lebih tua. Sejalan dengan hasil tersebut, penelitian Nababan 2008 di RSU dr. Pirngadi Medan juga menunjukkan bahwa sebagian besar 84,3 penderita PJK
berusia 40 tahun atau lebih. Menurut Notoatmodjo 2007a, risiko terkena PJK semakin tinggi seiring
bertambahnya usia. Peningkatan risiko ini umumnya dimulai pada usia 40 tahun. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Maron, Grundy, Ridker, dan Pearson
2004, dimana insidensi dan prevalensi PJK meningkat tajam seiring penambahan usia. Usia dianggap sebagai salah satu faktor risiko kardiovaskular
yang sangat potensial. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar 72,7 penderita PJK
adalah suku Batak Tabel 5.3. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sarumpaet 2009 di RSUP H. Adam Malik Medan yang juga menunjukkan
bahwa sebagian besar 65,2 penderita PJK adalah suku Batak. Hal ini tidak berarti bahwa suku mempengaruhi kejadian PJK, tetapi kemungkinan yang
berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan lebih banyak yang suku Batak. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar 59,1 penderita PJK
memiliki pendidikan terakhir SMA Tabel 5.4. Sejalan dengan hasil tersebut, penelitian Yanti 2009 di RSU dr. Pirngadi Medan juga menunjukkan bahwa
sebagian besar 36,6 penderita PJK memiliki pendidikan terakhir SMA. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar 34,1 penderita PJK
merupakan pensiunan Tabel 5.5. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Yanti 2009 yang menunjukkan bahwa sebagian besar 29,6 penderita PJK
bekerja sebagai PNS.
5.3.2. Pengetahuan Responden
Penelitian ini menunjukkan bahwa 56,8 responden memiliki pengetahuan yang baik dan 43,2 responden memiliki pengetahuan yang cukup.
Melalui data tersebut, dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai diet PJK Tabel 5.6.
Selama pengambilan data, penulis juga mengamati bahwa umumnya responden mengetahui diet PJK tersebut dari dokter yang merawatnya. Dokter
Universitas Sumatera Utara
yang merawat penderita PJK tersebut memberikan anjuran diet PJK saat pertama kali penderita didiagnosis PJK dan saat penderita mengkontrolkan kesehatan
jantungnya kepada dokter. Pengetahuan yang baik mengenai diet PJK pada penelitian ini mungkin ada kaitannya dengan adanya anjuran diet PJK dari dokter
yang merawat pasien PJK tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Monga, Sachdeva, Kochhar, dan
Banga 2008 yang menyatakan bahwa konseling nutrisi terbukti mampu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang terhadap diet yang
diinginkan. Peningkatan tersebut terjadi setelah konseling nutrisi dan interaksi dengan konselor dilakukan selama minimal enam bulan.
Notoatmodjo 2007a mengatakan bahwa pengetahuan dapat terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran. Adanya konseling nutrisi sebagai stimulus indera penglihatan dan
pendengaran dapat meningkatkan pengetahuan penderita PJK mengenai diet PJK. Peningkatan pengetahuan responden mengenai diet PJK sangat diperlukan
mengingat masih cukup besarnya jumlah responden dengan kategori pengetahuan cukup, yaitu sebanyak 43,2 Tabel 5.6. Pengetahuan yang baik akan
mendorong responden dalam tindakannya untuk melaksanakan diet PJK. Perilaku makan yang didasari oleh pengetahuan yang baik akan bersifat lebih langgeng
long lasting daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan yang baik Notoatmodjo, 2007a.
5.3.3. Sikap Responden
Penelitian ini menunjukkan bahwa 77,3 responden memiliki sikap yang baik dan 22,7 responden memiliki sikap cukup. Melalui data tersebut, dapat
dilihat bahwa mayoritas responden memiliki sikap yang baik mengenai diet PJK Tabel 5.7.
Hal ini mungkin dikarenakan terdapat kaitan antara faktor usia dengan sikap. Seiring dengan pertambahan usia maka sikap seseorang terhadap suatu
objek atau stimulus akan semakin baik. Pada penelitian ini terlihat bahwa 52,9
Universitas Sumatera Utara
responden dengan sikap baik mengenai diet PJK berada pada kelompok usia lebih dari 55 tahun Tabel 5.9. Pertambahan usia seseorang akan berhubungan dengan
perkembangan kognitif, penalaran moral, dan perkembangan sosial. Semakin tua usia seseorang menunjukkan bahwa semakin sering seseorang tersebut terpapar
dengan stimulus. Hal ini sesuai dengan pandangan Notoatmodjo 2007a tentang penentuan sikap yaitu, semakin sering seseorang terpapar akan suatu stimulus atau
objek maka akan semakin mempengaruhi seseorang menilai ataupun bersikap terhadap stimulus atau objek tersebut. Penelitian Mosca, Jones, King, Ouyang,
Redberg, dan Hill 2000 juga menunjukkan bahwa orang yang berusia lebih tua usia 45 tahun atau lebih lebih banyak mendapatkan informasi mengenai PJK
daripada orang yang berusia lebih muda usia kurang dari 45 tahun. Selain faktor usia, pengetahuan responden mengenai diet PJK juga
mungkin berpengaruh terhadap sikap. Pengetahuan yang baik terhadap diet PJK umumnya diikuti dengan sikap yang baik pula Tabel 5.10.
Farooqi, Nagra, Edgar, dan Khunti 2000 yang melakukan penelitian pada orang Asia Selatan di Leicester menyebutkan adanya variasi sikap orang Asia
Selatan terhadap diet untuk kesehatan jantung. Salah satu faktor yang menyebabkan variasi sikap tersebut adalah pengetahuan. Mereka juga
menyarankan pentingnya promosi kesehatan berbasis individu untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diet tersebut sehingga sikap yang baik
diharapkan dapat terbentuk. Hal ini sesuai karena
pengetahuan akan suatu objek atau stimulus memegang peranan penting dalam penentuan sikap Notoatmodjo, 2007a. Selain itu menurut Rahayuningsih 2008,
pemahaman ataupun pengetahuan baik dan buruk, salah atau benarnya suatu hal akan menentukan sistem kepercayaan seseorang sehingga akan berpengaruh
dalam penentuan sikap seseorang.
5.3.4. Tindakan Responden