Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai kelainan atau penyimpangan dari kondisi rata-rata anak pada umumnya dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya. Beragamnya karakteristik anak berkebutuhan khusus memunculkan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. IDEA 2004 dalam James 2008: 5 merumuskan beberapa kategori anak berkebutuhan khusus yang seharusnya mendapatkan pendidikan khusus dan pelayanan terkait. Beberapa kategori tersebut adalah anak-anak yang mengalami: 1 gangguan emosional; 2 keterbelakangan mental; 3 kelainan ganda; 4 buta-tuli; 5 autisme; 6 gangguan kesehatan; 7 orthopedic requirements anak yang mengalami ganggguan pada otot dan tulang dan membutuhkan alat untuk mengaktifkan fungsi lainnya pada tubuh; 8 cedera otak; 9 gangguan bahasa; 10 gangguan pendengaran; dan 11 gangguan penglihatan. Salah satu kategori anak berkebutuhan khusus tersebut adalah anak yang mengalami gangguan autisme. Menurut Kaweski 2011: 5 Autisme adalah gangguan perkembangan neurologis yang diyakini memiliki dasar genetik, yang mempengaruhi kemampuan otak untuk memproses dan menafsirkan berbagai jenis informasi. Hambatan ini dapat terjadi pada beberapa bentuk perilaku, tetapi umumnya terbagi dalam tiga 2 bidang yang luas, yakni: 1 interaksi sosial; 2 komunikasi verbal dan non verbal; dan 3 pola perilaku terbatas dan berulang serta ketertarikan yang terbatas. Lebih lanjut Wing dan Gould Poon, 2009: 5 menjelaskan Contoh gangguan interaksi sosial yang ditunjukkan seperti kesulitan menggunakan kontak mata, ekspresi muka serta postur tubuh dalam berinteraksi dengan orang lain. Adapun contoh hambatan pada gangguan komunikasi adalah anak autis umumnya mengalami masalah dalam memulai, mempertahankan, memperbaiki, dan atau mengakhiri percakapan. Sedangkan contoh pada gangguan perilaku anak autis memiliki ketertarikan pada suatu hal yang tidak biasa serta terpaku pada rutinitas keseharian dan gerakan tubuh yang repetitif. Anak autis mempunyai hak yang sama seperti anak-anak pada umumnya. Mereka membutuhkan penanganan atau pelayanan untuk dapat berpartisipasi secara optimal dalam kehidupan mereka. Sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 10 Tahun 2011 Pasal 1 Permeneg PPPA, 2011 bahwa penanganan anak berkebutuhan khusus adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anak berkebutuhan khusus agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam hal ini salah satu layanan yang dapat diberikan untuk dapat memenuhi kebutuhan anak autis adalah layanan pendidikan. 3 Layanan pendidikan ini menjadi hak yang harus didapatkan oleh anak autis khususnya. Sebagaimana dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 Kopendium Indonesia, 2010 bahwa warga negara yang memiliki kelanian fisik, emosional, mental, intelektual, danatau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Layanan pendidikan untuk anak autis berusaha menjembatani hambatan yang dihadapi anak dan memanfaatkan potensi anak untuk dapat mengakses kesempatan hidup sebesar-besarnya. Kebutuhan layanan pendidikan bagi anak autis yang terpenuhi diharapkan dapat mencapai suatu kemandirian hidup sehingga anak autis dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Tjutju Soendari 2009: 1 menjelaskan salah satu hal yang menjadi karakteristik dalam penyelenggaraan layanan pendidikan anak autis adalah layanan yang mengacu pada kebutuhan anak. Layanan yang diberikan lebih berfokus pada layanan individual. Oleh sebab itu, untuk dapat mengetahui dan memberikan layanan yang tepat dan sesuai dalam pembelajaran bagi anak autis, maka perlu adanya suatu kegiatan yang cermat untuk menggali informasi secara keseluruhan tentang kemampuan, kelebihan, kekurangan, serta kesulitan yang mereka hadapi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Kegiatan pengumpulan informasi ini disebut dengan kegiatan asesmen. Salvia dan Ysseldyke dalam Pierangelo dan Giuliani 2013: 4 menjelaskan bahwa asesmen dalam pendidikan khusus adalah suatu proses 4 yang melibatkan pengumpulan informasi tentang siswa untuk tujuan membuat keputusan. Informasi yang dikumpulkan berupa kekuatan dan kebutuhan siswa dalam semua bidang. Cohen dan Spenciner 2013: 4 menjelaskan lebih lanjut bahwa asesmen memainkan peranan penting yang harus dilakukan terutama oleh seorang guru. Hal tersebut dapat membantu guru mengumpulkan serta mendefinisikan informasi terkait siswa tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui oleh siswa. Kegiatan asesmen menjadi penentu keberhasilan dalam pemberian program layanan pendidikan pada anak autis. Penguasaan keterampilan asesmen menjadi tuntutan profesional yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru perlu menguasai wawasan dan keterampilan memberikan layanan pendidikan secara tepat dan benar bagi anak autis. Hermanto 2010: 23 menjelaskan pelaksanaan kegiatan asesmen memerlukan keterampilan yang memadai agar asesmen yang dilakukan tepat sasaran dan mengungkap kebutuhan anak autis secara mendalam dan luas, oleh karenanya dalam melakukan asesmen membutuhkan kecermatan atau ketelitian terutama dalam mengintegrasikan hasil catatan rekomendasi dari berbagai ahli mengenai anak berkebutuhan khusus. Nani Triani 2012: 7 menambahkan hal tersebut penting untuk dikuasai karena dalam melakukan asesmen terdapat prinsip-psinsip yang harus diperhatikan yakni: 1 menyeluruh; 2 berkesinambungan; 3 objektif; dan 4 mendidik. Hasil asesmen yang diperoleh menjadi basis atau penentu dalam 5 memberikan intervensi atau tindakan selanjutnya yang sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada pra-penelitian pada bulan Januari-Februari 2016 terdapat sekolah khusus yang melaksanakan asesmen untuk layanan pendidikan anak autis yakni Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta. Hasil dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa layanan pendidikan yang diselenggarakan di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta lebih menekankan pada pendekatan akademis. Pelayanan yang dilaksanakan dimulai ketika seorang siswa yang terdiagnosa autis oleh medis, kemudian dilakukan asesmen untuk dapat memperoleh gambaran awal tentang kondisi siswa termasuk menemukan kelebihan dan kekurangan siswa. Hasil asesmen yang diperoleh digunakan sebagai landasan dalam penentuan program pendidikan yang tepat bagi siswa. Temuan awal lainnya adalah pemahaman mengenai prosedur asesmen belum dikuasai oleh guru yang baru mengajar. Selain itu, belum diketahui secara rinci pelaksanaan asesmen untuk layanan pendidikan anak autis di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta. Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas terkait pelaksanaan asesmen untuk layanan pendidikan anak autis, maka peneliti akan meneliti mengenai pelaksanaan asesmen untuk layanan pendidikan anak autis di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui serta mendeskripsikan proses pelaksanaan asesmen untuk layanan pendidikan anak autis yang dilakukan di Sekolah 6 Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta. Setelah mengetahui proses asesmen yang dilakukan diharapkan dapat membantu berbagai pihak dalam memahami proses asesmen sehingga dapat memberikan program layanan pendidikan yang dapat mengembangkan potensi anak autis secara optimal.

B. Identifikasi Masalah