Kaitan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kondisi Kejiwaan

fatal menimbulkan kematian oleh karena itu hal tersebut telah memenuhi sifat melanggar hukum. Unsur-unsur delik atau kejahatan mana telah memenuhi kriteria pemidanaan yaitu dengan adanya ketentuan pidana yang dijatuhkan oleh undang- undang terhadap tindak pidana mutilasi hal ini berkaitan erat dengan teori dari pemidanaan terhadap individu yang telah melakukan kejahatan. Dengan demikian terhadap kejahatan mutilasi yang memilki dampak yang cukup membahayakan seperti kasus terdakwa Very idham henyansyah, penjatuhan pidana mati dipandang sebagai bentuk penerapan teori tujuan dalam arti pemidanaan tersebut bertujuan untuk membinasakan pelaku kejahatan mutilasi yang di nilai cukup meresahkan karena perbuatan mutilasi mana dilakukan secara terencana dan ditujukan terhadap sejumlah korban. Disamping itu penjatuhan pidana mati tersebut juga di pandang sebagai upaya preventif atau pencegahan agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari oleh pelaku yang berbeda, atau dengan kata lain menciptakan keteraturan hukum dan ketertiban umum dalam masyarakat.

B. Kaitan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kondisi Kejiwaan

Pelaku Tindak Pidana Mutilasi Keberadaan hukum dalam masyarakat, sebenarnya tidak hanya dapat diartikan sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, melainkan juga dijadikan sarana yang mampu mengubah pola pikir dan pola perilaku warga Universitas Sumatera Utara masyarakat. Perubahan kehidupan sosial warga masyarakat yang semakin kompleks, juga mempengaruhi bekerjanya hukum dalam mencapai tujuannya. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak di capai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memlihara kepastian hukum. Kejahatan mutilasi yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah negara sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan tersebut yang tergolong melanggar nilai- nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan yang dapat pidana. Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan mutilasi atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan mutilasi yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif pencegahan dan refresif penindakan. Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika Universitas Sumatera Utara merupakan penjamin yang utamaterbaik dan suatu ketika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia. Di dalam hukum pidana itu sendiri terdapat peristilahan pertanggungjawaban pidana terhadap pembuat atau pelaku dari suatu jenis tindak pidana. Pengertian pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 143 Berkaitan dengan kejahatan mutilasi, untuk dapat dipidananya pelaku kejahatan tersebut, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya, dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. 144 143 Rena Yulia, Log.Cit, hlm. 77 144 Ronny Rahman Nitibraska, Log.Cit, hlm 146 Suatu tindakan dikatakan sebagai perbuatan pidana jika terdapat unsur kesalahan yang merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu : 145 a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat ; b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu berupa perbuatan yang disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai ; c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat ; Hal-hal tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam penjatuhan sanksi pidana tertentu. Menurut Wirjono Projodikoro, pertanggungjawaban pidana tersebut harus memenuhi beberapa unsur, yaitu : 146 a. Adanya perbuatan yang mengandung kesalahan ; b. Menimbulkan akibat tertentu ; c. Sifat melanggar hukum wederrechtelijkheid. Berkaitan dengan unsur menimbulkan suatu akibat tertentu dari perbuatan pelaku kejahatan, maka dapat diklasifikasikan bahwa akibat tertentu tersebut dapat berupa kerugian atas kepentingan orang lain, hal ini menandakan adanya hubungan sebab akibat causaal verband. 147 Hal ini di perkuat dengan adanya teori-teori yang mendukung mengenai akibat tertentu ini yaitu sebagai berikut : 148 145 Abdussalam,dkk, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung, 2007, hlm. 184 146 Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hlm. 60 147 Wirjono Projodikoro, Ibid, hlm. 57 Universitas Sumatera Utara a. Teori syarat mutlak sine qua non theory Mengatakan bahwa suatu hal adalah sebab dari suatu akibat, dengan kata lain akibat itu tidak akan terjadi apabila sebab itu tidak ada b. Teori penyebab yang dapat diperkirakan adequate veroorzaking Menyatakan bahwa suatu suatu hal baru dapat dianamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat. Apabila diakitkan dengan kejahatan mutilasi, kepentingan sebagaimana yang di maksud sebagai syarat pertanggung jawaban pidana adalah kepentingan untuk hidup dan bebas dari rasa takut sebagaimana yang di kemukakan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam pasal 28I yang menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang t idak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 149 Oleh karena kemampuan bertanggung jawab harus terdapat unsur perbuatan yang mengandung kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap Dengan demikian maka kejahatan mutilasi tersebut jelas merugikan kepentingan kehidupan manusia. 148 Wirjono Projodikoro, Ibid, hlm. 58 149 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 I Universitas Sumatera Utara orang normal batinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda- tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. 150 Berkaitan dengan unsur kesengajaan dalam suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana, dalam teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu : Disamping itu untuk menentukan adanya pertanggungjawaban pidana, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis jiwa pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan opzet atau karena kelalaian culpa. Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. 151 a. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. 150 www.blogers.com.syafirilnadi.html, Komperatif Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Positif Dengan Hukum Islam ,tanggal akses 24 Desember 2009 151 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hlm 47 Universitas Sumatera Utara b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Adanya suatu kondisi psikologis dari pelaku yang terdapat unsur kesengajaan didalamnya merupakan suatu bentuk perilaku yang secara sadar melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana. Selanjutnya berkaitan dengan unsur kesalahan pula terdapat kategori kealpaan atau kelalaian yang mengakibatkan individu dapat dijatuhi pidana, yang di maksud dengan kelalaian atau kealpaan itu adalah perbuatan dengan mana kekurang hati-hatian individu menimbulkan akibat pidana yang tidak di sengaja. 152 a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum Berkaitan dengan kealpaan itu sendiri terdapat dua syarat, yaitu : b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Unsur kemampuan mempertanggungjawabkan perbuatan merupakan unsur yang berada pada individu dengan kondisi psikologis yang baik. Dalam artian tidak terdapat kelainan secara psikis yang menyebabkan seseorang tidak 152 Bambang Waluyo, Ibid, hlm. 52 Universitas Sumatera Utara dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya. Lebih jauh mengenai kondisi psikologis yang dikategorikan sehat adalah sebagai berikut : 153 a. Memilki kecerdasan intelegensia normal dalam bentuk kemampuan berpikir kongkret, berpikir skematis, dan berpikir rasional ; b. Dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa secara baik dan dapat dipahami ; c. Memiki kemampuan intuitif yaitu kemampuan jiwa dalam mendapatkan kesimpulan dari suatu soal tanpa uraian ; d. Adanya kemampuan untuk mengerjakan sesuatu hal secara baik ; Berdasarkan klasifikasi di atas maka dapat dipahami bahwa hanya individu yang memilki kemampuan psikologis yang baik yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian, individu yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum adalah individu yang dikategorikan memilki keterbelakangan mental dengan ciri sebagai berikut : 154 a. Kecerdasan yang terbatas ; b. Ketidakmampuan sosial, yaitu tidak mampu mengurus diri sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain ; c. Arah minat sangat terbatas pada hal-hal tertentu yang bersifat sederhana ; d. Perhatiannya labil atau mudah berpindah-pindah ; e. Daya ingat lemah ; 153 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta : Rineka Cipta, 2003, hlm. 184 154 Abu Ahmadi, Ibid, hlm.203 Universitas Sumatera Utara f. Tingkat emosi miskin dan terbatas ; g. Apatis acuh tak acuh terhadap sekitarnya ; h. Kelainan-kelainan badaniah seperti, badan terlalu kecil, kepala terlalu besar, mulut melongo, dan tampak tidak sehat. Lebih lanjut, kondisi psikologis terbelakang berdasarkan taraf intelegensinya di bagi menjadi beberapa jenis yaitu : 155 a. Idiot, dengan tingkat intelegensi terendah yaitu IQ di bawah 20 memiliki perkembangan jiwa tidak melebihi usia kejiwaan tiga tahun meskipun usia aslinya telah mencapai remaja atau dewasa ; b. Imbesil, dengan tingkat intelegensi berkisar di antara IQ 20-50 memilki tahap perkembangan jiwa antara tiga sampai tujuh tahun dan dapat diajarkan untuk memelihara diri sendiri dalam kebutuhan- kebutuhan yang paling sederhana ; c. Debil atau moron, dengan tingkat intelegensi IQ 50-70, memilki tahap perkembangan jiwa antata tujuh sampai sepuluh tahun, dimana mereka dapat diajarkan untuk melakukan aktifitas berhitung atau menulis meskipun memakan waktu cukup lama, dalam proses pembelajarannya. Kondisi ketidak mampuan individu dalam mempertanggungjawabkan perbuatan pidana selanjutnya dalam KUHP Pasal 44 ayat 1 dijelaskan sebagai berikut, Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena 155 Abu Ahmadi, Ibid, hlm. 204 Universitas Sumatera Utara sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 156 Dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 157 a. Sakit kurang sempurna akal verstandelijke vermogens Yaitu tidak adanya kekuatan atau daya jiwa dari individu seperti, idiot, embicil, debiel, dan bisu mulai lahir b. Sakit berubah akal Yaitu terjadinya perubahan kemampuan berpikir kearah tidak normal seperti sakit gila, hysterie,melancholie, ephilepsie dan bermacam penyakit jiwa lainnya Berdasarkan uraian-uraian diatas mengenai unsur pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan kondisi psikologis pelaku kejahatan mutilasi, maka dapat dikategorikan bahwa pelaku kejahatan mutilasi telah memenuhi unsur psikis yang dapat mempertanggungjawabkan setiap bentuk perbuatannya dan telah menyadari akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatnnya itu.

C. Pembuktian Tindak Pidana Mutilasi di Muka Pengadilan Dalam Segi

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90