Jenis cacing yang paling sering ditemukan pada ayam petelur T
Tabel 2. Jenis cacing yang paling sering ditemukan pada ayam petelur T
1A Cestoda 50 K 77%
No Opsi Jawaban
E 4 6%
2B Nematoda 5 8% 3C Trematoda 6 9%
Cestoda merupakan cacing yang siklus hidupnya memerlukan inang antara.Inang antara cestoda L
4 Tidak menjawab
Total
antara lain semut, lalat dan kumbang beras. Inang antara tersebut termasuk sering ditemukan di peternakan ayam yang sanitasinya kurang baik. Penelitian ini dilakukan pada peternakan dengan rataan populasinya 17.433 ekor ayam.Peternakan tersebut termasuk dalam peternakan kategori empat (4) yaitu termasuk peternakan rakyat dengan populasi kurang dari 20.000 ekor dan umumnya dikelola
kurang profesional dan tidak terlalu memperhatikan sanitasi kandang dan lingkungan perkandangan. Tabel 3.Frekuensi Pemberian Antelmintik
1A Setiap 3 bulan sekali rsi 21 32%
Opsi No
Keterangan Frekuensi Persentase
Jawaban
ve Total 65 100%
2B setiap 2 bulan sekali
3C setiap 6 bulan sekali
4D setahun sekali
Untuk mengendalikan infeksi cacing, sebagian besar (69 persen) peternak ayam petelur di Kabupaten Malang biasanya memberikan antelmintik setiap dua atau tiga bulan sekali. Pemberian tersebut tanpa didahului dengan pemeriksaan adanya telur cacing dan jumlah cacing yang menginfeksi.
Pemberian antelmintik sebaiknya disesuaikan dengan derajat infeksi cacing Derajat infeksi adalah banyaknya jumlah telur/larva/cacing dewasa yang ditemukan di dalam tubuh ternak. Apabila jumlah cacing tinggi maka perlu diberikan antelmintik agar cacing mati dan tidak menyebabkan gangguan produktivitas atau kematian. Namun apabila jumlah cacing masih sangat sedikit maka tidak perlu diberikan antelmintik, karena adanya antigen cacing dengan jumlah yang sedikit di dalam tubuh ternak akan memicu kekebalan ternak terhadap parasit tersebut. Pemberian antelmintik terus menerus selain tidak ekonomis juga dapat meningkatkan peluang terjadinya resistensi cacing terhadap obat yang diberikan.
antelmintik secara rutin tanpa pemeriksaan terlebih dahulu seharusnya tidak dilakukan. Melalui IK
Siklus hidup cacing umumnya berkisar sekitar satu sampai tiga bulan.Oleh karena itu pemberian antelmintik setiap dua bulan sekali bertujuan untuk memutus siklus hidup cacing. Namun pemberian
pemeriksaan jumlah telur cacing/larva di dalam tinja dapat diketahui tinggi rendahnya derajat infeksi. Pemberian antelmintik sebaiknya hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan yaitu apabila jumlah telur cacing sudah tinggi. Sebagai contoh untuk Ascaridia galli, pengobatan bisa diberikan apabila N jumlah telur cacing sudah melebihi 500.
Jenis antelmintik yang sering digunakan peternak berturut-turut adalah lima puluh empat (54) persen golongan Benzilmidazole seperti levamisole dan albendazole; dua puluh lima (25) persen menggunakan piperazine, empat belas (14) persen menggunakan niklosamide sedangkan lima O peternak menjawab tidak tahu persis jenis obat cacing yang dipakai. Peternak kelompok yang terakhir merupakan peternak yang kurang peduli terhadap infeksi cacing dan masalah obat diserahkan kepada petugas dari perusahaan obat. Zalizar (2009) dan Zalizar &Satrija (2009), telah mengamati bahwa R telah terjadi penurunan efikasi obat cacing paten yang dijual di pasaran yaitu untuk antelmintik albendazole (dosis tunggal 7,5 mg /kg BB) terhadap stadium larva A. galli pada dosis infeksi cacing ringan hanya 76 persen (kurang efektif) sedangkan efikasi antelmintik piperazin terhadap ayam yang T mendapatkan dosis infeksi cacing ringan hanya mencapai 69 persen (tidak efektif). Sedangkan menurut Vercruysse et al. (2002), penggunaan antelmintika pada unggas sebaiknya menggunakan obat yang mempunyai efikasi 90 persen atau lebih untuk mencegah terjadinya resistensi.
Walaupun peternak secara rutin memberikan antelmintik namun sebanyak delapan puluh lima (85) persen peternak berpendapat bahwa meskipun diberi antelmintik, kasus kecacingan tetap ada. Lima puluh tujuh (57) persen peternak menggunakan antelmintik jenis yang sama selama minimal tiga (3)
tahun berturut-turut. Frekuensi pemberian antelmintik dengan jenis yang sama dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya resistensi cacing terhadap antelmintik (Bjørn ,1992; Ridwan et al 2000; Bartley et al.,2003; da Cruz et al.,2010). Alasan peternak mengapa memakai antelmintik L dengan jenis yang sama selama bertahun-tahun adalah merasa sudah cocok, sudah terbiasa dan telah banyak dipakai oleh peternak lain di sekitarnya.
ayam rata-rata. Seharusnya dosis yang diberikan tidak berdasarkan bobot rata-rata ternak namun E
Dalam penentuan dosis antelmintik enam puluh lima (65) persen peternak berdasarkan bobot badan
bobot badan individual. Hal ini karena ternak yang mempunyai bobot badan yang lebih tinggi dari rata-rata akan mendapatkan dosis obat yang lebih rendah dari yang dibutuhkan (under dosing). Hal ini dapat menyebabkan hanya cacing yang sangat peka saja yang mati sedangkan yang lainnya tidak mati dan dapat mengembangkan sifat kebal terhadap antelmintik kepada keturunannya dan pada akhirnya dapat menyebabkan resitensi terhadap antelmintik (Burgessa et al. 2012).
rsi
Sebagian peternak menganggap bahwa pemberian dosis obat berdasarkan bobot badan individual tidak praktis dan membutuhkan alat timbang otomatis (Burgessa et al ,2012),. Namun sebenarnya tidak terlalu sulit dalam praktek cukup menandai ayam dengan bobot badan lebih tinggi dari rata-rata (secara pengamatan fisik) misal diberi warna bulunya dan kemudian diberikan dosis sesuai bobot badannya.
ve
Delapan puluh sembilan (89) persen peternak tidak pernah menggunakan obat herbal dalam mengendalikan penyakit kecacingan karena menganggap tidak efektif. Sejumlah obat herbal sudah banyak diteliti mempunyai daya membunuh cacing antara lain yaitu larutan bawang putih (Zalizar dan Rahayu,2000) dan ekstrak biji labu merah (Zalizar,2007). Sikap peternak yang jarang mencari Delapan puluh sembilan (89) persen peternak tidak pernah menggunakan obat herbal dalam mengendalikan penyakit kecacingan karena menganggap tidak efektif. Sejumlah obat herbal sudah banyak diteliti mempunyai daya membunuh cacing antara lain yaitu larutan bawang putih (Zalizar dan Rahayu,2000) dan ekstrak biji labu merah (Zalizar,2007). Sikap peternak yang jarang mencari