1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perusahaan yang ingin tetap bertahan dan mampu memenangkan persaingan bisnis harus selalu melakukan inovasi. Inovasi menyebabkan
perusahaan tumbuh dan berkembang. Perkembangan usaha tersebut memaksa manajemen perusahaan melakukan perluasan usaha, baik dengan diversifikasi
maupun dengan intensifikasi. Perluasan usaha berdampak pada kebutuhan dana yang terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas perusahaan akan
menyulitkan perusahaan tersebut untuk memenuhinya. Oleh sebab itu dibutuhkan pihak lain yang bersedia memberikan bantuan kepada perusahaan, seperti investor
dan kreditor. Pasar modal merupakan media yang dapat mempertemukan pihak yang
akan memberikan dana dengan perusahaan yang membutuhkan dana. Agar dapat memperoleh dana dari dari pihak penyedia dana, perusahaan dapat menerbitkan
saham atau obligasi yang akan diperjualbelikan di pasar modal. Keputusan untuk menjual saham atau obligasi sangat bergantung pada pertimbangan manajemen
dan pemilik perusahaan. Manajemen yang memiliki keinginan untuk menerbitkan saham atau obligasi harus disampaikan pada pemegang saham dalam rapat umum
pemegang saham untuk mendapatkan persetujuan. Jika dalam rapat umum pemegang saham akan berusaha memperoleh dana dari pasar modal melalui
penerbitan saham, maka bagi perusahaan yang belum pernah menawarkan
2 sahamnya di pasar modal akan melakukan penawaran saham perdana initial
public offering IPO.
IPO dilakukan perusahaan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh pengawas pasar modal seperti Bapepam di Indonesia dan SEC di
Amerika Serikat. Salah satu syarat yang ditetapkan pengawas pasar modal adalah prospektus. Prospektus berisi informasi tentang perusahaan penerbit sekuritas dan
informasi lainnya yang berkaitan dengan sekuritas yang di jual Hartono 2000:20. Prospektus tersebut disiapkan oleh perusahaan untuk keperluan registrasi dan
didistribusikan kepada publik Francis 1993:154. Salah satu informasi penting dalam prospektus adalah informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam
neraca dan laporan laba rugi tiga tahun sebelum IPO Francis 1993:86. Prospektus tersebut didistribusikan untuk setiap investor potensial Jones
2000:75. Fenomena lain menunjukkan adanya asimetri informasi asymetric
information yang menyertai kebijakan IPO. Walaupun investor mempunyai
informasi yang cukup mengenai perusahaan yang melakukan IPO tersebut, asimetri informasi tetap terjadi dalam penawaran ini Ritter, 1991; Beatty, 1989;
Leland dan Pyle, 1997. Kondisi inilah yang memotivasi manajemen untuk bersikap oportunistik untuk melakukan manipulasi terhadap kinerjanya baik
sebelum dan pada saat penawaran Jones, 1991; Freidlan, 1994; Gumanti, 2001; Setiawati, 2002; Ihalauw dan Afni, 2002.
Manipulasi yang dikenal dengan istilah earnings management ini akan mengakibatkan penurunan kinerja underperformance setelah penawaran Ritter,
3 1991; carter et al., 1998. Namun praktek earnings management di sisi lain dapat
mempengaruhi nilai perusahaan Mayangsari dan Wilopo, 2002. Kondisi ini terjadi karena earnings yang diumumkan pada saat IPO tampak relatif baik
sehingga respon pasar menjadi positif. Paek dan Press 1997 dalam Wilopo dan Mayangsari 2002 menyatakan bahwa nilai pasar perusahaan dipengaruhi oleh
motivasi manajer yang mandasari adanya discretionary accruals dalam kebijakan earnings management.
Kebijakan earnings management dalam hal ini ditujukan untuk memberikan sinyal positif kepada pasar tentang perusahaan yang dikelolanya.
Sinyal positif ini diwujudkan dalam kinerja yang di laporkan biasanya dalam prospektus penawaran. Namun sinyal positif ini dalam jangka panjang tidak bisa
dipertahankan oleh manajemen, yang tercermin dari penurunan kinerja yang dilaporkan oleh perusahaan tersebut Teoh et al., 1998. Loughran dan Ritter
1997 menemukan perbedaan antara kinerja operasi lima tahun sebelum dan sesudah penawaran, yaitu adanya penurunan kinerja dalam jangka panjang.
Rodoni 2002 juga menemukan bahwa kinerja IPO untuk jangka panjang menunjukkan kinerja yang negatif. Sementara Denis dan serin 1999 mencatat
bahwa rendahnya kinerja pasca IPO diakibatkan pengukuran earnings yang dilakukan secara “tidak tepat” oleh manajemen. Kondisi ini mempengaruhi
interpretasi investor terhadap kinerja perusahaan dan mengakibatkan investor mempunyai harapan profitabilitas masa depan perusahaan yang keliru. Atau
dengan kata lain investor yang naif akan over-optimistik dalam meramalkan earnings
masa depan dan mengalami kekecewaan terhadap realisasinya pada
4 periode pasca penawaran. Penurunan kinerja yang terjadi sebagai dampak
pengukuran tersebut akan terjadi selama lima tahun setelah IPO. Shivakumar 2000 juga menunjukkan bahwa manajemen telah melakukan overstate terhadap
earnings sebelum melakukan pengumuman IPO. Lebih lanjut penelitian tersebut
menunjukkan bahwa investor sebenarnya sudah menduga adanya manajemen laba earnings management dan secara rasional berusaha melepaskan pengaruhnya
pada saat pengumuman IPO. Jadi investor memiliki penilaian yang rendah terhadap earnings sebelum IPO dan secara rasional memberikan nilai yang rendah
untuk perusahaan. Setiap investor yang akan melakukan investasi di pasar modal akan
memperoleh prospektus. Prospektus tersebut akan merupakan satu-satunya informasi yang akan digunakan oleh investor untuk menentukan keputusan
investasinya pada perusahaan yang melakukan IPO. Investor hanya dapat menggunakan prospektus sebagai sumber informasi mengenai perusahaan
tersebut. Hal ini disebabkan tidak terdapat media lain yang dapat memberikan informasi mengenai perusahaan tersebut sebelum IPO. Sehingga informasi
asymetry antara manajemen dengan pihak eksternal perusahaan tinggi Teoh et al.
1998a. Informasi asymetry yang tinggi tersebut memberikan peluang kepada manajemen melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk meningkatkan
kemakmurannya utility. Manajemen
laba dilakukan
manajemen dengan
cara memilih
kebijaksanaan akuntansi atau kebijaksanaan akrual yang dapat menggeser laba pendapatan periode yang akan datang ke periode sekarang atau menggeser biaya
5 periode sekarang ke periode yang akan datang. Manajemen laba yang dilakukan
dengan cara pemilihan kebijaksanaan akuntansi mudah dideteksi oleh investor. Sedangkan apabila dilakukan dengan kebijaksanaan akrual, akan sulit di deteksi.
Oleh sebab itu penelitian ini akan menggunakan pendekatan akrual untuk menentukan manajemen laba. Pendekatan tersebut digunakan oleh Rangan 1998;
Dechow et al. 1995; Teoh et al, 1998a; 1998b; Hall dan Stammerjohan 1997; Shivakumar 2000; Sutanto 2000.
Meskipun informasi asymetry antara manajemen dan investor tidak lagi tinggi setelah IPO, namun berbagai penelitian menunjukkan manajemen laba
menjelang terjadi pula ketika seasoned equity offering SEO. Teoh et al. 1998b menemukan manajemen melakukan penyesuaian akrual dalam rangka menaikkan
laba menjelang SEO. Rangan 1998 juga menemukan hal yang sama dengan apa yang ditemukan Teoh et al. 1998b. Loughrean dan Ritter 1997 membuktikan
bahwa kinerja perusahaan setelah melakukan SEO menurun. Shivakumar 2000 memberikan bukti bahwa manajemen melakukan manajemen laba disekitar SEO,
meskipun tidak ditujukan untuk menyesatkan investor dalam pengambilan keputusan investasi.
Melihat pada hasil penelitian yang menemukan pada berbagai penawaran saham terjadi manajemen laba seperti IPO dan SEO, maka diskusi mengenai
manajemen laba semakin meningkat terutama berkaitan dengan penetapan standar akuntansi mengenai manajemen laba tersebut.Walaupun demikian banyak diskusi
yang dilakukan berkaitan dengan manajemen laba belum terdapat suatu kesepakatan tentang apakah manajemen laba diizinkan atau tidak. Menurut
6 Munter 1999 dan Ketz 1999 manajemen laba harus dicegah, karena dapat
menyesatkan keputusan investor. Sedangkan Subramanyam 1996 menyatakan bahwa jika manajemen laba dilakukan dengan metode perataan laba income
smoothing tidak perlu dipersoalkan. Karena jika yang dilakukan manajemen
adalah perataan laba ternyata mampu memperbaiki kemampuan laba untuk mencerminkan nilai ekonomis perusahaan. Manajemen laba menjelang IPO dan
SEO perlu mendapat perhatian berbagai pihak, karena pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran manajemen dengan cara melaporkan laba
sekarang lebih tinggi daripada laba periode yang akan datang. Namun demikian tidak perlu sampai mencegah, seandainya investor mampu bereaksi dengan cepat
terhadap manajemen laba tersebut. Reaksi investor terhadap manajemen laba ditunjukkan dengan penyesuaian
terhadap harga saham setelah IPO dan SEO. Ritter 1991 menyatakan bahwa kinerja harga saham menurun beberapa periode setelah IPO. Hal ini disebabkan
investor terlalu optimis pada saat IPO. Teoh et al. 1998b menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan IPO akan melaporkan laba melebihi cash flow
dengan mengambil akrual yang positif. Sehingga kinerja saham akan menurun selama tiga tahun setelah IPO. Laughren dan Ritter 1997 menyatakan kinerja
saham yang rendah setelah SEO merupakan suatu anomaly dalam pasar efisien. Penelitian terhadap perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta BEJ
terbukti bahwa telah terjadi manajemen laba menjelang IPO Sutanto 2000; dan Gumanti 2001. Kiswara 1999 menemukan bahwa perusahaan yang terdaftar di
BEJ melakukan praktek manajemen laba untuk membentuk persepsi investor yang
7 positif terhadap perusahaan. Gumanti 2001 menyimpulkan bahwa dalam periode
dua tahun menjelang IPO terbukti perusahaan melakukan manajemen laba, namun tidak terdapat indikasi manajemen laba dalam periode satu tahun menjelang IPO.
Perhatian terhadap reaksi investor berkaitan dengan manajemen laba belum diberikan oleh peneliti, meskipun terdapat beberapa peneliti yang
mengaitkan antara perataan laba dengan return saham Asih dan Gudono 2000; dan Salno dan Baridwan 2000. Asih dan Gudono 2000 membuktikan bahwa
terdapat perbedaan mean cummulative abnormal return antara perusahaan perata laba dengan perusahaan bukan perata laba. Namun Salno dan Baridwan 2000
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan return saham antara perusahaan perata laba dengan perusahaan bukan perata laba berdasarkan jenis industri.
Saiful 2004 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa di sekitar pelaksanaan IPO telah terjadi manajemen laba, baik pada periode sebelum IPO,
pada saat IPO, dan pada periode sesudah IPO. Hasil ini konsisten dengan penelitian Teoh et al. 1998a, Jain dan Kini 1994, Freidlan 1994, Kiswara
1999, Sutanto 2000, dan Gumanti 2001. Peneliti juga menemukan kinerja operasi perusahaan setelah IPO rendah, konsisten dengan penelitian Jain dan Kini
1994, Rangan 1998, Loughran dan Ritter 1997, dan Teoh et al 1998b. Berkaitan dengan return saham peneliti menemukan return saham pada periode
satu tahun setelah IPO rendah. Hasil ini konsisten dengan Prastiwi dan Kusuma 2001, Bray dan Gompers 2000, 1997, Wijaya 1999, dan Rizka 1995.
Peneliti tidak mampu menemukan hubungan yang signifikan antara manajemen laba dan return saham. Meskipun demikian peneliti menemukan arah hubungan
8 antara manajemen laba dan return saham konsisten dengan penelitian Ali et al.
2000, dan Rangan 1998. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisa hubungan
earning management manajemen laba dengan kinerja operasi dan return saham
di sekitar IPO, yang dituangkan dalam penelitian dengan judul “ANALISIS
PENGARUH MANAJEMEN LABA DENGAN KINERJA OPERASI DAN RETURN SAHAM DI SEKITAR IPO”. Pada perusahaan yang melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia BEI tahun 2001-2005. Pertimbangan peneliti memakai perusahaan yang melakukan IPO di BEI tahun 2001-2005 adalah untuk
mendapatkan sampel yang lebih besar, dengan sampel yang relatif lebih besar peneliti akan mendapatkan hasil yang lebih kuat. Sedangkan pertimbangan
peneliti menggunakan perusahaan yang melakukan IPO adalah karena perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer
perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Saiful 2004 yang berjudul “hubungan manajemen laba earning management dengan kinerja
operasi dan return saham di sekitar IPO”. Dengan variabel independennya adalah discretionary accrual
DA, return on asset ROA, dan variabel kontrol sales growth
SGRO. Sedangkan variabel dependennya adalah return on asset ROA. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah sebagai berikut :
9 1. Perbedaan objek penelitian. Pada penelitian ini mengambil objek
perusahaan-perusahaan selain jasa keuangan yang melakukan IPO dan terdaftar di BEI.
2. Pada penelitian ini ada lima variabel penelitian penelitian yaitu discretionary accrua
l DA, sales growth SGRO, return on asset ROA, cummulative abnormal return
CAR, dan peneliti menambahkan variabel Quick ratio
. 3. Perbedaan periode yang digunakan, pada penelitian ini mengambil sampel
dari tahun 2001-2005, sedangkan peneliti sebelumnya mengambil sampel dari tahun 1992-1994.
B. Perumusan Masalah