Teritori Crowding Asal Mula Pedagang Kaki Lima

13

2.2.2. Teritori

Teritori merupakan pola perilaku individu atau sekelompok individu yang didasarkan pada kepemilikan ruang fisik yang terdefinisi, objek atau ide yang melibatkan pertahanan, personalisasi, dan penandaan. Faktor kunci dalam pengelompokan teritori adalah tingkat kebutuhan privasi, keanggotaan atau akses yang diperbolehkan untuk masing-masing tipe. Tipologi teritori secara ringkas disampaikan oleh I. Altman 1975 dalam tabel 2.1. Gambar 2.1. Uraian faktor yang mempengaruhi ruang publik Sumber : PPS Project for Public Space Universitas Sumatera Utara 14 Tipe teritori Daya Akses Contoh Teritori Primer Tinggi. Penghuni memiliki kontrol penuh terhadap suatu ruang. Domisili seseorang rumah, apartemen, kantor Teritori Sekunder Sedang. Memiliki kekuatan selama periode tertentu ketika individu merupakan penghuni yang sah. Bangku favorit seseorang di kelas, meja di kantin. Teritori Publik Rendah. Kontrol sangat sulit untuk diakses. Pantai, taman, ruang tunggu, transportasi umum. Teritori dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah faktor personal dimana jenis kelamin, usia, kepribadian dan tingkat intelektual mengambil peran. Faktor yang kedua adalah faktor situasional seperti seting fisik, iklim, dan sosial dalam suatu lingkungan mempengaruhi teritori seseorang.

2.2.3. Crowding

Crowding adalah suatu situasi dimana seseorang atau sekelompok orang sudah tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Crowding tidak selalu berarti rasio fisik yang tinggi, namun dapat juga berarti pemahaman subjektif seseorang bahwa individu yang hadir di sekelilingnya terlalu banyak. Sama halnya dengan teritori, crowding juga dapat dipengaruhi oleh faktor personal, sosial, dan situasional. Tabel 2.1. Tipe-tipe teritori Sumber : Altaian, I. 1975. The environment and social behavior. Universitas Sumatera Utara 15

2.2.4. Adaptasi dan Adjustment

Dalam skema persepsi yang telah dibahas sebelumnya disebutkan bahwa setelah seseorang mempersepsikan lingkungannya, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan pertama adalah rangsang yang dipersepsikan berada dalam batas optimal sehinga timbulah kondisi homoestatis. Kemungkinan kedua adalah rangsang yang dipersepsikan berada diatas batas optimal atau dibawahnya yang mengakibatkan stress dan manusia harus melakukan perilaku penyesuaian diri. Menurut Sarwono 1992, perilaku penyesuaian diri ini terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan yang disebut dengan adaptasi dan yang kedua adalah mengubah lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku yang disebut adjustment.

1. Adaptasi

Seperti pembahasan diatas, perilaku penyesuaian diri terhadap lingkungan diawali dengan stress, yaitu suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang Baum 1985:188. Reaksi terhadap stress bisa berupa tindakan langsung maupun penyesuaian mental. Contoh dari tindakan langsung adalah migrasi. Misal warga dari suatu wilayah bermigrasi ke negara bagian lain dengan alasan kualitas lingkungan yang mulai rusak, air bersih susah didapat, harga perumahan yang mahal, dan sebagainya. Namun, masih terdapat sebagian warga yang memilih untuk tinggal di daerah tersebut dengan anggapan daripada pindah ke tempat lain yang belum tentu lebih baik keadaannya, lebih baik tetap tinggal di tempat lama. Universitas Sumatera Utara 16 Reaksi jenis ini tergolong penyesuaian mental. Karena relativitas persepsi dan sifat manusia yang mampu belajar dari pengalaman, perubahan tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan baru bisa dilakukan secara bertahap.

2. Adjustment

Perubahan lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku manusia dapat dilihat pada berbagai jenis rumah hunian manusia. Manusia mengubah atau memperbaiki lingkungan yang telah ada untuk memenuhi kebutuhan dan tingkah laku mereka. Di pedalaman Sumatera dan Kalimantan terdapat rumah-rumah panggung agar manusia terhindar dari banjir dan binatang buas dimana kolong panggung juga bias dijadikan kandang ternak, lumbung, maupun tempat penampungan air. Rumah di permukiman kumuh kota-kota besar dibuat bersusun keatas agar dapat menampung lebih banyak penduduk. Dari contoh kasus-kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia selalu berusaha untuk merekayasa lingkungan agar sesuai dengan kondisi dirinya. Proses rekayasa lingkungan melibatkan tingkah laku merancang lingkungan dan perwujudannya dalam bentuk nyata. Keseluruhan kegiatan dari merancang sampai melaksanakannya itulah yang dinamakan adjustment. Gambar 2.2. Rumah susun dan rumah bolon merupakan contoh adjustment masyarakat Sumber : Data sekunder diolah Universitas Sumatera Utara 17

2.3. Pedagang Kaki Lima PKL

Pedagang kaki lima merupakan sektor informal yang keberadaannya senantiasa diabaikan oleh pemerintah kota. PKL dapat ditemukan hampir di seluruh kota dan kebanyakan berada di ruang fungsional kota seperti pusat perdagangan, pusat rekreasi, taman kota, dan tempat-tempat umum yang dapat menarik sejumlah besar penduduk sekitar. Sektor informal menurut Ahmad 2002:73 merupakan kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal kecil-kecilan yang memiliki beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap dan berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil, serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan. Menurut Kadir 2010, keberadaan PKL sebagai sektor informal dalam kegiatan perdagangan menimbulkan suatu dikotomi karena disatu sisi sektor informal mampu menyerap tenaga kerja terutama pada golongan masyarakat yang memilki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta modal kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas atau perlindungan hukum dan merugikan sektor formal karena menyebabkan permasalahan lingkungan kota. Hal ini terjadi karena pemerintah kota tidak pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam Rencana Tata Ruang Kota. Universitas Sumatera Utara 18

2.3.1. Asal Mula Pedagang Kaki Lima

Istilah pedagang kaki lima konon berasal dari jaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jenderal pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu dari kata ”five feet” yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima dalam Widjajanti, 2000:28. Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan defenisi dari pedagang kaki lima diantaranya menurut McGee 1977:28 menyebutkan PKL sebagai hawkers adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar.

2.3.2. Karakteristik Pedagang Kaki Lima