yang tidak terkontrol seorang homoseksual dapat melakukan tindakan yang tergolong kejam baik secara sadar atau pun tidak.
110
C. Kajian Psikologi Kriminal Terhadap Aspek Kejiwaan Pelaku Mutilasi
Peningkatan kejahatan dengan modus memotong-motong tubuh korban atau yang di sebut dengan mutilasi semakin mengkhawatirkan. Dalam tahun 2008
sedikitnya terjadi delapan kasus.
111
Jumlah itu relatif sangat besar untuk ukuran jenis kejahatan yang langka extra rare crime, dikatakan langka karena
kekejiannya melampaui batas kemanusiaan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa intensitas atau derajat kesadisan kejahatan di masyarakat kian tinggi dan kian
beragam bentuknya.
112
Kejahatan mutilasi merupakan bentuk kejahatan yang sangat keji, dimana berdasarkan tinjauan psikologi klinis hal tersebut digolongkan kedalam perilaku
menyimpang. Berdasarkan hal tersebut, psikologi klinis memberikan definisi mengenai perilaku menyimpang sebagai berikut :
113
a. Perilaku abnormal, istilah ini memilki arti yang bermacam-macam,
terkadang di pakai untuk menunjuk aspek batiniah kepribadian, aspek perilaku yang dapat langsung di amati atau berupa problem masalah
yang bersifat kronik
110
Matt Jarviss, Ibid, hlm. 201
111
www.kompas.com, di akses tanggal 12 September 2009 pukul 14.35 WIB
112
Ronny Rahman Nitibraska, Perangkap Penyimpangan Dan Kejahatan Teori Baru Dalam Kriminologi Jakarta : Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009,
hlm. 142
113
Tristiadi Ardhi Ardani, Log.Cit, hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
b. Perilaku maladatif, istilah ini memilki arti luas meliputi setiap perilaku
yang mempunyai dampak meragukan bagi indvidu dan atau masyarakat, tidak hanya mencakup gangguan-gangguan seperti
neurosis dan psikosis yang bermacam-macam jenisnya melainkan juga berbagai bentuk baik perorangan maupun kelompok
c. Gangguan mental, definisi ini menunjuk kepada semua bentuk perilaku
abnormal mulai dari yang ringan hingga yang melumpuhkan d.
Psikopatologi, istilah ini menunjuk tentang perilaku abnormal atau gangguan mental
e. Penyakit jiwa, istilah ini mencakup kedalam gangguan-gangguan yang
melibatkan patologi otak atau berupa disorganisasi kepribadian yang rusak
Beberapa penjelasan atau penggambaran mengenai bentuk perilaku menyimpang di atas menurut Darajat terhadap aspek kejiwaan pelaku kejahatan mutilasi akibat
keabnormalan itu dapat dibagi kedalam dua golongan yaitu, yang disebabkan karena gangguan jiwa neurosa dan sakit jiwa psychose yang membentuk
perilaku asosial individu.
114
Berdasarkan tinjauan psikologi kriminal, keberagaman pelaku menunjukkan bahwa motif yang mendasari perbuatan kejahatan itu juga tidak
tunggal. Modus operandi kejahatan umumnya, tidak lahir dari pemikiran genuine, melainkan meniru. Pelaku berkaca pada peristiwa pidana yang pernah terjadi,
kemudian mempertimbangkan cara-cara yang berlangsung di dalamnya untuk
114
Tristiadi Ardhi Ardani, Ibid, hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
diterapkan. Perilaku semacam itu dinamakan peniruan model kejahatan imitation of crime model.
115
Menurut Gabriel Tarde, menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya individualis, namun berkat kemampuan untuk meniru imitasi, peniruan yang
dilakukannya membentuk jalinan interaksi sosial dan pada gilirannya tersusun kehidupan sosial. Bahkan, penurunan masyarakat pun merupakan bagian dari
peniruan society is imitation yang berkelanjutan dalam proses sosial di masyarakat.
116
Karena imitasi merupakan kegiatan belajar meniru perilaku orang lain, maka oleh berbagai ahli psikologi imitasi di pandang bukan sebagai ciri-ciri
pembawaan manusia, melainkan sebagai suatu proses sosial yang merupakan cara di mana interaksi sosial memungkinkan bertambah besarnya partisipasi seseorang
dalam kelompok masyarakat.
117
Imitasi yang dilakukan terus menerus atas suatu objek peniruan akan menghasilkan kepribadian kedua second entity yang
mungkin berbeda dengan watak bawaan.
118
Manusia melakukan imitasi hampir terhadap semua hal yang sanggup ditirunya, termasuk kejahatan. Proses imitasi tidak bersifat serta merta melainkan
melalui beberapa syarat dan kondisi tertentu :
119
a. Pertama, adanya minat atau perhatian yang cukup besar terhadap apa
yang akan di imitasi
115
Ronny Rahman Nitibraska, Ibid, hlm. 143
116
Ronny Rahman Nitibraska, Ibid, hlm. 144
117
Arifin, Theoritikal Kriminologi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1991, hlm. 17
118
Ronny Rahman Nitibraska, Op.Cit, hlm. 144
119
Arifin, Op.Cit, hlm. 25
Universitas Sumatera Utara
b. Kedua, ada sikap menjujung tinggi atau mengagumi apa yang akan di
imitasi c.
Ketiga, bergantung pada pengertian, tingkat perkembangan serta tingkat pengetahuan dari individu yang akan mengimitasi
Beberapa prasyarat tersebut menujukkan bahwa informasi atau pengetahuan mengenai objek peniruan bersifat sentral. Semakin kaya informasi maka akan
semakin mudah melakukan peniruan. Dalam hal ini, media masa mempunyai peranan penting. Pemberitaan kejahatan melahirkan proses imitasi untuk
kejahatan sejenis. Apabila pemberitaan itu juga menjelaskan mengenai kondisi detail dari pelaksanaan kejahatan dan cenderung di ulang-ulang, akan
mempermudah proses imitasi atau peniruan individu dalam belajar mengenai hal- hal yang terjadi dalam lingkungan.
120
Sehubungan dengan hal itu Robert Reiner menyatakan sebagai berikut, it has often been alleged that the media act as an open university of crime spreading
knowledge of criminals technique
121
Distorsi pemberitaan diawali dengan tindakan memilih peristiwa-peristiwa kejahatan dengan kualitas tertentu yang ditampilkan melalui pemberitaan media.
Semakin luar biasa, keji dan sadis suatu peristiwa pidana berpeluang mendapat . Berdasarkan pernyataan tersebut patut
diperhatikan dengan seksama, sebab kenyataan semacam itu di Indonesia termasuk salah satu faktor yang mendorong budaya Indonesia menjadi budaya
dalam transisi.
120
Ronny Rahman Nitibraska, Op.Cit, hlm. 145
121
Robert Reiner, The Oxford, Handbook Of Criminology, New York : Oxford University Press, 1995, hlm. 317
Universitas Sumatera Utara
porsi besar dalam pemberitaan.
122
Berdasarkan beberapa hal seperti interaksi lingkungan, proses imitasi hingga proses pemberitaan media massa, faktor lain yang mendorong individu
untuk melakukan tindak pidana mutilasi adalah adanya gangguan mental yang juga berhubungan dengan kelainan genetika disamping itu terdapat pula faktor
psikologis lain yang terlibat dalam gangguan mental seperti pembelajaran perilaku abnormal.
Dengan kriteria demikian, dapat dimengerti bila pemberitaan mengenai mutilasi memperoleh ruang berita yang besar dalam
masyarakat.
123
Selain faktor peniruan, pemilihan modus mutilasi juga didasarkan kepada berbagai motif yang mendasari individu melakukan tindak pidana mutilasi
terhadap individu yaitu :
124
a. Pertama, untuk menghilangkan jejak
b. Kedua, lebih mudah atau ringkas dalam membawa korban
c. Ketiga, pergulatan kejiwaan yang dikuasai oleh kemarahan, kebencian,
dan emosi-emosi lain yang tak terkendali. Pembunuhan yang dilakukan berdasarkan motif ini, merupakan ekspresi dari kemarahan atau
kebencian d.
Keempat, karena gangguan kejiwaan yang relatif permanen seperti psikopatis dan sadisme. Dalam motif ini, mutilasi sebagai bentuk
pemuasan jiwa bahkan kenikmatan
122
Ronny Rahman Nitibraska, Op.Cit, hlm. 145
123
Matt Jarvis, Log.Cit, hlm. 75
124
Ronny Rahman Nitibraska, Op.Cit, hlm. 146
Universitas Sumatera Utara
Keseluruhan motif tersebut dapat di bagi kedalam dua bagian besar, yaitu rasional dan non rasional. Kebanyakan kasus-kasus mutilasi yang terjadi umumnya
dilaksankan berdasarkan perhitungan rasional.
125
Motif kejahatan mutilasi yang dilatarbelakangi oleh faktor kejiwaan diakibatkan kepribadian yang terganggu sehingga pelaku mutilasi kurang mampu
menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemnya. Berkaitan dengan kondisi kejiwaan yang tergolong menyimpang tersebut,
diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu :
126
a. Pertama, disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh
misalnya otak, saraf pusat atau hilangnya berbagai kemampuan kelenjar atau anggota fisik lainnya untuk melakukan tugasnya secara
baik; b.
Kedua, disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut- larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara
wajar. Dapat pula disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh akibat suasana lingkungan yang sangat menekan dan
adanya ketegangan batin. Berdasarkan teori psikodinamika, dalam keadaan yang frustasi yang berat
bila ada kesempatan individu tidak lagi dapat mengindahkan apa pun untuk melepaskan tekanan jiwanya, terlebih bila contoh untuk penyaluran itu diketahui
kerap terjadi.
127
125
Ronny Rahman Nitibraska, Ibid, hlm. 146
126
Tristiadi Ardhi Ardani, Log.Cit, hlm. 30
Untuk itu, agar intensitas tindak pidana mutilasi tidak terus
127
Matt Jarvis, Op.Cit, hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
berlanjut, peranan media masa dalam pemberitaan perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut.
128
128
Ronny Rahman Nitibraska, Op.Cit, hlm. 147
Pemaparan diatas menunjukkan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya tindak pidana mutilasi selain dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan dalam diri
individu atau pelaku juga dipengaruhi oleh aspek luar diri individu meliputi aspek-aspek eksternal yang saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga
menjadi suatu kompleksitas yang mendorong individu untuk melakukan kejahatan mutilasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERANAN PSIKOLOGI KRIMINAL DALAM PROSES PEMBUKTIAN