Hukuman Terhadap Pelaku Jarimah Al-Baghyu

timbul, seperti pembunuhan, pelukaan, dan pemotongan anggota badan. Hanya saja dalam kenyataannya, perang atau penumpasan tidak bisa dianggap sebagai hukuman, melainkan suatu upaya represif guna mencegah dan menindas pemberontak., serta mengembalikannya kepada sikap taat dan patuh kepada pemerintahan yang sah. Andaikata memerangi itu merupakan hukuman maka tentunya dibolehkan membunuh pemberontak setelah mereka dikalahkan dalam pertempuran, karena hukuman merupakan balasan atas apa yang dilakukan oleh mereka. Akan tetapi, ulama telah sepakat bahwa apabila situasi perang telah selesai maka pertempuran dan pembunuhan harus dihentikan dan pemberontak harus dijamin keselamatannya, karena pemberontakan itulah yang menyebabkan ia kehilangan jaminan keselamatannya. b. Yang Tidak Berkaitan dengan Pemberontakan Adapun tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi tidak berkaitan dengan pemberontakan, seperti minum minuman keras, zina atau perkosaan, dianggap sebagai jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum dengan hukuman hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Dengan demikian, apabila pada saat berkecamuknya pertempuran seorang anggota pemberontak memperkosa seorang gadis dan ia ghair muhshan maka ia dikenakan hukuman jilid dera seratus kali ditambah dengan pengasingan. Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika mereka merusak dan menghancurkan aset-aset negara yang dianggap oleh mereka perlu dihancurkan, demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan. Adapun perusakan harta yang tidak berkaitan dengan pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu maka mereka tetap dibebani pertanggungjawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil harus dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, dan pendapat yang shahih dikalangan mazhab Syafi’i. Namun, dikalangan mazhab Syafi’i ada yang berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggungjawab atas semua barang yang dihancurkannya, baik ada kaitannya dengan pemberontak atau tidak, karena hal itu mereka lakukan dengan melawan hukum. 11 Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi maka orang kafir dzimmi itu dikategorikan sebagai pemberontak dan hukumannya pun sama. Hanya saja menurut Imam Abu Hanifah, kafir dzimmi yang turut serta di dalam pemberontakan perjanjian akad dzimmahnya tidak rusak batal. Akan tetapi, dikalangan mazhab Syafi’i dan Hanbali berkembang dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah, sedangkan menurut pandapat yang kedua, keikutsertaan mereka dalam pemberontakan menyebabkan rusaknya batalnya akad dzimmah mereka. 12 Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada kafir harbi maka jika ia musta’man, batallah perjanjian keamanannya dan statusnya kembali seperti semula sebagai kafir harbi, kecuali 11 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, h.699 12 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, h. 702-203