Simon Stevin

3. Simon Stevin

Dasar notasi desimal modern pertama kali diperkenalkan oleh Simon Stevin. Simon Stevin (1548/49 - 1620) adalah seorang Flemish matematikawan dan insinyur. Ia aktif dalam banyak bidang ilmu pengetahuan dan teknik, baik teoritis dan praktis. Dia juga menerjemahkan berbagai istilah matematika ke 10. Belanda, menjadikannya salah satu dari sedikit bahasa-bahasa Eropa di mana kata untuk matematika, wiskunde ("seni dari apa yang tertentu"), bukanlah berasal dari Yunani (melalui Latin). Stevin menulis 36 halaman buklet berjudul De Thiende ('seni persepuluh'), pertama kali diterbitkan dalam bahasa Belanda pada tahun 1585 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis sebagai Disme. Judul lengkap dari terjemahan bahasa Inggris Desimal aritmatika: Mengajar bagaimana melakukan semua perhitungan apa pun oleh seluruh nomor tersebut tanpa pecahan, oleh empat empat prinsip-prinsip Common aritmatika: yaitu, penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Konsep- konsep yang dimaksud dalam buku kecil ini termasuk unit pecahan dan pecahan Mesir. Pecahan desimal telah digunakan untuk ekstraksi akar kuadrat berabad- abad sebelum waktunya oleh matematikawan Islam seperti Al-Kashi, tetapi tidak ada yang ditetapkan penggunaan sehari-hari mereka sebelum Stevin. Dia merasa bahwa inovasi

ini sangat signifikan, bahwa ia menyatakan pengenalan universal desimal koin, ukuran dan berat untuk menjadi hanya soal waktu. Notasi nya agak berat. Intinya memisahkan bilangan bulat dari pecahan desimal. Sevin mencetak lingkaran kecil di seluruh eksponen kekuatan yang berbeda satu-kesepuluh. Hal ini dikelilingi Stevin dimaksudkan untuk menunjukkan hanya angka eksponen jelas dari fakta bahwa ia menggunakan simbol yang sama untuk kekuatan aljabar kuantitas. Dia tidak menghindari eksponen fraksional; hanya eksponen negatif tidak muncul dalam karyanya. Sejarah dapat memberikan nilai atau norma yang dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Sejarah juga secara unik dapat memuaskan rasa ingin tahu tentang orang lain, tentang kehidupan para tokoh/pahlawan, perbuatan, dan cita- citanya dan juga dapat membangkitkan kekaguman tentang kehidupan manusia masa lampau. Melalui pengajaran sejarah dapat dibandingkan kehidupan zaman sekarang dengan masa lampau, melalui pengajaran sejarah dapat diwariskan kebudayaan umat manusia, lewat pengajaran sejarah di sekolah- sekolah dapat membantu mengembangkan cinta tanah air di kalangan para siswa. Jika dilihat dari pembahasan di atas, maka sejarah telah membuktikan bahwa bilangan pecahan awalnya tidak seragam berbeda diiap suku bangsa seperti: Mesir Kuno yang pada saat itu hanya mengenal pecahan satuan, unit fraction, yang dinyatakan sebagai 1/n, dengan n adalah bilangan bulat positif. Babilonia yang pada saat itu diturunkannya lebih dari 400 lempengan tanah liat yang ditulisi dalam tulisan paku ketika lempengan itu masih basah, lalu dibakar di dalam tungku atau dijemur di bawah terik matahari. Lempengan tanah itu meliputi topik pecahan, aljabar, persamaan kuadrat dan kubik, dan perhitungan bilangan prima kembar. Yunani yang pada saat itu menggunakan perhitunganya dengan kerikil. Penggunaan bilangan pecahan di Yunani Kuno telah begitu akrab, bahkan mereka beranggapan semua ukuran panjang dapat dinyatakan dengan perbandingan bilangan bulat, hanya mereka belum menggunakan pelambangan seperti sekarang ini. India yang pada saat itu beranggapan bahwa penulisan dan perhitungan bilangan pecahan belum benar-benar pesis seperti yang kita gunakanan. Walau perhitungan pecahan sudah berdasarkan nilai tempat (desimal) ini sangat signifikan, bahwa ia menyatakan pengenalan universal desimal koin, ukuran dan berat untuk menjadi hanya soal waktu. Notasi nya agak berat. Intinya memisahkan bilangan bulat dari pecahan desimal. Sevin mencetak lingkaran kecil di seluruh eksponen kekuatan yang berbeda satu-kesepuluh. Hal ini dikelilingi Stevin dimaksudkan untuk menunjukkan hanya angka eksponen jelas dari fakta bahwa ia menggunakan simbol yang sama untuk kekuatan aljabar kuantitas. Dia tidak menghindari eksponen fraksional; hanya eksponen negatif tidak muncul dalam karyanya. Sejarah dapat memberikan nilai atau norma yang dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Sejarah juga secara unik dapat memuaskan rasa ingin tahu tentang orang lain, tentang kehidupan para tokoh/pahlawan, perbuatan, dan cita- citanya dan juga dapat membangkitkan kekaguman tentang kehidupan manusia masa lampau. Melalui pengajaran sejarah dapat dibandingkan kehidupan zaman sekarang dengan masa lampau, melalui pengajaran sejarah dapat diwariskan kebudayaan umat manusia, lewat pengajaran sejarah di sekolah- sekolah dapat membantu mengembangkan cinta tanah air di kalangan para siswa. Jika dilihat dari pembahasan di atas, maka sejarah telah membuktikan bahwa bilangan pecahan awalnya tidak seragam berbeda diiap suku bangsa seperti: Mesir Kuno yang pada saat itu hanya mengenal pecahan satuan, unit fraction, yang dinyatakan sebagai 1/n, dengan n adalah bilangan bulat positif. Babilonia yang pada saat itu diturunkannya lebih dari 400 lempengan tanah liat yang ditulisi dalam tulisan paku ketika lempengan itu masih basah, lalu dibakar di dalam tungku atau dijemur di bawah terik matahari. Lempengan tanah itu meliputi topik pecahan, aljabar, persamaan kuadrat dan kubik, dan perhitungan bilangan prima kembar. Yunani yang pada saat itu menggunakan perhitunganya dengan kerikil. Penggunaan bilangan pecahan di Yunani Kuno telah begitu akrab, bahkan mereka beranggapan semua ukuran panjang dapat dinyatakan dengan perbandingan bilangan bulat, hanya mereka belum menggunakan pelambangan seperti sekarang ini. India yang pada saat itu beranggapan bahwa penulisan dan perhitungan bilangan pecahan belum benar-benar pesis seperti yang kita gunakanan. Walau perhitungan pecahan sudah berdasarkan nilai tempat (desimal)