Pembuktian Tindak Pidana Mutilasi di Muka Pengadilan Dalam Segi

sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 156 Dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 157 a. Sakit kurang sempurna akal verstandelijke vermogens Yaitu tidak adanya kekuatan atau daya jiwa dari individu seperti, idiot, embicil, debiel, dan bisu mulai lahir b. Sakit berubah akal Yaitu terjadinya perubahan kemampuan berpikir kearah tidak normal seperti sakit gila, hysterie,melancholie, ephilepsie dan bermacam penyakit jiwa lainnya Berdasarkan uraian-uraian diatas mengenai unsur pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan kondisi psikologis pelaku kejahatan mutilasi, maka dapat dikategorikan bahwa pelaku kejahatan mutilasi telah memenuhi unsur psikis yang dapat mempertanggungjawabkan setiap bentuk perbuatannya dan telah menyadari akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatnnya itu.

C. Pembuktian Tindak Pidana Mutilasi di Muka Pengadilan Dalam Segi

Psikologis Terdakwa Dan Segi Alat Bukti Masalah hukum adalah masalah mengenai pembuktian di muka pengadilan guna mencari kebenaran baik secara materil seperti dalam hukum pidana maupu secara formil seperti dalam hukum perdata. Oleh karena itu peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Akan tetapi sebelum membahas lebih jauh tentang berbagai seluk-beluk mengenai teori hukum 156 R.Soesilo, Log.Cit, hlm.60 157 R.Soesilo, Ibid, hlm.61 Universitas Sumatera Utara pembuktian ini, terlebih dahulu kita melihat apa yang di maksud dengan hukum pembuktian itu. Definisi dari hukum pembuktian adalah, seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. 158 Lebih jauh definisi tersebut dapat di perluas sebagai suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana maupun acara-acara lainnya, di mana dengan mempergunakan alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan melalui proses pembuktian di muka persidangan itu. 159 Terdapat perbedaan antara pembuktian dalam hukum acara pidana dengan pembuktian dalam hukum acara perdata. Di samping perbedaan tentang jenis alat bukti, terdapat pula perbedaan tentang system pembuktian. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di kenal dengan “sistem negatif” negatief wettelijk bewijsleer di mana hakim berusaha mencari kebenaran materil terhadap suatu delik pidana tertentu, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif positief wettelijk bewijsleer di mana yang di cari oleh hakim adalah kebenaran formal terhadap fakta-fakta yang ditemukan. 160 158 Muladi, Kapita Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Semarang : Undip Press, 1995, hlm. 43 159 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 1 160 Munir Fuady, Ibid, hlm. 2 Universitas Sumatera Utara Adapun yang dimaksud dengan system negative dalam hukum acara pidana, adalah suatu system pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak yaitu : 161 a. Alat bukti yang cukup yang mendukung dan dapat dibuktikan keabsahannya di muka pengadilan ; b. Keyakinan hakim. Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 183 kitab undang-undang hukum acara perdata dijelaskan bahwa, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 162 Berdasarkan hal ini tentu dapat dipahami bahwa pidana atau pemidanaan di dalam penjatuhannya perlu didasarkan akan adanya alat bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti. Adapun alat bukti dalam hukum acara pidana sebagaimana yang terdapat pada pasal 184 ayat 1 kitab undang-undang hukum acara pidana yaitu sebagai berikut : 163 a. Keterangan saksi ; b. Keterangan ahli ; c. Surat ; d. Petunjuk ; e. Keterangan terdakwa ; 161 Munir Fuady, Ibid, hlm. 3 162 Muhammad Karjadi,dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar, Bogor : Politeia, 1997, hlm. 162 163 Muhammad Karjadi, Op.Cit, hlm 162 Universitas Sumatera Utara Dengan terdapatnya minimal dua alat bukti yang sah tersebut maka hakim di perbolehkan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila terbukti secara sah dan meyakinkan. Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat yaitu sebagai berikut : 164 a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk di pakai sebagai alat bukti ; b. Reabilty, yakni alat bukti tersebut dapat di percaya keabsahannya ; c. Necessity, yaitu alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta ; d. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang dibuktikan ; Syarat-syarat sebagaimana di maksud di atas diterapkan pada seluruh bentuk tindak pidana termasuk didalamnya tindak pidana mutilasi baik dalam bentuk kategori penganiayaan berat yang menyebabkan disfungsi organ tubuh secara permanen, mutilasi yang mengakibatkan kematian, maupun mutilasi terhadap mayat sebagai pengerusakan terhadap barang bukti. Dalam kasus tindak pidana mutilasi, guna memperkuat keyakinan hakim terhadap bersalah atau tidaknya terdakwa di samping pemeriksaan mengenai forensik terhadap korban, juga perlu adanya pemeriksaan terlebih dahulu terhadap kondisi kejiwaan pelaku apakah dapat di pertanggungjawabkan terhadap 164 A.T.Hamid, Praktek-Praktek Peradilan Perkara Pidana, Surabaya : CV Al-ihsan, 1988, hlm. 14 Universitas Sumatera Utara perbuatannya atau tidak untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagaimana yang disyaratkan dalam pasal 44 KUHP yaitu sebagai berikut : 165 a. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum ; b. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akal atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa ; Oleh sebab itu pemeriksaan terlebih dahulu terhadap kondisi kejiwaan pelaku merupakan suatu hal yang harus dipenuhi guna dapat dilanjutkannya pemeriksaan di muka pengadilan sehingga dalam proses pembuktian dapat memperkuat keyakinan hakim terhadap terjadinya suatu tindak pidana mutilasi merupakan kejahatan yang secara sadar dilakukan oleh terdakwa oleh karena terdakwa memahami akan akibat yang ditimbulkannya. Proses pembuktian mengenai kondisi kejiwaan pelaku tindak pidana mutilasi dapat dilakukan melalui cara pemeriksaan psikologis oleh seorang psikolog yang dimintakan oleh penyidik dalam proses penyidikan. 166 Adapun proses pemeriksaan psikologis terhadap terdakwa dalam kejahatan mutilasi dapat dilakukan sebagai berikut : 167 165 R.Soesilo, Log.Cit, hlm.60 166 Jurnal Psikologi Edisi XXVI, Kedudukan Psikologi Dalam Pemeriksaan Di Pengadilan, Jakarta : Yacobi, 2009, hlm. 14 167 Jurnal Psikologi Edisi XXVI, Ibid, hlm.16 Universitas Sumatera Utara a. Psikolog melakukan pemeriksaan awal seputar identitas dan latar belakang dari diri pelaku kejahatan mutilasi ; b. Membuat kondisi rekam jiwa pelaku secara tertulis berdasarkan latar belakangnya c. Melakukan pemeriksaan melalui proses suggestion lie yaitu, dengan cara memberikan pertanyaan secara mendalam guna mendeteksi kebohongan dalam diri pelaku ; d. Mengkondisikan pelaku terhadap kondisi hidup tidak normal untuk dapat mengetahui apakah pelaku dapat menyesuaikan diri atau menolak suasana pengkondisian tersebut ; e. Melakukan proses mental pressier dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan yang menekan mental pelaku ; f. Mengidentifikasikan faktor patologis pelaku ; g. Menandatangani lembar acara pemeriksaan ; h. Membuat laporan secara tertulis kepada penyidik yang berkaitan dengan pemeriksaan psikologis pelaku kejahatan mutilasi ; Proses pemeriksaan psikologis dipergunakan untuk membuktikan apakah pelaku kejahatan mutilasi dapat di pertanggungjawabkan atau tidak secara yuridis, proses pemeriksaan tersebut dapat digolongkan kedalam bentuk keterangan ahli dan bukti surat. 168 Lebih lanjut dalam ilmu hukum pembuktian, sering dibedakan antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti riil 168 Ronny Rahman Nitibraska, Log.Cit, hlm 47 Universitas Sumatera Utara adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta yang dipersengketakan seperti senjata, pakaian, peluru dan semacamnya yang berhubungan dengan fakta yang akan dibuktikan. 169 Sementara itu yang dimaksud dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang tidak secara langsung membuktikan adanya fakta tertentu, tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi lebih jelas dan dapat dimengerti. 170 a. Alat bukti riil haruslah relevan dengan fakta yang dibuktikan Alat bukti dalam kejahatan mutilasi dapat dikategorikan sebagai alat bukti riil yang bersifat langsung yaitu, alat bukti yang dapat membuktikan secara langsung adanya fakta yang dipersengketakan, seperti luka dalam kasus mutilasi sebagai penganiayaan berat yang menimbulkan luka permanen atau disfungsi bagian tubuh, maupun bentuk pemeriksaan forensic terhadap bagian tubuh mayat korban mutilasi. Banyak persyaratan yang diperlukan agar penggunaan alat bukti riil pantas diterima oleh hakim di pengadilan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut : b. Alat bukti riil tidak boleh melanggar prinsip kerahasiaan priviliged c. Alat bukti riil tidak boleh melanggar prinsip larangan saksi de auditu d. Alat bukti riil tidak boleh merupakan hasil temuan secara illegal e. Alat bukti riil harus benar-benar asli f. Berlaku hukum keutuhan completeness. Dalam hal ini, alat bukti harus dibawa utuh tidak boleh hanya sebagian 169 Munir Fuady, Log.Cit, hlm. 185 170 Munir Fuady, Ibid, hlm. 189 Universitas Sumatera Utara g. Alat bukti riil tidak boleh prejudice menyebabkan praduga. Disamping itu dalam proses pembuktian kasus tindak pidana mutilasi, perlu diadakan suatu bentuk pemeriksaan secara forensik yang merupakan alat bukti sah dalam memberikan keyakinan kepada hakim untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Pengertian forensik sendiri berdasarkan definisi law dictionary, adalah belonging to the courts of justice, the words indicates the application of a particular subject to the law, for example, forensic medicine is a branch of science that employs medical technology to assist in solving legal problems. 171 Hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 133 KUHAP, sebagai berikut : 172 a. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan maupun mati yang di duga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya b. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat satu dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat c. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh 171 Abdussalam, Forensik, Jakarta : Restu Agung, 2006, hlm. 6 172 Muhammad Karjadi, Log.Cit, hlm. 119 Universitas Sumatera Utara penghormatan terhadap mayat tersebut dan di beri label yang memuat identitas mayat, di lak dengan di beri cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain dari mayat Berdasarkan ketentuan pasal 133 KUHAP tersebut maka pemeriksaan forensik dalam berbagai kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia seperti mutilasi dapat dilakukan karena memilki ketentuan yuridis. Seperti halnya tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan biasa, proses pemeriksaan tindak pidana mutilasi dilakukan dengan cara medicine forensic melalui visum et repertum berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam lembaran negara tahun 1937 nomor 350 sebagai berikut dalam pasal 1 satu, visa reperta seorang dokter yang dibuat baik atas sumpah jabatannya yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pendidikannya mempunyai daya bukti sah dalam perkara pidana selama visa reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemukan dokter pada benda yang di periksa. 173 Visum et repertum, terdiri dari dua macam yaitu : 174 a. Visum et repertum untuk korban hidup, terdiri dari ; - Visum et repertum yang diberikan kepada korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut - Visum et repertum sementara, diberikan setelah pemeriksaan dan ternyata korban perlu di periksa dan di rawat lebih lanjut - Visum et repertum lanjutan, diberikan pada korban yang telah selesai di rawat 173 Abdussalam, Op.Cit, hlm. 19 174 Abdussalam, Ibid, hlm. 21 Universitas Sumatera Utara b. Visum et repertum untuk korban mati, diberikan kepada jenazah korban untuk menentukan sebab-sebab kematian melalui cara otopsi Visum et repertum merupakan alat bukti yang sah yaitu yang termasuk surat-surat, sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana pasal 184 ayat 1. Keseluruhan dari proses pembuktian terhadap tindak pidana mutilasi seperti diuraikan di atas adalah berrtujuan untuk mencari kebenaran materil daripada peristiwa pidana tersebut. Disamping itu, salah satu karakter dari hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technological oriented. Artinya, perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung pada perkembangan pembuktian di pengadilan.

D. Analisa Kasus

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90