Relasi Oposisional dalam Struktur Novel Puya ke Puya

2.3 Relasi Oposisional dalam Struktur Novel Puya ke Puya

2.3.1 Oposisi Tuhan dengan Manusia

Di dalam novel Puya ke Puya, tuhan direpresentasikan lewat tokoh Puang Matua. Puang Matua berada di atas langit, ia dipuja oleh masyarakat Toraja. Selain itu, ia berkuasa atas apa-apa yang terjadi di Tana Toraja. Puang Mata menginginkan agar masyarakat Toraja hidup rukun dan damai. Sementara, di dunia, masyarakat Toraja berlomba-lomba menjalankan tradisi adat dengan sebaik-baiknya dengan tujuan menyenangkan hati Puang Matua seperti dalam kutipan berikut.

Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi Tuhan. Kami penganut aluk todolo percaya itu. Termasuk keluarga Ralla. Kerbau untuk perayaan kematian tak melulu harus tedong boga —yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai religius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uang cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja!

Harus kerbau belang. Kerabat Ralla sepakat. Tidak boleh setengah- setengah. Tidak ada yang mau masuk ke surga juga hanya setengah. Tidak ada yang mau pujian tamu hanya setengah (Oddang, 2015:14).

Dalam kutipan di atas, tuhan dijadikan sebagai alasan atas keputusan- keputusan yang diambil tokoh. Misalnya, pada saat pemilihan kerbau, masyarakat Toraja merelakan diri untuk menghabiskan uangnya membeli kerbau belang yang harganya sangat mahal. Hal ini dianggap sebagai salah satu cara untuk membuat Tuhan senang. Meski, di balik itu semua, ada alasan-alasan yang sebenarnya lebih rasional seperti pemertahanan kehormatan keluarga besar, menuruti gengsi, dan sebagainya. Tuhan tidak membutuhkan kerbau. Ada atau tidaknya kerbau, tidak berpengaruh terhadap keagungan zatnya. Hal serupa juga terlihat dalam kutipan berikut.

Saya diam, saya tidak ingin menanggapi Paman Marthen yang kelihatan sangat ambisius. Saya tahu semua itu bukan karena surga untuk Ambe tetapi gengsi untuk dia, atau untuk mereka.

... “Saya kuliah sastra, bukan kuliah gengsi, dan seharusnya Paman,

atau siapa pun orang Toraja berpikir seperti saya. Kalau tidak bisa, ya kenapa dipaksa, toh yang jelas Tuhan tidak pernah marah soal itu.” (Oddang, 2015:20 —21).

Akan tetapi, s elain dijadikan ‘tumbal’ atas keputusan-keputusan yang mereka buat, Tuhan di satu sisi juga menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan. Puang Matua adalah dewa tertinggi dalam kepercayaan aluk todolo. Puang Matua menginginkan agar masyarakat di dunia hidup damai dan rukun. Puang Matua marah besar ketika terjadi perselisihan atau pertumpahan darah di Tana Toraja. Puang Matua mengirimkan tanda-tanda sebagai bentuk peringatannya atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia. Puang Matua dapat dikatakan sebagai representasi yang mumpuni atas Tuhan sebab selain menginginkan kebaikan dunia, ia juga berkuasa atas apa-apa yang terjadi di dunia.

Tuhan Manusia

Menjaga alam semesta

Merusak alam

2.3.2 Oposisi Tradisionalisme dengan Modernisme

Nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam novel Puya ke Puya adalah nilai- nilai tradisional yang mewah, hedonis. Pelaksanaan tradisi digambarkan sebagai Nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam novel Puya ke Puya adalah nilai- nilai tradisional yang mewah, hedonis. Pelaksanaan tradisi digambarkan sebagai

yang tidak sedikit. Misalnya saja, untuk pembuatan tau-tau 3 keluarga harus menanggung makan orang-orang yang membantu mengangkut batunya dari atas

gunung, belum lagi upah pemahatannya. Keluarga juga harus menyediakan lantang 4 untuk handai tolan dan kerabat yang datang dari daerah lain. Selain itu,

sebagai pengeluaran terbesar, keluarga harus menyiapkan sedikitnya 24 ekor kerbau 5 dan ratusan babi yang menghabiskan biaya ratusan juta rupiah.

Di sisi lain, modernisme yang ditawarkan dalam Puya ke Puya adalah sisi- sisi modernisme yang murah dan praktis. Secara sederhana, modernisme direpresentasikan lewat ajaran Kristen dalam penyelenggaraan kematian. Tidak dibutuhkan dana yang besar ketika mayat diselenggarakan sesuai ajaran Kristen seperti dalam kutipan berikut.

Saya sudah bulat tekad bersama Indo; Ambe pernah membeli sekapling tanah di Makassar, dan kami akan menguburkannya di sana — tanpa ada aturan adat yang mengikat, kendati tetap kami akan mengikuti aturan Kristen. Dan saya pikir itulah yang paling tepat untuk kami lakukan saat ini. Kami yang saya maksud adalah saya dan Indo serta kerabat. Saya ingin bertahan, biarlah dengan dalih biaya yang tidak cukup, biarlah saya tepiskan dulu gengsi, toh ini buat kebaikan kami juga. Saya tidak ingin merayakan dengan mewah lalu selepas upacara saya hidup di emperan toko.

3 Miniatur tubuh jenazah yang akan disimpan sebagai wujud pengultusan dirinya dan nantinya akan diarak bersama dengan mayat sebelum dilaksanakan Aluk Palao atau Aluk Rante 4 Pondok-pondok sementara yang dibangun khusus mengelilingi arena upacara dan menjadi tempat tinggal sementara bagi para pelayat selama upacara berlangsung 5 Para penganut ajaran aluk todolo percaya bahwa kerbau adalah turangga yang mengantarkan arwah menuju ke puya (alam baka) dan kerbau juga dapat memenuhi kebutuhan hidup arwah

selama di puya

Calon sarjana sastra seperti saya tidak mampu berbuat banyak. (Oddang, 2015:18).

Tradisional Modern

Hedon/ mewah

Sederhana

Berikut rekapitulasi oposisi biner yang terdapat dalam novel Puya kePuya.

Mewah/Hedonis

Kanaah

Serakah

Seks normal

Menjaga alam

Merusak alam

Rasional

Irasional

Dari bagan di atas, terlihat oposisi yang terdapat dalam novel Puya ke Puya. Kolom pertama menunjukkan pandangan tokoh hero dalam memperjuangkan nilai- nilai yang dianggapnya benar. Selanjutnya, kolom kedua merupakan reaksi dari tokoh lain ketika menjalin relasi dengan tokoh hero. Dari oposisi tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh hero menentang tradisi Toraja yang hedonis karena dirasanya memberatkan manusia. Ia membela masyarakat yang terpaksa menyiksa dirinya sendiri untuk memenuhi pelaksanaan tradisi Toraja. Hal ini juga dialami sendiri oleh tokoh hero sehingga ia paham betul apa yang dirasa oleh masyarakat kelas menengah bawah saat dituntut melaksanakan tradisi adat Toraja.

Pembelaan tokoh hero terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga tampak pada perjuangannya melawan praktik kapitalisme yang buruk di Tanah Toraja. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dilakukan oleh orang-orang tambang di Tanah Toraja, membuat tokoh hero geram. Ditambah lagi, ia menjadi salah satu korban keburukan budak-budak kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya, meski dengan melakukan tipu muslihat sekali pun. Kejadian ini membuat tokoh hero menggerakkan masyarakat Toraja untuk mengusir orang tambang dari kampung mereka agar hak- hak asasi mereka tidak terlindas lagi oleh kepentingan orang tambang.

Selanjutnya, juga ditemukan nilai-nilai religiusitas yang tergambar dalam novel Puya ke Puya. Perilaku-perilaku baik seperti amanah, mencintai dengan tulus, menginginkan kedamaian dunia, dan membela hak-hak rakyat kecil tersebut Selanjutnya, juga ditemukan nilai-nilai religiusitas yang tergambar dalam novel Puya ke Puya. Perilaku-perilaku baik seperti amanah, mencintai dengan tulus, menginginkan kedamaian dunia, dan membela hak-hak rakyat kecil tersebut