Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup Melalui Sistem Pengendalian Hama
Sinergi Pengelolaan Lingkungan Hidup Melalui Sistem Pengendalian Hama
Terpadu (Kasus pada Usahatani Bawang Merah). Andjar astuti*, Nanang Krisdianto, Ayu Nurjannah (Staf Pengajar Jurusan Agribisnis, Faperta Universitas
Lingkungan hidup disusun oleh sumber daya alam non hayati atau abiotic, sumberdaya alam hayati atau biotic, dan sumberdaya manusia bersama sumberdaya buatan yang digabung menjadi sumberdaya cultural. Untuk itu pengelolaannya perlu dilakukan secara sinergi antara ketiga komponen tersebut, dan ini diharapkan dapat berdampak positip terhadap masyarakat sekitar lingkungan tersebut khususnya dan masyarakat lain pada umumnya, yang akhirnya secara perlahan tetapi pasti akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut. Bentuk Pengelolaan Lingkungan hidup yang dilakukan secara sinergi tersebut dapat berupa penerapan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yaitu dengan mengkombinasikan beberapa cara pengendalian yang secara ekonomi, ekologi dan social dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian ini menerapkan PHT pada Usahatani Bawang merah, karena usahatani ini banyak mengalami kendala, diantaranya adalah serangan Hama dan Penyakit. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis secara teknis dan ekonomis keberhasilan penerapan PHT. Di Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon. Pengambilan Responden dengan metode sensus yaitu sebanyak 45 orang, Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, data ditabulasikan dan dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis menunjukan bahwa usahatani Bawang merah yang menerapkan teknologi PHT ternyata lebih menguntungkan dan lebih effisien, jika dibandingkan dengan usahatani yang dilakukan secara konvensional.
KLR 004
Analisis Klaster Tambak Garam di Kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto.
Sakka*, Baharuddin (Program Studi Geofisika dan Puslitbang-LH Universitas
Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu lokasi produksi garam nasional dan terbesar di Sulawesi Selatan. Salah satunya terletak di Kecamatan Arungkeke dengan luas lahan sebesar 328,61 ha (21,62%), akan tetapi kegiatan tambak garam di wilayah ini masih dilakukan secara tradisional, sehingga tidak semua lokasi dapat berproduksi dan sebagian lagi berproduksi kurang dari 71 ton/ha dengan kadar NaCl <90% dan belum memenuhi standar garam industri (NaCl >97%). Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kawasan tambak garam berdasarkan klaster atas kesamaan yang dimiliki dalam mengelola tambak garam. Hasil penelitian menunjukkan dari luas lahan yang terpetakan sebesar 243,9 ha dapat dibagi menjadi 14 klaster/kelompok dengan kisaran luas 10 – 30 ha/klaster. Setiap klaster terbagi atas kolam bozem, pemenihan dan meja garam dengan perbandingan 5:3:2. Sistem jaringan saluran yang akan dikembangkan dibagi atas dua saluran primer yaitu SPPA1, dan SPPA2 serta dua buah saluran sekunder suplai yaitu SSPA1.1 dan SSPA1.2. Pengisian air ke dalam tambak setiap klaster hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pompa dengan kebutuhan debit air berkisar 0,116 – 0,347
m 3 /s. Untuk mencapai kualitas garam yang baik, peningkatan nilai kepekatan dilakukan secara bertahap yaitu di kolam bozem 4 – 11 o Be, di kolam pemenihan 11 – 22 o Be dan di meja garam 22 – 30 o Be.
KLR 005
Meningkatkan Kapasitas Kelompok Siaga Bencana dalam Pengelolaan Lingkungan
dan Ancaman Bencana. Nasfryzal Carlo*, Yusrita Yanti, Edi Septe, Eva Rita (Universitas Bung Hatta, Kampus Proklamator 1 Jl. Sumatera Ulakkarang, Padang
Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan suatu kelompok komunitas yang terbentuk di daerah rawan bencana. Pembentukan KSB ini diawali dengan pembekalan pengetahuan tentang ancaman dan resiko bencana yang mungkin terjadi di sekitar lingkungan mereka. Dengan pengetahuan tersebut KSB dan masyarakat melakukan identifikasi ancaman dan potensi bencana serta merencanakan kegiatan aksi yang sesuai untuk mengurangi dampak bencana yang akan terjadi. Setelah itu, kegiatan aksi dilakukan secara bersama berdasarkan skala prioritas. Semua kegiatan dilakukan di nagari Salayo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat dengan menggunakan metoda Participatory Rural Appraisal (PRA). Hasilnya, kapasitas KSB meningkat dalam mengelola lingkungan dari ancaman bencana di Nagari Selayo. Kemudian, hasil diskusi warga yang tergabung dalam KSB telah menghasilkan alternatif rencana aksi untuk mengurangi risiko bencana. Aksi komunitas tersebut berupa penanaman pohon, memasang rambu evakuasi pada jalur evakuasi, memperbaiki saluran irigasi dan drainase, dan memberi pembekalan tentang Bank Sampah kepada KSB.
KLR 006
Keindahan Pola-pola yang Menghubungkan Akal-budi dengan Alam Lingkungan.
Dadang Ahmad Suriamihardja (Puslitbang LH, LP2M, Universitas Hasanuddin; dahmaduh@gmail.com)
Dalam persepsi Nishida menurut penjelasan Odin (1987) bahwa kemampuan untuk memberikan nilai kepada alam merupakan buah akal-budi mendasar dalam membidani estetika ekologis yang memadukan nilai-nilai estetika dengan nilai-nilai moral, sehingga kebenaran, kebaikan, dan keindahan mengerucut ke dalam satu titik paduan. Realisasi paduan nilai-nilai estetika dengan nilai-nilai moral menguatkan nasehat Yamauchi (2011) bahwa untuk menguatkan akal-budi dan kemampuan untuk menopang dinamika alam dan akal budi: kita harus memelihara kecintaan kepada alam (afeksi bagi keindahan) dengan keinginan yang kuat untuk bertahan (konatif bagi kebaikan), di bawah kekangan rasional tentang perolehan yang berlebih (kognitif bagi kebenaran). Dalam hubungan seperti itu, tulisan ini akan mendiskusikan pola-pola yang menghubungkan akal-budi dengan alam yang dapat memperkaya pemahaman terma tentang keberlanjutan.
KLR 007