Humanisme Religius

3.2 Humanisme Religius

Pandangan humanisme berkembang menurut aliran-aliran yang beragam sesuai dengan kehendak orang yang memiliki kepentingan terhadap humanisme tersebut. Para pendukung Renaissance melahirkan paham humanisme Renaissance, pendukung aufklarung melahirkan paham humanisme aufklarung ‘pencerahan’. Kelompok sekulerisme mempropagandakan paham humanisme sekuler atau kemanusiaan tanpa agama dan Tuhan. Berlawanan dengan itu, kelompok masyarakat yang memandang bahwa keberadaan manusia tak dapat dipisahkan dengan Tuhan mengusung paham humanisme religius atau humanisme dengan aspek transendental (Ronidin, 2012:44 —45).

Suseno (2007:208 via Ronidin, 2012:45) menyebutkan bahwa humanisme sekuler adalah humanisme yang buruk karena mengingkari keterkaitan manusia dengan agama maupun Tuhan, sedangkan humanisme religius disebut sebagai humanisme yang baik karena menyadari bahwa hakikat manusia tidak dapat dipisahkan dari Tuhan.

Humanisme, baik sebagai gerakan maupun sebagai aliran pemikiran, menyimpan cita-cita dan usaha mendasar untuk menempatkan dan memperlakukan manusia secara lebih manusiawi. Ada proses humanisasi yang hendak diupayakan. Dalam proses inilah keberadaan agama menjadi pentang untuk direfleksikan, sebab Humanisme, baik sebagai gerakan maupun sebagai aliran pemikiran, menyimpan cita-cita dan usaha mendasar untuk menempatkan dan memperlakukan manusia secara lebih manusiawi. Ada proses humanisasi yang hendak diupayakan. Dalam proses inilah keberadaan agama menjadi pentang untuk direfleksikan, sebab

Kalangan humanisme religius meyakini bahwa manusia memiliki sifat dasar yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengembangkan segala potensinya. Dalam diri manusia terdapat dua naluri, naluri alamiah dan naluri ketuhanan. Keduanya saling mengisi dan tidak bertentangan, meskipun mengandung kontradiksi dan kadang kala manusia bertindak menentang dan melawan hal-hal yang telah digariskan dalam aturan agama (Amin, 2013:66).

Humanisme religius berlandaskan pada keyakinan dan nilai-nilai etik spiritual yang kokoh, bahwa setiap manusia harus diperlakukan sebagai manusia, dapat menyatukan manusia yang berbeda, baik perbedaan keyakinan dan pola kehidupan sosial, sebuah masyarakat yang melindungi martabat seluruh anggotanya karena manusia yang ada di dalamnya menjadi sasaran utama (Amin, 2013:77 —78).

Humanisme religius mengajarkan kepada manusia untuk berlaku adil antarsesama dan hidup damai di tengah kancah perbedaan. Kejahatan dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan, merupakan bentuk penodaan kesucian Tuhan, dirinya, agama dan para pemeluknya (Amin, 2013:78).

Humanisme religius adalah suatu pandangan yang didasarkan pada prinsip religiuisitas. Religiusitas merupakan perasaan keagamaan yang menyempurnakan kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan demikian, dalam pandangan humanisme religius dapat dikukuhkan bahwa kemanusiaan yang dimaksud adalah Humanisme religius adalah suatu pandangan yang didasarkan pada prinsip religiuisitas. Religiusitas merupakan perasaan keagamaan yang menyempurnakan kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan demikian, dalam pandangan humanisme religius dapat dikukuhkan bahwa kemanusiaan yang dimaksud adalah

Religiusitas masyarakat beriman haruslah mencerminkan keluhuran Tuhan dan merupakan cahaya terang dari pada-Nya. Bagi kaum humanisme religius, dimensi kemanusiaan dan dimensi religiusitas terintegrasi dalam sikap keberimanannya. Kedua dimensi tersebut tidak terpisahkan, seperti ikatan rantai yang saling mengikat satu dengan yang lainnya, saling kuat menguatkan. Dimensi religiusitas dibutuhkan manusia —sebagai makhluk yang tidak sempurna di hadapan Tuhan —untuk melengkapi unsur-unsur manusiawinya. Manusia tidak mungkin menemukan dirinya, tanpa terlebih dahulu menemukan Tuhannya, pencipta yang menjadi sumber keberadaannya. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan penyempurnaan nilai-nilai kemanusiaan (Ronidin, 2012:45 —46).

Dalam pandangan humanisme religius, setiap manusia adalah makhluk Tuhan yang harus dibela martabatnya, dihargai hak asasinya, dan dihormati eksistensinya (Jong, 2001:208). Martabat manusia hanya dapat dimengerti dan diakui dalam dimensinya yang paling mendalam apabila manusia itu beriman kepada Tuhan yang telah menciptakannya (Ronidin, 2012:46).

Dengan demikian, humanisme religius sebagai suatu pandangan dunia merupakan sebuah ideologi yang mengedepankan aspek-aspek kemanusiaan dan ketuhanan. Humanisme religius menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mencintai alam, menghargai hak dan asasi manusia, serta berlaku baik sesuai dengan etika dan norma-norma yang berlaku dalam agama maupun masyarakat.