Pendapat diatas didukung oleh Boedi Harsono. Menurutnya asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan secara mutlak, sebab di kota-kota
bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu lintas hukum, maka pemilik
tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Menurut beliau di desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara
tanah dan bangunan tanaman diatasnya pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan tanaman di atasnya.
109
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dengan
benda-benda bangunan-bangunan tanaman yang berada diatasnya sedangkan untuk daerah perkotaan asas pemisahan horizontal tidaklah dapat dipertahankan lagi secara
mutlak.
2. Terjadinya Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Menurut A.P. Parlindungan, secara umum yang merupakan alas Hak Guna Bangunan ini adalah :
110
a Ketentuan konversi dari ex BW dan ex Hak Adat.
b Berdasarkan limpahan wewenang sebagaimana diatur oleh ketentuan PMDN
No.6 Tahun 1972, yaitu sampai dengan 2.000 dua ribu m² wewenang dari
109
Ibid, hlm.91
110
A.P. Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agraria Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan diatas 2.000 dua ribu m² merupakan wewenang Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c Ketentuan perjanjian antara pemegang Hak Milik, dengan seseorang untuk
menimbulkan Hak Guna Bangunan atas Hak Milik pasal 37 UUPA. d
Karena pemegang Hak Pengelolaan dengan seseorang untuk menimbulkan Hak Guna Bangunan dan dilakukan dengan suatu perjanjian dan diproses
menurut PMDN No.6 Tahun 1972. e
Karena ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1993. Sedangkan menurut Sudargo Gautama, ketentuan mengenai konversi hak-hak
atas tanah dari hak Barat ke dalam hak-hak berdasarkan UUPA selain dalam UUPA juga diatur dalam Peraturan Agraria Nomor 2 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1963, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 7 Tahun 1965 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 4 Tahun 1961. Ketentuan mengenai
konversi tersebut dapat dilihat dalam tabel pada halaman berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel. Konversi Hak-hak Atas Tanah Dari Hak Barat ke dalam Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA.
111
Pasal Hak Barat
Dikonversi Subjek Hak
Jangka Waktu 1.1
Hak Eigendom Hak Milik
a WNI Tunggal
b Badan hukum yang
ditunjuk oleh pemerintah, bank-
bank negara, koperasi pertanian,
badan-badan hukum sosial, agama
Selamanya
1.2 Hak Eigendom
Hak Pakai Perwakilan asing yang
dipergunakan sebagai kediaman Kepala
Perwakilan dan Gedung Kedutaan
Selama tanah di pergunakan untuk keperluan tersebut 20 tahun
1.3 Hak Eigendom
kepunyaan orang asing, dwi
kewarganegaraan dan badan-badan
hukum yang ditunjuk oleh pemerintah
Hak Guna Bangunan
a WNI Tunggal
b Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia
Selama tanah dipergunakan untuk keperluan tersebut 20 tahun
1.4 Hak Eigendom
dibebani dengan hak opstal dan ertpacht
Hak Guna Bangunan
Pasal 36 UUPA Selama sisa waktu hak opstal
ertpacht tersebut dengan catatan maksimal 20 tahun
1.5 Hak Eigendom
tersebut dalam Ayat 3 pasal ini dibebani
hak opstal dan ertpacht
Untuk perumahan
dikonversi menjadi Hak
Guna Bangunan Atas nama bekas
pemegang hak-hak opstal dan ertpacht
a 20 tahun sejak UUPA
b Sisa waktu hak opstal ertpacht
yang sudah habis waktunya menjadi Hak Pakai
III. a
Hak ertpacht untuk
perusahaan kebun besar
b Hak ertpacht
untuk pertanian kecil
Hak Guna Usaha
Hapus Pasal 30 UUPA
a 20 tahun sejak UUPA
b Sisa waktu hak opstal ertpacht
yang sudah habis waktunya menjadi Hak Pakai
IV. Pemegang Conceasie
dan sewa untuk perusahaan kebun
besar Hak Guna
Usaha dalam waktu 1 tahun
sejak UUPA Pasal 20 UUPA
Lalai tidak memenuhi syarat : a
Berlangsung selama sisa waktu tetapi batas maksimalnya adalah
selama 5 tahun b
Sesudah itu hapus c
Berlangsung sisa waktu tapi batas maksimalnya adalah 20 tahun
V. Hak opstal dan
ertpacht untuk perumahan atas
tanah negara Hak Guna
Bangunan Pasal 36 UUPA
Lalai tidak memenuhi syarat : a
Berlangsung selama sisa waktu tetapi batas maksimalnya adalah
selama 5 tahun b
Sesudah itu hapus c
Berlangsung sisa waktu tapi batas maksimalnya adalah 20 tahun
111
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, hlm.79-81. Sebagaimana dikutip dari Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998, hlm. 191
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan konversi UUPA tersebut, maka sejak tanggal 24 September 1960 semua hak atas tanah yang lama kecuali hak ulayat secara serentak
dan demi hukum menjadi salah satu hak sesuai dengan UUPA. Namun, hak-hak atas tanah yang telah dikonversi tersebut termasuk Hak Guna Bangunan sejak tanggal 24
September 1980 sudah tidak ada lagi, karena jangka waktu maksimumnya hanya 20 duapuluh tahun. Status tanahnya sekarang ini adalah tanah negara, kecuali jika
bekas pemegang haknya mengajukan permohonan hak baru sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 juncto Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 3 Tahun 1979. Dengan demikian, sekarang ini satu-satunya cara untuk memperoleh Hak
Guna Bangunan atas tanah yang langsung dikuasai olah negara tanah negara dalam arti sempit adalah melalui permohonan hak. Pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa : Hak Guna Bangunan atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pemberian Hak Guna Bangunan tersebut didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Pasal 23 ayat 1. Sebagai tanda bukti hak, maka kepada pemegang
HGB diberikan sertipikat hak atas tanah Pasal 23 ayat 3. Dari rumusan dan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal
pemberian Hak Guna Bangunan oleh negara pengertian pertanahan yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional itu dalam pengertian sempit, maka pendaftaran
yang dilakukan adalah merupakan saat lahirnya Hak Guna Bangunan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan asal tanahnya, terjadinya Hak Guna Bangunan dapat dijelaskan sebagai berikut :
112
1. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara
2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan
3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh
Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4, Pasal 9 dan Pasal 14 Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 dan
prosedur terjadinya Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Hak Guna
Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian hak tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat. Pasal 22 dan 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
Sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah Pasal 24
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
112
Urip Santoso, Op.Cit, 2005, hlm.106-107
Universitas Sumatera Utara
3. Subjek Hukum yang Dapat Menjadi Pemegang Hak Guna Bangunan