Komunikasi Estetik Dalam Antologi Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lestari, Dewi. 2006. Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Nasution, Ikhwanuddin. 2012. Membangun Kreatifitas Dalam Nafas Sastra. Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia FIB USU.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gajah Madah University Press.

Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia: Kaji Bahasa Karya Sastra. Medan: USU Press.

Rousydiy, T.A Latief. 1989. Dasar-dasar Rhetorica: Komunikasi dan Informasi. Medan: Firma Rinbow.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bungai Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti.

Suroso, Puji Santosa dan Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori Metodologi

dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Terjemahan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsay. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzevetan. 1985. Tata Sastra. Okke K.S Zaimar, Apsanti Djoko-Suyatno, dan Talha Bachmid (Pen). Jakarta: Jambatan.


(2)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel 3.1.1 Populasi

Populasi artinya keseluruhan objek yang dijadikan bahan penelitian (Pradopo, 2001: 28). Dalam KBBI (2000: 889) populasi diartikan sebagai sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dengan demikian, populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 cerita pendek dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.

3.1.2 Sampel

Sampel artinya keseluruhan objek yang memiliki ciri-ciri yang terkandung pada keseluruhan (Pradopo, 2001: 28). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 dari 18 cerita pendek dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Hal itu dikarenakan kelima cerpen yang dijadikan sebagai sasaran objek kajian dominan dibentuk oleh sejumlah aspek kebahasaan yang akan dibuktikkan melalui uraian unsur stile, misalnya jenis-jenis gaya bahasa yang muncul melalui aspek penyiasatan struktur dan pemajasan. Selanjutnya dilakukan pendeskripsian makna denotatif dan konotatif yang merujuk pada wacana sastra sebagai bentuk komunikasi estetik.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Endraswara (2008: 8) berpendapat bahwa yang jelas, apapun alasannya, sebuah penelitian memang membutuhkan metode. Tanpa metode, penelitian sastra


(3)

juga sekadar membaca untuk kenikmatan sementara. Dalam hal pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik snow ball-sampling. Pengambilan data secara demikian adalah pengambilan data yang berlangsung serempak dengan analisis dan berjalan terus menerus hingga suatu titik yang ditetapkan pengkaji itu sendiri karena pemikiran bahwa data yang diperoleh secara potensial sudah mampu diangkat sebagai bahan penjawab masalah (Aminuddin, 1995: 67).

3.2.1 Bahan Analisis

Sumber data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

Judul : Filosofi Kopi

Pengarang : Dewi Lestari

Penerbit : Bentang Pustaka

Tebal Buku : 142 halaman

Ukuran : 20 cm

Cetakan : Pertama

Tahun : 2006

Warna Sampul : Perpaduan warna cokelat dan hitam dengan judul berwarna putih

Gambar Sampul : Berupa ukiran dan gambar biji kopi


(4)

3.3 Metode Analisis Data

Kemudian sumber data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi. Ratna (2004: 548) mengemukakan sesuai dengan namanya analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat rumah tangga, dan media elektronik. Tetapi dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra. Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode kualitatif memberikan perhatian pada situasi alamiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan perhatian pada isi pesan.


(5)

BAB IV

KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

4.1 Unsur-unsur Stile (Style)

Fowler (dalam Nurgiyantoro, 1995: 278) mengemukakan bahwa struktur lahir adalah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diobservasi. Ia merupakan suatu bentuk perwujudan bahasa, performansi (kinerja) kebahasaan. Struktur batin, di pihak lain, merupakan struktur makna yang ingin diungkapkan. Pemilihan bentuk struktur lahir, dengan demikian, dapat dipandang sebagai teknik, teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Dua atau beberapa kalimat yang mirip maknanya dapat dianggap memiliki struktur batin yang sama, dan yang berbeda hanya struktur lahirnya saja. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa tak ada hubungan satu lawan satu antara bentuk dan makna. Makna bersifat konstan, sedang bentuk dapat bersifat bervariasi.

Unsur stile sebagai elemen pembentuk peristiwa komunikasi (teks) yang diuraikan dalam penelitian ini mencakup pada kategori penyiasatan struktur dan pemajasan. Artinya, analisis difokuskan pada pemanfaatan gaya bahasa berdasarkan aspek penyiasatan struktur dan pemajasan yang terdapat dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Berikut diuraikan unsur-unsur


(6)

4.1.1 Penyiasatan Struktur

Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan orang berangkat dari bentuk pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya repetisi, pararelisme, anafora, polisindenton, dan asidenton, sedangkan bentuk-bentuk yang lain misalnya antitesis, alitrasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris (Nurgiyantoro, 1995: 302). Berikut contoh jenis penyiasatan struktur yang terdapat dalam teks cerpen:

Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap, demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucino, espresso, Russian Coffe, Irish Coffee, macchito, dan lain-lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis. (Filosofi Kopi)

Pada kalimat baris ke-1 sampai ke-4 terdapat kata-kata yang disejajarkan penggunaanya, yakni memiliki bentuk gramatikal yang saling terkait sehingga memberi kesan di luar dari konteks kalimat. Adanya penggunaan antara kata

mengemis-ngemis dan mengorek-ngorek, menyelusup dan menyelinap merupakan

bentukan kata yang memiliki bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran bentuk kata itu mengandung gaya bahasa yang disebut dengan paralelisme. Keraf (2006: 126) mengemukakan bahwa pararelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran bentuk kata tersebut menonjolkan fungsi penggunaan yang sama pada masing-masing kata dan dimanfaatkan untuk mempertegas makna kata yang diuraikan secara artifisial.


(7)

Kemudian penyiasatan struktur kalimat tidak hanya dapat diidentifikasi dari bentuk pengulangan berupa kata atau kelompok kata, tetapi juga dapat diindentifikasi melalui bentuk kesamaan struktur gramatikal. Penggunaan bentuk ini merupakan struktur gramatikal yang sama dan menciptakan jenis gaya bahasa

paralelisme. Berikut ini merupakan contoh bentuk penyiasatan struktur gramatikal

yang sama, yakni:

Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, keikhiafannya untuk sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang hadir secara naluriah setiap kali kalian berjumpa. (Surat yang Tak Pernah Sampai)

Kata-kata menginginkan, membencimu, mendekati, menertawakan, dan

menyesalkan merupakan pengulangan struktur kalimat berupa bentuk awalan me-.

Bentuk kata yang sejajar itu diuraikan secara berurutan dan memiliki pola yang mirip dalam kalimat. Kesejajaran dalam kutipan teks di atas dibentuk sebagai pengungkapan yang bersifat kiasan. Gaya bahasa paralelisme yang tercipta tidak hanya sekadar terletak pada polanya, namun dapat dijadikan sebagai pengungkapan melodis. Dengan kata lain, bentuk yang sejajar itu menciptakan

efek estetik yang seirama baik dalam bentuk penulisan maupun dalam pembacaan.

Selain itu, bentuk penyiasatan struktur yang dimanfatkan berupa bentuk pengulangan yang menggunakan pungtuasi berupa tanda koma dalam satu gagasan untuk menciptakan jenis gaya bahasa yang disebut dengan asindenton

Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat

selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. (Surat yang Tak Pernah Sampai)


(8)

Teks di atas mengandung gagasan yang mendapat penekanan yang sama tetapi disusun dengan memanfaatkan tanda koma untuk mengapit struktur gagasan tersebut. Adanya pengulangan tanda koma dalam teks menandakan bahwa gagasan tersebut memiliki posisi yang sederajat dalam tingkat idenya. Artinya,

tanda koma difungsikan untuk menciptakan gagasan dengan penekanan yang

sama. Hal yang menarik dalam teks di atas yakni gagasan tersebut tidak hanya memanfaatkan gaya asindenton tetapi juga sekaligus memiliki gaya repetisi yang ditunjukkan dengan penggunaan kata kalau saja yang diuraikan secara berulang. Dalam hal ini Nurgiyantoro (1996: 303) menyebutkan bahwa penggunaan gaya

asindenton jika diselang-seling dengan gaya-gaya yang lain, akan mampu

membangkitkan efek retoris.

Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang teramat amat kusukai.

Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan

semua alasannya dulu (Sikat Gigi).

Sama halnya dengan bentuk penyiasatan struktur sebelumnya, teks di atas juga masih memanfaatkan bentuk pengulangan. Bedanya, pengulangan pada teks di atas berupa kata atau kelompok kata yang sama diletakkan pada awal kalimat dan bentukan itu menciptakan gaya anafora. Kata Ketakutan yang diulang ke dalam beberapa kalimat (kalimat kedua, ketiga, dan keempat) disebut juga dengan pengulangan anaforis yang memperlihatkan setiap kata yang mengawali kalimat tersebut memiliki penekanan yang sama dan menampilkan struktur yang simetris.


(9)

Ben benar. Aku tak bisa memaksanya. Tak ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus seperti lilin tertiup angin, sama nasibnya seperti kedai kami yang padam. Tutup (Filosofi Kopi).

Paragraf di atas diuraiakan dengan memanfaatkan gaya bahasa

asindenton yang berfungsi membentuk teks tanpa melibatkan pemakaian kata

penghubung untuk menciptakan gagasan yang utuh. Setiap kalimat pada teks tersebut dibentuk dengan melibatkan tanda baca titik sebagai acuan untuk menghubungkan gagasan kalimat. Asindenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf, 2006: 131).

Akan tetapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang diciptakan Ben. Dia tidak sekedar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi (Filosofi Kopi).

Pengulangan suku kata me- pada kata meramu, mengecap, dan

merenungkan memberi tekanan pada konteks kalimat Dia tidak sekedar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Bentuk perulangan itu

berfungsi menciptakan gaya repetisi, yakni bentuk perulangan berupa bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2006: 127).

Struktur kalimat pada baris ke-3 dan ke-4 di atas menciptakan gaya

klimaks yang menunjukkan semakin meningkatnya kadar gagasan tersebut (Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi). Pemanfaatan gaya bahasa klimaks juga terdapat pada struktur


(10)

Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. “BEN’s PERFECTO,” tandasnya mantap (Filosofi Kopi).

Dari awal hingga akhir pada kalimat di atas menciptakan urutan kalimat yang memperlihatkan semakin meningkat kadar pentingnya gagasan yang disampaikan. Hal menarik pada kalimat tersebut yakni terdapatnya perulangan kata senyum yang menciptakan gaya repetisi. Dengan demikian, struktur kalimat di atas memanfaatkan bermacam-macam gaya bahasa, yakni kombinasi gaya

klimaks dan repetisi yang semakin menyempurnakan bentuk pesan (isi), serta

dapat dimanfaatkan untuk memperjelas atau mengaburkan makna.

Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang

membuatku gelagapan, “Soalnya... ehm, soalnya...” Kubersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang menyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan (Sikat Gigi).

Jenis penyiasatan struktur pada teks di atas memanfaatkan sejumlah gaya bahasa, yakni gaya paralelisme dan anafora yang digunakan secara bersamaan. Bentuk pengulangan yang menciptakan lebih dari satu gaya bahasa menunjukkan bahwa teks itu memiliki variasi struktur dan menekankan penyampaian gagasan. Gaya paralelisme terletak pada bentuk pengulangan yang dibangun dengan struktur yang sejajar, yakni pada kalimat baris ke-1 sampai baris ke-4 (Kutatap dan Kubersihkan) dan (mengusir, melirik, dan mendapatkan). Selanjutnya, gaya

anafora terletak pada bentuk pengulangan kata senyuman yang diletakkan pada

awal beberapa kalimat dalam satu paragraf.

“Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia?!” Tak tahan aku berseru. “Orang yang tidak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang


(11)

yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari selurih waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu?” (Sikat

Gigi).

Selanjutnya terdapat penyiasatan struktur yang memanfaatkan gaya

repetisi dan pertanyaan retoris secara bersamaan. Gaya repetisi diuraikan dengan

bentuk pengulangan kata orang yang diulang-ulang dalam satu kalimat (baris ke-2 sampai ke-4). Gaya pertanyaan retoris jelas terlihat pada kalimat yang dibubuhi dengan tanda tanya yang pada dasarnya merupakan pertanyaan yang tidak menghendaki jawaban yang sudah memiliki asumsi tersendiri. Pemanfaatan kedua gaya bahasa itu tentu menciptakan variasi struktur yang memperkaya estetika penuturan.

Kadang-kadang, semua itu membuat Indi geli sekaligus bingung saat melaksanakan doa rutinnya. Apakah dia menghadap sebagai seorang penjahat..., perusak..., atau pihak yang patut dikasihani dan ditolong? Impitan tak diundang itu juga tetap ada, tapi Indi sudah terlalu kebal. Matanya seperti kehabisan stok air mata. Sekarang, tak perlu repot lagi dia mengatur napas (Sepotong Kue Kuning).

Sama halnya seperti pada penjelasan di atas, adanya sebuah kalimat tanya yang melingkupi gagasan tersebut bukanlah pertanyaan yang mengharuskan suatu jawaban. Sebaliknya, pertanyaan itu merupakan media yang digunakan untuk menguatkan keseluruhan gagasan. Hal itu menunjukkan bagaimana teks di atas mengkomunikasikan ide (gagasan) melalui pemanfaatan gaya pertanyaan retoris yang tidak hanya mengedepankan bentuk (berupa penyiasatan struktur), tetapi juga menekankan isi (makna).

Lana ingat saat kali terakhir nomor itu tertera di layar ponselnya. Besok saya lamaran. Doakan, ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan? Hidup berjalan sesuai kontrak yang disepakati antarroh sebelum terlahir jadi daging ke dunia. Apapun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan


(12)

eksekusi kontrak belaka. Jadi apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stress saat kali pertama mendengar konsep itu diretret antistres (Lara Lana).

Pada kalimat baris ke-7 dan baris ke-8 merupakan sebuah pertanyaan yang diajukan pencerita pada pembaca yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan tersebut hanyalah sebuah asumsi yang jawabannya disampaikan secara implisit oleh pencerita. Bentuk penyiasatan struktur yang demikian yang disebut ke dalam kategori pertanyaan retoris. Jenis gaya bahasa itu dimanfaatkan sebagai jalan pengungkapan ide atau pandangan tokoh terhadap sikap tokoh lainnya.

Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkali dia salah sambung. Perjanjian macam apa ini? Benarkah ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soulmate? Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract (Lara Lana).

Bentuk pertanyaan retoris di atas adalah perwujudan dari sikap yang dilontarkan tokoh Lana terhadap perubahan yang dirasakannya pada sahabatnya,

Lara. Pemanfaatan gaya pertanyaan retoris tersebut digunakan sebagai ungkapan

karakteristik tokoh dalam menyikapi peristiwa yang dialaminya, bukan menjadi semacam pertanyaan yang sengaja diajukan untuk memperoleh jawaban.

Selain gaya pertanyaan retoris, terdapat pula jenis gaya bahasa

pararelisme yang diartikan sebagai bangunan struktur gramatikal yang menduduki

fungsi sama dalam satu gagasan. Berikut ini adalah contoh teks yang memanfaatkan gaya pararelisme sebagai bagian dari penyiasatan struktur.

Berbulan-bulan, Indi menutup tirai rapat-rapat, menyangkal kehadiran kue kuningnya, melawan rasa rindu dan sesal, menggantinya dengan rasa hambar yang dipabrikasi sendiri. Sampai akhirnya, dia lelah dan menyerah (Sepotong Kue


(13)

Gaya pararelisme pada teks di atas dapat dilihat melalui pengulangan struktur bentuk yang menduduki fungsi yang sama. Kata bercetak tebal tersebut merupakan pengulangan bentuk awalan me- yang disusun secara berurutan dan memiliki fungsi sama sebagai kata kerja. Pengulangan struktur bentuk di atas mengindikasikan bahwa ketiga kata itu memiliki posisi yang sama untuk memberi penekanan pada gagasan yang sejajar. Penyiasatan berupa bentuk pengulangan stuktur tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan bentuk penuturan yang retoris dan bersifat melodis.

Tidak satu kali pun dari empat momen itu Indi punya kesempatan luks untuk ringan mengangkat telepon dan mengadu sakit, untuk kemudian

mendapatkan Lei pulang, mengantarnya ke dokter, atau sekadar

mengambilkan obat dan air putih (Sepotong Kue Kuning).

Bentuk pengulangan di atas juga masih berupa pengulangan bentuk awalan me- yang memiliki fungsi sama yakni sebagai kata kerja. Adanya bentuk yang sejajar tersebut memperlihatkan bangunan struktur yang pararel dan difungsikan untuk menekankan gagasan yang sederajat.

Lama, baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.

Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa

banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama? (Surat yang Tak

Pernah Sampai).

Pengulangan kata lama untuk mengawali kedua kalimat di atas menciptakan bentuk gaya anafora yang memberikan tekanan bahwa kata itu memiliki fungi tertentu dalam kalimat. Nurgiyantoro (1996: 302) menjelaskan bahwa anafora, di pihak lain, menampilkan pengulangan kata (-kata) pada awal beberapa kalimat yang berurutan. Jadi, anfora terjadi paling tidak dalam dau buah


(14)

kalimat. Pengulangan anaforis dapat memberikan tekanan dan menunjang kesimetrisan struktur kalimat yang ditampilkan.

Pada teks di atas, bentuk gaya pertanyaan retoris terlihat pada kalimat kedua, yakni dengan adanya kalimat yang menggunakan pungtuasi berupa tanda tanya. Penggunaan tanda tanya dalam sebuah fiksi dikenal dengan sebutan

pertanyaan retoris. Pada hakikatnya tanda tanya tersebut tidak dimaksudkan

untuk memperoleh jawaban, tetapi difungsikan sebagai ungkapan semata. Nurgiyantoro (1996: 304) berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan itu telah dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat satu jawaban yang mungin, di samping penutur juga mengasumsikan bahwa pembaca (pendengar) telah mengetahui jawabannya.

Indi selalu merasa yang paling beruntung karena hanya kepadanyalah Lei memberikan cinta dengan sepenuh jiwa tanpa sisa. Jangan-jangan aku selama ini salah dan kamulah yang benar, tuding Indi pada bayangan di cermin. Sebenarnya, dia orang yang paling sial. Cinta hanya retorika kalau tidak ada tindakan nyata, yang artinya selama ini dia dikenyangkan dengan bualan (Sepotong Kue Kuning).

Ide yang bertentangan pada teks di atas diwujudkan melalui penggunaan kata yang berlawanan, yakni kata beruntung dan sial. Kedua kata tersebut memperlihatkan gagasan yang dibangun di antara lawan kata tersebut bukanlah ungkapan yang sederajat. Artinya, pemanfaatan gaya antitesis tersebut mengkontraskan dua ide yang bertentangan dalam satu ungkapan.

4.1.2 Pemajasan

Todorov (1985: 19) berpendapat bahwa yang disebut kiasan tidak lain adalah suatu susunan tertentu dari kata-kata, yang bisa disebutkan atau


(15)

digambarkan. Jika hubungan antara dua kata merupakan hubungan identitas, terjadi kiasan: disebut repetitio. Jika hubungannya memperlihatkan pertentangan, terjadi lagi kiasan: antitese. Jika yang satu menunjuk jumlah yang lain lebih atau kurang besar dibanding yang lain, lagi-lagi kiasan: gradasi. Tetapi jika hubungan dua kata tidak dapat ditunjukkan dengan salah satu istilah itu, maka kita akan menyatakan bahwa ujaran tersebut bukan kiasan. Berikut uraian sejumlah pemanfaatan pemajasan yang terdapat dalam antologi cerpen:

Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap, demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucino, espresso, Russian Coffe, Irish Coffee, macchito, dan lain-lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis (Filosofi Kopi).

Pada kalimat baris ke-1 sampai ke-4 terdapat beberapa kata yang diuraiakan dalam bentuk kiasan, yakni berupa pemanfaatan majas metafora seperti pada penggunaan kata mengemis-ngemis, mengorek-ngorek, menyelusup, dan kakap. Bentuk kata tersebut merupakan metafora perbandingan tidak langsung yang tidak lagi menggunakan kata seperti atau bagaikan dan bentuk kiasan dalam teks di atas dikategorikan sebagai metafora yang hidup. Artinya, penggunaan kata kiasan yang dimanfaatkan masih berkaitan dengan arti aslinya. Keraf (2006: 139) juga menegaskan bahwa bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya sekarang, maka metafora itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak dapat menetukan konotasinya lagi, maka mefora itu sudah mati, sudah merupakan klise.

Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjempunya, lalu membiakan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak bisa lagi


(16)

ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercu suar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku (Surat yang Tak Pernah

Sampai).

Bentuk kiasan berupa metafora pada teks di atas diuraikan tanpa melibatkan kata-kata penunjuk secara eksplisit yang menghubungkan kalimat yang pertama sampai kalimat yang terakhir. Hubungan perbandingan yang dibentuk hanya bersifat sugestif. Berbeda halnya dengan majas simile yang memiliki hubungan perbandingan dengan mengunakan kata penghubung seperti,

bagaikan, sebagai, dan laksana. Gaya Metafora yang disusun pada teks itu

diletakkan di antara kalimat kedua dan ketiga, yakni sebuah perasaan mutual yang dimiliki manusia dianalogikan seperti mercun suar, kompas, dan Bintang Selatan yang mampu menjadi penuntun jalan pulang bagi hati manusia.

Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman (Filosofi Kopi).

Pada baris ke-1 sampai ke-3 diuraiakan dengan bentuk dari kebalikan sesuatu yang wajar misalnya menempatkan sebuah kedai kopi sebagai filsuf dan teman curhat serta menjadi bagian dari kehidupan pribadi seseorang. Penempatan secara tidak logis tersebut menciptakan bentuk kiasan yang disebut dengan

histeron proteron. Bentuk kiasan tersebut menimbulkan berbagai asosiasi makna

yakni apakah kedai kopi yang dimaksud merupakan sebuah benda atau sejenis mahluk hidup yang dianalogikan sebagai kedai kopi. Keraf (2006: 133) menguraikan bahwa histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang


(17)

merupakan kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa, juga disebut hiperbaton.

Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama bila menyikat gigi (Sikat Gigi).

Bentuk majas yang digunakan pada teks di atas merupakan majas

personifikasi. Hal itu terlihat dari uraian suara sikat dan gigi yang saling beradu

menghasilkan suara yang menggema. Bentuk majas tersebut memberi interpretasi sebuah benda yang difungsikan untuk memberi kesan layaknya manusia yang mampu beradu dan menggema.

Bagai luapan sungai saat penghujan, air mata membanjir.

Tersengal-sengal Indi mencoba membendung, bertahan untuk tetap kuat walau tak ada orang lain yang melihat-bayangan di cermin. Namun, bukankah justru dia yang paling Indi hindari? Sambil menahan sengguk dia menduga-duga, adakah manusia lain yang sepertinya, merasa berdosa pada bayangan sendiri. (Sepotong Kue Kuning).

Bentuk pengungkapan pada teks di atas memanfaatkan majas simile yang ditandai dengan penggunaan kata tugas bagai yang difungsikan sebagai perbandingan secara eksplisit. Tindakan tokoh Indi yang tersengal-sengal dibandingkan secara langsung bagai luapan sungai saat penghujan. Artinya, tindakan Indi (tersengal-sengal) memiliki persamaan sifat dengan yang disebut sebagai sungai saat penghujan. Hal itu menunjukkan bahwa Indi yang tersengal-sengal mencoba membendung diibaratkan bagai luapan sungai saat musim hujan yang dibanjiri oleh mata air.

Dia ingin jadi pendekar sakti, seorang master, ilmuwan kaya raya yang menciptakan temuan-temuan hebat untuk memajukan umat manusia. Lana ingin jadi anggota dari kelompok ultraelite yang memperoleh teknologi dari mahluk Mars untuk membangun koloni rahasia di bulan. Mereka percaya teori konspirasi dan secara berkala bertukar informasi yang dilarang sendiri. Tak ada orang lain


(18)

yang mampu menghibur Lana sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menjajal daya khayalnya (Lara Lana).

Penggunaan majas metafora pada teks di atas terlihat melalui bentuk ungkapan yang digunakan untuk menguraikan pemikiran tokoh Lana yang dibandingkan secara implisit dengan kelompok ultraelite yang dapat membangun koloni rahasia di bulan. Pengolahan gagasan di atas sejalan dengan pandangan Nurgiyantoro (1995: 299) yang menjelaskan bahwa hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit.

Dia mulai bercerita. Sore tadi, dia kedatangan seorang pengungjung, pria parlente berusia 30 tahunan. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar (Filosofi Kopi).

Kalimat pada baris ke-2 sampai ke-4 teks di atas mengandung bentuk kiasan berupa majas alegori. Rangkaian peristiwa dalam cerita itu bersifat abstrak dengan tujuan yang tersurat. Sifat yang diuraikan pada kalimat itu bersifat implisit dan subjek (tokoh pria) dideskripsikan secara absurd misalnya menggambarkan tokoh pria yang melangkah mantap masuk dengan mimik wajah yang hanya bisa

ditandingi pemenang undian satu miliar.

Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa (Surat yang Tak Pernah Sampai).

Adanya kata menginginkan yang diuraikan pada awal kalimat memiliki unsur yang bertentangan dengan kata yang terletak pada kalimat ketiga, yakni kata


(19)

penuturan yang memiliki unsur pertentangan di dalamnya. Artinya, keinginan yang dimiliki oleh tokoh yang dimaksud si pencerita pada akhirnya hanyalah sebuah ungkapan penyesalan atas kejadian di masa lalu. Kehadiran gaya paradoks ini menampilkan penuturan yang kelihatan abstrak. Cara penyampaian yang digambarkan si pencerita tidak sekadar dibangun dengan pola yang rumit dan kedengaran seirama, tetapi ide gagasan yang disusun melahirkan berbagai kemungkinan arti yang mengajak pembaca memutuskan berbagai asosiasi makna yang dikandungnya. Teks tersebut seperti berkomunikasi secara langsung lewat gagasannya yang dibangun dengan tuturan yang difungsikan secara imajinatif.

Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gelagapan, “Soalnya... ehm, soalnya...” Kubersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang menyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan (Sikat Gigi).

Teks di atas masih memanfaatkan bentuk kiasan berupa majas

personifikasi. Hal itu diuraikan dengan analogi yang mengandaikan sepasang mata mampu menjemput kegugupan, sakit tenggorokan yang dibandingkan

dengan seorang keparat, senyuman yang memiliki aliran listrik dan mampu memenuhi kecukupan anak manusia.

Aku balik menggeleng. “Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tunanetra padahal mata kamu sehat. Kamu menutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang yang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah (Sikat Gigi).

Hal yang menarik pada teks di atas yakni pada pemanfaatan majas simile dan metafora yang digunakan secara bersamaan dalam satu gagasan. Kalimat baris ke-1 dan ke-2 merupakan perbandingan yang bersifat implisit (gaya


(20)

metafora), sedangkan pada kalimat baris ke-3 menggunakan perbandingan yang bersifat eksplisit (gaya simile) yang ditandai dengan penggunaan kata seperti.

Indi selalu merasa yang paling beruntung karena hanya kepadanyalah Lei memberikan cinta dengan sepenuh jiwa tanpa sisa. Jangan-jangan aku selama ini salah dan kamulah yang benar, tuding Indi pada bayangan di cermin. Sebenarnya, dia orang yang paling sial. Cinta hanya retorika kalau tidak ada tindakan nyata, yang artinya selama ini dia dikenyangkan dengan bualan (Sepotong Kue Kuning).

Dalam penyiasatan struktur, teks di atas dikategorikan sebagai bentuk yang memanfaatkan gaya antitesis dan ditandai dengan penggunaan kata yang berlawanan. Tetapi ketika dianalisis dari konsep pemajasan, ditemukan penggunaan majas paradoks pada teks tersebut. Hal itu dapat diidentifikasi melalui satu gagasan yang diuraikan dengan ide bertentangan. Jika pada gaya

antitesis sifat yang bertentangan itu diwujudkan dengan penggunaan kata yang

berlawanan, pada majas paradoks, ide yang bertentangan itu diuraikan dengan cara penekanan penuturan pada satu ungkapan.

Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali (Lara Lana).

Bentuk pemajasan yang digunakan pada teks di atas adalah majas

personifikasi, yang terletak pada awal kalimat. Sebuah benda berupa ruang tunggu

digambarkan mampu untuk memancing dilema dalam hati tokoh (manusia). Analogi dalam bentuk benda mati tersebut mengindikasikan berbagai makna, apakah yang dimaksud hanya sekadar sebuah benda atau ada ide lain di balik pengungkapannya.

Selanjutnya terdapat pula penggunaan majas apofasis atau preterisio yang merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan


(21)

sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya (Keraf, 2006: 130). Berikut uraian contoh penggunaan majas apofasis atau preterisio pada teks.

Lana ingat saat kali terakhir nomor itu tertera di layar ponselnya. Besok saya lamaran. Doakan, ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan? Hidup berjalan sesuai kontrak yang disepakati antarroh sebelum terlahir jadi daging ke dunia. Apapun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stress saat kali pertama mendengar konsep itu diretret antistres (Lara Lana).

Pada kalimat baris ke-1 sampai ke-3 di atas menunjukkan ketidakjujuran tokoh Lana melalui ungkapan yang bertentangan dengan kejadian yang ia alami sebenarnya dan diuraikan pada kalimat terakhir. Ungkapan tersebut seakan menutupi fakta yang sebenarnya, tetapi diperlihatkan dengan jelas pada kalimat terakhir.

Setiap malam Indi duduk di pinggir jendela untuk berbicara pada sepotong kue kuningnya. Berusaha mengingatkan berulang-ulang bahwa yang dia inginkan sungguhlah sederhana: setengah jiwanya yang selalu ikut pergi dengan Lei. Itu saja. Indi ingin jiwanya utuh (Sepotong Kue Kuning).

Majas yang ditemukan pada teks di atas adalah penggunaan majas

personifikasi. Hal itu diwujudkan dengan mengemukakan sepotong kue kuning

yang mampu berbicara pada tokoh Indi. Sepotong kue kuning tersebut juga diibaratkan mampu mengingatkan tokoh secara berulang-ulang tentang keinginan sederhananya. Pemanfaatan majas personifikasi pada teks tersebut bertentangan dengan fakta bahwa sepotong kue hanyalah benda mati yang cukup untuk dinikmati saja. Tetapi di dalam teks, sepotong kue bukanlah hanya sekadar


(22)

makanan yang dinikmati sewajarnya, ada makna di balik penggunaan analogi

sepotong kue kuning. Hal inilah yang semakin memperkaya struktur lahir sebuah

teks, tidak hanya sekadar bercerita, tetapi juga diperkaya dengan analogi-analogi sebuah benda yang disejajarkan dengan sifat manusia.

4.2 Makna Denotatif dan Konotatif

Meskipun gaya dan makna merupakan dua hal yang berbeda, pemahaman gaya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman makna atau ‘isi’ yang terbungkus dalam gaya yang diproduksikan. Dalam proses pengungkapan gagasan, gambaran isi tuturan yang tergambarkan sebagai konfigurasi gagasan dan terbentuk dalam satuan lambang kebahasaan disebut bentuk ekspresi. Sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan spekulatif, bentuk ekspresi ‘ada dalam ketiadaan’. Dengan kata lain, ketika seseorang menyatakan sesuatu yang ada dalam dunia gagasannya, sesuatu yang dinyatakan itu sebenarnya tidak dapat dilihat secara konkret. Sesuatu atau being yang ada dalam ketiadaan itu dapat dianalogikan sebagai konfigurasi gagasan (Aminuddin, 1995: 77-79).

4.2.1 Filosofi Kopi

Makna denotatif pada cerpen Filosofi Kopi diuraikan melalui gambaran peristiwa yang melatarbelakangi terciptanya warung kopi milik Ben dan Jody yang difungsikan sebagai butir referensial yang diacu melalui pembentukan nama kedai Filosofi Kopi dengan slogan yang bertuliskan Temukan Diri Anda di Sini sebagai sistem tanda yang membentuk satuan tanda. Slogan tersebut dijadikan

Ben sebagai wujud terobosan baru untuk menciptakan kopi yang tidak hanya


(23)

yang diraciknya. Hal itu ditandai dengan keinginan Ben yang ingin membuat sebuah inovasi baru, yakni menambahkan keterangan filosofis pada masing-masing kopi dalam daftar minuman.

Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan dia terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu. Sesudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.

Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosofi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi Filosofi Kopi: Temukan Diri Anda di Sini. (Hal 6-7)

Kemudian pergantian nama dan slogan tersebut menimbulkan tantangan baru bagi Ben, yakni seorang pengungjung menantangnya untuk menciptakan rasa kopi yang mampu memberi makna kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup dengan imbalan sebesar 50 juta. Setelah berminggu-minggu melakukan eksperimen, akhirnya terciptalah menu baru yang disebut dengan kopi BEN’s

PERFECTO, artinya sukses adalah wujud kesempurnaan hidup.

Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal dibandingkan minuman lain, kepuasan yang didapat dari Ben’s Perfecto memang tidak bisa didapat di mana pun.

Tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedashyat itu di Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi. (Hal 14)

Pada akhirnya semua terobosan yang dilakukan Ben dihadapkan pada hasil yang sia-sia. Hal itu dikarenakan salah seorang tamu beranggapan bahwa masih kopi Ben’s Perfecto belum mampu mengalahkan kesempurnaan rasa kopi tiwus warung pak Seno. Kemudian anggapan tersebut dibuktikkan Ben lewat seduhan secangkir kopi tiwus di warung pak Seno, sebuah warung kecil yang terletak di daerah pedesaan Jawa Tengah, dengan ketinggian yang justru


(24)

menurutnya tidak cocok ditanami biji kopi. Kejadian itu mengubah persepsi Ben terhadap racikan kopi yang menjadi menu utama di kedai Filosofi Kopi tersebut, dikarenakan belum mampu bersaing dengan kenikmatan rasa yang ditawarkan pada kopi tiwus pak Seno.

“Kamu masih tidak sadar?” Ben menatapku prihatin. “Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuman jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial!’ serunya gemas, “Aku malu kepada diriku sendiri, kepada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben’s Perfecto.”

“Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu?” katanya dengan tatapan kosong, “Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini adalah barista terburuk. Bukan Cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!” (Hal 23)

Peristiwa itu membuat Ben mengambil keputusan untuk berhenti menjadi seorang barista dan kedai Filosofi Kopi juga terpaksa ditutup sementara. Sekalipun pada akhirnya ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Ben untuk kembali meracik kopi sebagai barista dan siap membuka kedai kopi Filosofi Kopi untuk kedua kalinya.

“Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus..., memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran, ” napasku harus dihela agar lega dada ini, “bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben’s Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak. ”

“Benar, kan.” Ben menyunggingkan senyum getir, “kita memang Cuma tukang gombal.”

“Tapi masih banyak yang harus kamu pikirkan. Seperti ini...,” ku tumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke meja, “orang-orang ini tidak menuntut


(25)

kesempurnaan seperti Ben’s Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi apa adanya.” (Hal 28)

Sejumlah gambaran peristiwa di atas difungsikan sebagai satuan tanda yang memiliki hubungan secara sintagmatis dengan nama kedai Filosofi Kopi:

Temukan Diri Anda di Sini. Dengan demikian, denotasi makna kata Filosofi Kopi

merujuk pada proses pembentukan nama kedai kopi yang diciptakan berdasarkan kualitas menu kopi yang disajikan, ditambah sebuah terobosan baru, yakni slogan berupa keterangan filosofis pada masing-masing kopi yang diracik oleh Ben. Hal itu menjadi awal tantangan yang dihadapinya hingga tercipta kopi Ben’s Perfecto, yang kemudian menjadi alasan penyebab kekalahan Ben’s Perfecto terhadap kenikmatan rasa kopi tiwus milik warung pak Seno. Isi pemaknaan Filosofi Kopi pada teks tidak mengarah pada makna lain di luar isi wacananya. Pembentukan makna denotasi tersebut terkait dengan fungsi kebahasaan sebagai fungsi

metalingual. Artinya, denotasi makna Filosofi Kopi: Temukan Diri Anda di Sini

merupakan objek yang diuraikan melalui makna tanda kebahasaan itu sendiri, yakni gambaran ciri referensialnya.

Makna konotatif Filosofi Kopi dapat diidentifikasi melalui bentuk kejanggalan yang ditemukan pada teks, misalnya berupa kata, kalimat atau wacana terkait aspek retorik yang menggambarkan kemungkinan adanya makna lain di luar maknannya pada tataran denotatif, yang tidak lagi merujuk pada wujud konkret sistem tandanya.

Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman. (Hal 8)


(26)

Gambaran konotasi di atas mengisyaratkan adanya pengertian lain di luar fungsinya sebagai nama kedai kopi pada tataran pertama. Makna kata Filosofi

Kopi tidak hanya difungsikan sebagai nama kedai dengan slogan Temukan Diri Anda di Sini, tetapi juga sebagai bentuk pembuktian eksistensi Ben sebagai barista

handal. Tantangan terhadap racikan kopi andalannya Ben’s Perfecto mengubah sudut pandang Ben terhadap makna kopi yang sesungguhnya. Ben menyadari bahwa letak kesempurnaan hidup yang dicarinya tidak hanya sekadar pada rasa kopi racikannya, tetapi diperoleh dari kecintaan pelanggan setianya yang tidak menuntut kesempurnaan rasa. Sebaliknya, mereka mengingingkan Ben dan kedai

Filosofi Kopi dengan uraian slogan filosofis hidup yang menjadi magnet tersendiri

bagi pengungjungnya. Hubungan antara konotasi makna nama Filosofi Kopi dengan slogan Temukan Diri Anda di Sini membentuk fungsi konatif, yakni sebagai ajakan atau imbauan kepada pengungjung untuk menemukan wujud kesempurnaan hidup di kedai Filosofi Kopi.

4.2.2 Surat yang Tak Pernah Sampai

Makna denotatif cerpen Surat yang Tak Pernah Sampai dapat diidentifikasi melalui bentuk penggunaan kata surat sebagai sistem tanda dengan gambaran peristiwa yang dapat difungsikan sebagai satuan tanda. Kata surat yang terdapat di dalam cerpen digambarkan bersama tokoh kamu sebagai surat yang tidak akan pernah terkirim. Hal itu dapat dilihat melalui teks di bawah ini:

Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara kepada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyayian nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia. (Hal 40)


(27)

Surat yang diuraikan di dalam cerpen ditujukan pada tokoh dia, yang

digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah bisa dipahami oleh tokoh kamu, yakni tokoh dengan karakter yang mengalami kebimbangan ketika mengambil keputusan terhadap surat yang mengingatkannya terhadap dia di masa lalu. Selain itu, kebimbangan kamu juga digambarkan dengan uraian bahwa di satu sisi kamu menginginkan kehadiran tokoh dia, tetapi di sisi lain juga ingin melupakan seluruh momen yang pernah terjadi di antara tokoh kamu dan dia.

Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara kepada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyayian nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia. Akan kamu kirimkanlah lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya-dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap, dan abu dari benda-benda yang dia hanguskan-bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila-berterbangan masuk ke matanya. Semoga dia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah. (Hal 41)

Surat itu menjadi bagian terburuk bagi kehidupan tokoh kamu, yakni

mampu mengembalikan ingatannya pada kejadian-kejadian di masa lalu yang tidak ingin diingat kembali tetapi telah menjadi salah satu bagian yang mengaharuskan kamu untuk terus mengingat dia. Berikut uraian teksnya:

Kamu takut.

Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.

Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tetapi kamu cemas. Kata “sejarah” mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.

Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tetapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tetapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.


(28)

Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang Kekasih Impian, sang Tujuan, sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang tidak Boleh sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan, mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu. (Hal 43)

Selanjutnya gambaran ketidakberterimaan tokoh kamu pada kenyataan yang harus dihadapinya melalui surat yang seharusnya disampaikan pada dia, jelas terlihat sampai pada halaman kedua surat. Tokoh kamu seakan tidak ingin percaya dan masih berharap bahwa surat itu seharusnya tidak pernah ada.

Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.

Tidak ada sepasang mata yang mampu menyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.

Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata “jangan” yang mungkin apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi. (Hal 45)

Sampai pada akhirnya tokoh kamu tetap bertahan pada pendiriannya, bahwa suatu saat surat yang tidak pernah sampai itu akan terkirim pada dia. Surat-surat yang sudah terlalu lama tersimpan, surat yang seharusnya sejak dulu sampai pada dia, berharap agar dia bisa melihat ketidakinginan kamu mengalami perpisahan dengan cara yang kamu anggap sebagai perpisahan yang paling sepi.


(29)

Perpisahan yang mengharuskan kamu untuk menjadikan dia sebagai bagian dari dokumentasi perjalanan hidupmu.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hari sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya. (Hal 46)

Dari rangkaian peristiwa yang difungsikan sebagai satuan tanda di atas yang dikaitkan secara sintagmatis dengan kata surat, dapat diindentifikasi bahwa

denotasi makna penggunaan kata surat pada cerpen Surat yang Tak Pernah Sampai digambarkan sebagai benda berupa tulisan yang diuraikan sebagai surat

yang tidak terkirim. Artinya, makna kata surat pada tataran denotatif memiliki pengertian sebagai pesan tertulis yang dibuat oleh kamu dan ditujukan pada dia. Pemaknaan kata surat pada tataran ini tidak mengacu pada makna lain di luar isi wacananya karena satuan tanda berupa peristiwa-peristiwa yang membentuk kata tersebut menjelaskan makna tanda kebahasaan itu sendiri, yang disebut dengan fungsi metalingual.

Makna konotatif penggunaan kata surat yang dijadikan sebagai tanda dengan rangkaian peristiwa lainnya yang difungsikan sebagai satuan tanda, dapat diidentifikasi melalui bentuk-bentuk kejanggalan yang ditemukan pada teks, seperti gambaran tokoh kamu yang berdiskusi dengan angin, wangi sebelas tangkai, dan dengan nyamuk-nyamuk. Gambaran dia sebagai sosok yang dapat menjadi racun dan membunuh kamu perlahan, yang kamu reka dan mainkan ulang


(30)

di kepala, menjadikan dia sebagai sang tujuan, sebagai mahakarya yang termuntahkan ke dunia.

Dari uraian tersebut, makna surat yang tak pernah terkirim pada tataran

konotatif memiliki fungsi berbeda dengan tataran denotatif, yakni digambarkan

sebagai sebuah benda berupa tulisan yang berisikan pesan. Sebaliknya pada tataran kedua, makna konotasi kata surat diwujudkan sebagai luapan perasaan tokoh kamu yang tidak pernah terungkap kepada dia, sosok yang selalu kamu simpan sebagai sejarah yang patut didokumentasikan dan dikenang setiap saat, hingga pada akhirnya yang kamu temukan hanyalah sebuah keletihan dan ketidakrelaan untuk melepaskannya. Dengan demikian, penggunaan kata surat pada teks memiliki fungsi emotif, yakni pengekspresian gagasan sesuai dengan kejadian yang melatarbelakanginya.

4.2.3 Sikat Gigi

Makna denotatif cerpen Sikat Gigi dapat diuraikan melalui identifikasi penggunaan kata sikat gigi dengan gambaran peristiwa yang difungsikan sebagai satuan tandanya. Pada tataran denotatif kata sikat gigi dikaitkan dengan peristiwa lainnya secara sintagmatis, yakni ketika Egi menjelaskan hobinya (menyikat gigi) kepada Tio, sahabatnya sebagai tindakan yang paling disukainya. Hal itu dapat dilihat pada teks berikut:

‘Tio...,” panggilnya setelah lama mematung. “Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?”

Ingin ku lontarkan jawaban seperti “supaya gigi tidak bolong,” atau “afeksi berlebihan pada rasa odol”, tapi kuputuskan untuk diam.


(31)

“Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit...Cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak. (Hal 59)

Kemudian sikat gigi juga digunakan sebagai bentuk hadiah yang diberikan Tio ketika ulang tahun Egi ke-27. Hadiah tersebut diberikan karena Tio memahami bagaimana kecintaan Egi terhadap tindakan (menyikat gigi) yang menurutnya tidak masuk akal. Berikut contoh urainnya:

“Ini... hadiah untuk kamu.” Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum menginjak antah-berantah itu.

Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. “Sejak kapan kamu kasi kado segala?”

“Usia 27 itu usia penting,” jawabku sekenanya. Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.

Aku sibuk menjelaskan. “Sikat gigi elektronik. Bergaransi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya....”

“Tio,” potongnya geli seraya menahan tanganku, “saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi... kenapa sikat gigi?”

Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gegelapan, “Soalnya... ehm, soalnya...” Ku bersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang menyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan.” (Hal 61)

Melalui peristiwa di atas, dapat diuraikan bahwa denotasi makna sikat

gigi mengacu pada sebuah hobi (tindakan menyikat gigi) yang disukai oleh Egi.

Oleh karena itu, ketika ulang tahunnya yang ke-27, Tio memberikan hadiah berupa sikat gigi elektronik yang menjadi kesukaan Egi. Dengan demikian penggunaan kata sikat gigi pada teks cerpen dimaknai sebagai hobi yang dimiliki oleh Egi. Pemaknaan kata sikat gigi pada tataran denotatif tidak mengacu pada


(32)

makna lain di luar isi wacanannya. Hal itu ditunjukkan oleh gambaran peristiwa yang difungsikan sebagai satuan tandanya, yakni menjelaskan makna tanda kebahasaan itu sendiri sebagai hobi berupa tindakan menyikat gigi.

Makna konotatif penggunaan kata sikat gigi dapat diuraikan melalui identifikasi bentuk kejanggalan yang ditemukan pada teks, yakni di luar fungsinya sebagai hobi menyikat gigi yang diuraikan pada tataran pertama (denotatif). Berikut ini contoh teks penggunaan kata sikat gigi yang mengacu pada makna lain di luar isinya:

“Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang selalu kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya...,” dia berkata mengeja, genggaman tangannya terasa hangat, “alam hati saya tidak mungkin dimengerti siapa-siapa. Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan.” (Hal 65)

Pada peristiwa tersebut, sikat gigi disejajarkan sebagai jalan yang tidak perlu dilalui oleh Egi ketika ia memutuskan untuk menerima Tio, sebagai tiket sekali jalan. Hal itu berkaitan pula dengan makna sikat gigi yang difungsikan sebagai tiket bagi Egi seperti pada uraian teks berikut:

“Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,” kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, “pengharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi, kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu.” (Hal 62)

Selanjutnya sikat gigi juga digambarkan sebagai salah satu alasan ketakutan bagi Tio bahwa suatu saat hal itu tidak lagi dapat menjadi alasan bagi Egi untuk bertahan seperti pada uraian berikut:


(33)

Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku bersemayam, dunia yang amat kusukai. Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu. (Hal 66)

Dari uraian contoh teks di atas dapat diidentifikasi bahwa makna sikat

gigi pada tataran pertama memiliki fungsi yang berbeda pada tataran kedua

(konotatif). Penggunaan kata sikat gigi diwujudkan sebagai cara yang dipilih oleh Egi untuk sejenak melupakan masa lalunya, hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa hanya Tio yang dapat menjadi cara yang tepat baginya untuk bisa meninggalkan masa lalu tanpa perlu menyikat gigi. Dengan demikian, penggunaan kata sikat gigi pada tataran konotatif memiliki fungsi referensial, yakni gambaran sikat gigi (benda) melalui tindakan menyikat gigi yang awalnya menjadi pilihan bagi Egi sebelum memutuskan menerima Tio sebagai tiket nyatanya.

4.2.4 Sepotong Kue Kuning

Makna denotatif penggunaan kata sepotong kue kuning pada teks cerpen dapat diidentifikasi melalui sejumlah peristiwa yang difungsikan sebagai satuan tandanya. Berikut gambaran sepotong kue kuning melalui uraian contoh teks cerpen di bawah ini:

Merasa tidak sanggup menjalani sisa malam dengan rasa sesal, Indi menelepon bantuan gawat darurat: Ari, sahabat terdekatnya.

Ari langsung datang dan duduk di pinggir jendela. Sepotong kue kuning ada di sebelah wajah sahabatnya, belum sempat Indi cicipi karena sudah duluan disemprot: “Apa kubilang? Dia tidak datang lagi, kan? Dan kamu masih bertahan? Sinting!” seru Ari gemas. “Coba berkaca, nilai diri kamu. Kamu perempuan baik-baik, pintar, dan tidak layak menjalani semua ini.


(34)

Aku justru keseringan berkaca, dan betul, aku memang tidak layak, balas

Indi dalam hati. Suatu kehormatan yang terlalu besar untuk bisa mencintai seperti

ini. (Hal 77)

Selanjutnya sepotong kue kuning digambarkan sebagai sajian yang selalu ada setiap Indi membutuhkannya, sajian yang hadir tepat pada waktunya seperti pada uraian teks berikut:

Puluhan kue kuning telah tersaji dalam piringnya, dan selalu Indi menebak-nebak cemas apakah rasanya manis atau pahit. Sekarang dia berhenti menebak. Keberaniannya malam itu; untuk berhadapan kembali dengan perasaannya sendiri; untuk mengakui bahwa cintanya tidak padam tapi bermutasi, memberi makna baru. (Hal 83)

Dari sejumlah peristiwa di atas, denotasi makna sepotong kue kuning difungsikan sebagai salah satu sajian (makanan) yang digambarkan menjadi menu yang kerap dinikmati oleh Indi, yakni terlihat pada setiap momen yang ia lewati bersama sepotong kue kuningnya. Dengan demikian, pemaknaan pada tataran

denotatif tidak merujuk pada makna lain di luar isi wacananya, tetapi berfungsi

menjelaskan makna tanda kebahasaan itu sendiri, yakni gambaran sepotong kue

kuning sebagai sebuah benda berupa makanan yang selalu dinikmati Indi.

Makna konotatif penggunaan kata sepotong kue kuning dapat diuraikan melalui identifikasi sejumlah bentuk kejanggalan yang ditemukan pada gambaran peristiwa teks. Misalnya, sepotong kue kuning yang dijadikan sebagai pengatur mekanis pasang surut kisah Indi dan Lei, potongan kue kuning yang sudah mereka lewati, sepotong kue kuning yang berbicara pada Indi, serta kehadiran kue kuning yang disangkal oleh Indi. Berikut contoh uraian teksnya:

Tidak lagi diingatnya berapa potongan kue kuning yang sudah mereka lewati. Poros hidup memang sedang bergulir berat. Indi memilih untuk


(35)

menjadikannya satire. Menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu. (Hal 74)

Setiap malam Indi duduk di pinggir jendela untuk berbicara pada sepotong kue kuningnya. Berusaha mengingatkan berulang-ulang bahwa yang dia inginkan sungguhlah sederhana: setengah jiwanya yang selalu ikut pergi dengan Lei. Itu saja. Indi ingin jiwanya runtuh. (Hal 79)

Berbulan-bulan, Indi menutup tirai rapat-rapat, menyangkal kehadiran kue kuningnya, melawan rasa rindu dan sesal, menggantinya dengan rasa hambar yang dipabrikasi sendiri. Sampai akhirnya, dia lelah dan menyerah. (Hal 82)

Dengan demikian, konotasi makna sepotong kue kuning pada tataran ini mengandung pengertian yang berbeda dengan tataran pertamanya. Artinya, pada tataran konotatif makna sepotong kue kuning memiliki pengertian sebagai wujud penggambaran kenangan yang pernah ia alami bersama Lei di masa silam, potongan kue kuning yang masih melekat di hatinya, hingga pada akhirnya yang Indi peroleh hanyalah keletihan dan kesesalan yang memaksanya untuk menyerah dan melepaskan Lei, sosok sepotong kue kuningnya.

4.2.5 Lara Lana

Makna denotatif cerpen Lara Lana dapat diuraikan melalui peristiwa yang juga difungsikan sebagai satuan tandanya, yakni keinginan Lana untuk menghubungi Lara, sahabatnya sejak SMA yang telah bertahun-tahun tidak lagi berkomunikasi dengannya. Lana diposisikan sebagai sahabat yang berpresepsi bahwa ia satu-satunya orang yang memahami Lara, hal itu dapat dilihat pada contoh teks di bawah ini:

Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersit takjub juga ngeri. Serentak angka yang susah dihafal mampu membongkar kenangan usang dan memberinya makna baru. Dia yang baru. Aku yang usang.


(36)

Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali. (Hal 88)

Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu terdengar nada sambung nanti, Lana siap berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang kali terakhir. Kata “apa kabar” akan meluncur dengan semangat penghabisan menanti sore sebelum dipadamkan malam. Lalu, dia lancarkan sepaket basa-basi dalam urutan yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sebagai yang paling mengasyikkan. (Hal 89)

Sebelum Lana terhubung melalui telepon seluler dengan Lara, ia mulai ragu dan takut, keraguan yang muncul ketika ia mengingat masa lalunya. Berikut contoh teksnya:

Dua angka sebelum digit terakhir. Jarinya tertahan oleh detik yang tahu-tahu beku. Detik yang tahu-tahu-tahu-tahu melebar dan membentangkan dua puluh tiga tahun perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang. Namun, mereka tidak bisa bersama karena alasan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Kamu itu bajaj bermesin BMW, begitu Lana mengungkapkan kepadanya saat didesak. (Hal 89)

Digit terakhir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat. Hatinya lalu mengukur dan menimbang: akankah aku bertambah tenang bila

berhasil membuktikkan kepada diriku, kepada dia, pada dunia, kalau aku baik-baik saja? (Hal 94)

Dari uraian di atas dapat dianalisis bahwa denotasi makna peristiwa ketika Lana berniat untuk menghubungi Lara dilatarbelakangi oleh perpisahannya dengan Lara selama beberapa tahun. Artinya, keinginan Lana tersebut ditujukan untuk menghubungi sahabat lamanya, Lara yang sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi dengannya. Keinginan Lana difungsikan sebagai penggambaran dunia acuan terkait objek berupa gambaran peristiwa ketika Lana mencoba untuk


(37)

menghubungi Lara yang diikuti oleh keraguannya sesaat. Dengan demikian, gambaran peristiwa yang difungsikan sebagai tanda tersebut memiliki fungsi

referensial, yakni digunakan sebagai wahana pemaparan gambaran kerinduan

Lana terhadap sahabatnya, Lara.

Makna konotatif dari cerpen Lara Lana dapat diidentifikasi melalui bentuk kejanggalan yang ditemukan di dalam teks, seperti penggambaran rasa rindu Lana yang diuraikan dalam bentuk kiasan, misalnya dalam teks berikut:

Lalu perasaan itu. Rasa rindu yang akan dia ungkap hati-hati, dicicil sehingga tidak terasa picisan. Rasa sayang dikemas dalam kiasan seperti membungkus putri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai dansa. Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya berhari-hari. Bertahun-tahun. (Hal 89)

Dengan atau tanpa menghubungkannya dengan tataran denotatif, teks di atas dapat diidentifikasi melalui bentuk kejanggalan yang ditemukan, yakni keinginan Lana yang menghubungi Lara sebagai sahabatnya diikuti oleh gambaran perasaan rindu yang dipupuk sedikit demi sedikit sebelum pada akhirnya memutuskan untuk menghubungi Lara. Pada tataran pertama, gambaran peristiwa itu merujuk pada keinginan Lana yang menghubungi sahabat lamanya Lara untuk melepas kerinduannya. Sebaliknya pada tataran kedua, kerinduan yang melatarbelakangi keinginan Lana menghubungi Lara tidak sekadar ungkapan kerinduan sebagai sahabat. Hal itu terlihat pada uraian kerinduan Lana yang terasa picisan, rasa rindu yang dikemas layaknya hiasan, dan latar belakang yang menyebabkan Lana ragu dan enggan untuk menghubungi Lara.


(38)

Dengan demikian, gambaran peristiwa tersebut memiliki fungsi yang berbeda dengan tataran pertama, yakni sebagai penggambaran dunia acuan. Sebaliknya pada tataran konotatif, peristiwa yang juga difungsikan sebagai tanda itu terkait dengan fungsinya untuk menciptakan, menjaga dan mempertahankan hubungan persahabatannya dengan Lara yang sudah terpisah selama beberapa tahun.


(39)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Dari sejumlah unsur stile yang diidentifikasi melalui aspek penyiasatan

struktur dan pemajasan pada kelima cerpen sebagai data penelitian dalam antologi

cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari, dapat disimpulkan bahwa jenis gaya bahasa yang dominan ditemukan pada teks sebagai elemen pembentuk peristiwa komunikasi, terdiri dari gaya bahasa pararelisme, pertanyaan retoris, metafora dan personifikasi. Berikut diuraikan beberapa jenis gaya bahasa pada teks cerpen:

No Data Penyiasatan Struktur Pemajasan

1 Filosofi Kopi Pararelisme, Asindenton, repetisi, dan klimaks

Metafora, Histeron Protereron, dan Alegori

2 Surat yang Tak Pernah Sampai

Pararelisme, Asindenton, Repetisi, Anafora, dan Pertanyaan Retoris

Metafora dan Paradoks

3 Sikat Gigi Anafora, Pararelisme, Anafora, dan Pertanyaan Retoris

Metafora dan Personifikasi

4 Sepotong Kue Kuning Pertanyaan Retoris, Pararelisme, dan Antitesis

Simile, Antitesis, dan Personifikasi

5 Lara Lana Pertanyaan Retoris Metafora,

Personifikasi, Apofasis atau Preterisio


(40)

Berdasarkan analisis makna denotatif dan konotatif melalui konfigurasi gagasan pada kelima teks cerpen yang terdiri dari Filosofi Kopi, Surat yang Tak

Pernah Sampai, Sikat Gigi, Sepotong Kue Kuning, dan Lara Lana, dapat

disimpulkan bahwa wujud kekhasan bentuk komunikasi estetik yang terkandung pada masing-masing cerpen diuraikan lewat cara penggunaan sistem tanda, baik berupa kata atau gambaran peristiwa yang merujuk pada fungsi kebahasaan, yakni terkait dengan fungsi bahasa sebagai wahana untuk menjelaskan fakta kebahasaan itu sendiri (metalingual), pengajuan atau pengimbauan (konatif), pengekspresian gagasan atau opini sesuai dengan tujuan yang melatarbelakanginya (emotif), dan sebagai wahana pemaparan gambaran dunia acuan (referensial).

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang dilakukan pada kelima cerpen dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari sebagai sumber data penelitian, maka perlu dilakukan penelitian stilistika lebih dalam melalui sudut pandang yang berbeda, misalnya tinjauan ideologi yang dikandung teks melalui identifikasi penggunaan gaya bahasa atau analisis stilistika bandingan antara karya sastra yang berbeda zaman.


(41)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif dengan karya yang berkualitas. Terbukti dari beberapa judul novel miliknya pernah diangkat menjadi sebuah film, beberapa di antaranya, novel Perahu Kertas,

Malaikat Tanpa Sayap, dan Madre (yang dalam proses penggarapan). Karya

sastra miliknya sudah banyak dijadikan objek penelitian di beberapa universitas di Indonesia, khususnya oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Demikian juga dengan antologi cerpen Filosofi Kopi yang dijadikan objek penelitian ini. Dari pengamatan dan penelusuran yang dilakukan peneliti, antologi cerpen tersebut belum pernah dianalisis oleh mahasiswa Departemen Sastra Indonesia, FIB Universitas Sumatera Utara (USU). Di berbagai universitas lainnya, antologi cerpen ini sudah pernah diteliti oleh beberapa mahasiswa di Indonesia. Beberapa diantaranya mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yakni Windi Eliyanti dengan judul penelitian

Analisis Cerpen dengan Menggunakan Pendekatan Strukural (objektif) (2012)

terhadap antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Pembahasan yang diuraikannya menyangkut unsur-unsur instrinsik cerpen seperti tema, plot (alur), latar, penokohan, gaya penulisan pengarang, serta gaya bahasanya (menyangkut majas).


(42)

Selain itu, antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari ini juga pernah diteliti oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gajah Mada (UGM), yakni Anwari Eka Putra dalam skripsinya yang berjudul Analisis

Fakta Cerita dan Tema Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari Menurut Stanton (Agustus, 2007). Dalam skripsinya tersebut, ia menggunakan teori

pengkajian fiksi Robert Stanton untuk menganalisis fakta-fakta cerita serta tema dalam cerpen.

Kemudian antologi cepen ini juga pernah diteliti oleh Putri Dione Ayu Agustins mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga dengan judul penelitian Modus Mengada Tokoh Utama Kumpulan Cerita Pendek

Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari (2011). Dalam penelitiannya tersebut, ia

menggunakan teori psikologi eksistensial untuk menganalisis secara kritis identitas tokoh. Langkah analisis yang dilakukannya yakni dengan menguraikan unsur instrinsik (dalam alur, tokoh, dan latar) terlebih dahulu, kemudian dari hasil tersebut, diidentifikasi faktor dominan sebagai jalan pencarian identitas tokoh utamanya.

Berbeda halnya dengan kajian-kajian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya seperti uraian di atas. Di dalam penelitian ini, pengkajian difokuskan terhadap rangkaian pembentuk komunikasi (teks) dan isi (makna) yang berlandaskan pada teori stilistika. Sesuai dengan judulnya menyangkut komunikasi estetik, langkah awal yang dilakukan yakni dengan menguraikan unsur-unsur stile (gaya) sebagai pembentuk efek estetik, kemudian dilanjutkan


(43)

dengan proses pendeskripsian makna denotatif dan konotatif yang diuraikan pengarang melalui konfigurasi gagasan untuk menciptakan efek estetik.

2.2 Konsep

Pradopo (2001: 38) menjelaskan bahwa konsep diartikan sebagai unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Dalam karya sastra konsep misalnya berupa ide, gagasan, keindahan, fungsi sastra dalam masyarakat. Karena ada konsep, anggapan dasar dapat dilihat. Dengan demikian, berikut beberapa definisi dari istilah-istilah yang terkait sebagai referensi fokus penelitian ini, yakni:

2.2.1 Cerpen

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli (Nurgiyantoro, 1995: 10). Ada semacam anggapan bahwa cerpen merupakan novel yang dipersingkat, namun faktanya pembaca lebih relevan menikmati novel dibandingkan cerpen, karena dianggap lebih utuh dalam penceritaannya. Sama halnya dengan pernyataan Stanton (2007: 89) yang mengemukakan bahwa masyarakat lebih dapat menikmati novel ketimbang cerpen atau lebih memilih mendengarkan simfoni ketimbang musik kamar. Satu hal yang pasti, setiap petualang literer yang matang akan lebih menghargai ketrampilan dan keahlian artistik pengarang. Cerpen merupakan contoh sempurna dari genre karya sastra yang pantas diperlukan sedemikian rupa.


(44)

2.2.2 Komunikasi Sastra

Istilah komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai media atau alat untuk menyampaikan gagasan atau pesan sebagai bagian dari interaksi sosial. Seperti pandangan Rousydiy (1989: 1) bahwa seorang individu yang ingin menyampaiakan sesuatu pesan atau ide kepada individu lainnya dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti (mungkin lambang kata atau tanda-tanda lainnya) itulah komunikasi dengan segala prosesnya.

Demikian juga halnya dengan komunikasi dalam sastra, pada hakikatnya bertujuan menyampaikan pesan dan maksud pengarang. Namun berbeda dengan komunikasi umumnya, komunikasi sastra memanfaatkan bahasa sebagai media utamanya. Namun bukan bahasa yang wajar terdengar, tetapi bahasa yang telah dimodifikasi dengan unsur-unsur stile (gaya bahasa) untuk menciptakan efek estetik sebagai bagian dari fungsi artistik karya sastra. Ratna (2004: 297) mengemukakan bahwa sebagai gejala komunikasi karya sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Untuk itu, karya sastra tidak hanya menyangkut persoalan bahasa, tetapi bagaimana pengarang mengkomunikasikan (pesan) sehingga mampu ditangkap pembaca.

2.2.3 Komunikasi Estetik

Aminuddin (1995: 303) mengemukakan bahwa komunikasi estetik merupakan bentuk komunikasi yang dilandasi tujuan untuk memberikan efek emotif tertentu bagi penanggapnya. Karya sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi estetik. Dalam hal ini lazim pula digunakan istilah komunikasi puitik. Sebagai bentuk komunikasi puitik upaya membuahkan efek keindahan tersebut


(45)

ditempuh antara lain dengan cara mengolah penggunaan sistem tanda, baik itu terkait dengan apek bunyi, kata, hubungan kata-kata, maupun aspek tipografinya.

2.2.4 Stilistika

Umumnya stilistika dimaknai sebagai bagian ilmu sastra yang bertujuan memahami bahasa (gaya bahasa) dalam karya sastra. Keraf (2006: 112) mendeskripsikan bahwa gaya bahasa atau style dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Demikian pula dengan pengarang dalam karya sastranya. Untuk itu, proses pemahaman stilistika tidak terlepas dari ilmu lingustik karena memang yang dijadikan sasaran kajian adalah bahasanya. Selanjutnya Sudjiman (1993: 7) mengemukakan bahwa stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan.

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Stile (Gaya Bahasa)

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 276) mengemukakan bahwa stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.

Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, di pihak lain, juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu


(46)

dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya. Stile: masalah struktur lahir, bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan bentuk performansi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang. Ia merupakan pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah.

Stile, atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk lingustik yang berlaku dalam sistem bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif (Nurgiyantoro, 1995: 278).

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasan

dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Purba, 2009: 15).

2.3.2 Teori Stilistika

Aminuddin (1995: 46) menyatakan bahwa stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya. Dalam kajian sastra, biasanya stilistika dimaksudkan untuk menerangkan


(47)

hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya, (Leech dan Short dalam Suroso, Puji dan Pardi, 2009: 158).

Selanjutnya Wellek dan Austin (1995: 225) mengemukakan bahwa manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya. Baru jika tujuan estetis ini menjadi inti permasalahan, stilistika merupakan bagian ilmu sastra, dan akan menjadi bagian yang penting, karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Leech & Short (dalam Nurgiyantoro, 1995: 279) menjelaskan bahwa stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra.

Penelitian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa keberadaan aspek stilistik dalam teks sastra terkait dengan sejumlah unsur yang relatif kompleks. Aminuddin (1995: 34) menguraikan kekhasan komunikasi estetik ataupun komunikasi puitik dapat didasarkan pada (i) elemen pembentuk peristiwa komunikasinya, (ii) hubungan antara elemen yang satu dengan yang lain, dan (iii) efek ataupun aspek intensionalitas pada diri pengarangnya.

Aminuddin (1995: 48) mengemukakan beberapa asumsi yang berperanan dalam membentuk satuan konsepsi menyangkut konstruksi gejala yang akan digarap, yakni:

1. Karya sastra adalah gejala sistem tanda yang secara potensial mengandung gambaran obyek, gagasan, pesan, dan nilai ideologis;


(48)

2. Karya sastra adalah gejala komunikasi puitik yang secara imajinatif dapat mengandaikan adanya penutur, tanda yang dapat ditransformasikan ke dalam kode kebahasaan, dan penanggap;

3. Dalam kesadaran batin penanggap karya sastra dapat menggambarkan unsur-unsur yang ada dalam tingkatan dan hubungan tertentu secara sistematis;

4. Unsur-unsur dalam karya sastra secara kongkret terwujud dalam bentuk penggunaan sistem tanda sesuai dengan cara yang ditempuh pengarang dalam menyampaiakan gagasannya;

5. Cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasannya dapat ditentukan berdasarkan deskripsi ciri pemaparan sistem tandanya.

Dalam stilistika sastra juga dikenal adanya (i) pendekatan monisme yang menyikapi wujud penggunaan sistem tanda sebagai kesatuan antara bentuk dan isi. Berbeda dengan pendekatan monisme, (ii) pendekatan dualisme menyikapi bentuk dan isi sebagai dua unsur yang berbeda. Sebab itu penjelasan pada aspek bentuk harus dibedakan dengan penjelasan pada tataran makna. Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, (iii) pendekatan pluralisme mendekati gejala penggunaan bahasa dengan mendasarkannya pada fungsinya. Sebagaimana pembahasan tentang gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda, dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki matra hubungan. Matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995: 57).

Dengan demikian penelitian ini merujuk pada pendekatan

pluralisme-interferensial yakni proses analisis yang dilakukan bertolak dari konsep teoritis

yang dianggap relevan. Konsep tersebut antara lain terkait dengan wawasan


(49)

teoritis secara demikian pada dasarnya sesuai dengan kenyataan bahwa keberadaan aspek stilistik dalam teks sastra terkait dengan sejumlah unsur yang relatif kompleks. Kehadiran sistem tanda dalam teks sastra dapat disiasati dengan bertolak dari wawasan semiotik. Penggunaan bahasanya dapat dipahami dari wawasan lingustik. Sementara keberadaan aspek stilistik sebagai bentuk kreasi seni dapat dipahami dengan bertolak dari konsep-konsep yang terkembang dalam teori sastra (Aminuddin, 1995: 61).


(50)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan bahasa di dalam karya sastra terkait dengan sejumlah ragam bahasa yang digunakan sebagai wujud pemaparan gagasan yang merujuk pada bentuk komunikasi karya sastra. Unsur-unsur kebahasaan yang dibentuk dalam komunikasi sastra difungsikan sebagai alat untuk menciptakan efek estetik. Penelitian ini berfokus pada pemahaman bahwa penggunaan bahasa dalam karya sastra dipandang sebagai wacana komunikasi yang dapat diidentifikasi melalui aspek gaya sejalan dengan sistem manipulasi bahasa yang diolah melalui bentuk dan makna (isi).

Lotman (Segers, 2000: 14) mengemukakan bahwa sastra memiliki bahasa sendiri yang tidak berkaitan dengan bahasa natural. Ini berarti bahwa sastra memiliki suatu sistem tanda yang berbeda dan aturan-aturan yang dikombinasikan bagi pelayanan pemindahan (pengiriman) pesan-pesan khusus, yang tidak dapat ditransmisikan dengan cara lain. Hal ini yang membedakan bentuk komunikasi sastra dengan komunikasi kebahasaan. Aminuddin (1995: 35) menguraikan bahwa dalam konteks komunikasi kebahasaan, gaya secara umum memang dapat diartikan sebagai cara penggunaan bahasa untuk mengungkapkan gagasan. Tetapi bila dihubungkan dengan konteks komunikasi karya sastra serta gambaran alat pemaparan yang digunakan, sebutan “cara penggunaan bahasa” perlu diperluas.


(1)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkat, serta kemampuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dalam memperoleh gelar sarjana ilmu budaya.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak baik dalam bentuk ide atau gagasan, moral, maupun materi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Dr. Syamsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III.

2. Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberi waktu, pengetahuan, dan arahan. Drs. Haris Sutan Lubis, M.SP. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia.

3. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah bersedia memberikan waktu dan saran kepada penulis dalam penelitian ini. 4. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah


(2)

5. Staf pengajar di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran dan pengetahuan selama menjalankan perkuliahan.

6. Kedua orang tuaku yang terkasih, ayahanda Drs. B. Sagala, S.H dan ibunda E. Turnip yang telah menjadi alasan terkuat penulis untuk tetap semangat menyelesaikan perkuliahan dan mengejar mimpi ke depannya. Kedua sosok yang menjadi sang inspiratif, yang memberikan dukungan baik berupa materi maupun moril serta doa yang senantiasa mengiringi perjalanan studi penulis.

7. Untuk ke-7 saudara kandungku (Sagala Big Family), yakni abang, kakak, dan adik. Semoga kelak dapat menggapai mimpi dan cita-cita yang membanggakan kedua orang tua dan berguna bagi bangsa dan negara. 8. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan di Departemen Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU angkatan 2009 yang memberi warna pada hari-hari penulis selama masa perkuliahan. Terima kasih buat setiap tawa, canda, perselisihan, perjuangan, dan kebersamaan kita selama ini. Momen yang tidak akan pernah terhapus dan akan tercatat sebagai bagian dokumentasi perjalanan hidupku.

9. Untuk seluruh senior dan junior yang menjadi bagian studiku selama perkuliahan.

10.Seluruh pihak yang telah berperan memberi dukungan terhadap penulisan skripsi ini.


(3)

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca agar memberi kritik dan saran yang bermanfaat demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita bersama.

Medan, Juli 2013 Penulis,

Desi Handayani Sagala 090701012


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK PERNYATAAN

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ……….... iv

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang ………...… 1

1.2 Rumusan Masalah……….... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian …….………... 5

1.3.1 Tujuan Penelitian ……….. 5

1.3.2 Manfaat Penelitian ………. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 7

2.1 Tinjauan Pustaka ……… 7

2.2 Konsep ... 9

2.2.1 Cerpen ... 9

2.2.2 Komunikasi (Sastra) ... 10

2.2.3 Komunikasi Estetik ... 10

2.2.4 Stilistika ... 11

2.3 Landasan Teori ………. 11

2.3.1 Stile (Gaya Bahasa) ……….... 11

2.3.2 Teori Stilistika ………... 12

BAB III METODE PENELITIAN ………. 16

3.1 Populasi dan Sampel ………... 16

3.1.1 Populasi ... 16

3.1.2 Sampel ... 16

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ………... 16

3.2.1 Bahan Analisis ... 17

3.3 Metode Analisis Data ... 18 BAB IV KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN FILOSOFI


(5)

4.1 Unsur-unsur Stile (Style) ... 19

4.1.1 Penyiasatan Struktur ... 20

4.1.2 Pemajasan ... 28

4.2 Makna Denotatif dan Konotatif ... 36

4.2.1 Filosofi Kopi ... 36

4.2.2 Surat yang Tak Pernah Sampai ... 40

4.2.3 Sikat Gigi ... 44

4.2.4 Sepotong Kue Kuning ... 47

4.2.5 Lara Lana ... 49

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Simpulan ... 53

5.2 Saran ... 54


(6)

KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN

FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

Oleh

Desi Handayani Sagala NIM 090701012

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. NIP. 19620925 198903 1 017 NIP. 19500411 198102 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua