Pandangan Dunia dalam Novel Puya ke Puya

PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG: ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK SKRIPSI

oleh: Nafisah 12/335051/SA/16543

PROGAM STUDI SASTRA INDONESIA DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2017

THE WORLDVIEW OF THE NOVEL PUYA KE PUYA BY FAISAL ODDANG:

A STUDY OF GENETIC STRUCTURALISM

UNDERGRADUATED THESIS

by: Nafisah 12/335051/SA/16543

INDONESIAN LITERATURE STUDY PROGRAM LANGUAGE AND LITERATURE DEPARTMENT FACULTY OF CULTURAL SCIENCE UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2017

“Anjalai tumbuah di munggu, sugi-sugi di rumpun padi. Supayo pandai rajin baguru, supayo tinggi naiakkan budi.”

Untuk ayah saya, Syamsuardi, dan mama saya, Yenni Martafia.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berj udul “Pandangan Dunia dalam Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang: Analisis Strukturalisme Genetik” ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S-1 pada Jurusan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Pujiharto, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia yang telah mengizinkan penulis untuk menulis skripsi ini, Bapak Dr. Aprinus Salam, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan dan masukannya dalam penulisan skripsi ini, dan Drs. Ariyanto, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama berkuliah di S1 UGM. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen, staf, dan rekan-rekan Program Studi Sastra Indonesia UGM yang telah banyak membantu dan berbagi ilmu selama penulis menjalani perkuliahan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua; Syamsuardi dan Yenni Martafia yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini, adik-adik; Muhammad

Farid, Atikah, dan Nazhifah yang selalu menumbuhkan semangat agar penulis dapat menjadi teladan yang baik bagi mereka, keluarga baru di kontrakan; Bu Parno, Pak Parno, Meilany Indriati, dan Devi Aprillia yang menemani hari-hari penulis menyelesaikan skripsi, dan Yayasan Karya Salemba Empat yang pernah memberikan bantuan finansial untuk kelancaran studi penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di SKM Bulaksumur, Rampoe UGM, khususnya Lana Nurani Nan Suci, Desra Israyana, Nun Afra Farhanggi, Sirajuddin Lathif, dan Yusuf Qardhawi Latua Silawane yang memberikan banyak pelajaran dan pengalaman berharga untuk penulis, KKN BTL-03 Subunit Pedak, SP2KM 2014, rekan bisnis di lapak Jagoan Buku Sastra; Achmad Muchtar dan Galih Pangestu Jati, dan rekan-rekan dari Raudhatul Jannah yang sama-sama sedang merantau di Yogyakarta.

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat untuk pembaca dan ilmu pengetahuan secara umum.

Yogyakarta, 26 Desember 2016

Nafisah

INTISARI

Penelitian ini bertujuan mengungkap pandangan dunia pengarang dalam novel Puya ke Puya. Puya ke Puya merupakan sebuah novel yang bercerita mengenai seorang hero problematik yang berjuang dalam dunianya yang terdegradasi di Toraja. Problematiknya sang hero ditunjukkan dari pertentangannya terhadap dua kubu besar di Toraja. Hadirnya hero problematik ini diduga sebagai sarana pengarang untuk menunjukkan keberpihakannya dan menyampaikan pandangan dunianya. Analisis novel ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Pandangan dunia menurut Goldmann merupakan mediasi antara struktur novel dengan struktur sosial. Goldmann mengukuhkan bahwa struktur novel berpusat pada relasi antartokoh dan tokoh dengan objek di sekelilingnya. Selain itu, kelompok sosial pengarang juga berpengaruh terhadap pandangan dunia yang dibawa pengarang dalam novel Puya ke Puya.

Strukturalisme genetik menurut Goldmann menganggap karya sastra sebagai sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan produk dari proses sejarah yang berlangsung terus menerus. Terdapat enam konsep dasar yang membangun teori strukturalisme genetik yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik. Metode dialektik menurut Goldmann mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak melingkar yang terus menerus, tanpa diketahui titik yang menjadi pangkal atau ujungnya.

Analisis terhadap struktur novel Puya ke Puya menunjukkan keberpihakan pengarang kepada modernisme, kesederhanaan, kanaah, cinta alam, seks normal, humanisme, amanah, dan kejujuran. Elemen-elemen ini juga berhomolog dengan struktur sosial pembangun novel Puya ke Puya. Elemen-elemen ini merujuk kepada satu ideologi yang merupakan pandangan dunia pengarang, yakni humanisme religius. Ideologi humanisme religius juga tergambar dari kelompok sosial pengarang. Nilai-nilai religiusitas didapat pengarang dari kehidupan masa kecilnya di Bugis, sedangkan ideologi humanisme bersentuhan dengan pengarang saat ia aktif di beberapa komunitas semasa kuliahnya dan selama proses kreatifnya menulis Puya ke Puya.

Kata kunci: struktur teks, pandangan dunia pengarang, kelompok sosial.

ABSTRACT

This study aims to reveal the worldview of the author of the novel Puya ke Puya . Puya ke Puya is a novel that tells the story about a problematic hero who fought in a world that is degraded in Toraja. The problematic hero is shown on the opposition to two major camps in Toraja. The presence of problematic hero is suspected as the author means to show his hand and expressed his worldview. The analysis was conducted using the novel approach of genetic structuralism Lucien Goldmann. View of the world according to Goldmann is mediating between the structure of the novel with a social structure. Goldmann confirmed that the structure of the novel is centered on the relationships between characters and characters with the objects around him. In addition, social groups authors also affect the worldview that brought the author in the novel Puya ke Puya.

Genetic structuralism according to Goldmann regard literature as a structure. However, the structure is not something static, but rather the product of a historical process that is ongoing. There are six basic concepts that build a theory of genetic structuralism, namely the fact of humanity, collective subject, structuration, worldview, understanding, and explanation. The method used in this study is the dialectical method. The dialectical method according to Goldmann never confirmed regarding their starting point is absolutely valid, no problems in the final and definitely solved. Therefore, in view of the mind never moves like a straight line. The process of achieving knowledge with the dialectical method into

a kind of continuous circular motion, unknown point into the base or tip. Analysis of the structure of the novel Puya ke Puya authors shows partiality

to modernism, simplicity, kanaah, love of nature, normal sex, humanism, trust, and honesty. These elements are also homologous with the social structure of the novel builders Puya ke Puya. These elements refer to an ideology which is the author's view of the world, namely the religious humanism. The ideology of religious humanism also envisaged social groups authors. The values obtained religiosity author of the life of his childhood in Bugis, whereas the ideology of humanism in contact with the author when he was active in several communities during lectures and during the process of creative writing Puya ke Puya.

Keywords: structure of the text, the author of a worldview, a social group.

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Sastra dapat ditempatkan sebagai salah satu superstruktur yang menjadi kekuatan reproduktif dari struktur sosial yang berdasarkan pembagian dan relasi sosial secara ekonomis. Sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pertentangan antarkelas di dalam masyarakat, dapat sebagai kekuatan konservatif yang berusaha mempertahankan struktur sosial yang berlaku atau sebagai kekuatan progresif yang berusaha merombak struktur tersebut (Marx dalam Faruk, 2010:52 —53).

Salah satu jenis karya sastra adalah novel. Menurut Goldmann (Faruk, 2010:74), novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia. Keterpecahan itulah yang menyebabkan dunia dan sang hero menjadi sama-sama terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai otentik yang berupa totalitas. Keterpecahan itu pulalah yang membuat sang hero menjadi problematik.

Puya ke Puya, merupakan sebuah novel yang bercerita mengenai hero problematik yang berjuang di dunianya yang terdegradasi di Toraja. Dalam novel Puya ke Puya, nilai-nilai otentik yang menghasratkan totalitas, kesatuan harmonis antara manusia dengan sesama dan dengan dunia sekitarnya itu tersirat secara implisit di balik kisah mengenai perjuangan sang hero menolak pelaksanaan nilai- nilai tradisional yang hedonis. Penolakan sang hero ini akhirnya runtuh sebab ia Puya ke Puya, merupakan sebuah novel yang bercerita mengenai hero problematik yang berjuang di dunianya yang terdegradasi di Toraja. Dalam novel Puya ke Puya, nilai-nilai otentik yang menghasratkan totalitas, kesatuan harmonis antara manusia dengan sesama dan dengan dunia sekitarnya itu tersirat secara implisit di balik kisah mengenai perjuangan sang hero menolak pelaksanaan nilai- nilai tradisional yang hedonis. Penolakan sang hero ini akhirnya runtuh sebab ia

Puya ke Puya ditulis oleh Faisal Oddang. Sebelum menerbitkan Puya ke Puya , cerpen Faisal Oddang yang berjudul “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon” terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas tahun 2014. Pada tahun yang sama, ia dinobatkan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo atas novelnya Puya ke Puya. Faisal Oddang lahir di Wajo, 18 September 1994. Ia menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Faisal pernah mendapatkan penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah Thailand. Ia juga pernah diundang ke Ubud Writers and Readers Festival 2014, Makassar International Writers Festival 2015, Salihara International Literary Biennale 2015, dan pada tahun 2016, ia terpilih untuk mengikuti residensi penulis ke Leiden.

Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media di antaranya Kompas, Berita Kata Kendari , Harian Fajar Makassar, Radar Banjarmasin, dan lain-lain. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, ia juga menjuarai berbagai perlombaan menulis di antaranya Juara III Lomba Puisi Nasional Kamenparekraf, Juara II Lomba Puisi dan Juara II Lomba Cerpen Nasional Writing Revolution 2013, Juara

Favorit Lomba Menulis Cerpen Nasional PT. Rohto, dan Juara 1 Lomba Puisi Nasional Bulan Bahasa UGM 2014.

Beberapa karya Faisal yang sudah terbit di antaranya Rain and Tears (Divapress, 2013), Antologi Puisi Merentang Pelukan (Motion, 2012), Antologi Puisi Wasiat Cinta (Nala Cipta Litera, 2013), Antologi Cerpen Dunia di Dalam Mata (Motion, 2013), Antologi Cerpen Cerita Horor Kota (Plotpoint, 2013), Antologi Cerpen Kisah dari Rumah Kambira (Smartwriting, 2013), dan Pertanyaan kepada Kenangan (Gagasmedia, 2016).

Puya ke Puya merupakan pemenang keempat Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Sayembara Novel yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini telah berlangsung sejak tahun 1974 dengan nama Sayembara Mengarang Roman. Setelah sempat vakum beberapa tahun, lalu diadakan lagi pada tahun 1997. Selanjutnya, sejak tahun 2006, sayembara ini diadakan dua tahun sekali, yakni setiap tahun genap.

Novel Puya ke Puya dipilih sebagai objek material penelitian untuk melihat pandangan dunia Faisal Oddang. Cerita-cerita mengenai perjuangan hero untuk menemukan nilai otentik yang tercitra dari relasi antartokoh dan tokoh dengan objek di sekelilingnya menjadi struktur penting untuk melihat pandangan dunia Faisal Oddang. Selain itu, pandangan dunia juga difungsikan sebagai mediasi untuk melihat struktur sosial yang membangun terciptanya Puya ke Puya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.

1. Struktur novel Puya ke Puya dan struktur sosial.

2. Pandangan dunia Faisal Oddang dalam novel Puya ke Puya.

3. Kelompok sosial pengarang.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan di atas sebagai berikut.

1. Menjelaskan struktur novel Puya ke Puya dan struktur sosialnya.

2. Mengetahui pandangan dunia Faisal Oddang dalam novel Puya ke Puya.

3. Menjelaskan kelompok sosial pengarang.

4. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan penulis, penelitian terhadap novel Puya ke Puya pernah dilakukan oleh Betta Anugrah Setiani dari Universitas

Negeri Jakarta. Tesis yang berjudul “Resistensi terhadap Kapitalisme dalam Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang” ini diterbitkan pada tahun 2016. Penelitian ini berfokus pada praksis-praksis kapitalisme serta resistensi terhadap praksis kapitalisme tersebut di dalam novel Puya ke Puya. Dalam penelitian ini, ditemukan tiga puluh data bentuk kapitalisme dalam novel Puya ke Puya dan enam puluh data resistensi terhadap kapitalisme.

Adapun penelitian menggunakan teori strukturalisme genetik juga sudah pernah dilakukan sebagai berikut. Pertama , skripsi berjudul “Pandangan Dunia Seno Gumira Ajidarma dalam Novel Jazz, Parfum, dan Insiden: Analisis Strukturalisme Genetik” ditulis oleh Yuliana Ratnasari (2015). Hasil penelitian ini me mperlihatkan relasi tokoh “Aku” dengan objek dan tokoh lain di sekitarnya berada dalam kondisi terdegradasi. Melalui relasi tersebut, ia menjalani totalitas hidup karena kondisi degradasi menjadi upayanya dalam menemukan nilai-nilai otentik berupa persamaan hak dan kebebasan. Nilai otentik tersebut merupakan substansi ideologi demokratisme yang diekspresikan pengarang. Pandangan demokratisme ini mendasari pemikiran Seno sebagai kelas menengah untuk memperjuangkan kebebasan berpendapat masyarakat yang terbelenggu.

Kedua, skripsi berjudul “Cerpen ‘Mudik Lebaran dan Rigenomics’ karya Umar Kayam: Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann” (2015) ditulis oleh Raden Rara Saraswati Husadaningtyas. Dalam penelitian ini, diangkat tiga masalah yakni fakta kemanusiaan, pandangan dunia pengarang, dan subjek kolektif dalam cerpen “Mudik Lebaran dan Rigenomics”. Penelitian ini menemukan tiga fakta kemanusiaan dalam cerpen tersebut, yakni fakta kemanusiaan tokoh dalam aktivitas sosial, fakta kemanusiaan tokoh dalam aktivitas budaya, dan fakta kemanusiaan tokoh dalam aktivitas ekonomi. Selanjutnya, ditemukan homologi antara struktur karya sastra dengan struktur sosialnya yang dimediasi oleh pandangan dunia pengarang. Dalam cerpen tersebut, pandangan dunia pengarang adalah pandangan yang dibawa oleh pengarang dan kelompok sosialnya. Sosialis Kedua, skripsi berjudul “Cerpen ‘Mudik Lebaran dan Rigenomics’ karya Umar Kayam: Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann” (2015) ditulis oleh Raden Rara Saraswati Husadaningtyas. Dalam penelitian ini, diangkat tiga masalah yakni fakta kemanusiaan, pandangan dunia pengarang, dan subjek kolektif dalam cerpen “Mudik Lebaran dan Rigenomics”. Penelitian ini menemukan tiga fakta kemanusiaan dalam cerpen tersebut, yakni fakta kemanusiaan tokoh dalam aktivitas sosial, fakta kemanusiaan tokoh dalam aktivitas budaya, dan fakta kemanusiaan tokoh dalam aktivitas ekonomi. Selanjutnya, ditemukan homologi antara struktur karya sastra dengan struktur sosialnya yang dimediasi oleh pandangan dunia pengarang. Dalam cerpen tersebut, pandangan dunia pengarang adalah pandangan yang dibawa oleh pengarang dan kelompok sosialnya. Sosialis

Ketiga , skripsi berjudul “Pandangan Dunia Natsume Sooseki dalam Novel Sorekara : Analisis Strukturalisme Genetik” ditulis oleh Pristian Wulanita dari Jurusan Sastra Jepang, Universitas Gadjah Mada (2012). Penelitian ini menjelaskan bahwa modernisasi yang terjadi di Jepang memberikan dampak kepada masyarakat. Modernisasi membawa nilai baru pada generasi muda, sedangkan generasi tua masih mempertahankan nilai lama. Nasionalisme kultural menurut Sooseki, perlu mengambil nilai positif barat khususnya dalam bidang sastra tanpa meninggalkan nilai asli Jepang.

Keempat , tesis berjudu l “Pandangan Dunia dalam Novel Ketika Cinta Tak Mau Pergi karya Nadhira Khalid: Kajian Strukturalisme Genetik” yang ditulis oleh Nurul Wazni dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tesis yang dikeluarkan pada tahun 2016 ini menunjukkan bahwa struktur novel Ketika Cinta Tak Mau Pergi mencerminkan tokoh hero yang mengalami problematika cinta di dunia yang terdegradasi di Lombok. Selain itu, juga adanya homologi antara struktur novel Ketika Cinta Tak Mau Pergi dengan struktur sosialnya, yaitu Lombok pada tahun 70-an yang dimediasi oleh pandangan dunia pengarang. Dalam novel tersebut, pandangan dunia pengarang adalah pandangan yang dibawa oleh pengarang dan kelompok sosialnya. Nadhira Khalid tergabung dalam kelompok penulis Forum Lingkar Pena yang karya-karyanya bertema hubungan cinta dan nilai moral yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Humanisme religius adalah pandangan dunia yang ditemukan dalam novel tersebut.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka penelitian terhadap novel Puya ke Puya untuk menemukan pandangan dunia pengarangnya dengan menggunakan tinjauan strukturalisme genetik dapat dilakukan.

5. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik menurut Goldmann menganggap karya sastra sebagai sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan produk dari proses sejarah yang berlangsung terus menerus. Terdapat enam konsep dasar yang membangun teori strukturalisme genetik yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan (Faruk, 2010:56).

Fakta kemanusiaan merupakan landasan ontologis dari strukturalisme genetik. Fakta tersebut adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta kemanusiaan itu pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Goldmann menganggap semua fakta kemanusiaan tersebut merupakan suatu struktur yang berarti. Oleh karena itu, pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan struktur dan artinya. Dengan kata lain, semua unsur yang mendukung aktivitas yang menjadi fakta kemanusiaan itu terarah kepada tercapainya tujuan yang dimaksud (Faruk, 2010:57).

Adapun tujuan yang menjadi arti dari fakta-fakta kemanusiaan itu sendiri tumbuh sebagai respons dari subjek kolektif ataupun individual terhadap situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (Goldmann dalam Faruk, 2010:58).

Bagi strukturalisme genetik, karya sastra hidup dalam dan menjadi bagian dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus. Dalam menghadapi kendala di kehidupannya, seseorang tidak hanya berusaha melakukan asimilasi terhadap lingkungan sekitarnya, melainkan juga mengakomodasikan dirinya pada struktur lingkungan tersebut. Karya sastra pada dasarnya adalah aktivitas strukturasi yang dimotivasi oleh adanya keinginan dari subjek karya sastra untuk membangun keseimbangan dalam hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya (Faruk, 2010:61).

Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek individual merupakan subjek fakta individual, sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial. Contoh fakta sosial adalah revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya- karya kultural yang besar. Individu dengan dorongan libidonya tidak akan mampu menciptakannya. Yang dapat menciptakannya hanya subjek trans-individual. Subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas. Subjek yang demikian juga menjadi subjek karya sastra yang besar sebab karya sastra semacam itu merupakan Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek individual merupakan subjek fakta individual, sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial. Contoh fakta sosial adalah revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya- karya kultural yang besar. Individu dengan dorongan libidonya tidak akan mampu menciptakannya. Yang dapat menciptakannya hanya subjek trans-individual. Subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas. Subjek yang demikian juga menjadi subjek karya sastra yang besar sebab karya sastra semacam itu merupakan

Goldmann (via Faruk, 2010:64 —65) percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Konsep homologi berbeda dengan refleksi. Dalam konsep refleksi, karya sastra dianggap sebagai cerminan masyarakat, berarti bangunan dunia imajiner yang tercitrakan di dalam karya sastra identik dengan dunia yang terdapat di dalam kenyataan. Akan tetapi, dengan konsep homologi, hubungan antara bangunan dunia imajiner di dalam karya sastra yang berbeda dengan bangunan dunia nyata, dapat ditemukan dan dipahami. Dalam konsep homologi, kesamaan antara bangunan dunia dalam karya sastra dengan dunia dalam kehidupan nyata bukanlah kesamaan yang substansial, melainkan struktural. Artinya, meskipun isi karya sastra berbeda dengan kehidupan, tetapi strukturnya sama.

Dalam strukturalisme genetik, kesejajaran struktural antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat tidak bersifat langsung. Struktur karya sastra tidak terutama homolog dengan struktur masyarakat, melainkan homolog dengan pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu. Pandangan dunia itulah yang berhubungan langsung dengan struktur masyarakat. Kondisi struktural masyarakat dapat membuat suatu kelas yang ada dalam posisi tertentu dalam masyarakat itu membuahkan dan mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas (Faruk, 2010:65).

Dalam strukturalisme genetik, konsep struktur karya sastranya berbeda dengan struktur yang umum dikenal. Dalam esainya yang berjudul “The Epistemology of Sociology” (via Faruk, 2010:71), Goldmann mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.

Dari kedua pendapatnya itu jelas bahwa Goldman mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya (Faruk, 2010:72).

Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann tersebut tampak pula pada konsepnya mengenai novel. Novel menurut Goldmann adalah cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi. pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Nilai- nilai otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel. Nilai-nilai otentik itu hanya dapat dilihat dari kecenderungan terdegradasinya dunia dan problematiknya sang hero. Nilai-nilai itu berbentuk konseptual dan abstrak, yang hanya ada dalam kesadaran pengarang (Faruk, 2010:73 —74).

Konsep struktur sosial strukturalisme genetik, didasarkan pada teori sosial Marxis. Dunia sosial dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu dipelihara dan dipertahankan bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai Konsep struktur sosial strukturalisme genetik, didasarkan pada teori sosial Marxis. Dunia sosial dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu dipelihara dan dipertahankan bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai

Selanjutnya, pandangan dunia menurut Goldmann (via Faruk, 2010:65 —

66) adalah kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok- kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, pandangan dunia, bagi strukturalisme-genetik, tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada, melainkan juga merupakan semacam cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota yang lain dalam kelas yang sama dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial yang lain.

Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Oleh karena merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya, pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba (Faruk, 2010:67).

Menurut strukturalisme genetik, pandangan dunia merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak semua orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Kesadaran yang Menurut strukturalisme genetik, pandangan dunia merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak semua orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Kesadaran yang

Pandangan dunia itu adalah sebuah pandangan dengan koherensi menyeluruh, merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai manusia, hubungan antar-manusia, dan alam semesta secara keseluruhan. Koherensi dan keterpaduan tersebut tentu saja menjadi niscaya karena pandangan dunia tersebut dibangun dalam perspektif sebuah kelompok masyarakat yang berada pada posisi tertentu dalam struktur sosial secara keseluruhan, merupakan respons kelompok masyarakat terhadap lingkungan sosial yang juga tertentu.... Seluruh alam semesta, yang natural maupun supernatural, seluruh aktivitas manusia, dari aktivitas sosial, verbal, sampai dengan aktivitas fisikal, dibingkai oleh dua oposisi antara dua konsep dasar yaitu oposisi antara yang halus dengan yang kasar (Faruk, 2010:71).

6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik yang dikemukakan Lucien Goldmann. Metode dialektik bermula dan berakhir pada teks sastra dengan mempertimbangkan koherensi strukturalnya. Metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yakni “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan”. Pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Faruk, 2010:78 — 79).

Metode dialektik menurut Goldmann (via Faruk, 2010:77) mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih, tidak adanya

persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak melingkar yang terus menerus, tanpa diketahui titik yang menjadi pangkal atau ujungnya.

Adapun langkah-langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek material penelitian, yaitu novel Puya ke Puya yang ditulis oleh Faisal Oddang dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2015.

2. Melakukan pembacaan berulang untuk menemukan struktur teks berupa kutipan-kutipan yang memperlihatkan relasi antar tokoh, tokoh dengan objek di sekelilingnya, dan relasi-relasi oposisional lainnya yang tersirat dalam novel Puya ke Puya.

3. Memformulasikan pandangan dunia pengarang dan memfungsikannya sebagai mediasi untuk melihat struktur sosial yang membangun terciptanya novel Puya ke Puya.

4. Mengumpulkan data-data sekunder dari sumber kepustakaan lain yang mendukung penelitian.

5. Menganalisis objek penelitian dengan menggunakan teori strukturalisme genetik dan metode dialektik yang terkandung dalam teori ini. Adapun langkah-langkah analisis data dapat dirumuskan sebagai berikut.

a. Menganalisis struktur teks novel Puya ke Puya dengan mengungkapkan relasi strukturnya sebagai sebuah kesatuan.

b. Mengungkapkan dan memformulasikan pandangan dunia pengarang dalam novel Puya ke Puya. Pandangan dunia dibangun berdasarkan pemahaman menyeluruh terhadap struktur teks dan struktur sosial yang membangun terciptanya novel Puya ke Puya.

c. Mencari kelompok sosial pengarang.

d. Penarikan kesimpulan.

7. Sistematika Laporan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua berisi struktur novel Puya ke Puya dan struktur sosial. Bab ketiga berisi pandangan dunia Faisal Oddang dalam novel Puya ke Puya. Bab keempat berisi kelompok sosial pengarang. Bab kelima berisi kesimpulan.

BAB II STRUKTUR NOVEL PUYA KE PUYA DAN STRUKTUR SOSIAL

Strukturalisme genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural. Konsep struktur karya sastra yang dekat dengan konsep struktur menurut strukturalisme genetik adalah strukturalisme Levi’Strauss. Konsep struktur menurut Levi’Strauss ini berpusat pada konsep oposisi biner. Levi’Strauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas prinsip dasar binarisme, terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu dimungkinkan pula adanya satuan antara yang berada di antara keduanya sebagaimana telaah strukturalisme genetik terhadap karya-karya filsafat Pascal dan drama Racine yang memperlihatkan kecenderungan demikian (Faruk, 2012:163 —164).

Goldmann (dalam Faruk, 2010:71 —72) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Dalam usaha mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh- tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Dari pendapatnya ini, jelas bahwa Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya.

Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann terlihat pula pada konsepnya mengenai novel. Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian ini dilakukan oleh seorang hero yang problematik (Faruk, 2010:73). Dalam novel Puya ke Puya, terdapat tokoh hero problematik bernama Allu yang sedang berjuang dalam dunianya yang terdegradasi di Toraja. Allu berusaha mencari nilai-nilai otentik melalui interaksi dengan manusia-manusia dan dunia di sekitarnya.

Relasi-relasi yang terjalin antara Allu dengan tokoh lain serta objek lain di sekitarnya ini, merupakan sarana pengarang untuk menyampaikan pandangan dunianya. Berikut adalah penjelasan relasi antara tokoh Allu dengan tokoh lain, serta objek-objek di sekelilingnya dan relasi-relasi oposisional yang terbentuk dalam novel Puya ke Puya.

2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tokoh Lain

Dalam menjalin relasi dengan tokoh-tokoh lain di sekelilingnya, tokoh hero memiliki oposisi dengan dua kelompok besar dalam lingkungannya. Pertama, oposisi terjadi antara tokoh hero dengan kerabat-kerabatnya. Oposisi ini terbentuk karena perbedaan pandangan tokoh hero dengan kerabatnya perihal penyelenggaraan rambu solo untuk kematian Rante Ralla. Tokoh hero menentang penyelenggaraan rambu solo karena ia menolak pemertahanan nilai-nilai tradisional yang sudah tidak relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Bagi tokoh hero, upacara rambu solo yang harus diselenggarakan secara mewah, hanya Dalam menjalin relasi dengan tokoh-tokoh lain di sekelilingnya, tokoh hero memiliki oposisi dengan dua kelompok besar dalam lingkungannya. Pertama, oposisi terjadi antara tokoh hero dengan kerabat-kerabatnya. Oposisi ini terbentuk karena perbedaan pandangan tokoh hero dengan kerabatnya perihal penyelenggaraan rambu solo untuk kematian Rante Ralla. Tokoh hero menentang penyelenggaraan rambu solo karena ia menolak pemertahanan nilai-nilai tradisional yang sudah tidak relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Bagi tokoh hero, upacara rambu solo yang harus diselenggarakan secara mewah, hanya

2.1.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kerabat-Kerabatnya

2.1.1.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Rante Ralla

Relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Rante Ralla merupakan relasi ayah dan anak. Rante Ralla merupakan seorang penuluan (petinggi) adat Toraja, khususnya di Kampung Kete’. Posisi penuluan di Toraja lebih tinggi dari posisi pejabat desa. Pejabat desa juga segan terhadap Rante Ralla.

Secara umum, relasi yang terbangun antara Rante Ralla dengan Allu adalah relasi pertentangan. Rante merupakan tokoh yang memegang teguh adat istiadat Toraja, ditambah lagi ia merupakan seorang penuluan adat. Semasa hidupnya, Rante rela melakukan apa saja untuk menolong kaum yang dipimpinnya. Misalnya ketika kaumnya ingin melaksanakan rambu solo, tetapi dananya tidak cukup, maka secara suka rela Rante menjual tanahnya untuk dijadikan biaya rambu solo kaumnya. Hingga menjelang akhir hayatnya, tanah warisan Rante yang tersisa hanyalah tongkonan yang kala itu dihuninya bersama keluarganya.

Di sisi lain, Allu merupakan anak muda yang berpikiran lebih modern dan praktis. Ia menolak pelaksanaan adat istiadat yang memberatkan dan sudah tidak relevan dengan zamannya. Allu menginginkan agar masyarakat Toraja lebih terbuka terhadap perkembangan zaman. Baginya, pelaksanaan ritual-ritual adat dengan cara yang mewah itu hanya memberatkan masyarakat Toraja, terlebih lagi bagi orang-orang yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah.

Pertentangan pendapat antara Allu dan Rante Ralla perihal pelaksanaan rambu solo dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Allu, kau mengerti aluk kan, Nak? Aku bertanya sambil mengusap pundaknya. Kugunakan kata ‘aluk’ bukan ‘adat’ meski artinya sama, karena aku ingin mengingatkan bahwa segalanya akan kembali kepada kepercayaan yang mentradisi.

“Mengerti,” timpalnya. “Tapi saya juga tidak sepakat jika adat atau aluk , atau apalah namanya itu membebani. Bukankah adat tidak boleh kaku. Batu saja bisa dipahat, masa iya adat harus terus menjadi bongkahan batu, Ambe?”

Aku paham isi kepala Allu. Namun dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang tengah dipikirkannya.

“Baik, Nak.” Aku dengan tenang menjawabnya. “Aluk tidak boleh kaku, itu kalau kau melihatnya dari kacamatamu. Tapi kau harus mengerti, kau baru sempurna menilai kerbau kalau melihatnya dari banyak sisi. Kau lihatlah berat badan, bentuk tanduk, motif, dan banyak lagi. Jangan kau lihat

dari satu mata saja.” Allu diam. “O iya, Nak,” aku melanjutkan, “soal biaya, itu yang kau takutkan?

Itu memang ada benarnya bila dilihat dari satu sisi.” Lagi dan lagi kutegaskan agar ia menilai tidak seperti menebang pohon dengan bilah

bambu. Sekalipun tajam, tajamnya bukan pada peruntukan. “Cobalah kau lihat nilai yang selama ini kujaga. Kebersamaan, gotong royong, dan yang paling penting tanggung jawab. Ingat, tanggung jawab! (Oddang, 2015:5).

Dari kutipan di atas, tampak bahwa pengarang berada pada posisi di tengah- tengah antara Allu dan Rante Ralla. Pengarang membenarkan bahwasanya pelaksanaan ritual adat memang memberatkan masyarakat Toraja sehingga disarankan agar adat tersebut tidak boleh kaku, tetapi di balik itu semua, ada nilai- nilai yang sebenarnya harus dipahami yakni nilai tentang kebersamaan, gotong royong, dan pelaksanaan tanggung jawab. Pertentangan antara Allu dan Rante Ralla dapat dilihat dalam bagan berikut.

Allu Rante Ralla

2.1.1.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tina Ralla

Relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Tina Ralla adalah relasi ibu dan anak. Tina merupakan perempuan yang juga memegang teguh nilai-nilai tradisional Toraja seperti suaminya. Tina bekerja sebagai penenun. Akan tetapi, keperluan biaya untuk melaksanakan upacara rambu solo tidak dapat dipenuhi dari uang hasil penjualan tenunnya. Oleh karena itu, Allu bersikukuh untuk mengajak Tina pindah ke Makassar dan menyelenggarakan kematian Rante Ralla secara sederhana sesuai ajaran Kristen.

Keputusan-keputusan yang diambil Allu sering kali membuat Tina kecewa. Pertama, keputusannya untuk menguburkan Rante Ralla di Makassar sesuai ajaran Kristen. Kedua, keputusannya untuk segera menikahi Malena seperti dalam kutipan berikut.

“Kau seharusnya mengerti aluk di usia kau yang sekarang, Allu,” Indo mengucapkan dengan bergumam. Saya tahu ia tidak ingin didengarkan oleh Ambe. Saya belum paham, adat macam apa yang saya tidak mengerti.

“Soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan dan soal pemakaman, sungguh kau seharusnya sudah mengerti. Di dalam sebuah tongkonan, tidak baik digelar rambu tuka —upacara kesenangan macam pernikahan sebelum digelar rambu solo sebagai upacara kesedihan. Itu jika masih ada mayat di dalam tongkonan. Dan tentu kau tahu sendiri, ambemu bahkan belum diputu skan rencana pemakamannya.” (Oddang, 2015:99).

Dalam kasus ini, Tina menentang Allu secara keras. Ia melarang Allu melaksanakan upacara perkawinan sebelum mengadakan upacara kematian Rante Ralla. Oleh karena itu, Allu mengalah. Ia menuruti permintaan Tina dengan akhirnya bersedia melaksanakan upacara rambu solo dengan tingkatan tertinggi. Untuk mencukupi biaya rambu solo dan upacara perkawinannya, Allu melakukan berbagai hal yang membuat Tina lagi-lagi marah. Allu diam-diam menjual tongkonan yang selama ini juga dipertahankannya. Selain itu, Allu mencuri mayat- mayat bayi yang ada di makam passiliran dan menjualnya kepada Mr. Berth untuk dijadikan tumbal demi kelancaran perusahaan tambang nikelnya. Rangkaian perbuatan jahat yang dilakukan Allu ini membuat Tina kecewa. Akan tetapi, pada akhirnya Allu menyesali kebodohannya dan mengecam orang-orang tambang yang melakukan tipu muslihat kepadanya sehingga ia terjebak dan terpaksa melakukan Dalam kasus ini, Tina menentang Allu secara keras. Ia melarang Allu melaksanakan upacara perkawinan sebelum mengadakan upacara kematian Rante Ralla. Oleh karena itu, Allu mengalah. Ia menuruti permintaan Tina dengan akhirnya bersedia melaksanakan upacara rambu solo dengan tingkatan tertinggi. Untuk mencukupi biaya rambu solo dan upacara perkawinannya, Allu melakukan berbagai hal yang membuat Tina lagi-lagi marah. Allu diam-diam menjual tongkonan yang selama ini juga dipertahankannya. Selain itu, Allu mencuri mayat- mayat bayi yang ada di makam passiliran dan menjualnya kepada Mr. Berth untuk dijadikan tumbal demi kelancaran perusahaan tambang nikelnya. Rangkaian perbuatan jahat yang dilakukan Allu ini membuat Tina kecewa. Akan tetapi, pada akhirnya Allu menyesali kebodohannya dan mengecam orang-orang tambang yang melakukan tipu muslihat kepadanya sehingga ia terjebak dan terpaksa melakukan

Relasi-relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Tina di atas menunjukkan bahwa pengarang berusaha menyampaikan pandangannya tentang norma-norma yang seharusnya dipatuhi oleh manusia. Ketika keinginan seseorang tidak dapat diterima oleh lingkungannya, maka ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selain itu, manusia yang berbuat keji seperti berbohong, mencuri, membunuh, dan sebagainya, pada akhirnya akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri. Sebagai hukuman teringan, ia akan dikucilkan, tidak dipercayai lagi, atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat sekitarnya.

Allu Tina Ralla

Modernisme

Tradisionalisme

2.1.1.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Marthen Ralla

Kemarahan Marthen Ralla kepada tokoh hero terjadi ketika tokoh hero menyampaikan keinginannya di rapat tongkonan untuk menguburkan Rante Ralla di Makassar. Saat itu, nyaris terjadi pertumpahan darah karena Marthen mengayunkan parangnya kepada Allu, tetapi ada kerabat yang sigap menahan lengan Marthen.

Menurut tokoh hero, sejak kericuhan pembagian harta warisan keluarganya, Marthen adalah seseorang yang gila harta. Selain itu, Marthen juga beberapa kali ikut membujuk Allu agar mau menjual tanah tongkonan-nya kepada orang tambang. Allu heran melihat kelakuan pamannya itu. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, tipu daya seperti apa, atau bayaran yang seberapa banyak yang diberikan oleh orang tambang sehingga Marthen juga ikut-ikutan mendesaknya untuk menjual tanah tongkonan kepada orang tambang.

Saya tahu ia tertohok, Paman Marthen tiba-tiba saja mematikan teleponnya. Saya tahu apa yang tengah diinginkannya. Ia ingin mengorbankan tongkonan kami, tanah kami, sejarah kami, dan warisan kami untuk dijadikan milik perusahaan tambang. Betapa saya tidak sampai berpikir tentang isi kepala Paman. Barangkali ia tidak membayangkan ketika alat berat kelak merobohkan tongkonan, meratakan tanah kami lalu membuat jalan untuk akses kendaraan-kendaraan penambang. Ah, dada saya sesak, saya membayangkan bagaimana Ambe berjuang. Uangnya banyak, uangnya banyak. Kata-kata Paman berkelebat. Sialan sekali dia, saya ingin merontokkan giginya yang sudah tidak sempurna dan rumpang di tengah itu. Seenaknya ingin menjual tongkonan kami. Sialan dia, saya ingin memukulnya demi Ambe (Oddang, 2015:37).

Setelah didesak berkali-kali, akhirnya Allu berani untuk membentak Marthen Ralla. Ia dengan lugas menyuruh Marthen Ralla untuk menyimpan uang pemberian orang tambang seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Ini urusan saya, tongkonan kami, sekarang saya yang memimpinnya. Tak usahlah kau campuri itu, Paman. Sekali lagi, simpanlah

uang bos kau itu, Paman. Cukup!” Saya mematikan telepon dan tentu tanpa salam basa-basi atau sikap

sok manis. Paman Marthen telah berlebihan mencampuri urusan keluarga kami. Dasar budak kapitalisme, susu perah. Perlu baca Karl Marx si Marthen itu. (Oddang, 2015:49 —50).

Relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Marthen Ralla menunjukkan bahwa keserakahan manusia akan harta membuatnya luput terhadap tanggung jawab sosial yang diembannya. Jika sudah teperdaya oleh harta benda, manusia rela melakukan apa pun untuk mencapai keinginannya.

Allu Marthen Ralla

2.1.1.4 Relasi antara Tokoh Hero dengan Mori Ralla

Tokoh hero dan Mori Ralla memiliki hubungan sebagai tante dan kemenakan. Relasi yang terjadi antara tokoh hero dengan Mori Ralla, sama seperti relasinya dengan kerabat-kerabatnya yang lain, yakni relasi pertentangan. Mori Ralla mendukung kakaknya, Marthen Ralla, untuk menentang Allu saat rapat mengenai penyelenggaraan kematian Rante Ralla. Mori Ralla geram ketika Allu menolak keinginan kerabat-kerabatnya untuk menyelenggarakan rambu solo seperti dalam kutipan berikut.

“Jelas apanya?” Tante Mori sudah tampak geram, mukanya merah. “Kau mau bikin malu keluarga?”

“Lebih malu mana ketika saya dan Indo berutang ke mana-mana hanya karena keinginanmu, Tante?”

“Ini keinginan kami,” kata Tante Mori sambil menyebar pandangan ke peserta rapat. Tak ada yang membantah, dan itu berarti: benar, keputusan peserta rapat selain saya adalah mengupacarakan Ambe selayaknya bangsawan dan pemimpin adat pada umumnya, mewah.

“Saya tidak ingin!” “Alasanmu?” “Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu

dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak, dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian p ertahankan.” (Oddang, 2015:19 —20).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk menyampaikan pandangan yang berbeda dengan nilai-nilai yang sudah tertanam di masyarakat, dibutuhkan keberanian. Logika-logika rasional yang mendukung penjelasan atas pandangan tersebut, juga perlu dipaparkan agar masyarakat dapat memahami pandangan baru tersebut. Akan tetapi, pada prakteknya, masyarakat tradisional sulit untuk menerima perubahan, apalagi terkait tradisi yang sudah turun temurun dilakukan.

Allu Mori Ralla

Modernisme

Tradisionalisme

Rasional

Irasional

2.1.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Orang-Orang Tambang

Orang-orang tambang dalam novel Puya ke Puya digambarkan sebagai pengusaha rakus yang mengeksploitasi bumi Toraja dan melakukan berbagai cara untuk memperluas area pertambangannya. Orang-orang tambang melakukan tipu daya terhadap masyarakat Toraja, juga kepada Allu. Kepada masyarakat Toraja, sebelum dibangunnya perusahaan tambang di sana, orang-orang tambang menjanjikan akan memberikan pekerjaan yang layak kepada masyarakat sehingga pendapatan mereka tidak berpangku kepada sektor pariwisata saja. Akan tetapi, pada kenyataannya, setelah perusahaan tambang dibangun, masyarakat hanya diberikan posisi pekerja kelas bawah, bahkan ada yang tidak mendapatkan pekerjaan seperti dalam kutipan berikut.

... bumi kami dikeruk, dikeluarkan isinya, dijual lalu membuat kaya orang-orang asing itu. Sedangkan kami, orang Toraja, apa yang kami dapatkan? Ya, ada, sebenarnya ada. Sebagian warga yang pernah dijanjikan benar-benar mendapatkannya, ada yang menjadi supir truk, menjadi buruh angkut, menjadi tukang cuci mesin, dan menjadi pelayan, ada juga yang tidak menjadi apa pun (Oddang, 2015:37).

2.1.2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Mr. Berth