Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik
Yohanes Sumaryanto Laksmi Yasintus T. Runesi
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas IndonesiaDepok, 16424
Abstrak
Paper ini dimaksudkan untuk melakukan investigasi terhadap perspektif multikultural yang dimiliki perpustakaan umum dalam layanan publiknya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan focus group discussions dalam memeroleh data. Pesertanya terdiri dari para pustakawan BPAD di bagian Layanan dan Pengadaan. Data kemudian dianalisis berdasarkan kerangka konseptual yang dipakai.Studi ini menemukan pentingnya peran perpustakaan melalui layanan, program dan para pustakawannya memerkenalkan layanan berspektif multikultural dan meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap isu multikultural melalui perluasan wawasan dan peningkatan pemahaman dalam rangka merajut kebersamaan dalam Negara yang multietnis dan multiagama seperti
Indonesia. Penemuan ini diharapkan menjadi bahan masukkan bagi pemerintah maupun dunia pendidikan untuk lebih memerhatikan peran perpustakaan dalam meningkatkan pemahaman dan penerimaan multikulturalitas dalam masyarakat. Originalitas dari penelitian ini adalah karena berbicara tentang yang jarang dilakukan yakni refleksi pustakawan tentang pekerjaannya.
Kata kunci: perspektif multikultural, perpustakaan umum, layanan publik, multiculturalism, public library, library services, DKI Jakarta
Abstract
This paper is intended to investigate the public library multicultural perspective in its public services. It uses qualitative approach and depth interview as well as focus group discussion method to its data collection. The participants of the focus group discussion are the BPAD librarians working for the service and acquisition department. Data analysis is based on the conceptual framework used. The study identified the importance of libraries role through services, programs and their librarians to introduce services using multicultural perspectives and to sensitize the public on multicultural issues through the insight expansion and increased understanding in order to knit togetherness in a multiethnic and multireligious country like Indonesia. The result of the study is expected to be the material input to the government and education world to pay more attention to the role of libraries in improving the understanding and acceptance of multiculturalism within the society. The Originality of this study is due to its specialities on librarian work reflection.
Keywords: multicultural perspective, pubic library, public service, multiculturalism, DKI Jakarta
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan
Publik
Pendahuluan
nilai dengan sesama, perekat hidup bersama serta Relasi multikultural adalah satu kondisi
menuntun setiap orang menuju hidup yang baik, manusiawi (la conditione humain) dan kondisi
sejahtera, damai dan manusiawi. yang harus ada (conditione sine qua non) dalam suatu negara yang multietnis dan multiagama
mengungkapkan bahwa seperti Indonesia. Kondisi ini secara sosial
Maka,
Parekh
multikulturalisme tidak boleh dibatasi hanya menjadi potensi dalam
sebagai sebuah konsepsi kaku yang menuntut kebersamaan yang semakin Indonesia. Salah satu
upaya
merajut
suatu kelompok untuk menyangkal suatu hal demi sarana merajut perilaku multikulturalistik adalah
diakui sebagai pihak multikulturalis. Di sini, melalui
perpustakaan sebagai sumber multikulturalisme dipandang sebagai suatu pengetahuan. Perpustakaan umum sebagai suatu
konstruksi sosial bersama yang memberi tempat medan kerja dan pertemuan beragam masyarakat
bagi keragaman ketimbang keseragaman, berbeda kultur memiliki kompleksitasnya sendiri.
heterogenitas ketimbang homogenitas. Sehingga Hal ini berangkat dari fakta bahwa perpustakaan
ia mengusulkan sebuah bentuk multikulturalisme umum mengarahkan layanan terhadap segala
yang dibangun secara kreatif dan interaktif. lapisan masyarakat. Integrasi sosial berhubungan dengan situasi Alasan inilah yang mendorong kami mengadakan
interaktif yang dibangun dan
penelitian mengenai perspektif multikultural di berlangsung di antara individu dengan individu, perpustakaan Badan Perpustakaan dan Arsip
kelompok, negara. Sedangkan regulasi moral Daerah (BPAD) DKI Jakarta. Perpustakaan
menunjuk pada tataan-tataan normatif yang adalah tempat seseorang dapat memeroleh
menentukan bagaimana seseorang seharusnya pengetahuan. Karena itu, dalam perspektif
bertindak dalam relasi sosialnya ketika tertentu BPAD DKI Jakarta juga adalah wilayah
berhadapan dengan beragam kenyataan sosial sosial yang bersentuhan langsung dengan masalah
kultural.
keragaman budaya masyarakat. Tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan sebagai satu sistem
Parekh dan Taylor misalnya mengapropriasi informasi yang berada di bawah kendali suatu
multikulturalisme dalam bentuknya sebagai struktur politik yang lebih besar dalam suatu
interaktif pluralisme. Interaktif pluralisme mayoritas tidak menjadi sarana penyadaran sikap
memberi tempat yang lebih utama pada multikultur, sebaliknya menjadi suatu tempat
pengakuan timbal-balik dan respek atas setiap penanaman ideologi golongan tertentu saja.
perbedaan yang ada. Interaktif pluralisme memberi peluang bagi setiap kelompok untuk
Tinjauan Literatur
saling memasuki karena tidak ada batas-batas
Konsep Multikulturalisme
antara kelompok.
Manusia adalah makhluk budaya di mana ruang kebudayaan merupakan rumahnya untuk
Multikulturalisme Indonesia
mengembangkan
Di Indonesia, keragaman kultural maupun agama 2012). Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa
kemanusiaannya
(Parekh:
disatukan oleh moto
kebudayaan merajut dan memberi struktur dunia, Bhineka Tunggal Ika. Gambaran sebagai negara memberi sistem nilai yang berharga untuk hidup
multikultur secara politik dikonstruksi dengan dan memberi apa yang bermakna bagi pilihan-
bangunan Taman Mini Indonesia Indah. Berbeda- pilihan hidup dan atas hidup itu sendiri. Selain
beda namun tetap satu jua. Multikultur di itu, kebudayaan memberikan kepada setiap orang
Indonesia berkaitan dengan budaya antaretnis dan rasa dan kesadaran identitas yang memberinya
antaragama, sehingga keragaman Indonesia lahir
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
dari rahim Indonesia. Maka multikulturalisme di
masyarakat tersebut Indonesia selalu berhubungan dengan kategori-
dalam
lingkungan
perpustakaan bertumbuhkembang. Dengan cara kategori dalam teori politik seperti minoritas,
pandang seperti ini kita dapat melihat masyarakat adat maupun rakyat.
perpustakaan sebagai lembaga yang sifatnya lebih inklusif.
John Bowen mengungkapkan bahwa dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai
Malone berpendapat bahwa perpustakaan di multikulturalisme akan mengarahkan kita kepada
Amerika Serikat tidak lain dari produk dan tiga bentuk klaim mengenai pluralisme normatif.
sekaligus sarana promosi dari tradisi dan nilai- Yang pertama adalah klaim bahwa suatu
nilai kelas menengah. Hal ini muncul sebagai kelompok sosialnya sudah ada lebih dahulu
akibat dari sejarah kelembagaan perpustakaan sebagai satu komunitas politis yang mampu
yang hanya menguraikan setengah dari kenyataan mengurus diri sendiri sebelum terbentuknya
yakni penyebarluasan informasi. Sedangkan negara ini. Karena itu, sudah seharusnya
tersebut diterima komunitas itu dilanjutkan atau dihidupkan
bagaimana
informasi
masyarakat tidak dikemukakan. Fokus sejarah kembali. Klaim ini kita lihat pada kasus Aceh dan
perpustakaan adalah pada tokoh seperti dosen beberapa daerah lainnya.
sekolah perpustakaan, pustakawan praktisi dan manajemen perpustakaan. Dengan demikian
Yang kedua, menyangkut ide yang menyatakan menurut Malone jelas sekali terlihat bahwa bahwa norma-norma sosial dari masyarakat lokal
sejarah perpustakaan dimaksudkan untuk sudah terintegrasi ke dalam komunitas dan
melayani profesi perpustakaan dan mungkin dengan demikian menyediakan legitimasi bagi
ideologi dominannya.
pemerintahan sendiri di dalam masyarakat bersangkutan.
Satu kontribusi yang signifikan dari tulisan tentang sejarah perpustakaan
Yang ketiga, norma-norma Islam menyangkut adalah pengembangan pendekatan multikultural keluarga – perkawinan,
dalam memahami lembaga perpustakaan dan perceraiaan dan warisan – merupakan aturan-
agen akses informasi dalam operasionalnya di aturan yang sah tak terganggugugat karena diisi
masa lampau.
oleh status ilahi. Mengundangkan norma-norma tersebut menjadi hukum positif dapat berarti
Dari toleransi ke apresiasi
legitimasi norma-norma tersebut semakin “Multiculturalism in Libraries” ditulis oleh diperkuat dengan hukum positif. Di sini, prinsip
Rosemary dan kawan-kawan dalam rangka hukum Islam menyatakan bahwa norma adat
mendesak akan dapat dimasukkan ke dalam hukum Islam, sebab
menanggapi
kebutuhan
informasi yang berkaitan dengan perbedaan keduanya dapat dipertemukan.
budaya dalam lingkup perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum. Mereka
Multikulturalisme dalam Perpustakaan
menyarankan perpustakaan untuk bergerak dari Malone dalam tulisannya yang berjudul “Toward
toleransi perbedaan ke apresiasi proaktif. Dalam
dengan pendekatan History” mengungkapkan bahwa selama ini
a Multicultural American Public Library
penulisan
sejarah
multikulturalisme, Rosemary dan kawan-kawan perpustakaan umum ditafsirkan sebagai lembaga
menyitir statistik yang merefleksikan perubahan yang mengedepankan ideologi budaya dominan.
demografi Amerika Serikat.
Ia mengusulkan pendekatan baru yakni melihat masyarakat (Amerika) yang multikultural dan
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan
Publik
Rosemary berpendapat bahwa usaha analisis
tidak terjadi. Tiadanya pemahaman mendasarkan pada perbedaan pertama-tama telah
juga
mengenai pentingnya perspektif multikultural dipandang sebagai prinsip yang terpisah, khusus,
dalam layanan di perpustakaan umum, atau opsional sebagaimana diperlawankan
meskipun mungkin dalam praktiknya sudah dengan prinsip esensial dari misi dan tujuan
dilaksanakan secara tidak sadar, akan perpustakaan. Pada tingkat perbedaan holistic,
menghambat terciptanya masyarakat multikultural menurut Rosemary analisis perpustakaan
yang bersedia menerima setiap perbedaan kultural seharusnya tidak mendasarkan pada perbedaan
sekaligus menghambat melainkan pada keadaan dan perubahan yang
maupun
agama,
perkembangan sosial masyarakat ke arah yang terjadi saat ini. Hal ini mungkin menuntut
lebih baik.
perlunya reorganisasi sumberdaya, staf, jasa, struktur, pengetahuan dan skill.
Agency
Untuk mendukung penelitian ini, kami dibimbing Dalam lingkup yang lebih global pentingnya
oleh paradigma yang kami dasarkan pada teori perspektif dan penerimaan atas multikulturalitas
strukturasi sebagaimana dikonsepkan oleh budaya sangat didorong oleh UNESCO (United
Giddens dan pluralisme normatif sebagaimana Nations Educational, Scientific and Cultural
diulas oleh John Bowen. Giddens menunjukkan Organization ) yang melihat bahwa perpustakaan
bahwa dalam suatu struktur, agensi yang terlibat umum merupakan tempat yang tepat bagi
di dalamnya dapat mengubah struktur dengan berkumpulnya seluruh bangsa di dunia, sebagai
berani menghadapi risiko. Dengan mengangkat tempat tumbuhnya kesederajatan di antara
agensi yang mengubah struktur, Giddens ingin mereka, dan tumbuhnya demokrasi. Pada tahun
memerlihatkan bahwa antara manusia yang 1972, yang kemudian direvisi tahun 1994,
berada dalam suatu struktur sosial dan masyarakat lembaga tersebut mengeluarkan manifesto yang
terdapat proses yang saling menopang. menyatakan bahwa perpustakaan umum sebagai kekuatan yang nyata bagi pendidikan,
Selain teori strukturasi Giddens, kami juga kebudayaan, informasi, dan sebagai agen penting
mengambil pandangan John Bowen mengenai untuk membina perdamaian dan kesejahteraan
pluralisme normatif di Indonesia (Kymlicka & spiritual melalui pemikiran umat manusia.
He, 2005) dan pandangan Andre Vltchek (2014) Tepatnya, manifesto tersebut menjelaskan
mengenai Indonesia sebagai sebuah Nusantara bahwa
yang selalu diliputi ketakutan sebagai titik memberikan layanan kepada masyarakat umum
berangkat sekaligus pembanding bagi penelitian tanpa memandang latar belakang pendidikan,
ini. Bowen dan Vltchek menunjukkan bahwa agama, adat-istiadat, umur, jenis kelamin dan
konstruksi sosial masyarakat cenderung mengarah sebagainya.
kepada menguatnya kolektivisme kelompok sejak era reformasi terutama melalui penerapan
Sayangnya, di Indonesia, manifesto tersebut
otonomi daerah.
belum sepenuhnya dirasakan di perpustakaan umum. Pada umumnya, pustakawan dan
Paradigma tersebut dipakai mengingat pada pemustaka belum memahami pentingnya
umumnya konsep multikulturalisme dikaitkan perspektif
dengan kenyataan pluralisme kebudayaan; agama perpustakaan umum. Menurut Sumaryanto dan
dan identitas etnik dalam sistem politik demokrasi Laksmi (2012), antara pustakawan dan kurator di
yang memberi ruang yang terbuka bagi ekspresi lembaga museum yang sewajarnya bersinergi
toleransi untuk tumbuh dan berbeda secara adil untuk meningkatkan layanan kepada publik
dan damai.
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
berhadapan dengan praktik layanan perpustakaan
Masalah Penelitian
dikaitkan dengan isu multikultural dan bagaimana Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini
mereka bereaksi terhadap masalah tersebut. ingin mengetahui bagaimana perpustakaan sebagai salah satu sarana merajut perilaku
Para informan dari bagian layanan diseleksi dari multikulturalistik sebagai sumber pengetahuan,
pustakawan perpustakaan BPAD-DKI Jakarta tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan sebagai
yang ada di Kuningan. Sedangkan dari bagian satu sistem informasi yang berada di bawah
pengadaan, diseleksi dari pustakawan di kantor kendali suatu struktur politik yang lebih besar
Pusat BPAD Pulomas. Peserta ditentukan dengan dalam suatu mayoritas tidak menjadi sarana
metode purposive sampling, dengan kriteria staf penyadaran sikap multikultur, sebaliknya menjadi
yang sudah bekerja selama 3 tahun atau lebih suatu tempat penanaman ideologi golongan
yang bekerja di bagian pengadaan dan pelayanan. tertentu saja. Data yang diperoleh dianalisis dengan
Tujuan Penelitian
mengaitkan, mengelompokkan, membandingkan, Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan
dan memahami data dan informasi secara investigasi terhadap perspektif multikultural yang
terintegrasi yang diperoleh dari hasil diskusi para dimiliki perpustakaan umum dalam layanan
peserta.
publiknya. Alasan inilah yang mendorong kami mengadakan penelitian mengenai perspektif
Temuan
multikultural di
Tiga tema yang dipilih untuk dianalisis adalah Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI
perpustakaan
Badan
pemahaman para informan
Jakarta. mengenai konsep multikultural dan bagaimana mereka melihat itu dalam hubungannya dengan
Metodologi Penelitian
pekerjaan mereka serta pandangan mereka Penelitian ini akan menggunakan pendekatan
tentang fakta-fakta yang menunjukkan bahwa kualitatif dengan metode FGD atau focus group
sering masih terjadi konflik disebabkan karena discussion. Metode pengumpulan data mirip
perbedaan budaya maupun agama. Yang kedua dengan metode wawancara mendalam, yang
adalah tema mengenai agency sebagaimana diperoleh dari beberapa orang sekaligus. Metode
dikonsepkan oleh teoritikus sosial Anthony tersebut memungkinkan peneliti mengetahui
Giddens, lalu peran perpustakaan dalam konteks tingkat pemahaman, pola pikir, dan reaksi peserta
multikulturalisme. Ketiga tema ini diangkat ketika mendiskusikan masalah dan praktik
karena berkaitan dengan tujuan penelitian yakni multikulturalistis di perpustakaan mereka.
mengkaji perspektif multikultural di lingkungan Dengan kata lain, metode FGD adalah teknik
perpustakaan dalam hal ini di wilayah DKI mengumplkan data untuk menemukan perspektif
Jakarta.
multikultural di perpustakaan umum tempat mereka bekerja dan bagi pemustaka sebagai
Pemahaman tentang Konsep Multikultural
tempat mereka mencari informasi. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Robert W. Hefner et al. (2001) menunjukkan
Diskusi pertama-tama diarahkan pada bagaimana bahwa secara umum masyarakat kita menyadari mereka mengindentifikasi isu-isu multikultural
adanya beragam kelompok sosial masyarakat dalam praktik layanan dan pengadaan di
dengan tradisi dan kultur yang berbeda; bahwa perpustakaan.
perbedaan kultural selalu ada dalam interaksi mendengarkan pengalaman setiap peserta dalam
masyarakat. Dalam konteks sekarang ini, tidak
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan
Publik
ada interaksi sosial yang tidak bersentuhan negara kan suku dan agama punya hak yang dengan perbedaan kultural. Seorang yang berasal
sama, kalau pun ada pendapat seperti itu lebih ke dari Jawa misalnya, sudah pasti dalam
personnya, tapi secara aturan sih siapa pun kehidupannya pernah terlibat berhubungan
berhak, tidak memandang agama atau suku” dengan seseorang yang berasal dari daerah lain
(Susi).
dalam suatu peristiwa yang dialami bersama, bahkan berinteraksi dengan orang dari negara
“Kami melayani siapa saja, tanpa melihat siapa lain.
dia, apa warna kulitnya, rasnya, sukunya atau asalnya, orang asing atau orang Jawa kalau
Hal yang sama ditemui dalam penelitian ini. Para mereka menanyakan yang sulit dijawab kita pustakawan adalah orang yang dalam kerja
nanya teman. Kita bisa tahu dari kepuasan mereka selalu berhadapan dengan klien yang
mereka. Hanya kadang logat mereka beda dari datang dari berbagai latar belakang sosial dan
kita. Kalau saya, kalau mereka datang dengan kultur yang berbeda. Sebagai orang yang
baik kita layani dengan baik. Kita tidak bertanya berstatus pegawai negeri sipil, mereka umumnya
anda dari suku apa? Kita berusaha bersikap baik.” menyadari adanya perbedaan kultural dalam
(Norma)
konteks bernegara. Bagi mereka, melayani pemustaka mutlak Hanya ketika ditanyakan mengenai konsep
dilakukan karena itulah tugas mereka. Tidak multikultural dan bagaimana
penting apakah pemustaka itu seseorang yang dari mereka melihat keragaman ini, para informan
tampilannya menunjukkan bahwa dia tidak satu yang ada tidak dapat memberi jawaban. Namun
kultur maupun satu agama dengan diri mereka. ketika ditanya tentang bagaimana keragaman itu
Kalau ada yang memandang bahwa perbedaan mereka lihat dalam layanan publik di
kultur itu harus menentukan dalam sebuah kerja, perpustakaan, mereka menjawab dengan lancar.
menurut mereka hal itu lebih pada pandangan “Layanan publik adalah layanan yang semaksimal
orang tertentu dan bukan berdasarkan aturan yang mungkin,
ada. Hal itu terungkap dalam salah satu mungkin,” demikian ungkap Sari. Bahkan ia
wawancara dari bagian layanan. menjelaskan lebih lanjut bahwa proses menjadi anggota cukup lima menit saja.
Di bagian pengadaan nampak bahwa konsep multikultural sudah ada di benak pimpinan atau
Para informan mengungkapkan bahwa mereka agen namun konsep multikultural yang ada di tidak memandang perbedaan kultural sebagai hal
benak mereka itu belum muncul dalam kebijakan yang harus menghalangi dalam melayani para
tertulis apalagi sebagai praktik pengadaan. pemustaka perpustakaan. Ini terungkap dalam
Bahkan dapat dikatakan bahwa apa yang ada di salah satu pembicaraan mengenai layanan publik.
benak mereka bertentangan dengan praktiknya di lapangan:
“Dari mulai tahun 2000 kita terbuka. PNS nya sudah mulai dari suku mana saja. itu sudah lewat.
“Kalau secara… secara apa namanya SK PNS nya sudah mulai banyak dari suku mana
Gubernurnya saya belum baca ya Pak, tetapi saja.” (Kadir)
selama
Kepala Bidang Pengembangan Koleksi, saya belum temukan,
saya
menjadi
“Kalau menurut saya sih begini ya, sebenarnya cuman setiap tahunnya kita buatkan seperti kan kita sebagai warga
kebijakan itu ya Pak, misalnya kita dapat masukan dari beberapa pihak, pokok kita pernah
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
buat semacam kuesioner begitu, kira-kira apa keanggotaan Perpustakaan Umum Daerah yang diminati, kemudian yang paling utama itu
(BPAD) DKI Jakarta. Selain memberikan layanan kita dapat masukan dari pelayanan. Kira-kira
kepada pemustaka penduduk DKI juga kepada sih… subjek apa sih yang diminati oleh
mereka yang bertempat tinggal di luar DKI pengunjung perpustakaan, kemudian kita melihat
termasuk orang asing. Mereka yang bertempat tren di masyarakat… masyarakat itu seperti apa.
tinggal di luar DKI Jakarta juga diijinkan untuk Kita buat setahun- setahun.” (Kepala Bidang
membaca di tempat bahkan mendaftarkan diri Pengembangan Koleksi BPAD DKI Jakarta)
sebagai anggota istimewa.” (Kadir) Memang, secara umum kita tidak mempunyai kultur yang dapat kita sebut sebagai Kultur
keanggotaan istimewa Indonesia. Yang ada adalah kultur lokal, seperti
Menurut
mereka,
keterbukaan terhadap kultur Bali, Aceh, Madura dan sebagainya
merupakan bentuk
perbedaan. Hal ini diungkapkan oleh para (Vltchek, 2012: 202). Kultur yang berbeda-beda
informan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa ini berada dalam satu wilayah Negara yang
dengan memberi keanggotaan istimewa kepada karena disatukan oleh sebuah imajinasi tentang
orang dari luar DKI Jakarta, hal itu akan kesatuan, yang disebut sebagai kesatuan nasional.
mempromosikan perpustakaan DKI Jakarta. Kesatuan yang diimajinasikan dan dijaga melalui doktrin Bhineka Tunggal Ika.
“Tidak hanya mempromosikan perpustakaan. Ternyata perpustakaan di Jakarta itu cukup layak
Kebhinekaan ini nampaknya cukup disadari oleh untuk dikenali orang asing, mungkin tidak PNS yang ditempatkan di lingkungan BPAD DKI
sekedar cenderamata. Untuk gambaran mereka. Jakarta. Dari pengamatan yang kami lakukan,
DKI ini punya. Bisa mengakomodir keinginan pemustaka tidak dibatasi hanya pada orang
mereka. Supaya mereka tertarik.” (Susi) tertentu atau masyarakat dari kelompok tertentu saja. Bagi mereka menerima setiap orang yang
Secara umum, perpustakaan tempat penelitian datang dengan tujuan menggunakan sumber
berlangsung menyediakan sumber dan sarana informasi yang tersedia di perpustakaan
informasi yang memadai sehingga mempermudah merupakan layanan yang sifatnya multikultural
pemustaka serta memberi kenyamanan bagi ditampakkan melalui praktik layanan yang
pemustaka yang mau membaca. Ada beberapa melampaui ekslusivitas target layanan misalnya
komputer yang disediakan bagi pengguna internet penduduk DKI Jakarta.
tersebut dengan jatah pemakaiannya 30 menit setiap pemakai. Menurut mereka, layanan tersebut tidak terbatas pada kelas menengah ke atas seperti pegawai
di perpustakaan
Selain itu, di lantai 7 ada beberapa kemudahan negeri atau pegawai swasta, para mahasiswa dan
yang bisa diperoleh seorang pemustaka atau pelajar, tetapi terbuka untuk siapa saja yang ingin
anggota perpustakaan antara lain: peminjaman memanfaatkan perpustakaan seperti sopir taksi,
dan pengembalian buku secara mandiri secara tukang ojek dan sebagainya. Bahkan ada anggota
online, layanan wifi secara gratis bila membawa kehormatan.
laptop, tempat baca yang nyaman, dan pengelompokan buku yang memudahkan
“Biasa kita menerima kunjungan dari sesama pencarian secara merawak maupun secara online. anggota BPAD, anggota dewan. Kita buatkan
Di lantai 7 disimpan koleksi buku yang dapat kartu. Tapi itu sebenarnya cuma cenderamata.
dipinjam dan dibawa pulang. Sedangkan pada Mereka juga belum tentu pinjam karena dari luar
lantai 8 dikhususkan sebagai tempat baca saja, di kota. Kita buatkan kartu tetapi tidak di database
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan
Publik
mana buku rujukan dan terbitan berkala seorang Pustakawan di bidang layanan. Informan disediakan untuk dibaca di tempat.
Norma juga menceritakan bahwa pernah seorang Bapak berjenggot dan bercelana komprang
Dari hasil yang diperoleh di tempat penelitian, menunjukkan sebuah buku kepadanya dan beliau nampak bahwa kenyataan adanya keragaman
meminta agar buku tersebut tidak dipamerkan budaya diakui dan diterima. Tapi, penerimaan
atau ditempatkan di rak.
tersebut di lingkungan BPAD semacam berada pada lapis fisik dan lapis sosial. Bahwa mereka
Ini adalah suatu bentuk penyensoran yang menerima adanya perbedaan kultural maupun
ditanggapi pustakawan dengan tenang dan dengan agama lebih disebabkan oleh konstruksi dari atas,
menunjukan kepada orang tersebut slip dari negara bagi pegawainya. Penerimaan itu
peminjaman di buku tersebut yang masih kosong. masih dalam tataran mengikuti aturan pelayanan
Norma menegaskan bukti bahwa buku tersebut perpustakaan.
belum pernah dipinjam. Keadaan ini meredam niat untuk menyensor. Tindakan pustakawan
Secara normatif ada pengakuan atas keragaman seperti yang ditunjukan informan Norma ini kultur tetapi pengakuan normatif tersebut belum
sangat sederhana namun bisa dipahami sebagai menjadi sebuah set of responses (rangkaian
salah satu dukungan terhadap keberagaman dalam tanggapan) dalam masyarakat secara lebih luas.
pengertian tidak mendukung tindakan menutup Artinya, penerimaan ini belum mengubah
akses terhadap informasi.
konstelasi lapis mental simbolik masyarakat yang bersifat kolektif. Singkatnya ada penerimaan atas
“Ada orang mendatangi saya. Ia mengatakan kenyataan multikultural, tetapi fakta multikultural
Tolong buku ini jangan ditayangkan di rak ya Bu? tersebut belum menjadi sebuah nilai normatif
Saya menjawab: Bapak tidak perlu kawatir kita sebagai paham.
lihat saja di halaman terakhir (slip peminjaman) masih kosong. Berarti tidak ada yang minjem.
Peran Agency di dalam memasyarakatkan
Kalau Bapak kurang puas bisa menulis di kotak
saran. Orang itu menjawab: tidak usah Bu.” Dari hasil yang diperoleh selama penelitian ini,
multikulturalisme
(Norma)
agency sebagai
penggerak
untuk
memasyarakatkan kesadaran multikultural belum Tindakan di atas sejalan dengan agency yang berada pada titik signifikan. Agency yang kami
dikonsepkan oleh Giddens sebagai aktor yang temukan lebih pada upaya mengefektifkan
berani melakukan tindakan dan menghadapi struktur kerja birokrasi, jadi nampaknya lebih
risiko. Sebagai contoh lainnya kita temukan untuk melayani struktur itu sendiri. Artinya,
dalam diri Jokowi ketika sebagai Gubernur DKI perubahan yang dilakukan dalam struktur itu
Jakarta secara tegas menolak mengikuti lebih karena penentuan yang sudah ada
‘pemberontakan’ masyarakat Lenteng Agung menyangkut penempatan pegawai negeri sipil.
yang mayoritas Islam untuk menurunkan Dan pada momen penempatan itu, agency dapat
lurahnya karena tidak termasuk dalam golongan memengaruhi
mayoritas Islam.
penempatan orang-orang
sesuai
dengan
kebutuhan kerja dalam struktur bersangkutan. Agency semacam itu belum nampak signifikan di “Ya, saya meminta, jangan mengirimkan orang
lingkungan BPAD. Peran yang dilakukan oleh tua ke sini” begitu pengakuan Sari, Kepala Sub
para pustakawan di lingkungan BPAD masih Bidang Layanan di BPAD. Kami selalu siap
pada taraf self-preservation demi kebutuhan ditempatkan di mana saja” ungkap Norma,
hidup secara pribadi. Bagaimana membantu para
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
pemustaka, melakukan pengadaan dan layanan kesamaan hak-hak politik, yang seharusnya paket informasi adalah kegiatan yang menjadi
melalui perpustakaan. rutinitas mereka. Tetapi sebagai agency yang
disosialisasikan
Selanjutnya akan dilihat peran perpustakaan bertindak di luar kebiasaan dengan tujuan
dalam konteks ini.
memasyarakatkan nilai multikulturalisme tidak nampak signifikansinya.
Peran Perpustakaan dalam peningkatan kesadaran multikultural
Singkatnya, pada diri agency yang berada di
dan pendidikan, lingkungan BPAD sudah tertanam kesadaran akan
multikultural sudah dibicarakan dan disuarakan perbedaan kultur dan pentingnya sikap toleransi
dan malah dikonsepsikan dalam hubungan atas perbedaan tersebut, namun kesadaran itu
dengan politik. Bahkan Bhineka Tunggal Ika belum bergerak melampuai yang ada, bergerak
sebagai bahasa yang mengungkapkan perbedaan- untuk secara proaktif mendukung dan
perbedaan yang tetap dapat disatukan terpampang mengapresiasi keragaman kultural secara sosial
pada lambang negara yakni burung garuda. dan politik. Di perpustakaan kita dapat menemukan berbagai Dari bidang pengadaan, para pustakawan sebagai
sumber yang berbicara mengenai keragaman agen pengembangan kesadaran multikultural
budaya dan masalah-masalah yang menyertainya. belum menampakkan signifikansi yang memadai.
Namun, kelihatannya Perpustakaan masih Konsepsi multikultural sudah ada di benak
dipahami sekedar sebagai gudang penyimpanan pimpinan namun hal itu belum diwujudkan dalam
informasi. Perpustakaan bagi para pelajar, aturan tertulis sebagai strategi pengadaan.
mahasiswa dan peneliti adalah tempat mereka Pengadaan atas buku-buku masih tergantung pada
menemukan sumber referensi demi menunjang masukan pemustaka melalui bidang layanan
tujuan mereka. Sebaliknya, perpustakaan sebagai kepustakaan. Selain, itu birokratisasi pengadaan
tempat berlangsungnya ‘komunikasi ide’ membuat
sebagaimana diungkapkan oleh Jesse Shera
perpustakaan, belum dimensi toleransi yang seharusnya terkandung
sepenuhnya pada sistem yang ada, ini berarti
seorang
pemikir
diperlihatkan secara signifikan. dalam perspektif multikultur belum diterima sebagai “komponen objektif” (Rainer Forst dalam
dalam Dokumen McKinnon & Castiglione, 2003: 72) yang
Sebagai
perbandingan,
Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat menentukan di dalam ruang publik. Kalau pun
Daerah Propinsi DKI Jakarta, khususnya SKPD ada toleransi, sikap itu masih lebih berupa sebuah
BPAD TA 2013, terbaca beberapa program kerja ‘sikap mengizinkan’ yang diberikan oleh
perpustakaan dengan masyarakat umum sebagai mayoritas kepada minoritas. Sikap yang oleh
sasaran. Program dengan sasaran semacam itu Forst disebut sebagai legal act, yakni penerimaan
antara lain: pengembangan komunitas pemustaka atas kehadiran kelompok minoritas sejauh
dan anggota, bulletin BPAD propinsi, program kelompok minoritas itu diterima berdasarkan
wajib kunjung perpustakaan, taman baca norma-norma yang diturunkan dari negara (Ibid.,
masyarakat, festival abang dan none buku sebagai 73).
duta baca dan pengadaan bahan-bahan perpustakaan terbaru terutama media informasi
Dengan demikian gambaran yang diperoleh berkala seperti koran, majalah, dan tabloid, serta adalah perspektif multikultural belum menjadi
program edugames. Salah satu program yang multikulturalisme yakni sebagai perangkat nilai
dikhususkan di tingkat kelurahan adalah normatif yang harus ada dan diterima karena ada
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan
Publik
sosialisasi dan pemasyarakatan pengelolaan Ada juga program edugames yang diarahkan pada perpustakaan kelurahan.
anak-anak. Tetapi program itu tidak diarahkan pada upaya menumbuhkan kesadaran dan
Kebijakan ini masih harus didalami untuk penerimaan fakta multikultural. Dengan hasil mengetahui seberapa jauh sasaran itu dapat
sementara dari tempat penelitian, satu hal yang dikatakan
umumnya terjadi adalah bahwa multikultural contohnya, dapat memunculkan pertanyaan
sebagai diskursus akademis maupun diskursus apakah kegiatan Abang dan None Buku sebagai
dalam ruang-ruang politik sudah merupakan duta baca itu berhubungan juga upaya mendorong
bahan utama terutama ketika masyarakat terjebak masyarakat untuk membaca bacaan yang
dalam konflik-konflik berwarna SARA. Namun berkaitan dengan kultur atau agama lain dengan
multikultur sebagai sebuah perspektif yang tujuan memerluas horizon berpikir tentang fakta
menentukan penentuan sebuah program di multikultural masyarakat kita atau tidak. Contoh
lingkungan BPAD belum menjadi cara yang lain misalnya, anggaran yang disediakan untuk
dipakai.
pengadaan bacaan-bacaan baru lebih menyangkut media informasi berkala seperti koran, majalah
Kendala
Pengembangan Perspektif
dan tabloid.
Multikultur
Dari hasil penelitian kami menemukan kendala Dalam wawancara yang kami lakukan, memang
utama pengembangan multikulturalisme lewat kelihatannya progam-program dengan sasaran
perpustakaan. Kendala utama yang membuat masyarakat
belum memiliki multikultur. Ada pengembangan keanggotaan
pengaruhnya yang signifikan adalah pola pikir menyangkut pemustaka dari daerah lain, tetapi
para pengambil dan penentu kebijakan. Di situ, motivasinya sebagaimana diungkapkan oleh
perspektif individu atau sebutlah agency dalam beberapa petugas perpustakaan lebih bertujuan
konsepsi Giddens masih dibatasi pada program publisitas atau promosi dan tidak dalam rangka
tahunan yang menjadi kelaziman, sehingga pengembangan multikultur.
perhatian kepada multikulturalisme sebagai fakta sosial yang mesti diupayakan belum nampak.
“Sesama BPAD dari daerah mana misalnya, atau Selain itu, dari hasil FGD bisa terlihat bahwa anggota Dewan, setiap kali datang dibuatkan
pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya masih Kartu Anggota, tetapi itu sebenarnya, cuma ini aja
dikuasai juga oleh pola pikir yang bersifat sebagai cenderamata, atau kenang- kenangan.”
segmental. Hal ini barangkali disebabkan karena (Kadir).
komunitas kultural masih dipahami sebagai sumber legitimasi bagi suatu kelompok
memertahankan dan itu, mungkin kemudian ada keluarga mereka yang
Maksud dari pembuatan kartu anggota semacam
masyarakat
untuk
meloloskan kepentingan kelompok tertentu datang ke Jakarta, mereka sudah bisa tahu di
(Bowen dalam Kymlicka & He, 2005: 156). mana letaknya perpustakaan di Jakarta, lanjutnya menjelaskan.
Dengan cara pikir seperti itu, menjadi tidak “Dengan pembuatan seperti itu, mereka tahu kalo,
masalah bahwa sebuah program pemerintah tidak oh, di Jakarta itu seperti ini, bahwa Perpustakaan
harus mempertimbangkan fakta keragaman DKI menampung keinginan mereka menjadi
budaya dalam sebuah kebijakan. Kebijakan lebih anggota,” (Susi).
diarahkan kepada bagaimana mencapai suatu tujuan tertentu tanpa harus memerhatikan apakah tujuan
tersebut
mendukung kesadaran
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
multikultural dan penerimaan perbedaan atau Chu, Clara M. (1995). Commitment to tidak. Maka rumusan program juga tergantung
Multicultural Library and Information pada persepsi yang ada. Dari penelusuran atas
Science Education: Part 2 - A Model for catatan program kerja tahun anggaran 2013,
Success, EMIE Bulletin, 12(4): 4-11, ditemukan bahwa multikultural tidak merupakan
Summer.
sebuah bingkai perspektif dalam merumuskan Cuban, Sondra. (2007). Serving New Imigrant kebijakan-kebijakan yang ada. Selain itu,
Communities in The Library. Westport, perpustakaan masih lebih menempatkan diri
Connecticut: Libraries Unlimited. sebagai sumber informasi bagi mereka yang
Goldberg, David Theo. (1994). Multiculturalism: berkepentingan baik itu dalam bidang pendidikan
A Critical Reader. Oxford & Cambridge: maupun penelitian.
Basil Blackwell. Gorman, G.E. et al. (2004). Qualitative Research
Kesimpulan
for The Information Profesional: A Hasil penelitian memberi pemahaman bahwa
Practical Handbook. London : Facet perspektif multikultural belum menubuh ke dalam
Publishing.
praktik layanan melalui program-program Greenhalgh, Liz & Ken Worpole. (1995). terencana di BPAD DKI Jakarta. Jadi para
Libraries in A World of Cultural Change. pustakawan sebagai agen sosial lebih berperan
London : UCL Press.
sebagai fasilitator bagi para pemustaka di Hartmann, Douglas & Gerteis, Joseph. (Jun., perpustakaan.
2005). Dealing with Diversity: Mapping komponen objektif belum sepenuhnya menjadi
Multikulturalisme
sebagai
Multi-culturalism in Sociological Terms, komponen subjektif yang menentukan bagi
Sociological Theory , Vol. 23, No. 2, p. 218- perilaku multikulturalisme. Peran perpustakaan
dalam pembentukan masyarakat multikultur IFLA/UNESCO Multicultural Library Manifesto. belum sepenuhnya menjadi tempat komunikasi
(2012). The Multicultural Library: a pengetahuan
gateway to a cultural diverse society in multikultural. Hal ini disebabkan karena gagasan
multikulturalisme belum menubuh ke dalam Jhonson-Cooper, Glendora. (Jul., 1995). Riview program-programnya berakar dalam pengetahuan
Multiculturalism in Libraries by Rosemary yang belum meluas (enlargement individual
Ruhig du Mont, Louis Butlar, William horizon ).
Caynon. The Library Quarterly, Vol. 65, No. 3, hlm. 351-352.
Daftar Pustaka
Kesselman, Martin Alan and Irwin Weintraub Berry, Evette (2008). Multicultural Services in
(eds.). (©2004). Global Librarianship. New Canadian Public Libraries. Bibliothek 32
York: Marcel Dekker.
2008 No. 2. hlm. 237 – 242. Kymlicka, Will (2003) Kewargaan Multikultural: Bowen, John. (2005). Normative Pluralism in
teori liberal mengenai hak-hak minoritas Indonesia: Regions, Religions, Ethnicities,
Jakarta: LP3ES
in Kymlicka, Will and He, Baogang, Laksmi (2011). Pendekatan interaksi sosial dlm Multiculturalism in Asia. Oxford: Oxford
penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. University Press, hlm. 152-169.
Libraria, Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Budianta, Melani. (2006). Meretas Batas:
Informasi, Vol. 1(1), Juli 2011, hlm.11-26 Humaniora dalam Perubahan Pidato
Lawanda, Ike Iswary (2012) Multikultural Dalam Pengukuhan Guru Besar Tetap FIB UI, 28
Perpustakaan Umum . Proceeding Seminar Januari 2006. Depok: Universitas Indonesia.
International Multikultural dan Globalisasi
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan
Publik
Leckie, Gloria J., et al. (2010). Critical Theory for Library and Information Science. California, Colorado & Oxford: Libraries Unlimited.
Malone, Cheryl Knott. (2000) Toward a Multicultural American Public Library
History Libraries & Culture, Vol. 35, No.
1, Winter 2000 Parekh, Bhikhu (2012). Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius
Sumaryanto, Yohanes, and Laksmi. (2012). Synergy of Museum Library Constructing Cultural Heritage Information: Case Studies at t Museum Nasional and Museum Sejarah
Jakarta. Presented at 5 th Rizal Library International Conference, Manila 25-26
October. Vltchek, Andre. (2012). Indonesia: Archipelago of Fear. London: Pluto Press. Zielinska, Marie F. with Francis T. Kirkwood, (editors).
Multicultural
Librarianship: An International Handbook. Digest of Middle East Studies , v1 n4 (199210): 62-64
82