Struktur Sosial
2.4 Struktur Sosial
Toraja memiliki formula yang baku untuk setiap jenis pemakaman sesuai dengan kedudukan sosial almarhum. Hal ini tidak memperhitungkan kemampuan keluarga yang ditinggalkan. Keluhan-keluhan atas kondisi seperti ini sudah sering disampaikan oleh masyarakat Toraja baik secara lisan maupun dalam bentuk buku. Salah satu buku antropologi yang memuat protes anak Toraja kota terhadap praktik adat yang membelenggunya, ditulis oleh Tina Saroengallo berjudul Ayah Anak Beda Warna: Anak Toraja Kota Menggugat.
Menurut Saroengallo, tradisi Toraja yang sudah dilakukan secara turun temurun perlu dikaji ulang. Mengikuti adat menimbulkan tuntutan biaya yang sangat besar dan kondisi ekonomi beberapa masyarakatnya tidak mendukung untuk pelaksanaan upacara-upacara adat semacam itu.
Toraja berasal dari kata Bugis to riaja. To berarti orang, riaja berarti dari atas, sebagai lawan sebutan to luu atau orang laut atau orang pesisir. Toraja baru menjadi Onderafdeeling Rantepao di awal tahun 1900-an. Sebelumnya, dalam buku Terance Bigalke, Tana Toraja —A Social History of an Indonesian People (2005), dicatat betapa Toraja tercatat dalam sejarah lama sejak tahun 1860-1904, lalu memasuki tahap datangnya Belanda di Toraja pada 1905-1941, serta Toraja menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak tahun 1945 hingga kini. Sebelumnya, Toraja hanya tercatat dalam laporan musafir asing atau penyebar agama sebagai Toraja berasal dari kata Bugis to riaja. To berarti orang, riaja berarti dari atas, sebagai lawan sebutan to luu atau orang laut atau orang pesisir. Toraja baru menjadi Onderafdeeling Rantepao di awal tahun 1900-an. Sebelumnya, dalam buku Terance Bigalke, Tana Toraja —A Social History of an Indonesian People (2005), dicatat betapa Toraja tercatat dalam sejarah lama sejak tahun 1860-1904, lalu memasuki tahap datangnya Belanda di Toraja pada 1905-1941, serta Toraja menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak tahun 1945 hingga kini. Sebelumnya, Toraja hanya tercatat dalam laporan musafir asing atau penyebar agama sebagai
Masyarakat Toraja masih banyak yang memegang teguh sistem religi asli: aluk todolo. Pertentangan terhadap tradisi aluk todolo karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman ini, bukan merupakan hal yang baru di Toraja. Berbagai catatan lama, khususnya berita zending dan misionaris pada abad ke-19, sudah mengulas betapa pesta kematian itu sungguh hal-hal di luar pandangan nalar pengamat asing Barat. Puluhan kerbau gagah dibantai, ratusan babi gemuk disembelih, tidak terhitung beratus-ratus ayam sebagai lauk dan berpikul-pikul beras pulen Toraja serta berember-ember tuak aren atau ballo ’ menjadi santapan dan hidangan tamu dan kerabat, serta warga kampung yang hajatan itu (Saroengallo, 2008:xxiii). Tata cara pelaksanaan adat seperti ini, menunjukkan bahwa adat Toraja identik dengan hedonisme sehingga membuat masyarakatnya menentang pelaksanaan adat yang hedonis tersebut, khususnya bagi masyarakat yang berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah.
Masyarakat Toraja juga mementingkan nilai gengsi. Status seseorang itu apakah sebagai to kapua atau “orang besar”, atau to sugi alias “orang kaya” menurut kajian Toby Alice Volkman dalam buku Feasts of Honor: Ritual Change in The Torajan Highlands (1985), sangat ditentukan dari kemeriahan dan kebesaran dukungan materi perhelatan adat itu (Saroengallo, 2008:xxiii).
Pemertahanan nilai gengsi ini membuat masyarakat Toraja rela berkorban untuk hal-hal yang tidak rasional menurut pandangan awam. Salah satu bentuk protes terhadap hal ini dilayangkan oleh Saroengallo (2008:2 —3). Ia menyayangkan dana yang sangat besar harus dihabiskan untuk upacara pemakaman. Menurutnya, yang lebih penting adalah mereka yang masih hidup. Bukan malah mengharuskan anak-anak yang kehilangan sumber nafkahnya untuk menghabiskan begitu banyak dana dalam upacara pemakaman.
Penuluan adat Toraja merupakan seseorang yang peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia merasa bertanggung jawab terhadap masyarakat pimpinannya. Ia rela menjual harta bendanya untuk membantu meringankan beban masyarakat yang hendak melaksanakan upacara. Ia bahkan nyaris tidak memedulikan kondisi ekonominya yang terkadang juga serba kekurangan seperti dalam kutipan berikut.
Paling tidak itulah yang saya kakak-beradik sering rasakan. Setiap kali mendengar ayah saya baru menyelesaikan sebuah transaksi besar, pasti tidak lama kemudian beliau pergi ke Tana Toraja. Sepulang dari sana, saya akan mendengar cerita tentang upacara adat yang baru beliau hadiri. Ketika salah seorang saudara kandungnya meninggal, ayah saya pasti akan menjual sebidang tanah miliknya. Tentu saja tidak perlu melalui perantara atau makelar tetapi langsung kepada pembeli. Saya akan mendengar berita beliau menjual sebidang tanah, pergi ke Tana Toraja dan pulang ke Jakarta setelah lebih satu bulan. Bila saya sempat ke rumahnya setelah perjalanan itu, pasti saya dengar cerita beliau sudah dalam keadaan bangkrut lagi (Saroengallo, 2008:39).
Repotnya lagi, beliau tidak hanya membantu saudara-saudaranya dalam membayar ‘kewajiban’ tetapi juga menjadi penyandang dana utama
dalam beberapa upacara, baik kematian maupun upacara naik rumah atau rambu tuka’ dari tongkonan-tongkonan yang ada di Kete Kesu dan Bunturara (Saroengallo, 2008:39).
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditemukan struktur sosial masyarakat Toraja sebagai berikut.