Humanisme Religius sebagai Pandangan Dunia Novel Puya ke Puya

3.3 Humanisme Religius sebagai Pandangan Dunia Novel Puya ke Puya

Humanisme religius di dalam novel Puya ke Puya ditemukan dengan cara melihat keberpihakan pengarang melalui relasi-relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan tokoh lain dan objek-objek di sekelilingnya untuk menemukan nilai- nilai yang totalitas. Humanisme religius yang ditemukan dalam novel Puya ke Puya adalah sebagai berikut.

Pertama, keberpihakan pengarang terhadap modernisme yang memudahkan kehidupan manusia. Modernisme dianggap sebagai solusi yang mumpuni untuk menghadapi kungkungan nilai-nilai tradisional yang memberatkan, khususnya bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Modernisme yang praktis dan murah patut menjadi pilihan masyarakat dibanding tradisionalisme yang mahal dan kompleks. Hal ini dapat dilihat pada relasi yang terjadi antara Allu dengan Rante Ralla.

Secara umum, relasi yang terbangun antara Rante Ralla dengan Allu adalah relasi pertentangan. Rante merupakan tokoh yang memegang teguh adat istiadat Toraja, ditambah lagi ia merupakan seorang penuluan adat. Semasa hidupnya, Rante rela melakukan apa saja untuk menolong kaum yang dipimpinnya. Misalnya ketika kaumnya ingin melaksanakan rambu solo, tetapi dananya tidak cukup, maka secara suka rela Rante menjual tanahnya untuk dijadikan biaya rambu solo kaumnya. Hingga menjelang akhir hayatnya, tanah warisan Rante yang tersisa hanyalah tongkonan yang kala itu dihuninya bersama keluarganya.

Di sisi lain, Allu merupakan anak muda yang berpikiran lebih modern dan praktis. Ia menolak pelaksanaan adat istiadat yang memberatkan dan sudah tidak relevan dengan zamannya. Allu menginginkan agar masyarakat Toraja lebih terbuka terhadap perkembangan zaman. Baginya, pelaksanaan ritual-ritual adat dengan cara yang mewah itu hanya memberatkan masyarakat Toraja, terlebih lagi bagi orang-orang yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah.

Pertentangan pendapat antara Allu dan Rante Ralla perihal pelaksanaan rambu solo dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Allu, kau mengerti aluk kan, Nak? Aku bertanya sambil mengusap pundaknya. Kugunakan kata ‘aluk’ bukan ‘adat’ meski artinya sama, karena aku ingin mengingatkan bahwa segalanya akan kembali kepada kepercayaan yang mentradisi.

“Mengerti,” timpalnya. “Tapi saya juga tidak sepakat jika adat atau aluk , atau apalah namanya itu membebani. Bukankah adat tidak boleh kaku. Batu saja bisa dipahat, masa iya adat harus terus menjadi bongkahan batu, Ambe?”

Aku paham isi kepala Allu. Namun dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang tengah dipikirkannya.

“Baik, Nak.” Aku dengan tenang menjawabnya. “Aluk tidak boleh kaku, itu kalau kau melihatnya dari kacamatamu. Tapi kau harus mengerti, kau baru sempurna menilai kerbau kalau melihatnya dari banyak sisi. Kau lihatlah berat badan, bentuk tanduk, motif, dan banyak lagi. Jangan kau lihat

dari satu mata saja.” Allu diam. “O iya, Nak,” aku melanjutkan, “soal biaya, itu yang kau takutkan?

Itu memang ada benarnya bila dilihat dari satu sisi.” Lagi dan lagi kutegaskan agar ia menilai tidak seperti menebang pohon dengan bilah

bambu. Sekalipun tajam, tajamnya bukan pada peruntukan. “Cobalah kau lihat nilai yang selama ini kujaga. Kebersamaan, gotong royong, dan yang paling penting tanggung jawab. Ingat, tanggung jawab! (Oddang, 2015:5).

Kedua, keberpihakan pengarang terhadap modernisme sejalan dengan keberpihakan pengarang terhadap hal-hal yang sederhana. Pengarang menolak nilai-nilai hedonis yang dibalut oleh nilai-nilai tradisionalisme. Hal ini dapat dilihat secara implisit lewat pertentangan antara nilai-nilai tradisional dan modern yang dihadirkan pengarang dalam novel Puya ke Puya.

Nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam novel Puya ke Puya adalah nilai- nilai tradisional yang mewah, hedonis. Pelaksanaan tradisi digambarkan sebagai suatu ritual sakral yang menghabiskan banyak dana. Ada serentetan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam upacara tersebut, dan kesemuanya membutuhkan dana

yang tidak sedikit. Misalnya saja, untuk pembuatan tau-tau 6 keluarga harus menanggung makan orang-orang yang membantu mengangkut batunya dari atas gunung, belum lagi upah pemahatannya. Keluarga juga harus menyediakan

lantang 7 untuk handai tolan dan kerabat yang datang dari daerah lain. Selain itu, sebagai pengeluaran terbesar, keluarga harus menyiapkan sedikitnya 24 ekor

kerbau 8 dan ratusan babi yang menghabiskan biaya ratusan juta rupiah.

Di sisi lain, modernisme yang ditawarkan dalam Puya ke Puya adalah sisi- sisi modernisme yang murah dan praktis. Secara sederhana, modernisme

6 Miniatur tubuh jenazah yang akan disimpan sebagai wujud pengultusan dirinya dan nantinya akan diarak bersama dengan mayat sebelum dilaksanakan Aluk Palao atau Aluk Rante 7 Pondok-pondok sementara yang dibangun khusus mengelilingi arena upacara dan menjadi tempat tinggal sementara bagi para pelayat selama upacara berlangsung 8 Para penganut ajaran aluk todolo percaya bahwa kerbau adalah turangga yang mengantarkan arwah menuju ke puya (alam baka) dan kerbau juga dapat memenuhi kebutuhan hidup arwah

selama di puya selama di puya

Saya sudah bulat tekad bersama Indo; Ambe pernah membeli sekapling tanah di Makassar, dan kami akan menguburkannya di sana — tanpa ada aturan adat yang mengikat, kendati tetap kami akan mengikuti aturan Kristen. Dan saya pikir itulah yang paling tepat untuk kami lakukan saat ini. Kami yang saya maksud adalah saya dan Indo serta kerabat. Saya ingin bertahan, biarlah dengan dalih biaya yang tidak cukup, biarlah saya tepiskan dulu gengsi, toh ini buat kebaikan kami juga. Saya tidak ingin merayakan dengan mewah lalu selepas upacara saya hidup di emperan toko. Calon sarjana sastra seperti saya tidak mampu berbuat banyak. (Oddang, 2015:18).

Ketiga, pengarang berpihak pada tokoh yang kanaah —merasa cukup atas apa-apa yang dimilikinya. Kebencian terhadap sifat serakah merupakan oposisi yang dibuat pengarang untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap sifat kanaah. Hal ini dapat dilihat dalam relasi antara tokoh hero dengan Marthen Ralla.

Kemarahan Marthen Ralla kepada tokoh hero terjadi ketika tokoh hero menyampaikan keinginannya di rapat tongkonan untuk menguburkan Rante Ralla di Makassar. Saat itu, nyaris terjadi pertumpahan darah karena Marthen mengayunkan parangnya kepada Allu, tetapi ada kerabat yang sigap menahan lengan Marthen.

Menurut tokoh hero, sejak kericuhan pembagian harta warisan keluarganya, Marthen adalah seseorang yang gila harta. Selain itu, Marthen juga beberapa kali ikut membujuk Allu agar mau menjual tanah tongkonan-nya kepada orang tambang. Allu heran melihat kelakuan pamannya itu. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, tipu daya seperti apa, atau bayaran yang seberapa banyak yang Menurut tokoh hero, sejak kericuhan pembagian harta warisan keluarganya, Marthen adalah seseorang yang gila harta. Selain itu, Marthen juga beberapa kali ikut membujuk Allu agar mau menjual tanah tongkonan-nya kepada orang tambang. Allu heran melihat kelakuan pamannya itu. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, tipu daya seperti apa, atau bayaran yang seberapa banyak yang

Saya tahu ia tertohok, Paman Marthen tiba-tiba saja mematikan teleponnya. Saya tahu apa yang tengah diinginkannya. Ia ingin mengorbankan tongkonan kami, tanah kami, sejarah kami, dan warisan kami untuk dijadikan milik perusahaan tambang. Betapa saya tidak sampai berpikir tentang isi kepala Paman. Barangkali ia tidak membayangkan ketika alat berat kelak merobohkan tongkonan, meratakan tanah kami lalu membuat jalan untuk akses kendaraan-kendaraan penambang. Ah, dada saya sesak, saya membayangkan bagaimana Ambe berjuang. Uangnya banyak, uangnya banyak. Kata-kata Paman berkelebat. Sialan sekali dia, saya ingin merontokkan giginya yang sudah tidak sempurna dan rumpang di tengah itu. Seenaknya ingin menjual tongkonan kami. Sialan dia, saya ingin memukulnya demi Ambe (Oddang, 2015:37).

Setelah didesak berkali-kali, akhirnya Allu berani untuk membentak Marthen Ralla. Ia dengan lugas menyuruh Marthen Ralla untuk menyimpan uang pemberian orang tambang seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Ini urusan saya, tongkonan kami, sekarang saya yang memimpinnya. Tak usahlah kau campuri itu, Paman. Sekali lagi, simpanlah

uang bos kau itu, Paman. Cukup!” Saya mematikan telepon dan tentu tanpa salam basa-basi atau sikap

sok manis. Paman Marthen telah berlebihan mencampuri urusan keluarga kami. Dasar budak kapitalisme, susu perah. Perlu baca Karl Marx si Marthen itu. (Oddang, 2015:49 —50).

Relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Marthen Ralla menunjukkan bahwa keserakahan manusia akan harta membuatnya luput terhadap tanggung jawab sosial yang diembannya. Jika sudah teperdaya oleh harta benda, manusia rela melakukan apa pun untuk mencapai keinginannya.

Keempat, pengarang berpihak pada tokoh yang menjalani kehidupan seks normal. Pengarang menunjukkan keburukan-keburukan yang dilakukan oleh tokoh- Keempat, pengarang berpihak pada tokoh yang menjalani kehidupan seks normal. Pengarang menunjukkan keburukan-keburukan yang dilakukan oleh tokoh-

Mr. Berth merupakan merupakan bawahan Pak Soso di perusahaan tambang. Ia adalah seorang laki-laki homoseksual. Ia melakukan hubungan badan dengan pekerja-pekerja laki-lakinya di perusahaan tambang. Ia juga pernah melakukan sodomi kepada bayi hingga meninggal. Relasi antara tokoh hero dengan Mr. Berth dimulai saat ia ingin membeli tongkonan-nya. Karena Allu menolak, Mr. Berth akhirnya melakukan tipu daya lewat Malena —mantan kekasih Allu.

Setelah terjebak oleh keharusan melaksanakan rambu solo sebelum menikahi Malena, Allu akhirnya bersedia membantu Mr. Berth untuk mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran. Uang hasil pencurian mayat bayi itu digunakan Allu untuk mencukupi biaya pernikahannya dengan Malena. Mayat bayi yang dicuri Allu, dijadikan oleh Mr. Berth sebagai tumbal untuk perusahaan tambangnya. Perusahaan tambang sering mendapat kesialan seperti longsor dan mesin meledak yang menyebabkan korban jiwa. Hal ini membuat perusahaan rugi besar karena selain harus membenahi infrastruktur bangunan, juga harus membiayai pemakaman korban. Untuk itu, Pak Soso, sesuai kepercayaannya, menyuruh Mr. Berth mengubur bayi di area tambang sebagai tumbal untuk menyucikan tanah tambang agar perusahaan mereka tidak ditimpa kesialan lagi.

Kelima, pengarang berpihak pada humanisme. Keberpihakan pengarang ditunjukkan melalui perlawanan praktik kapitalisme yang dilakukan oleh tokoh hero di kampungnya. Kapitalisme melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusi a di Toraja. Kampung Kete’, sebagai lokasi area tambang nikel, dikeruk hasil buminya oleh perusahaan tambang. Selain itu, perusahaan tambang juga melakukan perluasan wilayah dengan melakukan tipu muslihat kepada tokoh hero dan masyarakat Toraja. Kepada masyarakat Toraja, perusahaan tambang pada awalnya menjanjikan akan memberikan pekerjaan yang layak jika masyarakat Toraja mengizinkan perusahaan tambang beroperasi di Kampung Kete’. Akan tetapi, pada kenyataannya, setelah perusahaan tambang berhasil beropera si di Kampung Kete’, masyarakat Toraja hanya diberikan pekerjaan strata paling bawah, atau ada yang tidak diberikan pekerjaan sama sekali. Hal inilah yang diperjuangkan oleh Allu, setelah mengetahui ia juga dijebak oleh orang tambang melalui Malena, Allu mengomandoi masyarakat Toraja untuk membakar area tambang. Allu mengajak masyarakat Toraja untuk melakukan perlawanan membela hak-hak mereka yang terlindas oleh kepentingan orang-orang tambang.

Keenam , nilai-nilai religius seperti amanah, jujur, tulus, dan mencintai alam, juga digambarkan pengarang lewat perilaku tokoh hero. Selain itu, rasionalitas juga dikedepankan dalam novel ini. Pembantaian kerbau dan babi yang menghabiskan dana jutaan rupiah dalam upacara rambu solo, dianggap tokoh hero sebagai tindakan irasional yang memberatkan banyak orang. Hal inilah yang diperjuangkan tokoh hero dalam novel ini.

Keberpihakan pengarang terhadap elemen-elemen di atas, menunjukkan ideologinya yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan tetap menyadari bahwa dirinya adalah makhluk tuhan sehingga juga berperilaku sesuai dengan aturan-aturan di dalam agama yang dipercayainya. Dengan begitu, ideologi yang dibawa pengarang dalam novel Puya ke Puya adalah humanisme religius.