Relasi antara Tokoh Hero dengan Orang-Orang Tambang
2.1.2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kepala Desa
Relasi antara tokoh hero dengan kepala desa kali pertama terjadi saat kepala desa menyuruh masyarakat Tana Toraja untuk mengikuti sebuah penyuluhan tentang sumber daya alam. Pada saat itu, Allu, yang sedang berada di Makassar, melarang ayahnya untuk datang ke penyuluhan tersebut. Di penyuluhan itu, kepala desa memberikan harapan kepada masyarakat bahwa sebentar lagi desa mereka akan menjadi kota. Tana Toraja memiliki potensi nikel yang dapat menyokong Relasi antara tokoh hero dengan kepala desa kali pertama terjadi saat kepala desa menyuruh masyarakat Tana Toraja untuk mengikuti sebuah penyuluhan tentang sumber daya alam. Pada saat itu, Allu, yang sedang berada di Makassar, melarang ayahnya untuk datang ke penyuluhan tersebut. Di penyuluhan itu, kepala desa memberikan harapan kepada masyarakat bahwa sebentar lagi desa mereka akan menjadi kota. Tana Toraja memiliki potensi nikel yang dapat menyokong
Setelah Rante terbunuh, kepala desa kembali mendatangi Allu dan memperkenalkan Pak Soso dan Mr. Berth. Karena gagal membujuk Allu untuk menjual tongkonannya lewat Marthen Ralla, ia akhirnya menggunakan wewenangnya sebagai pejabat desa. Kepala desa meminta Allu menunjukkan surat-
surat tanah miliknya. Hal ini ditentang Allu karena ia tidak memiliki surat tanah 1 . Ia tidak terima dan memutarbalikkan keadaan, ia menuntut kepala desa untuk
menunjukkan surat tanah miliknya juga. Allu juga mengatakan keberatannya dan bertanya secara lugas berapa bayaran yang ia terima dari orang tambang sehingga melakukan perbuatan yang melanggar etika seperti bertamu ke rumah orang pagi- pagi sekali, memaksa meminta surat tanah padahal ia sendiri juga tidak memilikinya, dan usaha-usaha paksaan lainnya yang berujung kepada keinginannya agar Allu menjual tongkonan kepada orang tambang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Bapak ini lucu, ya....” Saya menyusulnya dengan kekehan kecil. Wajah Pak Kades memerah, sama merahnya dengan wajah Paman Marthen.
1 Dulu. Iya, dulu ketika Toraja masih banyak tanah kosong. Ketika bangsawan masih berkuasa. Mereka sebebas-bebasnya bertindak. Tanpa takut hukum pemerintah. Aku menyaksikan sendiri
kakek-kakekmu. Entah lapis keberapa dari kau yang sekarang. Aku menyaksikan mereka dengan bebas memilih tanah- tanah gembur. Yang mereka inginkan, mereka miliki. “Ini milik saya, segera tandai!” Itu perintah. Artinya yang ditunjuk jadi miliknya. Hamba-hamba mereka akan mematok tanah itu. Dengan empat batang kayu. Atau batang bambu. Menandai keempat sisinya. Jadi seluas itulah tanah yang resmi dimiliki si bangsawan hari itu. Sangat mudah, bukan? (Oddang, 2015:83).
Mirip lobster rebus, makanan kesukaan saya dengan Malena, anak Pak Kades, mantan pacar yang masih saya gilai sampai sekarang. “Kita buka-
bukaan saja, berapa uang yang Bapak terima dari perusahaan tambang?” “Jaga bicara kau, Allu.” Paman Marthen geram, wajahnya seperti ingin menerjang saya.
Diam, saya hanya diam dan tidak mengacuhkannya. Sialan. “Jangan sembarang bicara,” kata Pak Kades dengan wajah yang
bertambah merah —kini lobster rebusnya kelebat matang. “Saya tak bodoh, Pak. Ah, sudahlah. Kalau memang tujuan Bapak
ke sini hanya untuk mengecek kelengkapan surat tanah saya, terus buat apa membawa dua orang tambang?”
Pak Kades diam. Paman Marthen diam. Dua orang tambang itu juga diam. Saya menggeleng-geleng ke arah mereka.
“Kasihan ya kita ini, Pak. Bisa-bisa saja saling menghancurkan karena kepentingan orang lain, karena uang. Kasihan ya, kasihan sekali. Duh, kasihan betul. Memang begini cara kerja kapitalisme, Pak. Tapi tak
usahlah saya ceramah, nanti dikira sok pintar lagi.” (Oddang, 2015:57—58). Relasi yang terjalin antara Allu dengan kepala desa menyampaikan bahwa
pengarang menunjukkan keburukan-keburukan kapitalisme lewat perilaku orang- orang tambang. Kapitalisme rela melakukan penindasan terhadap orang lain untuk mencapai tujuannya. Budak kapitalisme digambarkan sebagai manusia yang tidak beretika demi meraih uang dan keinginannya.
Allu Kepala Desa
Humanisme
Kapitalisme
Amanah
Khianat
2.1.2.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Suroso Abdullah
Suroso Abdullah, atau biasa dipanggil Pak Soso pada awalnya menjalin relasi dengan Rante Ralla, ayah tokoh hero. Akan tetapi, karena Rante Ralla sudah mati terbunuh oleh orang-orang tambang, ia kemudian menghasut Allu untuk menjual tanahnya kepada orang tambang.
Pak Soso juga merupakan suami Malena —mantan kekasih Allu yang ikut menipunya. Bersama Malena, Kepala Desa (ayah Malena), mereka membantu orang tambang untuk menjebak Allu agar mau menjual tanah tongkonannya untuk dijadikan area pertambangan.
Allu Suroso Abdullah
Jujur
Dusta
2.1.2.4 Relasi antara Tokoh Hero dengan Malena
Allu dan Malena dahulunya merupakan sepasang kekasih, saat itu ayah Malena belum menjadi kepala desa. Mereka berpisah karena Malena harus melanjutkan kuliah di Pulau Jawa dan Allu memilih kuliah di Makassar saja. Setelah hampir tujuh tahun tidak bertemu setamat SMA, mereka akhirnya bertemu kembali di pasar. Pertemuan Allu dan Malena ini dimanfaatkan oleh orang tambang untuk melancarkan misinya. Allu masih mencintai Malena. Hal itu terbukti dengan kerelaannya memangkas rambutnya atas permintaan Malena, padahal ia sudah memanjangkannya selama bertahun-tahun. Akan tetapi, demi cintanya kepada
Malena, ia rela melakukan apa saja. Allu juga tidak menyadari bahwa Malena sedang berusaha menggiringnya ke sebuah jurang yang menyesatkannya.
Malena berpura-pura masih mencintai Allu —padahal ia sudah menikah dengan Pak Soso. Ia meminta Allu untuk segera menikahinya, tanpa pacaran terlebih dahulu. Rasa cinta Allu yang menggebu-gebu kepada Malena ini membuatnya gegabah untuk ingin segera menikahi Malena. Ia bahkan tidak meminta pertimbangan Tina, ibunya. Ia dengan mendadak hanya menyampaikan bahwa dalam waktu dekat akan menikahi Malena. Keinginan Allu ini ditentang oleh Tina. Sebab, di Toraja, diharamkan mengadakan upacara kesenangan ketika ada mayat yang masih terbujur di tongkonan. Allu akhirnya setuju untuk mengadakan rambu solo terlebih dahulu sebelum menikahi Malena. Dengan begitu, ia sudah masuk ke dalam perangkat pertama orang tambang.
Upacara rambu solo dan rambu tuka 2 membutuhkan biaya yang besar. Di sinilah orang-orang tambang mulai menjalankan misinya. Mereka membujuk Allu untuk menjual tongkonan-nya agar ia bisa membiayai upacara kematian ayahnya. Selain itu, mereka juga menyuruh Allu mencuri mayat bayi di makam passiliran. Karena terpedaya oleh cintanya terhadap Malena, Allu akhirnya merelakan tongkonan- nya dijual dan ia juga mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Saya harus melakukannya. Tidak ada jalan lain selain ini. Lagipula Mr. Berth berjanji akan menjaga semuanya, merahasiakannya dari siapa pun. Sisa satu mayat bayi lagi dan saya akan mendapatkan cukup uang untuk
2 Upacara perkawinan di Toraja 2 Upacara perkawinan di Toraja
.... Setelah mendiamkan mayat bayi itu beberapa saat di dalam
lumbung, saya membawanya hari ini ke penambangan untuk saya serahkan ke Mr. Berth. Saya berangkat sendiri saat dini hari masih gelap untuk menghindari kecurigaan orang kampung. Saya tidak ingin dihukum secara adat lalu dihukum oleh negara jika saya ketahuan. Saya menuju tempat transaksi dengan harapan saya segera menikahi Malena. Semua butuh risiko, termasuk cinta, dan demi Malena, telah saya tempuh semuanya. Sungguh hal itu telah saya inginkan sejak SMA. Saya benar-benar tidak ingin kehilangannya lagi. Saya mencintainya. Untuk satu mayat bayi saya mendapat uang lima puluh juta, dan saya berencana menyerahkan tiga mayat. Sisa satu mayat lagi dan tugas saya selesai. Saya tidak akan berurusan dengan mereka lagi kecuali dalam urusan tanah yang akan saya jual itu. (Oddang, 2015:109 —110).
Setelah semua biaya tercukupi, Allu melaksanakan rambu solo. Ketika upacara rambu solo selesai dilaksanakan, ia buru-buru mengajak Malena menikah. Di situlah Malena mengakui tipu muslihatnya kepada Allu. Allu marah dan berniat membalaskan dendamnya kepada Malena dan orang-orang tambang. Allu merasa gagal mempertahankan tanah warisan keluarganya. Ia merasa bersalah kepada ayah dan ibunya. Ia juga merasa bersalah kepada mayat-mayat bayi yang dicurinya yang kemudian dijadikan tumbal oleh perusahaan tambang seperti dalam kutipan berikut.
Jujur saja, saya agak nyeri mendengarnya. Tanah sengketa? Saya tidak habis pikir kenapa bisa saya bekerja untuk orang seperti Pak Soso, hati kecil saya teriris mengetahui bahwa tanah ini tanah sengketa. Saya tiba-tiba mengingat masa-masa gondrong saya. Masa-masa turun ke jalan memegang pengeras suara, membawa spanduk lalu melempari polisi dengan batu atau molotov. Saya mengenang ketika saya ditahan di kantor polisi setelah mengerahkan kawan membela warga yang ingin digusur. Saya mengenang pentungan yang mendarat di kepala saya, mengenang injakan polisi dan tendangan preman-preman sewaan pemodal yang kami halangi penggusurannya. Saya seperti dikoyak kenangan itu, kenangan yang kemudian diruntuhkan saat ini juga. Runtuh oleh cinta. (Oddang, 2015:112).
Untuk menebus kesalahannya terhadap mayat-mayat bayi tersebut, Allu meletakkan kembali mayat-mayat tersebut di makam passiliran. Ia beruntung masih dapat menyelamatkan mayat tersebut karena Pak Soso masih menunggu purnama untuk menjalankan ritual penguburan ketiga mayat bayi tersebut. Kemudian, untuk membalaskan dendamnya, Allu menggerakkan masyarakat Toraja untuk membakar area tambang. Allu juga memerkosa Malena dengan kejam dan menyuruh sepupu- sepupunya untuk ikut bergiliran memerkosa Malena seperti dalam kutipan berikut.
Saya semakin bersemangat, apalagi setelah saya tahu bahwa ternyata dia telah menikah diam-diam dengan Pak Soso —yang umurnya lebih cocok dijadikan kakek, dendam saya semakin tersulut. Saya merogoh selangkangannya. Memasukkan gagang parang berkali-kali, sebelum saya setubuhi. Malena hanya mampu menangis.
“Silakan pakai. Terserah kalian mau diapakan,” kata saya pada Leba dan warga yang lain sesaat setelah jatuh di atas tubuh Malena yang lengket dan berkeringat. Tak perlu menunggu lama, Leba menggantikan posisi saya. (Oddang, 2015:208).
Dari relasi antara Allu dan Malena ditunjukkan bahwa kapitalis melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kejayaannya. Ia memperdayai orang-orang yang mau dijadikan budaknya. Selain itu, sifat ketergesaan juga dapat berdampak buruk. Diperlukan analisis yang tajam dan pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan. Pengarang juga menyampaikan pandangan bahwa perilaku keji seperti penipuan, pengkhianatan, dan kebencian hanya akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat.
Allu Malena
Tulus
Khianat