Data sekunder dikumpulkan melalui wawancara interview dan pengamatan observasi dimana yang menjadi nara sumber adalah Kantor Pertanahan Nasional
Kota Medan, diambil nara sumber debitor yang meningkatkan hak atas tanahnya dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.
c. Data Tersier
Data tersier diperoleh dari bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus
hukum dan jurnal ilmiah yang telah dipublikasikan sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka peneliti mengunakan 2 dua metode, yakni
a. Penelitian kepustakaan library research
Data ini diperoleh dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, makalah-makalah, peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan
dengan objek telaah penelitian ini. b.
Penelitian Lapangan field research Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer sehubungan
dengan permasalahan penelitian dengan mewawancarai sejumlah orang yang kompeten dan terpercaya, yaitu :
i. Pejabat Kantor Pertanahan Nasional Medan
Universitas Sumatera Utara
ii. Debitur, dalam hal ini yaitu debitur yang meningkatkan hak atas tanahnya dari
Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik iii.
Notaris iv.
Pelaku perbankan PT.Bank Mestika Dharma
5. Analisa Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisa data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut. Untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.
92
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan primer, sekunder, maupun
tersier untuk mengetahui validitasnya, setelah itu, keseluruhan data tersebut akan disistimatisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.
93
Analisa data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif, artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis
terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistimatis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.
94
92
Soejono Soekanto, Op.Cit, hlm. 251
93
Bambang Sugyjono, Metode Penelitian Hukum, Rayagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 106.
94
Ibid, hlm. 107
Universitas Sumatera Utara
BAB II KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP PENINGKATAN HAK
GUNA BANGUNAN ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL A.
Pengertian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Menurut UUPA 1.
Pengertian Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Perkembangan
Hak Guna Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal ini disebabkan Hak Guna Bangunan merupakan
pendukung sarana pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat.
Pengertian Hak Guna Bangunan ditemukan dalam Pasal 35 dan 39 UUPA. Dari ketentuan kedua pasal UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
yang paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
95
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan.
95
Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan selama 30 tahun dan dengan perpanjangan 20 tahun ini selain diatur dalam Pasal 35 UUPA juga disebutkan dalam Pasal 25 PP Nomor 40 Tahun
1996.
32
Universitas Sumatera Utara
Boedi Harsono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah negara atau milik orang lain,
selama jangka waktu yang terbatas.
96
Hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain dan dapat juga dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.
97
Menurutnya, tanah Hak Guna Bangunan ini tidak dibenarkan untuk digunakan bagi usaha pertanian, karena hak tersebut diadakan khusus bagi penyediaan tempat
untuk bangunan.
98
Bangunan tersebut wajib dibangun sendiri untuk kemudian dimiliki oleh pemegang HGB bersangkutan. Menurut UUPA tidak dimungkinkan
orang lain menguasai menggunakan tanah HGB pihak lain untuk sendirian dan memiliki bangunan diatasnya, biarpun dengan persetujuan pemegang HGB. Pihak
lain hanya dimungkinkan mengenai tanah Hak Milik pada pihak lain, bukan tanah HGB Pasal 44 UUPA.
99
Ali Achmad Chomzah berpendapat, yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan diperalihkan kepada
pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
100
96
Boedi Harsono, Selanjutnya disebut Boedi Harsono I, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya
, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 242.
97
Ibid, hlm. 262
98
Ibid, hlm. 260
99
Boedi Harsono, Selanjutnya disebut Boedi Harsono II, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah
, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 288
100
Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut berdiri. Dengan kata lain pemegang HGB bukanlah
pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan.
101
Maria S.W. Sumardjono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya
sendiri dalam jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan atas permintaan pemegang hak dapat diperpanjang dengan dua puluh tahun. HGB dapat diperoleh dari
tanah negara ataupun tanah hak milik orang lain.
102
Berbeda dengan pendapat para ahli hukum sebelumnya, Maria S.W. Sumardjono berpendirian bahwa pemegang HGB adalah sekaligus pemegang hak atas
tanah dan bangunannya. Dengan perkataan lain hak atas tanah dan bangunan berada disatu tangan atau tidak terpisah. Apabila HGB itu dalam pengertian pemegang HGB
bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan akan dibebani dengan hak lain, maka satu-satunya kemungkinan yang terbuka adalah
pembebanannya dengan hak sewa atas bangunan, yang berarti yang menjadi objek sewa menyewa adalah bangunan dan bukan hak atas tanahnya. Konstruksi yuridis
HGB tidak memungkinkan bahwa seseorang mempunyai bangunannya saja tanpa menjadi pemegang hak atas tanahnya.
103
101
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak-Hak Atas Tanah
, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.190
102
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 145
103
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Menurutnya apabila konsep tersebut diterapkan dalam pemilikan satuan rumah susun apartemen, maka jelas pemegang HGB semula adalah developer
perusahaan pembangunan rumah susun. Bila kemudian seseorang membeli satuan rumah susun apartemen untuk dirinya, maka disamping pemilikan satuan rumah
susun tersebut HMSRS yang bersifat individual dan terpisah, juga meliputi pemilikan bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut. Konsekwensinya adalah bahwa pemilik satuan rumah susun harus
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah Pasal 8 HMSRS. Bagi warga negara asing yang tidak merupakan subyek HGB, pemilikan apartemen
diperbolehkan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak pakai.
104
Alasan pemilikan apartemen bangunan tersebut terpisah dari status penguasaan hak atas tanahnya, karena berlakunya asas pemisahan horizontal
105
dalam Hukum Tanah Nasional, menurut Maria S.W. Sumardjono menunjukkan kesalahan dalam penerapannya miskonsepsi dan misaplikasi. Asas itu menurutnya
mengandung pengertian, bahwa pada prinsipnya pemilikan bangunan terpisah dengan penguasaan tanahnya, kecuali jika menurut kenyataan pemilikan bangunan dan
104
Ibid, hlm. 146
105
Asas pemisahan horizontal adalah suatu asas yang mebagi, mambatasi dan memisahkan pemilikan sebidang tanah dengan apapun yang ada di bawah di dalamnya, menurut garis mendatar
secara horizontal dipermukaan tanah tersebut. Akibatnya menurut asas pemisahan ini, pemilik sebidang tanah belum tentu atau tidak otomatis menjadi pemilik segala sesuatu yang ada diatas atau
dibawah di dalam permukaan tanah tersebut, Sebagaimana dikutip dari A. Ridwan Halim, Hukum Pemukiman Perumahan dan Rumah Susun Suatu Himpunan Tanya Jawab Praktis
, Doa dan Karma, Jakarta, 2001, hlm. 96-97.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan hak atas tanahnya berada pada satu tangan. Terhadap pengertian HGB sudah jelas bahwa asas pemisahan horizontal tidak berlaku.
106
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 14 Tahun 1960 juncto Peraturan Ditektur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor SK 59DDA1970 ditegaskan bahwa dalam hal peralihan HGB diperlukan izin yang pada intinya mewajibkan pemohon untuk memberikan
keterangan tentang jumlah tanah atau rumah yang sudah dipunyai beserya isteri dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya untuk menentukan apakah
permohonan tersebut dikabulkan atau tidak. Peraturan-peraturan tersebut pada prinsipnya dimaksudkan mengadakan pengawasan terhadap pemindahan hak atas
tanah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UUPA, misalnya berkaitan dengan persyaratan subyek hak atas tanah.
107
Berkaitan dengan penerapan asas pemisahan horizontal tersebut, Bachtiar Effendie menggarisbawahi bahwa :
....Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang secara tegas telah menjabarkan asas pemisahan horizontal tersebut ke dalam pasal-pasal
dari Undang-Undang Pokok Agraria. ...Penerapan asas pemisahan horizontal tersebut tidak selalu mutlak diterapkan kendatipun Undang-Undang Pokok
Agraria telah mencabut Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
termasuk mencabut Pasal 500 juncto 571 ayat 1 juncto 601 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. ...Penerapan asas pemisahan horizontal haruslah
secara kasuistis perkasus sehingga dengan demikian penyelesaian kasus tersebut akan dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
108
106
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm.145
107
Ibid, hlm. 146-147
108
Bachtiar Effendie, Op.Cit, hlm. 90
Universitas Sumatera Utara
Pendapat diatas didukung oleh Boedi Harsono. Menurutnya asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan secara mutlak, sebab di kota-kota
bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu lintas hukum, maka pemilik
tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Menurut beliau di desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara
tanah dan bangunan tanaman diatasnya pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan tanaman di atasnya.
109
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dengan
benda-benda bangunan-bangunan tanaman yang berada diatasnya sedangkan untuk daerah perkotaan asas pemisahan horizontal tidaklah dapat dipertahankan lagi secara
mutlak.
2. Terjadinya Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara