17 mencapai 0.17. Nilai ini masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan SNI
3144:2009, yaitu maksimal 1.5. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terkandung dalam bahan pangan. Proses pembuatan tempe sangat
berpengaruh terhadap kandungan gizi tempe yang dihasilkan.
Kadar lemak tempe grits kacang merah hasil pengukuran adalah 0.11. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan SNI 3144:2009 yakni minimal 10.
Penurunan kadar lemak selama fermentasi mencapai 0.8 sampai 2.8 Murata et al 1971. R. oligosporus dan R. oryzae menghasilkan enzim lipase yang akan
mengubah lemak menjadi trigliserida dan asam lemak bebas selama fermentasi Astuti et al 2000. Kapang menggunakan asam lemak bebas tersebut sebagai
sumber karbon De Reu et al 1994. Jumlah gliserol hasil hidrolisis yang lebih sedikit mengindikasikan bahwa trigliserida dihidrolisis menjadi mono- dan
digliserida serta asam lemak bebas Ruiz-Teran dan Owens 1996.
Kadar protein tempe grits kacang merah mencapai 12.92 bb. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan standar SNI 3144:2009 yang menetapkan kadar
protein tempe kedelai minimal 16.00 bb. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan bahan baku yang digunakan, yakni grits kacang merah. Kacang merah
mempunyai kandungan protein 23.1 g100g bahan, sedangkan pada kacang kedelai mempunyai kandungan protein 34.9 g100g bahan Depkes 1992. Namun
nilai 12.92 bb ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tempe kacang merah utuh, yakni sebesar 10.16 Munirah 2013. Hal ini dapat membuktikan bahwa
pengembangan tempe menggunakan grits kacang merah dapat meningkatkan kadar protein tempe kacang merah. Aktivitas proteolitik R. oligosporus dan R.
oryzae sangat berperan dalam peningkatan protein selama proses fermentasi tempe. Kapang menggunakan asam-asam amino albumin, globulin dan basa
terlarut untuk pertumbuhannya Handoyo dan Morita 2006.
Kadar karbohidrat sampel adalah 22.38. Selain menghasilkan enzim protease, kapang juga menghasilkan enzim amilase dan lipase yang digunakan
untuk menguraikan karbohidrat dan lemak. Aktifitas enzim amilase ditemukan pada R. oryzae yang aktif yang mencapai puncaknya pada 12 jam fermentasi,
ditandai dengan jumlah maltosa tertinggi pada jam tersebut Sapuan dan Soetrisno 2001. Sebagian gula karbohidrat terdegadadsi selama perendaman, pemasakan,
dan fermentasi tempe Mulyowidarso et al 1991; Egounlety dan Aworh 2003. Dinding sel yang tersusun atas polisakarida seperti pektin, selulosa, dan
hemiselulosa sebagian terdegadasi selama fermentasi oleh enzim yang diproduksi oleh kapang yang membuatnya lebih larut air Kiers et al 2000.
3.3 Mutu Sensori
Uji sensori dilakukan dengan menggunakan uji rating hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan 70 panelis tidak terlatih terhadap tempe grits kacang
merah ukuran 8 mesh dengan perlakuan aerasi 4 dan ketebalan 1 cm. Tempe dipotong dadu dengan ukuran 2x2 cm dan digoreng selama 5 menit tanpa
penambahan bumbu.
18
Table 2 menunjukkan bahwa parameter warna pada uji rating hedonik mempunyai nilai 4.9. Hal ini menunjukkan bahwa warna tempe grits kacang
merah masih dapat diterima oleh panelis karena berada pada hasil penilaian netral 4 hingga agak suka 5. Warna tempe sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan
miselium. Namun parameter warna yang dinilai dalam penelitian ini adalah warna tempe setelah digoreng. Begitu pula pada parameter aroma dan tekstur tempe grits
kacang merah, berada pada penilaian netral hingga agak suka. Panelis tidak menyukai rasa tempe grits kacang merah, penilaian untuk parameter rasa berkisar
antara agak tidak suka hingga tidak suka. Penilaian sampel secara keseluruhan over all berkisar pada penilaian agak tidak suka hingga netral. Karakteristik
yang kurang disukai pada tempe dikarenakan adanya rasa asam meskipun sampel telah digoreng. Rasa asam ini dimungkinkan muncul karena tahap perendaman air
asam yang dilakukan pada proses pembuatan tempe selama dua malam. Perendaman asam yang terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya penetrasi asam
ke dalam grits sehingga terdapat rasa asam pada produk akhir. Waktu untuk perendaman asam dapat dipersingkat untuk meminimalkan rasa asam pada produk
akhir.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan perbedaan aerasi dan ketebalan mempengaruhi karakteristik tempe grits kacang merah ukuran 8 mesh antara lain penampakan secara visual,
warna, kadar protein kasar, dan protein terlarut. Tempe dengan karakteristik terbaik adalah tempe dengan perlakuan aerasi 4 dan ketebalan 1 cm.
Pengembangan tempe grits kacang merah 8 mesh dapat meningkatkan kadar protein tempe kacang merah. Analisis sensori menunjukkan bahwa penilaian
panelis terhadap sampel secara keseluruhan over all berkisar pada penilaian agak tidak suka hingga netral.
Tabel 2 Penerimaan panelis terhadap tempe grits kacang merah ukuran 8 mesh perlakuan 4 aerasi ketebalan 1 cm
Uji Penilaian skala 1-7
Warna 4.9
Aroma 4.1
Tekstur 4.1
Rasa 2.8
Over all 3.6
19
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknik penyimpanan tempe grits kacang merah agar dapat disimpan dalam waktu lebih lama dan kualitasnya
terjaga. Selain itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengolahan tempe grits kacang merah yang tepat sehingga karakteristik produk dapat diterima oleh
panelis dengan tetap mempertahankan nilai gizi terutama proteinnya. Waktu perendaman grits menggunakan air asam dapat dipersingkat untuk meminimalkan
rasa asam pada produk akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson SJ, Lall SP, Anderson DM, McNiven MA. 1969. Evaluation of protein quality in fish meals by chemical and biologycal assays. Aquaculture. 115:
305-325. Astuti M, Andreanyta CG, Halmer H, and Siljestrom M. 1983. Rapid enzymatic
assayof insoluble and soluble dietary fiber. J Agic Food Chem. 311: 476- 482.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC
US: AOAC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Methods of
Analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC US: AOAC.
Bavia ACL, Silva CE, Ferreira MP, Leite RS, Mandarino JMG, and Carrao Panizzi MC. 2012. Chemical composition of tempeh from soybeans
cultivars specially developed for human consumption. Cienc Tecnol Aliment. 323:613-620.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive methode for the quantitation of microgam quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding.
Anal Biochem. 72:248-54. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kacang Merah. Jakarta ID: Badan Pusat
Statistik. Deliani. 2008. Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar protein, lemak,
komposisi asam lemak dan asam fitat pada pembuatan tempe [tesis]. Medan ID: Universitas Sumatra Utara.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1992. Kandungan Gizi Kacang. Jakarta ID: Departemen Kesehatan RI.
De Reu JC, MH Zwietering, FM Rombouts, MJR Nout. 1993. Appl. Microniol. Bioechnol. 40:261-265.
De Reu JC, Ramdarasa D, Rombouts FM, and Nout MJR. 1994. Changes in soya bean lipids during tempe fermentation. Food Chem. 50:171-175.
Dwinaningsih EA. 2010. Karakteristik kimia dan sensori tempe dengan variasi bahan baku kedelaiberas dan penambahan angkak serta variasi lama
fermentasi [skripsi]. Solo ID: Universitas Sebelas Maret.
20 Egounlety M, Aworh OC. 2003. Effect of soaking, dehulling, and fermentation
with Rhizopus oligosporus on the oligosaccharides, trypsin inhibitor, phytic acid and tannins of soybean Glycine max Merr, cowpera Vigna
unguiculata L. Walp, and goundbean Macrotyloma geocarpa Harms. J Food Eng. 56:249-254.
Fardiaz S. 1987. Fisioligi Fermentasi. Bogor ID: Pusat Antar Universitas. Frazier WC. 1976. Food Microbuology 2
nd
Edition. New Delhi IN: Mc Gaw-Hill Publishing Company LTD.
Handoyo T, Naofumi M. 2006. Structural and Functional Properties of Fermented Soybean Tempeh by Using Rhizopus oligosporus. I Journal of Food
Properties. 9:347-355. doi:10.108010942910500224746. Hesseltine, CW Smith, B Bradle, Djien KS. 1963. Investigations of tempeh, an
Indonesian food. Dev. Ind Microbiol. 4:275-278. Indriani EA. 1990. Pengaruh substitusi NaCl dengan KCl terhadap sifat
mikrobiologi, kimiawi, dan sensoris tauco [skrpisi]. Yogyakarta ID: Universitas Gajah Mada.
Jurus AM, Sundberg WJ. 1976. Penetration of Rhizopus oligosporus into soybean in tempeh. American Soc. for Microbiol. 322:284-287.
Kiers EG, Nout MJR, dan Rombouts FM. 2000. In vitro digestibility of processed and fermented soya bean, cowpea, and maize. J Scie Food Agic. 80:163-169.
Kovac B, Raspor P. 1997. The use of the mould Rhizopus oligosporus in food production. Food Technol. Biotechnol. 351:69-73.
Meilgard. 1991. Sensory Evaluation Techniques 2
nd
Edition. Florida USA: CRC Press Inc.
Mulyowidarso RK, Fleet GH, Buckle KA. 1991. Changes in the concentration of carbohydrates during the soaking of soybenas for tempe production. Int J
Food Sci Tech. 26:595-606. Munirah W. 2013. Effect of different aeration area and thickness on
physicochemical properties of red kidney beans Phaseolus vulgaris L tempeh [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.
Murata K, H Ikehata, T Miyamoto. 1967. Studies on the nutritional value of tempeh. J. Food Sci. 32:580.
Nurhaida R. 1999. Kajian pengaruh pengkukusan dan lama penyimpanan tempe terhadap mutu keripik tempe [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.
Pariwoharsono S. 2010. Fermentation and biosynthesis of functional active compounds in tempeh for products application. 3
rd
Soy Symposium: Health, Social-Cultural and Market Perspectives; 2010 Agust 2-3; Surabaya,
Indonesia. Surabaya ID: BPPT . Pellet PL, Young VR. 1980. Nutritional Evaluation of Protein Foods. Tokyo JP:
The United Nation University. Purwoko, Handajani. 2007. Kandungan protein kecap manis tanpa fermentasi
moromi hasil fermentasi Rhizophus oryzae dan R. oligosporus. Jurnal Ilmiah Biodiversity 8 2:223-227.
Rahayu K. 2004. Industrialization of tempe fermentation. In KH Steinkraus ed. Industrialization of Indigenous Fermented Foods. 2
nd
Edition. New York US: Marcel Dekker, Inc.
Rohani E. 1999. Pengaruh jenis kedelai dan jenis laru terhadap perubahan sifat fisiko-kimia keripik tempe [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.