahkan tanpa perlu menununjukkan bagaimana pihak pelakunya berbuat sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum tersebut. Doktrin ini semacam bukti


(33)

sirkumstansial/circumstantial evidence merupakan suatu bukti tentang fakta dari

fakta-fakta mana suatu kesimpulan yang masuk akal ditarik1. Circumstantial

evidence/indirect evidence/bukti tidak langsung merupakan jenis bukti yang dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikan. Jenis

lainnya ialah direct evidence/bukti langsung, dimana saksi melihat langsung fakta

yang akan dibuktikan, sehingga fakta tersebut terbukti langsung (dalam satu tahap

saja) dengan adanya alat bukti tersebut2.

Dalam hukum perdata, yang tergolong dalam alat bukti langsung adalah alat bukti surat dan alat bukti saksi. Pihak yang berkepentingan membawa dan menyerahkan alat bukti surat yang diperlukan dipersidangan. Apabila tidak terdapat alat bukti atau alat bukti itu belum mencukupi untuk mencapai batas minimal, pihak yang berkepentingan dapat menyempurnakannya dengan cara menghadirkan saksi secara fisik disidang, untuk memberikan keterangan yang diperlukan tentang hal yang dialami, dilihat, dan didengan oleh saksi sendiri tentang suatu perkara. Secara teoritis, hanya jenis atau bentuk ini yang benar-benar disebut sebagai alat bukti, karena memiliki fisik/wujud yang nyata,

1 Miftakhul Huda, Res Ipsa Loquitur, http://www.miftakhulhuda.com/2010/08/res-ipsa-loquitur_29.html, diakses pada 18 April 2016

2 Munir Fuady, 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5


(34)

mempunyai bentuk dan dapat disamaikan didepan persidangan, nyata, serta konkret3.

Berbeda dengan direct evidence, circumstantial evidence/bukti tidak langsung

yang disebut juga bukti sirkumstansial adalah suatu alat bukti dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah

ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu4. Pengertian lainnya menyebutkan bahwa

circumstantial evidence merupakan

“Evidence of a fact that is not itself a fact in issue, but is a fact from which the existence or non-existence of a fact is issue can be inferrer. Circumstantial evidence operates indirectly by tending to prove a fact relevant to the issue5 (circumstantial evidence merupakan suatu fakta yang bukan menjadi satu-satunya fakta yang berkaitan dengan suatu perkara, namun fakta tersebut berasal dari fakta-fakta yang berkaitan ataupun tidak dengan kasus tersebut, yg kemudian dapat diambil kesimpulan (terjemahan bebas))

Dari beberapa pengertian circumstantial evidence, dapat diketahui bahwa

bukti tersebut merupakan bukti yang melihat adanya hubungan antara fakta yang ditemukan dengan alat bukti yang di peroleh sehingga dapat ditarik kesimpulan tertentu dalam hal pembuktian suatu kasus. Sejalan dengan hal tersebut, menurut

Munir Fuady, bukti circumstantial evidence haruslah memiliki relevansi yang

rasional yang dapat menunjukkan bahwa penggunaan bukti tersebut dalam proses

3 Ingrid Gratsya Zega, 2012, Thesis dengan judul : Tinjauan Mengenai Indirect Evidence (Bukti Tidak Langsung) Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Dugaan Kartel Fuel Surcharge Maskapai

Penerbangan Di Indonesia, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h.80

4 Ibid


(35)

pengadilan, lebih besar kemungkinan dapat membuat fakta yang dibuktikan

tersebut menjadi lebih jelas dari pada jika tidak digunakan alat bukti tersebut6.

2.1.1 Jenis-jenis Circumstantial Evidence

Sebagai alat bukti yang digunakan dalam pembuktian kasus kartel, circumstantial evidence memiliki 2 jenis alat bukti, yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi yang menggambarkan ucapan suatu perjanjian atau para pihaknya, data-data terkait tindakan pelaku usaha dari segi ilmu ekonomi namun dapat menunjukkan bahwa terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat melalui fakta-fakta tersebut. Adapun pengertian

dari masing-masing bentuk Circumstantial evidence dalam pembuktian kasus

persaingan usaha, yaitu7:

a. One type is evidence that cartel operators met otherwise communicated, but does not describe the substance of their communications. It can be called “communications” evidence; (salah satu jenis bukti bahwa operator-operator kartel bertemu melalui komunikasi, namun tidak menggambarkan substansi dari komunikasi mereka. Hal ini dapat disebut

sebagai bukti “komunikasi”)

b. The economic evidence, whereby there are two types of economic evidence, which are: evidence of conduct by firms in a market and of the industry as a whole as well as “structural” evidence8

. (Bukti ekonomi,

dimana ada 2 jenis bukti ekonomi yaitu: bukti dari tindakan yang dilakukan oleh perusahaan di suatu pasar dan industri secara keseluruhan

sebagaimana halnya bukti “struktural”)

2.2Pengertian Tentang Pembuktian

6 Munir Fuady, op.cit., h. 28 7 I Made Sarjana, op.cit., h. 68

8The Organization For Economic Co-Operation And Development (OECD), Prescuting Cartels

Without Direct Evidence Of Agreement (policy grief, June 2007, p. 1-3), dalam M Udin Silalahi Dian


(36)

Indonesia sebagai negara hukum selalu mencita-citakan agar tercapainya kekuasaan yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. A.V Dicey mengaitkan prinsip negara hukum dengan rule of law, dimana hukum menjadi pedoman, pengendali, pengontrol, dan pengatur dari segala aktifitas berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui pula

ciri-ciri negara hukum adalah supremacy of law, equalitiy before the law, due process

of law, prinsip pembagian kekuasaan, peradilan yang bebas tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi

manusia, demokrasi, welfare state, transparansi, serta kontrol sosial9. Sehingga,

tidak dapat dipungkiri dalam suatu negara hukum akan terjadi proses peradilan, dimana hal yang harus tercermin ialah proses peradilan yang transparan, wajar, dan tidak berbasiskan kekuasaan.

Sebelum membahas mengenai pembuktian serta teori-teori pembuktian, perlu diketahui mengenai hukum pembuktian. Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut Munir Fuady, yang dimaksud pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah

9 Mokhammad Najih, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana


(37)

satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan

itu10. Pembuktian merupakan masalah penting dalam suatu proses peradilan

karena terdapat proses pembuktian dalam rangka penanganan kasus tertentu, baik pidana maupun perdata, untuk menghindari atau setidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat dengan mengandalkan kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan. Selain hal diatas, proses pembuktian dikatakan penting dalam penangan suatu perkara apapun karena akan menentukan seseorang dalam posisi benar atau salah, melanggar hukum atau tidak, yang akan

berakibat dijatuhkan sanksi atau tidak11.

J.C.T Simorangkir, dkk.12 menyatakan bahwa pembuktian adalah usaha dari

yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut. Yahya Harahap, S.H., menyatakan dalam pengertian luas, pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang

menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara13.

10 Munir Fuady, op.cit., h.1 11 I Made Sarjana, op.,cit, h. 127

12 J.C.T Simorangkir, dkk., 1985, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, h.135 dalam Andi Sofyan dan Abd. Asis., 2014, Hukum Acara Pidana : Suatu Pengantar, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 230

13 Abdul Manan, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, h. 227


(38)

Terdapat perbedaan yang signifikan antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Selain perbedaan alat bukti, terdapat perbedaan tentang sistem pembuktian, Dalam hukum acara pidana, dikenal dengan sistem

pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijsleer), dimana hal yang dicari oleh

hakim adalah kebenaran yang materiil. Sistem pembuktian negatif merupakan sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yakni alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup

untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka14. Sistem pembuktian

negatif diakui secara eksplisit oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), melalui pasal 183 yang menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya”

Sistem pembuktian negatif dalam sistem pembuktian pidana diberlakukan

karena yang dicari oleh hakim pidana adalah kebenaran materil (materiele

waarheid). Lain halnya dengan sistem pembuktian perdata, system yang diberlakukan adalah system positif. Hakim mencari suatu kebenaran formal, sehingga apabila alat bukti sudah terpenuhi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan dalam system pembuktian perdata

14 Munir Fuady, op.cit., h.2


(39)

tidak berperan15. Dalam hukum persaingan usaha, kebenaran yang dicari ialah kebenaran materiil dalam pembuktian hukum acara pidana maupun kebenaran formil sebagaimana halnya dalam hukum perdata.

2.2.1 Teori Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha

- Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif

(Negatieve Wettelijk Bewijstheorie)

Pada sistem pembuktian ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang. Namun hal ini tidak cukup, harus ditambah dengan adanya unsur keyakinan hakim, atau dengan kata lain, alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang saja belum cukup, namun harus disertai dengan keyakinan hakim yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini menekankan pada sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah, sebagaimana dikemukakan pada pasal 183 KUHAP. Dari adanya alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan terjadinya suatu perkara hukum dan pelaku bersalah melakukannya. Kebenaran yang diwujudkan harus berdasarkan bukti yang tidak diragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai

sebagai kebenaran yang hakiki16.

15Ibid, h.3


(40)

- Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang

Logis (La Conviction Raisonnee)

Teori ini muncul sebagai suatu pembuktian yang bebas, karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan dalam menjatuhkan putusan. Teori ini tidak diatur secara limitatif oleh undang-undang. Pokok ajaran sistem pembuktian ini ialah sebagai berikut:

a. Keyakinan hakim, dimana harus termuat,

b. Alasan-alasan ada yang menyebabkan hakim yakin dan dasar

alasan-alasan yang tidak terikat kepada alat pembuktian yang diakui oleh undang-undang saja, tetapi dapat juga dipergunakan alat pembuktian di luar undang-undang.

Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan pada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang

pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan17. Hakim dapat

memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

2.2.2 Pendekatan Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha

17 Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, h.254 dalam I Made Sarjana, op.cit., h. 136


(41)

Ciri khas dari penegakan hukum persaingan usaha dalam sistem

hukum acaranya adalah dengan menerapkan pendekatan per se illegal dan

rule of reason. Pendekatan rule of reason dan per se illegal telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha berpotensi atau telah melanggar UU No. 5/1999.

Kedua pendekatan ini pertama kali tercantum dalam Sherman Act

1980 (UU Antimonopoli Amerika Serikat), pertama kali diimplementasikan

oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1899 (untuk per se

illegal) dan pada tahun 1911 (untuk rule of reason) dalam putusan atas

beberapa kasus antitrust/persaingan usaha. Sebagai pioneer dalam bidang

persaingan usaha, maka pendekatan-pendekatan yang diimplementasikan di Amerika Serikat juga turut diimplementasikan oleh negara-negara lainnya

sebagai praktik kebiasaan (customary practice) dalam bidang persaingan

usaha18.

a. Prinsip Per se illegal

Prinsip Per se illegal merupakan prinsip yang menekankan pada

kemudahan dan sifatnya sederhana dalam arti apabila terdapat dugaan pelaku usaha melanggar hukum persaingan, maka peraturan perundang-undangan langsung diterapkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan

18 ---, Pentingnya Prinsip “Per Se” dan “Rule of reason” di UU Persaingan Usaha, URL :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha, diakses pada 11 Desember 2015


(42)

oleh pelaku usaha. Dengan melihat apakah tindakan pelaku usaha telah memenuhi unsur-unsur dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, penggunaan pendekatan ini memiliki kekuatan mengikat terhadap perundang-undangan daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Hal tersebut terjadi pada prinsip ini karena ketika terjadi suatu pelanggaran pada undang-undang, hakim cukup menilai apakah tindakan pelaku usaha tersebut telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut atau tidak,

sehingga prinsip ini dianggap relatif mudah dan sederhana19. Penerapan

pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang

menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”.

Per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum karena prinsip ini menekankan adanya larangan yang tegas dapat memberikan kepastian bagi pengusaha untuk mengetahui keabsahan suatu perbuatan. Pendekatan ini juga menyatakan bahwa setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ialah ilegal, tanpa harus dilakukan pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Namun demikian, tidak mudah untuk membuktikan adanya perjanjian, terutama jika perjanjian tersebut dilakukan secara lisan.

19 Andi Fahmi Lubis et. al., 2009, Hukum Persaingan Usaha : Antara Teks dan Konteks, http://www.kppu.go.id/docs/buku_ajar.pdf. Diunduh tanggal 20 Desember 2015, h. 61


(43)

b. Prinsip Rule of reason

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan

untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan usaha. Pendekatan ini merupakan kebalikan dan lebih luas cakupannya

jika dibandingkan dengan pendekatan per se illegal dan cenderung

berorientasi pada efisiensi. Rule of reason menentukan, meskipun suatu

perbuatan telah memenuhi rumusan unsur undang-undang, namun jika terdapat alasan obyektif yang dapat membenarkan perbuatan, maka perbuatan tersebut termasuk suatu pelanggaran. Penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkan, apakah perbuatan itu telah menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Pendekatan rule of reason mempertimbangkan pula alasan-alasan

mengapa dilakukannya suatu tindakan/perbuatan oleh pelaku usaha20.

Ciri-ciri dari pendekatan rule of reason yang termuat dalam ketentuan

pasal-pasalnya, yakni pencantuman kata-kata “…yang dapat

mengakibatkan” dan/atau “…patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat menghambat persaingan.

20 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., h. 711


(44)

2.2.3 Alat Bukti Dalam Hukum Persaingan Usaha

Dalam rangka pembuktian praktik kartel, KPPU sebagai lembaga independen yang memiliki tugas untuk mengawasi persaingan usaha di Indonesia, berupaya memperoleh alat-alat bukti sesuai dengan ketentuan UU No. 5/1999, apabila adanya dugaan pelanggaran. Hal tersebut termuat dalam Pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 Peraturan KPPU No. 1/2010 yang terdiri dari Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat dan/atau dokumen, Petunjuk, dan Keterangan Pelaku Usaha.

1. Keterangan saksi

UU No. 5/1999 tidak memberikan definisi mengenai saksi. Saksi menurut Pasal 1 Angka 14 Peraturan KPPU No. 1/2010 adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 51 ayat (2) peraturan tersebut menyatakan bahwa keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan yang diberikan dalam Sidang Majelis Komisi berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi. Saksi-saksi tersebut ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Majelis Komisi, ada pula yang memang dengan sengaja diminta menyaksikan


(45)

suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan21. Masih minimnya tentang keterangan saksi sebagai alat bukti dalam hukum persaingan usaha, sehingga pembahasannya merujuk pada hukum acara pidana dan hukum acara perdata karena terdapat beberapa persamaan. Pasal 1 Angka 27 KUHAP menentukan bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu periwtiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan saksi dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pada prinsipnya keterangan yang harus diberikan saksi di ruang sidang pengadilan dalam memberi keterangan yang sebenarnya meliputi apa yang dilihatnya, apa yang didengarkannya, atau apa yang dialaminya sendiri dengan menjelaskan secara terang sumber dan alasan pengetahuannya sehubungan dengan peristiwa dan keadaan yang dilihatnya, didengarnya, atau dialaminya, serta sejalan dengan berita acara penyidikan.

Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana memiliki persamaan dengan hukum acara perdata. Kesaksian adalah kepastian yang


(46)

diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di

persidangan22. Jadi pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir

tidaklah merupakan kesaksian (Pasal 171 ayat 2 HIR, Pasal 308 ayat 2 Rbg, Pasal 1907 BW). Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi bersifat bebas (Pasal 172 HIR, Pasal 1908 BW). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasarkan kesamaan atau saling berhubungan antara saksi yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi ialah bahwa kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan tidak sempurna dan tidak mengikat, sehingga hakim tidak wajib terikat untuk menerima atau menolak kebenarannya. Dari adanya hal tersebut, hakim memiliki kebebasan untuk menerima atau pun menolak kebenaran keterangan saksi.

2. Keterangan Ahli

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang dikenal dalam hukum acara di banyak Negara. Sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang sah, hal ini merupakan kemajuan dalam perkara di sidang pengadilan dan pembuat


(47)

undang-undang menyadari bahwa pentingnya mengelaborasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga keterangan ahli sangatlah memegang peran penting. Dalam UU No.5/1999 tidak menyatakan mengenai ahli dan keterangan ahli, sehingga mencari pemahaman yang lebih luas dengan mencari sumber lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ahli adalah orang yang mahir, paham sekali di

suatu ilmu; mahir benar23. Peraturan KPPU No.1/2010 tidak memberi

batasan mengenai ahli, hanya saja dalam Pasal 56 ayat (2) peraturan tersebut menyatakan bahwa seorang ahli dalam persidangan harus memberi pendapat, baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Seseorang dapat dikatakan menjadi ahli apabila dapat memberikan keterangan karena kemampuannya, kepakarannya secara akademis diakui memiliki pengetahuan khusus yang berkaitan dengan perkara pada saat seorang ahli dimintakan keterangannya. Adapun syarat sebagai seorang ahli berdasarkan Pasal 75 ayat (1) peraturan ini ialah memiliki keahlian khusus yang dibuktikan dengan sertifikat, atau memiliki pengalaman yang sesuai dengan keahliannya. Penentuan lama pengalaman sesuai dengan keyakinan Majelis Komisi (Pasal 75 ayat (3) Peraturan KPPU No.

23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL : http://kamusbahasaindonesia.org/ahli, di akses pada 20 Desember 2015


(48)

1/2010). Sebagai perbandingan, yang diatur dalam KUHAP bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Angka 28 KUHAP). Keterangan ahli bukan merupakan keterangan yang final. Sebagai salah satu bukti dan perlu tidaknya digunakan sebagai dasar memutus laporan dugaan mengenai pelanggaran terhadap UU 5/1999, sepenuhnya menjadi kewenangan Majelis Komisi.

Walaupun keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, tetapi sulit untuk membedakan dengan tegas, karena terkadang seorang ahli dapat merangkap sebagai saksi. Keterangan saksi ialah mengenai apa yang didengar, dialami, dan dilihat, sedangkan keterangan ahli ialah bagaimana seseorang mampu memberikan penilaian terhadap suatu hal yang nyata, sesuai dengan kemampuan diri dalam bidang tertentu dan dapat mengambil kesimpulan terhadap hal tersebut.

2. Surat dan/atau dokumen

Surat merupakan secarik kertas yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian24. Dokumen

24 I Made Sarjana, op.cit., h. 160


(49)

adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti

keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian)25.

Alat bukti surat memiliki kekuatan yang sama dengan alat bukti surat dalam hukum acara perdata yang termuat dalam Pasal 165-167 HIR, yang menyatakan 3 (tiga) macam surat sebagai alat bukti, yaitu:

a) Akta autentik, merupakan surat yang dibuat oleh atau dihadapan

seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat tersebut, dengan maksu untuk menjadikan surat tersebut sebagai alat bukti. Pejabat umum yang di maksud ialah Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Juru Sita, Panitera Pengadilan, dan sebagainya. Akta autentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak yang berperkara. Dengan demikian, ini berarti isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta autentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan

pembuktian, yaitu26:

- Kekuatan pembuktian formil, guna membuktikan antara para

pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut

25 Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL : http://kamusbahasaindonesia.org/dokumen, diakses pada 20 Desember 2015


(50)

- Kekuatan pembuktian materiil, guna membuktikan bahwa antara para pihak terdapat peristiwa yang termuat dalam akta benar-benar terjadi

- Kekuatan mengikat, guna membuktikan bahwa antara para pihak

dan pihak ketiga, pada tanggal yang termuat dalam akta, telah menghadap kepada pejabat umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut

b)Akta dibawah tangan, merupakan surat yang ditandang tangani dan

dibuat dengan maksud mempunyai kekuatan bukti suatu perbuatan hukum. Akta ini akan memiliki kekuatan bukti yang sempurna seperti akta autentik, apabila isi dan tanda tangan dari akta tersebut diakui oleh orang yang bersangkutan

c) Surat biasa/surat bukan akta, tidak termuat secara jelas dalam HIR

maupun kitab undang-undang hukum perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, namun pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Oleh karena itu, suart-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Berdasarkan pasal 1881 ayat (2) KUHPerdata, maka surat bukan akta agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada keyakinan hakim.


(51)

Pasal 76 Peraturan KPPU No.1/2010 telah menentukan pula secara umum yang dimaksud dengan alat bukti surat atau dokumen, yang mencakup:

(1) Surat atau dokumen sebagai alat bukti terdiri dari:

a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang

pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya

c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat

yang berwenang

d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha terlapor antara lain data

produksi, data penjualan, data pembelian, dan laporan keuangan;

e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk sebagaimana

dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), dan huruf (c) yang ada kaitannya dengan perkara;

f. Atas permintaan, majelis komisi dapat menyatakan data sebagaimana

dimaksud dalam angka 5 sebagai rahasia dan tidak diperlihatkan dalam pemeriksaan

(2) Surat atau dokumen yang diajukan sebagai alat bukti merupakan surat

atau dokumen asli atau bukan foto copy.

(3) Foto copy surat atau dokumen harus dinyatakan sesuai aslinya, diparaf

oleh petugas yang berwenang, dengan dibubuhi materai cukup.

3. Petunjuk

UU No. 5/1999 maupun Peraturan KPPU No. 1/2010 tidak mengatur serta tidak memberi penjelasan mengenai alat bukti petunjuk serta bagaimana petunjuk tersebut dipergunakan dalam pembuktian di KPPU. Sebagai acuan, dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena


(52)

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Ayat (2) pasal ini menyatakan pula mengenai perolehan suatu petunjuk hanya dari keterangan saksi, surat, keterangan terlapor. Merujuk pada ketentuan KUHAP, petunjuk dalam perkara persaingan usaha dapat diartikan sebagai isyarat akan adanya perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan laporan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999, menandakan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran UU No. 5/1999 dan siapa pelakunya. Dalam persaingan usaha, petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang termuat dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1/2010.

4. Keterangan Pelaku Usaha

Keterangan pelaku usaha yang dimaksud disini ialah keterangan pelaku usaha terlapor yang disampaikan didepan sidang majelis komisi tentang perjanjian, perbuatan yang ia lakukan sendiri. Keterangan terlapor merupakan penjelasan segala hal yang disampaikan oleh terlapor yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor terhadap UU No. 5/1999 di hadapan majelis komisi. Berbeda halnya dengan pengakuan yaitu diakuinya dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh pelaku usaha terlapor.


(53)

Alat-alat bukti yang telah penulis jelaskan sama dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa) dengan hanya mengganti keterangan terdakwa menjadi keterangan terlapor, sehingga dengan demikian prinsip pembuktian tentang adanya pelanggaran dalam UU No.5/1999 sama dengan prinsip pembuktian perkara pidana yang berlaku dalam KUHAP, yaitu dengan berpedoman dengan Pasal 183 KUHAP, yang menentukan bahwa untuk menentukan kesalahan seseorang harus berdarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.

2.3Pengertian Tentang Kartel

Dalam dunia usaha, persaingan bukanlah hal yang baru dilakukan. Pelaku usaha dapat melakukan berbagai cara untuk merebut pasar, salah satunya dengan menggunakan cara-cara yang mampu menghambat pesaingnya untuk masuk ke dalam pasar yang bersangkutan. Biasanya, hambatan dilakukan untuk mencegah terjadinya persaingan yang wajar, sehingga mengakibatkan kerugian dalam kegiatan usaha, terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang

usaha yang bersangkutan27.

Pada dasarnya terdapat dua jenis hambatan perdagangan, yakni hambatan horizontal dan hambatan vertikal. Hambatan horizontal merupakan suatu tindakan

27 Stephen F. Ross, 1993, Principles Of Antitrust Law, The Foundation Press, Westbury-New York, h. 117


(54)

ketika para pelaku usaha pesaing dalam bidang usaha sejenis terlibat dalam

perjanjian yang mempengaruhi perdagangan wilayah tertentu28. Secara luas,

hambatan horizontal dapat diartikan sebagai suatu perjanjian yang bersifat membatasi dan praktik konspirasi termasuk perjanjian yang secara langsung atau tidak langsung menetapkan harga dan atau persyaratan lainnya, seperti perjanjian menetapkan pengawasan atas produksi dan distribusi, pembagian kuota atau wilayah atau pertukaran informasi dan data mengenai pasar, serta perjanjian menetapkan kerjasama dalam penjualan maupun pembelian secara terorganisir

atau menciptakan hambatan masuk pasar (barrier to entry)29. Berbeda halnya

dengan hambatan yang bersifat vertikal yang merupakan hambatan perdagangan oleh para pelaku usaha dari tingkatan yang berbeda dalam rangkaian produksi dan

distribusi30. Hambatan yang berbentuk perjanjian ini adalah tying agreement,

dimana seorang penjual hanya akan menjual satu jenis produk jika pembeli bersedia membeli jenis produk lainnya dari penjualan yang sama. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kartel merupakan salah satu bentuk

hambatan dalam perdagangan yang bersifat horizontal31.

UU No. 5/1999 tidak memberikan definisi mengenai kartel, sehingga ditelusuri pengertian kartel dalam beberapa literatur. Menurut Kamus Besar

28 E. Thomas Sulivan dan Jeffrey L. Harrisonn, 1994, Understanding and Its Economic

Implication, Matthew Bender & Co, New York, h. 75

29 A.M. Tri Anggraini, 2006, Perspektif Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan Usaha

Dalam Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer, diedit oleh Ridwan Khairandy, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia Lembaga Studi Hukum Ekonomi, Jakarta, h. 258 30 Ingrid Gratsya Zega, op.cit., h.36


(55)

Bahasa Indonesia32, pengertian kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu. Pengertian lain juga

menerangkan bahwa cartel atau kartel diartikan sebagai suatu bentuk kolusi atau

persengkongkolan antara suatu kelompok pemasok yang bertujuan untuk

mencegah persaingan sesama mereka secara keseluruhan atau sebagian33. Dengan

kata lain, kartel merupakan organisasi para produsen barang dan/atau jasa yang saling bekerja sama untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran sehingga

dapat mempengaruhi harga dengan tujuan mendikte pasar tersebut34. Pengertian

lainnya termuat dalam bab I Paragraf 2 Peraturan KPPU No. 4/2010 tentang pedoman pasal 11 tentang kartel, dijelaskan bahwa kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat keuntungan yang wajar.

Kartel pada umumnya dipraktikkan oleh asosiasi dagang (trade associations)

bersama dengan para anggotanya. Praktik kartel oleh para pelaku usaha dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, karena terdapat kemungkinan besar pelaku usaha saling bekerjasama dengan situasi pasar yang hanya terdiri atas beberapa penjual kemudian berkerjasama untuk mengontrol produksi/pemasaran barang/jasa. Berbeda halnya dengan struktur pasar yang

32 Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL : http://kamusbahasaindonesia.org/kartel, diakses pada 20 Desember 2015

33 Hermansyah, op.cit., h. 33

34 Suhasril dan Muhammad Taufik Makrao, 2010, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan


(56)

kompetitif, jumlah pelaku usaha di dalam suatu pasar terbilang banyak menyebabkan tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar. Hal tersebut membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tidak akan mampu untuk mengontrol produksi/pemasaran barang/jasa yang berimplikasi pada harga, sesuai dengan keinginannya dan hanya menerima harga yang telah ditentukan oleh pasar serta akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efisien dalam berproduksi.

Ensiklopedi Hukum Amerika juga mengemukakan bahwa kartel35:

A combination of producers of any product joined together to control its production, sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity. … Also, an association by agreement of companies or section of companies having common interest, designed to prevent extreme or unfair competition and allocate markets, and to promote the interchange of knowledge resulting from scientific and technical research, exchange of patent rights, and standardization of product (Gabungan dari produsen suatu barang yang bekerjasama untuk mengontrol produksi, harga, sehingga menghasilkan adanya monopoli dan membatasi

persaingan dalam industri tertentu. … dan juga, sebuah asosiasi dengan kesepakatan perusahaan atau bagian dari perusahaan yang memiliki kepentingan bersama, yang dirancang untuk mencegah persaingan yang ekstrim dan mengalokasikan pasar, untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian ilmiah dan teknis, pertukaran hak paten, dan standardisasi produk(terjemahan bebas))

Praktik kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi

35 ---, 2008, West's Encyclopedia of American Law, edition 2. Copyright, The Gale Group, Inc, URL : http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Restrictive+trade+practice, diakses pada 18 April 2016


(1)

sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Pembentukan kerjasama ini tidak selalu berhasil, karena para anggota seringkali berusaha berbuat curang untuk keuntungannya masing-masing.

Dapat pula diketahui contoh dari kartel ini, misalnya hanya ada satu pelaku usaha yang biasanya memproduksi 10 satuan barang dan menjualnya dengan harga Rp 10.000,- akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 10.000,- (dengan biaya per barangnya Rp 9.000,-). Kemudian ia melakukan pengurangan produksinya dari 10 menjadi 5 satuan barang, dengan asumsi permintaan terhadap barang itu tetap, maka ia dapat menaikkan harga dari Rp 10.000,- menjadi Rp 60.000,- (dengan biaya per barangnya Rp 9.000,-), maka ia akan mendapat keuntungan sebesar Rp 255.000,-. Apabila terdapat beberapa produsen barang yang sama, maka pengurangan produksi itu tidak akan efektif karena suplai barang di pasar tidak akan berkurang. Apabila mereka melihat bahwa pengurangan produksi itu dapat dilakukan secara bersama dengan persetujuan dan bukan dengan bertindak sendiri-sendiri, maka tindakan itu akan menjurus kepada pendirian kartel.

Banyaknya pasokan dari suatu produk tertentu di dalam suatu pasar, dapat membuat harga produk menjadi lebih murah yang akan menguntungkan


(2)

konsumen, namun bagi pelaku usaha, semakin murah harga produk mereka dalam pasar, akan mengurangi keuntungan bahkan berpotensi mengalami kerugian oleh pelaku usaha. Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar tidak berlebih serta tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka di pasar menjadi lebih murah. Terkadang praktik kartel tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar36.

2.3.1 Landasan Hukum Kartel

UU No. 5/1999 sebagai landasan hukum larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di sahkan pada tahun 1999, salah satunya tujuannya adalah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengaturan dari segala bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dilakukan secara menyebar diberbagai bagian


(3)

dalam undang-undang, yakni Bab III mengenai perjanjian yang dilarang, sedangkan mengenai kegiatan yang dilarang diatur dalam Bab IV.

UU No. 5/1999 mengkategorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 11, menyatakan:

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”

Berdasarkan rumusan pasal 11 UU No. 5/1999, maka agar suatu perjanjian kartel dapat dikenakan sanksi, maka haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya suatu perjanjian;

2. Perjanjian tersebut dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaing;

3. Bertujuan untuk mempengaruhi harga;

4. Tindakan mempengaruhi harga dilakukan dengan jalan mengatur produksi atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu;

5. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Kartel sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa perilaku dan perjanjian yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, oleh karena itulah kartel dianggap


(4)

perilaku yang sangat membahayakan perekonomian negara karena berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sangatlah besar37. Perjanjian kartel yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 5/1999 seringkali terjadi beriringan dengan pelanggaran lainnya, antara lain pelanggaran penetapan harga (Pasal 5), pembagian pasar (Pasal 9), pemboikotan (Pasal 10), trust (Pasal 12), persengkongkolan tender (Pasal 22), persengkongkolan menghambat produksi dan/atau pemasaran (Pasal 24)38.

2.3.2 Jenis-Jenis Kartel

Kartel dalam praktiknya dapat terjadi dalam berbagai jenis, sebagai contoh para pemasok mengatur agen penjual tunggal yang membeli semua output mereka dengan harga yang disetujui dan mengadakan pengaturan dalam memasarkan produk tersebut secara terkoordinasi. Bentuk lain adalah para pemasok melakukan perjanjian dengan menentukan harga jual yang sama terhadap produk mereka, sehingga menghilangkan persaingan harga, namun bersaing dalam merebut pangsa pasar dengan strategi pembedaan produk. Bentuk kartel yang lebih menyeluruh ialah penerapannya tidak hanya mengenai harga jual yang seragam dan pemasaran yang bersama, tetapi juga

37 Anna Maria Tri A., 2013, Penggunaan Bukti Ekonomi Dalam Kartel Berdasarkan Hukum Pesaingan Usaha, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, h.5-6


(5)

pembatasan jumlah produksi tersebut menggunakan sistem kuota terhadap setiap pemasok dan penyesuaian kapasitas yang terkoordinasi, baik menghilangkan kapasitas yang berlebihan atau perluasan kapasitas berdasarkan koordinasi antar pelaku usaha39.

2.3.3 Dampak Kartel

Secara umum, para ahli sepakat bahwa kartel mengakibatkan kerugian bagi perekonomian suatu negara maupun konsumen. Kerugian bagi perekonomian suatu negara yang dapat mengakibatkan inefisiensi alokasi dan produksi, dapat menghambat inovasi dan teknologi baru, menghambat masuknya investor baru, dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat. Kerugian lainnya dirasakan oleh konsumen sebagai dampak dari kartel ialah konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pada pasar yang kompetitif. Barang dan/atau jasa yang diproduksi dapat terbatas, baik dari sisi jumlah dan/atau mutu, dari pada jika terjadi persaingan yang sehat diantara para pelaku usaha, serta terbatasnya pilihan pelaku usaha40.

Perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha ketika membatasi jumlah produksi dan kesepakatan untuk menaikkan harga diatas persaingan

39 Hermansyah, op.cit., h.33

40 Bab IV Poin. 4.3 Pedoman KPPU No.4/2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel


(6)

merupakan tindakan yang secara jelas menghancurkan persaingan. Ketika pelaku usaha yang ada di pasar berkolusi membentuk kartel serta mengkoordinasikan segala bentuk aktifitasnya dalam pasar, akan menimbulkan permasalahan serta penyimpangan pada mekanisme pasar yang ideal. Asumsi tersebut sesuai dengan laporan The Organisation for economis Co-operation and Development (OECD) terdapat enam belas kartel global yang menyebabkan hilangnya efisiensi ekonomi dalam pedagangan lebih dari US$ 55 milyar41. Selain itu, berdasarkan teori-teori ekonomi, kartel memiliki dua dampak negatif terhadap kesejahteraan, yaitu pertama, kartel secara signifikan mengurangi total kesejahteraan yang dihasilkan oleh pasar karena terjadi penempatan sumber secara salah akibat pengurangan output dan inefisiensi sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel; kedua, kartel mendapatkan keuntungan monopoli (supernormal profit) dari para konsumen yang secara terus menerus dengan mengalihkan surplus konsumen ke produsen.

41 Udin Silalahi dan Rayendra L Tobing, 2007, Perusahaan Saling Mematikan dan Bersengkongkol, Elex Media Komputindo, Jakarta, h.17 dalam Katrina Marcellina, 2011, Skripsi dengan Judul “Penggunaan Analisa Ekonomi Dalam Pembuktian Kasus-Kasus Kartel Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Di Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.26