Komponen Lingkungan dalam Pembentukan Rantai Nilai Sayur: Studi Kasus pada
Komponen Lingkungan dalam Pembentukan Rantai Nilai Sayur: Studi Kasus pada
Rantai Pasok Sayuran Dataran Tinggi dari Rurukan Sulawesi Utara. Nordy F.L. Waney*, Tommy F. Lolowang (Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian
Usahatani sayuran dataran tinggi dewasa ini sedang mengalami perubahan dari usahatani yang relatif independen menjadi satu bagian dari berbagai komponen yang terikat dalam satu aliansi rantai-rantai produksi dan distribusi pangan. Hal ini membawa implikasi bahwa keberhasilan usahatani sayur dipengaruhi oleh usaha terkait lainnya dalam suatu rantai produksi dan distribusi sayur. Pendekatan rantai suplai menjadi hal yang penting dalam penelitian dan evaluasi dimensi-dimensi baru dalam pengembangan Agribisnis sayur. Rurukan merupakan satu diantara daerah penghasil sayuran dataran tinggi di provinsi Sulawesi Utara. Usahatani sayuran dataran tinggi di Rurukan dilakukan pada areal berlereng dengan cara menanam sayuran pada guludan yang memotong arah lereng. Cara berusahatani tersebut di atas telah menyebabkan terjadinya erosi karena pengolahan tanah akibat proses pembuatan guludan serta erosi akibat besarnya aliran permukaan. Penerapan teknologi produksi dengan penggunaan bahan kimia sintetis (pupuk dan pestisida) di wilayah ini relatif intens, sehingga dapat terjadi pemakaian berlebih yang mencemari produk sayur dan lahan serta menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan serta menjadi ancaman keberlanjutan usahatani sayur dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung komponen-komponen lingkungan dalam pembentukan rantai nilai sayuran dataran tinggi dari petani hingga ke pengecer. Pengumpulan data menggunakan metode survei dan “snowball”. Informasi tentang rantai pasok dan rantai nilai didapat dari petani kemudian ke pedagang pengumpul dan seterusnya sampai ke pedagang pengecer.
Proses produksi sayuran dataran tinggi pada dasarnya merupakan sebuah proses penciptaan nilai. Semua kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan sayur yang bermutu sesuai harapan konsumen merupakan rangkaian dari penciptaan nilai. Kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memenghasilkan sayur sekaligus menciptakan nilai sayur pada tingkat usahatani meliputi: penyediaan sarana produksi (benih, pupuk, dlsb), penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan, pemberantasan hama dan penyakit, dan panen. Pada tingkat perantarakegiatan yang ikut menciptakan nilai meliputi: panen, pengepakan, pengangkutan, pembelian dan penjualan. Komponen lingkungan yang paling berpengaruh pada pembentukan rantai nilai sayur berada di tingkat usahatani, yaitu: kegiatan penyiapan lahan, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Kegiatan-kegiatan penyiapan lahan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit dengan metode ramah lingkungan dalam jangka pendek menambah biaya produksi, dan menurunkan pendapatan petani sayur. Perlu diteliti lebih lanjut bagaimana dampaknya dalam jangka panjang khususnya bagi kualitas lingkungan dan pendapatan petani.
EKHL 011
Evaluasi Perubahan Hutan Mangrove di Delta Mahakam, Kalimantan Timur untuk
Pengelolaan Kawasan Pesisir. Nurul Ihsan Fawzi, Vina Nurul Husna* (Pusat
Hilangnya mangrove secara global mencapai 12% dari tahun 1975-2005, dengan luas yang tersisa sekarang 1,67 juta hektare. Penyebab utama deforestasi mangrove adalah untuk pertanian, tambak, dan wilayah perkotaan. Konversi mangrove menjadi tambak juga terjadi di Delta Mahakam dan menjadi penyebab utama deforestasi pada kawasan delta. Tujuan penelitian ini adalah memetakan zonasi mangrove dan mengevaluasi perubahan yang terjadi di Delta Mahakam. Penelitian ini menggunakan citra Landsat TM perekaman tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan citra Landsat OLI perekaman tahun 2015. Untuk menilai perubahan hutan mangrove, metode yang digunakan adalah metode subtraksi citra; dan untuk evaluasi perubahan yang terjadi digunakan analisis deskriftif kualitatif dan analisis SWOT untuk menghasilkan perencanaan pengelolaan yang sesuai. Interpretasi citra Landsat menghasilkan zonasi mangrove dengan formasi Avicennia sp. pada delta yang berbatasan dengan laut (berasosiasi dengan formasi Rhizophora sp.), formasi Nypa fruticans, gabungan Heriteira littoralis dan Oncosperma tigillarium sebagai zona transisi mangrove, hutan hujan tropis, tambak dan lahan terbuka. Akurasi pemetaan zonasi mangrove di Delta Mahakam untuk tahun 2015 adalah 94,1%. Mangrove yang terkonversi menjadi tambak pada tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan 2015 adalah 2%, 15,7%, 58,9%, 58,4%, dan 53,8%. Perubahan mangrove terbesar terjadi pada tahun 1997 – 2004, yaitu 40% mangrove di delta berubah menjadi tambak. Rumusan rencana pengelolaan kawasan pesisir Delta Mahakam dengan melibatkan faktor ekologis mangrove, ekonomi, dan masyarakat. Pengelolaan yang sesuai adalah menggunakan sistem integrasi mangrove pada tambak atau silvofisheries. Integrasi mangrove pada tambak termasuk bagian dari program rehabilitasi mangrove, karena dilakukan penanaman mangrove pada tambak untuk meningkatkan produktivitas tambak.
Untuk tahap awal, lokasi rehabilitasi direkomendasikan di 4 desa di Delta Mahakam dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan sumberdaya manusia, aksesibilitas dan pembibitan.
EKHL 012
Pergerakan Avifauna Langka di Kampus IPB Darmaga Menggunakan Fungsi Animal
Movements. Luluk Dwi Wulan Handayani, Setyo Pambudi Nugroho, Presti Ameliawati (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB; handayani.luluk@gmail.com )
Kampus IPB Darmaga dengan luas 257 ha merupakan daerah bekas hutan karet yang berada pada ketinggian 145-195 mdpl. Sekitar tahun 1980-an, sebagian besar areal kampus Darmaga masih tertutup oleh vegetasi, terutama pohon karet (Hevea brasiliensis), jeungjing (Albizia falcataria), kayu Afrika (Maesopsis eminii) dan pinus (Pinus merkusii) (Balen et al., 1986). Namun, saat ini areal yang bervegetasi semakin berkurang karena adanya kegiatan pembangunan kampus baru. Vegetasi yang masih ada di lingkungan kampus dijadikan habitat berbagai jenis hewan, diantaranya adalah burung-burung. Semakin berkurangnya areal vegetasi dikhawatirkan akan mengancam keberadaan populasi burung di lingkungan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui infomasi mengenai persebaran dan pergerakan burung (animal movements) yang ada di Kampus Darmaga IPB. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa pergerakan hewan atau satwa dapat diamati menggunakan model correlated random walk (CRW) dan jenis burung yang relatif melakukan pergerakan paling tinggi adalah Burung Madu sriganti.
EKHL 013
Studi Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan di Perairan Kota Balikpapan, Provinsi
Kalimantan Timur. M.Mukhlis Kamal, Luluk Dwi Wulan Handayani, Pungki Ari Wibowo* (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB; pungki.ari.w@gmail.com )
Perairan Kota Balikpapan merupakan daerah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang prospektif. Masyarakat nelayan Kota Balikpapan mayoritas masih mengandalkan perikanan tangkap, sedangkan kapasitas ruang dan volume ikan semakin berkurang. Kondisi tersebut disebabkan oleh kualitas perairan semakin menurun dan kerusakan ekosistem terus meningkat sehingga ketersediaan nutrien alam semakin terbatas dan akibatnya berdampak pada jumlah kelimpahan ikan. Di sisi lain menurut RTRW Provinsi Kalimantan Timur, Kota Balikpapan memiliki fungsi salah satunya sebagai pusat pengolahan Migas (RPJMD 2011-2031). Hal ini mengakibatkan tingginya aktivitas baik di pesisir maupun di perairan Kota Balikpapan sehingga kerusakan ekosistem tidak dapat dihindarkan. Dalam rangka mengurangi kerusakan dan menjaga ekosistem perairan khususnya komunitas ikan, maka perlu dilakukan studi keanekaragaman dan kelimpahan ikan di perairan Kota Balikpapan. Studi dilakukan dengan mengambil sampel ikan di tiga tiitk st asiun. Jumlah total individu ikan yang dipantau dari tiga stasiun pengamatan diperoleh 2.261 individu ikan dengan kisaran 20-28 jenis ikan yang termasuk ke dalam 18-22 famili. Ikan yang mendominasi adalah ikan rampa-rampa (Setipinna tenuifilis) dari famili Engraulidae. Struktur komunitas berbasis biomassa di antara ketiga stasiun Perairan Kota Balikpapan merupakan daerah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang prospektif. Masyarakat nelayan Kota Balikpapan mayoritas masih mengandalkan perikanan tangkap, sedangkan kapasitas ruang dan volume ikan semakin berkurang. Kondisi tersebut disebabkan oleh kualitas perairan semakin menurun dan kerusakan ekosistem terus meningkat sehingga ketersediaan nutrien alam semakin terbatas dan akibatnya berdampak pada jumlah kelimpahan ikan. Di sisi lain menurut RTRW Provinsi Kalimantan Timur, Kota Balikpapan memiliki fungsi salah satunya sebagai pusat pengolahan Migas (RPJMD 2011-2031). Hal ini mengakibatkan tingginya aktivitas baik di pesisir maupun di perairan Kota Balikpapan sehingga kerusakan ekosistem tidak dapat dihindarkan. Dalam rangka mengurangi kerusakan dan menjaga ekosistem perairan khususnya komunitas ikan, maka perlu dilakukan studi keanekaragaman dan kelimpahan ikan di perairan Kota Balikpapan. Studi dilakukan dengan mengambil sampel ikan di tiga tiitk st asiun. Jumlah total individu ikan yang dipantau dari tiga stasiun pengamatan diperoleh 2.261 individu ikan dengan kisaran 20-28 jenis ikan yang termasuk ke dalam 18-22 famili. Ikan yang mendominasi adalah ikan rampa-rampa (Setipinna tenuifilis) dari famili Engraulidae. Struktur komunitas berbasis biomassa di antara ketiga stasiun
EKHL 014
Estimasi Potensi Produksi Oksigen Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Kota Himba Kahui Kota Palangka Raya. Yetrie Ludang, Ajun Junaedi, Patricia Erosa Putir
(Jurusan/PS Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya; yludang@yahoo.com)
Penelitian ini bertujuan (a) mengetahui komposisi dan struktur vegetasi tingkat pohon, (b) menghitung estimasi simpanan biomassa, karbon dan serapan CO 2 vegetasi tingkat pohon, (c) menghitung estimasi produksi O 2 yang dihasilka n vegetasi tingkat pohon, (d) menganalisis kebutuhan O 2 yang diperlukan penduduk kota Palangka Raya dikaitkan dengan jumlah O 2 yang diproduksi vegetasi tingkat pohon. Lokasi penelitian di Hutan Kota Himba Kahui Kota Palangka Raya yang secara administrasi berada di wilayah Kelurahan Petuk Katimpun, Kelurahan Bukit Tunggal dan Kelurahan Palangka Kecamatan Jekan Raya serta Kelurahan Rungan Kecamatan Pahandut. Obyek yang diamati adalah vegetasi tingkat pohon (diameter batang ≥
20 cm) sedangkan estimasi perhitungan simpanan biomassa, karbon, serapan CO 2 dan potensi O 2 dengan metode non destructive menggunakan persamaan Krisnawati, et. al. (2012), SNI 7724 (2011) dan IPCC (2006). Hasil penelitian menunjukkan jumlah jenis vegetasi tingkat pohon yang dtemukan sebanyak 19 jenis dari 13 famili dan didominasi jenis pohon Perupuk (Lophopetalum multinervium) dengan Indeks Nilai Penting 36,65%. Kerapatan vegetasi paling tinggi didominasi oleh kelas diameter 25-29 cm (struktur horizontal) dan struktur vertikal didominasi
oleh kelas tinggi 13-15 m. Simpanan biomassa, karbon, serapan CO 2 dan potensi produksi O 2 vegetasi tingkat pohon masing-masing sebesar 39,58 ton/ha, 18,60 tonC/ha, 68,28 tonCO 2 /ha dan 49,84 tonO 2 /ha. Kebutuhan O 2 penduduk Kota Palangka Raya pada tahun 2014 sebesar 217,82 tonO 2 /hari atau 217.820 kgO 2 /hari dan dapat dipenuhi oleh O 2 yang diproduksi vegetasi tingkat pohon di Hutan Kota
Himba Kahui Kota Palangka Raya .
Kelembagaan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal dan regulasi
(KLR)
KLR 001
Quo Vadis Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus: Sengketa Antara Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Dengan Warga Desa Sidomulyo, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera
Selatan). Muhammad Syaifuddin*, Adrian Nugraha dan Ade Uswatun Hasanah (Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Kampus Fakultas Hukum Bukit Besar, Jl. Srijaya
Sumatera Selatan; msyaifuddinunsri73@gmail.com)
Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang murah dan cepat, seharusnya dapat menjadi solusi bagi sengketa perkebunan kelapa sawit. Namun begitu, terjadi quo vadis atau ketidakjelasan dalam praktiknya. Ketidakjelasan tersebut mengenai payung hukum atas kesepakatan yang dihasilkan oleh mediasi serta kekuatan memaksa bagi para pihak untuk taat dalam menjalankan hasil kesepakatan tersebut. Tidak hanya ketidakjelasan ditingkat masyarakat Desa Sidomulyo, tapi juga ketidakjelasan yang sama dialami oleh Pemerintah daerah Kabupaten Ogan komering Ilir, serta Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai salah satu pihak penting dalam sengketa. Tujuan penelitian ini untuk memberikan solusi dan arahan untuk mengatasi permasalahan ketidakjelasan tersebut. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosio-legal yang bermaksud melakukan penjelasan atas permasalahan yang diteliti dalam hubungannya dengan aspek- aspek hukum dan sosial serta mencoba menjelajahi realitas empirik dalam proses mediasi. Dari hasil penelitian ini, solusi yang coba ditawarkan adalah adanya suatu pengawasan, pendaftaran kesepakatan dan juga pendekatan kearifan lokal dalam proses pelaksanaan mediasi perkebunan
KLR 002