Pengertian Al-Baghyu MAKAR DAN PEMBERONTAKAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

bentuk yang terlihat. Dari arti dan definisi tersebut, maka makar senantiasa berkonotasi jahat, serta dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kepada lawannya atau musuhnya. Jenis makar terbagi dua: 1. Makar mahmudah tipu daya yang baik yakni tipu daya tersembunyi untuk melawan atau menolak kejahatan,diantara ayat yang menyatakannya antara lain;        Artinya: “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. QS. Ali Imran : 54 2. Makar Madmumah tipu daya jahat yakni tipu daya tersembunyi untuk menghancurkan atau menolak kebenaran al- Haq atau memalingkan dari jalan yang lurus Diantara ayat yang menyatakannya antara lain;            Artinya: “Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur. QS.Al-Fathir :10

B. Unsur-unsur Jarimah Al-Baghyu

Dari rangkuman definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, yaitu 1. Pembangkangan terhadap kepala negara Imam 2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan 3. Adanya niat yang melawan hukum Al-Qasd Al-Jinaiy. 1. Pembangkangan terhadap Kepala Negara Imam Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan individu. Contohnya, seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, seperti hukuman had zina atau hukuman qishash. Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam kepala negara memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk menaati apa yang diperintahkannya. Pembangkangan kadang-kadang ditujukan kepada imam atau kepala negara, dan kadang-kadang kepada pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya. Pejabat-pejabat tersebut antara lain menteri, hakim atau pejabat-pejabat dibawahnya. Dalam sistem imamah, penguasa tertinggi oleh para fuqaha disebut dengan istilah imam yang diatasnya tidak ada lagi imam, sedangkan penguasa dibawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau dengan wakil imam apabila ia mewakili Al-Imam Al- A’zham. 2. Pembangkangan Dilakukan dengan Kekuatan Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, disyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keengganan untuk membaiat mendukung seorang imam, setelah ia didukung oleh suara mayoritas orang banyak walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru ajakan semata. Pemberontakan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad di mulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka pembangkangan itu belum dianggap sebagai pemberontakan, dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil tidak bersalah. Apabila baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai pemberontakan, melainkan hanya dikategorikan sebagai ta’zir. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah, mereka itu sudah dianggap sebagai pemberontak. Hal ini karena menurut Imam Abu Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya. 8 3. Adanya Niat yang Melawan Hukum Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam, atau tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkang itu belum dikategorikan sebagai pemberontakan. Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot menggulingkan imam, atau tidak menaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangnya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah penggunaan kekuatan atau setelah selesainya pemberontakan maka di sini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa. 8 Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri Al- Jinai’I Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanun Al-Wad’I . Beirut: Mu’assasah AL-Risalah, 1992, h. 688-689