Periode Sebelum Krisis Ekonomi, Tahun 19691970-19961997

perdagangan internasional mengalami penurunan dari periode sebelumnya yaitu sebesar 4.13 persen Rp3.07 triliun. Penerimaan negara dari Bea Masuk hanya mengalami peningkatan kecil, dari Rp 2.8 triliun pada Pelita V menjadi Rp 2.9 triliun pada Pelita VI.

5.1.2. Realisasi Belanja Negara

Komposisi belanja Pemerintah selama periode sebelum krisis ditunjukkan Gambar 21. Pada Pelita I, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan relatif seimbang dengan belanja rutin. Proporsi pengeluaran rutin sekitar 683 persen dan pengeluaran pembangunan sebesar 31.7 persen. Belanja pembangunan dalam Pelita II rata-rata sebesar Rp 1.83 triliun dan belanja rutin sebesar Rp 1.49 triliun. Pada Pelita III belanja pembangunan meningkat mencapai Rp 7.03 triliun 47.47 persen sedangkan belanja rutin sebesar Rp 6.35 triliun 52.53 persen. Pada pelita IV, belanja pembangunan mulai mengalami penurunan dibandingkan Pelita III. Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 19691970-19961997 Gambar 21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode Sebelum Krisis - 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Belanja Rutin Belanja Pembangunan Belanja pembangunan dalam Pelita III mencapai Rp 10,25 triliun 40 persen sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 15.29 triliun 60 persen. Pada pelita V, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan sedikit meningkat dibandingkan proporsi pada pelita IV. Belanja pembangunan mencapai Rp 22.41 triliun 41 persen sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 31.69 triliun 59 persen. Pada Pelita VI proporsi anggaran untuk belanja pembangunan menurun cukup signifikan. Belanja pembangunan pada Pelita VI hanya mencapai Rp 31.8 triliun 37 persen sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 52.73 triliun 63 persen. Komposisi detail belanja Pemerintah ditunjukkan Tabel 22.

5.1.2.1. Belanja Pegawai

Pengeluaran anggaran rutin terbesar pada pelita I adalah untuk belanja pegawai sebesar 29.7 persen. Proporsi ini semakin meningkat pada Pelita II, belanja pegawai menjadi 49.71 persen. Seiring dengan peningkatan penerimaan dari Migas, total belanja pemerintah meningkat cukup signifikan, sehingga proporsi belanja pegawai menurun menjadi sekitar 38.98 persen. Penurunan proporsi ini tidak berarti terjadi penurunan belanja pegawai, namun lebih disebabkan oleh peningkatan belanja subsidi BBM yang meningkat karena tingginya harga minyak dunia. Selanjutnya sejak Pelita IV, proporsi untuk belanja pegawai kembali relatif stabil sekitar 45 persen. 5.1.2.2. Belanja Barang Pengeluaran pemerintah untuk belanja barang pada Pelita I dan Pelita II relatif cukup tinggi yaitu sebesar 33.4 persen dan 25.48 persen. Belanja barang terutama dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan peralatan operasional dan pemeliharaan peralatan. Seiring dengan meningkatnya investasi pemerintah pada barang-barang modal maka belanja pemeliharaan juga meningkat. Disamping itu, dengan adanya inflasi yang cukup tinggi pada pelita I dan II menyebabkan belanja peralatan juga meningkat. Namun karena meningkatnya belanja subsidi BBM maupun subsidi Non BBM pada pelita III dan Pelita IV, maka porsi belanja barang menurun cukup drastis. Padahal belanja barang penting untuk mendukung kegiatan operasional birokrasi. Belanja barang dapat dialokasikan dengan pembelian peralatan-peralatan yang mengikuti perkembangan tehnologi. Dengan tehnologi yang modern, maka fungsi pelayanan dari pemerintah akan lebih cepat, mudah, murah dan efisien. Tabel 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Sebelum Krisis, Tahun 19691970 – 19961997 Jenis Belanja Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI 1. Belanja Pegawai 43.52 49.71 38.98 45.53 45.95 47.28 2. Belanja Barang 33.40 25.48 16.27 13.42 12.90 20.78 3. Bunga Utang 3.60 6.74 10.97 29.72 29.09 22.86 i. Dalam negeri 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 ii. Luar Negeri 3.60 6.74 10.97 29.72 29.09 22.86 4. Subsidi 2.48 12.41 30.48 9.56 9.79 3.83 i. BBM 0.00 3.82 24.81 3.05 7.54 2.48 ii. Non-BBM 2.48 8.59 5.67 6.51 2.25 1.35 5. Lainnya 17.01 5.66 3.30 1.78 2.28 5.25 Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 19691970-19961997

5.1.2.3. Belanja Subsidi

Porsi belanja subsidi pada Pelita I hanya untuk subsidi non BBM, yaitu subsidi pangan sebesar 1.7 persen. Pada pelita II mulai muncul subsidi BBM sebesar Rp 51.84 miliar. Subsidi beras dan gandum mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran 19801981 yaitu sebesar Rp 281.7 miliar. Tingginya subsidi pangan dalam tahun anggaran 19801981 terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan meningkatnya impor beras karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Seiring tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak 19831984, alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Namun disisi lain terjadi peningkatan pada subsidi Bahan Bakar Minyak BBM. Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 19771978, kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Pelita III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya. Pelita IV beban subsidi BBM mengalami penurunan yang cukup drastis, dari Rp 1.3 triliun 24.81 persen pada Pelita III menjadi Rp 288 miliar 3.05 persen pada Pelita IV. Penurunan proporsi ini selain karena terjadi penurunan subsidi BBM akibat penurunan harga rninyak mentah dunia, juga lebih disebabkan adanya peningkatan yang cukup besar pada pembayaran bunga utang. Bahkan dalam tahun anggaran 19861987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh Laba Bersih Minyak LBM sebesar Rp 1 010.8 miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam tahun anggaran 19901991 yang mencapai Rp 3 305.7 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama Pelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah pada rakhir pelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tahun 1991-1993 mengalami penurunan. Dalam tahun anggaran 19951996 diperoleh LBM sebesar Rp 487.6 miliar. Sementara itu dalam APBN 19961997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 19691970 sampai dengan tahun anggaran 19961997.

5.1.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang

Pada Pelita I pembayaran untuk bunga utang masih relatif sangat kecil hanya sekitar 2.5 persen. Pada Pelita II. pemerintah sudah mulai mengeluarkan anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 91.5 miliar. Komposisi belanja antara pengeluaran rutin dan pembangunan sampai Pelita III relatif proporsional. Namun seiiring berakhirnya era boom oil. Indonesia mulai tergantung pada pembiayaan yang bersumber utang luar negeri. Alhasil pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok meningkat. Sebagai konsekuensinya porsi anggaran pembayaran bunga utang meningkat cukup tajam. Sementara pada pelita IV. peningkatan belanja rutin disebabkan terjadi peningkatan beban bunga utang mencapai puncaknya yaitu meningkat hampir 5 kali lipat. dari Rp 582 miliar 10.97persen pada Pelita III menjadi Rp 2.8 triliun 30persen pada Pelita IV. 5.1.2.5. Belanja Pembangunan Pada periode ini ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres KesehatanPuskesmas sebesar Rp 11.94 miliar, Inpres Pasar Rp 520 juta. dan Inpres PenghijauanReboisasi Rp 15.3 miliar. Pada III ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Penunjang Jalan sebesar Rp 37.6 miliar. Selain itu, anggaran pembangunan berupa Inpres SD juga mengalami peningkatan signifikan menjadi Rp 327.9 miliar. Pada pelita IV, peningkatan signifikan pada belanja pembangunan terjadi pada karena Inpres Penunjang Jalan yakni sebesar Rp 120 miliar. Pada Pelita VI tidak ada lagi alokasi anggaran berupa Inpres Penunjang Jalan, dan digantikan dengan Inpres Desa Tertinggal sebesar Rp 473.37 triliun. Pada periode ini memasuki permulaan krisis, dimana beban pemerintah untuk membayar bunga utang serta pokok utang mencapai puncaknya. Ditambah lagi kondisi defisit neraca pembayaran yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan mata uang dolar, yang pada periode selanjutnya akan membawa pada situasi sulit.

5.1.2.6. Belanja Transfer Daerah

Selama orde baru komposisi didominasi belanja pemerintah pusat dan yang langsung ke daerah relatif kecil. Namun mayoritas anggaran yang di daerah berupa anggaran pembangunan. Komposisi anggaran belanja daerah antara lain terdiri dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur melalui Inpres. Pada Pelita I, anggaran belanja belanja daerah baru mencapai Rp 67.28 miliar atau 11.54 persen. Namun demikian, hampir seluruh belanja ke daerah dialokasikan untuk belanja pembangunan dalam bentuk anggaran program dan proyek berupa dana bagi hasil dari IpedaPBB; Dana Alokasi Umum yang terdiri dari Inpres DesaInpres KabupatenDati II dan Inpres PropinsiDati I; Dana Alokasi Khusus berupa Inpres SD. Pada Pelita II, anggaran belanja daerah meningkat cukup signikan menjadi Rp635 miliar atau 20.59 persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja untuk daerah berupa Dana Alokasi Umum DAU serta Dana Alokasi Khusus yang ditujukan untuk Inpres KesehatanPuskesmas dan Inpres PenghijauanReboisasi. Pada pelita III, secara nominal anggaran belanja daerah meningkat menjadi Rp2.1 triliun, namun secara proporsi turun menjadi 17.40 persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat untuk pembayaran bunga utang luar negeri yang mencapai Rp 528.86 miliar serta untuk Subsidi BBM sebesar Rp 1.3 triliun. Padahal pada Pelita II, subsidi untuk BBM baru mencapai Rp 51 miliar. Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 19691970-19961997 Gambar 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode Sebelum Krisis 1997 Pada Pelita IV, anggaran belanja daerah sebesar Rp4 triliun atau 18.70 persen. Demikian juga pada Pelita V, untuk anggaran belanja daerah sebesar Rp 8.7 triliun 19.28 persen. Selanjutnya pada Pelita VI, terjadi peningkatan yang cukup besar pada belanja daerah melalui belanja pembangunan Inpres Penunjang Jalan mencapai 8 kali lipat sebesar Rp 832 miliar. Selain itu, pada pelita V sudah tidak ada lagi alokasi anggaran untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang. 5.1.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Selama orde baru, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan anggaran berimbang, pada kenyataannya besarnya penerimaan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan belanja pemerintah. Tabel 23 menunjukkan kekurangan sumber pembiayaan yang ditutup dengan utang. Selama Pelita I sampai dengan Pelita III, kekurangan pembiayaan untuk belanja pemerintah atau defisit anggaran - 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Belanja Pusat 515,62 2.453,12 10.339,5 17.627,2 36.464,7 51.855,6 Belanja Daerah 67,28 635,98 2.178,12 4.054,16 8.712,32 16.096,5 masih cukup rendah. Pada Pelita I defisit anggaran baru mencapai Rp 69.80 miliar dan ditutup dengan utang luar negeri. Namun seiring dengan membengkaknya belanja rutin pemerintah, mulai pelita III defisit anggaran semakin meningkat menjadi 1 triliun yang diikuti peningkatan penarikan utang baru. Peningkatan utang baru terbesar terjadi pada pelita IV, terutama ketika era oil boom telah berakhir. Kondisi ini sangat ironis, disaat penerimaan negara meningkat cukup besar karena peningkatan penerimaan dari migas, disisi lain utang luar negeri justru meningkat cukup besar. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan belanja belanja rutin akibat besarnya beban subsidi. Jadi akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia, maka pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi BBM untuk menekan harga minyak di dalam negeri tidak naik. Tabel 23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Uraian Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI SurplusDefisit Anggaran -69.8 -148.0 -1 003.8 -1 801.3 -926.1 6 491.3 Pembiayaan 69.8 148.0 1 003.8 1 801.3 926.1 -6 491.3 1. Pembiayaan Dalam Negeri -16.8 -71.8 -60.9 -126.8 -471.4 -2 633.6 a. Perbankan Dalam Negeri -11.9 -63.6 -21.0 -101.2 -266.8 -529.3 b. Non Perbankan DN -4.9 -8.2 -39.9 -25.7 -204.6 -2 104.3 2. Pembiayaan Luar Negeri 86.6 219.8 1 064.7 1 928.1 1 397.5 -3 857.7 a. Penarikan Pinjaman LN 110.9 334.8 1 600.7 5 160.6 9 707.5 10 248.9 b. Pembayaran Pokok Utang LN -24.3 -115.1 -536.0 -3 232.5 -8 309.9 -14 106.6 Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 19691970-19961997 Disamping menimbulkan beban subsidi, kenaikkan harga minyak dunia juga memicu terjadinya inflasi. Sebagai akibat tingginya harga minyak, penerimaan negara dari ekspor migas meningkat secara signifikan. Hal ini berdampak pada peningkatan belanja pemerintah, terutama porsi belanja rutin pemerintah untuk gaji pegawai. Peningkatan gaji ini yang mendorong terjadinya inflasi akibat mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Peningkatan porsi belanja rutin ini yang selanjutnya menciptakan peningkatan defisit anggaran dan ketergantungan pada utang luar negeri. Pada periode selanjutnya beban pembayaran bunga mendominasi komposisi belanja rutin pemerintah. Ironisnya Gambar 23 menunjukkan bahwa mulai Pelita V Indonesia sudah mengalami net negatif transfer untuk penarikan utang luar negeri baru. Artinya besarnya penarikan utang baru lebih besar dari beban pembayaran total bunga dan cicilan pokok. Hasilnya walaupun kebijakan anggaran defisit, namun tidak ada sumber pembiayaan tambahan untuk meningkatkan belanja pemerintah dalam menstimulus perekonomian. miliar Rp Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Bunga Cicilan Pokok 37 207 1,119 6 045 13 648 20 563 Penarikan Pinjaman LN 111 335 1,601 5 161 9 707 10 249 Net Transfer 74 128 482 -885 -3 941 -10 314 Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 19691970-19961997 Gambar 23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun 1997 15.000,00 10.000,00 5.000,00 - 5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00 Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI Total Bunga Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN Net Transfer

5.1.4. Kinerja Perekonomian

Pertumbuhan ekonomi selama Pelita I sampai II cukup tinggi, dimana rata- rata 7 persen pertahun, tabungan pemerintah meningkat, penerimaan devisa meningkat terutama berasal dari sektor migas. Gambar 24 mengilustrasikan bahwa pada pertengahan era 1970-an perekonomian Indonesia mengalami gangguan harga minyak dunia turun dan kuota produksi minyak juga turun. Akibatnya ekspor neto turun 38 persen dan ekspor nonmigas turun 30 persen, sedangkan impor nonmigas meningkat. Neraca berjalan defisit US 2.7 miliar pada tahun 1981 dan US6.7 miliar pada tahun 1982, sehingga pertumbuhan ekonomi hanya 2.24 persen pada tahun 1982. Implikasinya terjadi penghematan angaran belanja pada tahun 1983-1984, disertai peningkatan pinjaman luar negeri dan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun 1983. Juga dilakukan penjadwalan ulang proyek pemerintah dan kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun 1984 serta pengurangan subsidi pupukpestisida. Keberhasilan dalam Pelita I yaitu produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4 persen setahun. Hal ini terjait dengan alokasi belanja pemerintah untuk mendorong berdirinya industri pupuk, semen, dan tekstil. Disamping itu juga dialokasikan belanja untuk perbaikan infrastruktur jalan raya dan banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik dan disertai semakin meningkatnya anggaran untuk sektor pendidikan. Pada Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata penduduk 7 persen. Alokasi belanja banyak diperuntukkan perbaikan irigasi, jalan dan jembatan. Pelita III program untuk mendukung terciptanya swa-sembada pangan gencar dilaksanakan. Alhasil pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25.8 ton dan mencapai swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia pada tahun 1985, dan merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita I – Pelita III Namun prestasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama pelita I sampai pelita III tersebut tidak diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang signifikan. Gambar 24 menunjukkan jumlah penduduk miskin tetap tinggi dengan tingkat pengurangan yang relatif lambat, rata-rata pertahun hanya berkurang 1.5 persen. Pertumbuhan ekonomi hanya berdampak kecil terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Pada awal Pelita I jumlah penduduk miskin sekitar 25.8 persen, namun pada 1980 justru meningkat menjadi 28.7 persen. Upaya penurunan tingkat pengangguran lebih ironis lagi. Pada Pelita I dan II tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan, jika pada awal pelita I tahun 1970 tingkat pengangguran sebesar 3.8 5 10 15 20 25 30 35 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin persen, maka pada tahun 1973 meningkat menjadi 10.4 persen, dan baru tahun 1980 tingkat pengangguran turun hingga 1.7 persen. Namun selama tahun 1973- 1976 pengangguran sangat tinggi, rata-rata sebesar persen 8.4 persen. Pada tahun 19791980 tingkat pengangguran baru mengalami penurunan yang cukup berarti. Gambar 25 menunjukkan menginjak Pelita IV, pemerintah menerapkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, dampaknya pada Pelita V perekonomian Indonesia tumbuh 6.7 persentahun. Selama PJP I pertumbuhan ekonomi sebesar 6.7 persen per tahun, pendapatan perkapita naik dari US70 pada tahun 1969 meningkat menjadi US770 pada tahun 1993. Sebagai dampaknya, penduduk miskin pada pelita IV berkurang hingga 14.55 persen. Namun pada pelita V jumlah penduduk miskin kembali meningkat menjadi 19.7 persen. Demikian juga tingkat pengangguran, selama pelita IV sampai pelita V justru terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 tingkat pengangguran mencapai 7.2 persen. Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita IV – Pelita VI 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran Penduduk Miskin Secara umum dapat disimpulkan, selama periode sebelum krisis ekonomi keberhasilan program swasembada pangan telah berdampak signifikan pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin menurun drastis sampai dengan tahun 19921993. Namun disisi lain angka penganguran justru meningkat, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Kondisi ini dapat diartikan bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menciptakan kesempatan kerja. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa belanja pemerintah tidak mampu menstimulus kinerja sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja baru. 5.2. Periode Setelah Krisis Ekonomi Tahun 1997 – 2010

5.2.1. Realisasi Penerimaan Negara

Pada periode setelah krisis ekonomi, sumber penerimaan negara terbesar berasal dari penerimaan perpajakan. Gambar 26 menunjukkan pada tahun 2005, realisasi penerimaan dari pajak sebesar Rp347 triliun dengan tax ratio sebesar 12.7 persen terhadap PDB. Pada tahun yang sama, penerimaan negara yang berasal dari bukan pajak sebesar Rp146.9 triliun. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, penerimaan pajak terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2008 penerimaan pajak mencapai Rp6 587 triliun, lalu pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp 619.9 triliun. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak mengalami fluktuasi dari tahun 2005 sampai tahun 2009. Penerimaan perpajakan masih ditopang oleh penerimaan pajak dalam negeri, terutama dari pajak penghasilan nonmigas yang pada tahun 2005 sebesar Rp 140.4 triliun dan terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun 2009 mencapai Rp267.6 triliun. Jika dilihat dari tax ratio, penerimaan dari pajak masih tergolong sangat rendah. Seyongganya Pemerintah mampu mendorong reformasi administrasi perpajakan serta langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang berkelanjutan sehingga tax ratio dapat meningkat menjadi sekitar 14 persen. Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis Tahun 1997-2010 Penerimaan pajak masih didominasi oleh pajak penghasilan dan pajak PPn sebagaimana terlihat dalam Gambar 27. Pajak perdagangan internasional terutama dalam bentuk bea masuk mengalami peningkatan pada tahun 2005 hingga tahun 2008, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor akibat krisis keuangan global. Sementara penerimaan pajak ketiga berasal dari cukai, khususnya cukai dari industri hasil tembakau. 100 200 300 400 500 600 700 800 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 P. Perpajakan 71 102 113 116 186 210 242 281 347 409 491 659 620 743 P. Bukan Pajak 41 54 75 89 115 88 99 123 147 227 215 321 227 247 P. Perpajakan P. Bukan Pajak Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis, Tahun 1997-2010

5.2.2. Realisasi Belanja Negara

Dalam kurun waktu pasca krisis 2000-2010, anggaran belanja pemerintah pusat terus mengalami kenaikan dan tumbuh rata-rata 16.7 persen per tahun menjadi sebesar Rp628.8 triliun pada tahun 2009, dan dalam APBN-P tahun 2010 mencapai Rp781.5 triliun. Peningkatan volume belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah Indonesia ICP yang mempengaruhi besaran belanja subsidi khususnya subsidi energi. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang memiliki pengaruh terhadap pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat misalnya kenaikan - 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0 400,0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 PPh PPn Cukai PBB BPHTB Bea Masuk Pajak Lainnya gaji pegawai ataupun meningkatnya jumlah pegawai negeri yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah lembaga non-struktural. Selama enam tahun terakhir 2005-2010, sebagian besar dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat merupakan belanja operasional yaitu belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai 73.5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Proporsi terbesar dalam belanja pemerintah pusat yaitu subsidi, yang pada tahun 2005 sebesar Rp120.8 triliun menjadi sebesar Rp201.3 triliun pada APBN-P tahun 2010. Alokasi belanja terbesar kedua yaitu belanja pegawai sebesar Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun pada APBN-P tahun 2010. Tabel 24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, 2000 – 2010. Jenis Belanja 2000 2001 2002 2004 2005 2007 2008 2009 2010 Subsidi 33.3 29.7 17.9 30.8 33.4 29.8 39.7 22.0 25.8 Belanja Pegawai 15.7 14.9 17.6 17.7 15.0 17.9 16.3 20.3 20.8 Pemb. Bunga Utang 26.6 33.5 39.1 21.0 18.1 15.8 12.8 14.9 13.5 Belanja Barang 5.1 3.8 5.7 5.2 8.1 10.8 8.1 12.8 14.4 Belanja Modal 13.7 16.0 16.7 20.7 9.1 12.7 10.5 12.1 12.2 Belanja Lain-Lain 5.6 2.2 3.0 4.6 16.3 13.0 12.7 17.9 13.4 Belanja Pusat 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber : LKPP, Kementerian Keuangan RI, Tahun 2000-2010 Alokasi belanja terbesar ketiga yaitu pembayaran bunga utang yang selalu meningkat setiap tahunnya, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada APBN-P tahun 2010. Selanjutnya, belanja barang ternyata juga mengambil proporsi yang cukup besar dalam belanja pemerintah pusat, bahkan cenderung lebih besar dibandingkan pembayaran bunga utang pada periode dua tahun terakhir ini yaitu Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010 menjadi Rp137.8 triliun dalam APBN 2011. 5.2.2.1. Belanja Pegawai Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu 2005-2010 mengalami peningkatan rata-rata 24.6 persen per tahun, yaitu dari Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun dalam APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp180.8 triliun dalam APBN tahun 2011. Sementara itu, proporsi belanja pegawai terhadap belanja pemerintah pusat juga cenderung mengalami peningkatan, dan mengambil porsi yang cukup besar yaitu sekitar 21.61 persen pada APBN tahun 2011. Besaran anggaran belanja pegawai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun beserta keluarga yang ditanggung, komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta beberapa kebijakan pemerintah misalnya terkait kenaikan gaji PNS dan TNIPolri serta kenaikan pokok pensiun yaitu sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2006 dan 2007, sebesar rata-rata 20 persen pada tahun 2008, sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2009, dan rata-rata 5 persen pada tahun 2010.

5.2.2.2. Belanja Barang

Dalam periode 2005-2010, anggaran belanja barang secara nominal terus mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 31 persen per tahun, yaitu dari Rp29.2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp137.8 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu, perkembangan proporsi belanja barang terhadap belanja pemerintah pusat juga terus mengalami peningkatan, yaitu 8.1 persen pada tahun 2005, menjadi 14.4 persen pada APBN tahun 2010, dan diperkirakan mencapai 16.47 persen pada APBN tahun 2011. Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun waktu tersebut, antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah satuan kerja baru atau lembaga non-struktural yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan barang dan aset milik pemerintah termasuk biaya pemeliharaannya. Disamping itu, kegiatan pemilu pada tahun 2009 juga telah menyebabkan peningkatan belanja barang. 5.2.2.3. Belanja Subsidi Dalam rentang waktu 2000-2010, realisasi anggaran belanja subsidi mengalami peningkatan sebesar Rp80.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10.8 persen per tahun, dari sebesar Rp120.8 triliun 33.43 persen pada tahun 2005, menjadi Rp138.1 21.96 persen triliun pada tahun 2009. Disamping itu, persentase belanja subsidi terhadap total belanja pemerintah pusat relatif besar, sekitar 20 hingga 40 persen. Belanja subsidi tersebut terdiri dari subsidi energi dan subsidi non-energi, dan porsi terbesar adalah untuk belanja subsidi energi khususnya subsidi BBM. Beberapa hal yang menyebabkan terus meningkatnya belanja subsidi diantaranya yaitu 1 meningkatnya harga minyak mentah dunia, 2 fluktuasi nilai tukar rupiah, 3 meningkatnya konsumsi BBM nasional sebagai akibat penetrasi industri otomotif, 4 ketidakmampuan perusahan migas negara dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga harus impor. Jika belanja subsidi ini terus meningkat dan tidak dapat diatasi maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan nasional. Belanja subsidi didominasi oleh subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi Listrik. Dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp39.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6.6 persen per tahun, dari sebesar Rp104.4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp201.3 triliun pada tahun 2010, dan mencapai Rp187.6 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp6.7 triliun, atau menurun rata-rata 1.4 persen per tahun, dari sebesar Rp95.6 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp88.9 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp95.9 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46.3 triliun, atau tumbuh rata-rata 44.2 persen per tahun, dari sebesar Rp8.9 trilliun pada tahun 2005, menjadi Rp55.1 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp40.7 triliun pada tahun 2011. Tabel 25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011 Triliun Rupiah Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Subsidi Energi 104.4 94.6 116.9 223

94.6 144

1. Subsidi BBM 95.6 64.2 83.8 139.1 45 88.9 2. Subsidi Listrik 8.9 30.4 33.1 83.9 49.5 55.1 Subsidi Non- Energi

16.3 12.8

33.3 52.3

43.5 57.3

1. Subsidi Pangan 6.4 5.3 6.6 12.1 13 13.9 2. Subsidi Pupuk 2.5 3.2 6.3 15.2 18.3 18.4 3. Subsidi Benih 0.1 0.1 0.5 1 1.6 2.3 4. PSO 0.9 1.8 1 1.7 1.3 1.4 5. Kredit Program 0.1 0.3 0.3 0.9 1.1 2.9 6.Minyak Goreng - - 0.2 - - 7. Subsidi Kedele - - - 0.1 - - 8. Subsidi Pajak 6.2 1.9 17.1 21 8.2 18.4 9. Subsidi Lainnya - 0.3 1.5 - - - Jumlah 120.8 107.4 150.2 275.3 138.1 201.3 Sumber: Kementerian Keuangan Di sisi lain. perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40.9 triliun, atau tumbuh rata-rata 28.5 persen per tahun, dari sebesar Rp16.3 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp43.5 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp51 triliun pada tahun 2011. Dengan mempertimbangkan masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebaiknya subsidi non-energi agar lebih ditingkatkan lagi khususnya subsidi pangan, karena terkait kebutuhan dasar masyarakat. 5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp40.5 triliun atau tumbuh rata-rata 12.8 per tahun, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada tahun 2010. Dari realisasi pembayaran bunga utang, lebih dari 65 persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan sisanya digunakan untuk pembayaran utang luar negeri. Pembayaran bunga utang yang terus meningkat sebagai akibat kebijakan defisit anggaran yang sangat bergantung dari utang. Dalam periode 2005-2011, defisit APBN berada pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2005, defisit APBN mencapai Rp14.4 triliun 0.5 persen terhadap PDB dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp495.2 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp509.6 triliun. Pada tahun- tahun selanjutnya, defisit APBN terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2007 defisit APBN mencapai Rp49.8 triliun 1.3 persen terhadap PDB, yang bersumber dari realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707.9 triliun dan belanja negara sebesar Rp757.6 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional terutama harga minyak dunia sehingga mengakibatkan meningkatnya beban belanja subsidi. Selanjutnya, di tahun 2008 defisit APBN justru mengalami penurunan menjadi Rp4.1 triliun 0.1 persen terhadap PDB. Penurunan defisit anggaran pada tahun 2008 disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian NegaraLembaga KL, serta lonjakan penerimaan perpajakan yang jauh lebih besar dari yang direncanakan. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88.6 triliun 1.6 persen dari PDB dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp848.8 triliun dan belanja negara sebesar Rp937.4 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2009 dipengaruhi penurunan realisasi penerimaan negara baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak krisis ekonomi dunia. 5.2.2.5. Belanja Modal Dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara nominal juga mengalami peningkatan, rata-rata 23.6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp32.9 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp95 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp135.9 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu, proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat masih relatif lebih yaitu hanya sebesar 9.11 persen pada tahun 2005 dan menjadi sebesar 16.24 persen pada APBN tahun 2011. Proporsi tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan proporsi belanja pegawai dan belanja subsidi. Padahal, belanja modal sangat penting guna mendorong pertumbuhan, utamanya dalam mengatasi permasalahan bottleneck infrastuktur melalui pembangunan infrastruktur sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi serta meningkatkan domestic conectivity. 5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah Realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan sebagaimana ditunjukkan Gambar 28. Realisasi belanja negara pada tahun 2005 sebesar Rp509.6 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp361.2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp150.5 triliun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir 2006-2010, anggaran belanja pemerintah daerah terus mengalami kenaikan, yaitu dari 258.9 triliun pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp443.5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya jumlah daerah otonom baru hasil dari pemekaran daerah, tercatat pada tahun 2005 ada sekitar 389 daerah Provinsi dan KabupatenKota dan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 524 daerah. Dana transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Jumlah dana perimbangan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 sebesar Rp143.2 triliun dan meningkat menjadi Rp334.3 triliun pada APBN 2011. Sedangkan untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian juga terus mengalami kenaikan, pada tahun 2005 sebesar Rp7.2 triliun dan meningkat menjadi Rp58.7 triliun pada APBN 2011. Terus meningkatnya Dana Otsus dan Penyesuaian merupakan konsekuensi logis atas adanya ketetapan UU No.35 Tahun 2008 yang mengharuskan alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat serta 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi NAD. Sehingga peningkatan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian. Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Periode Paska Krisis, Tahun 1997-2010 Berdasarkan data pada Gambar 28, menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 secara nominal besarnya dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun sebenarnya secara riil jumlah dana perimbangan tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun. Saat ini hampir 70 persen dana APBN digunakan untuk belanja pemerintah pusat termasuk untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan bunga serta untuk subsidi. Gejala ini barangkali bisa dimaknai sebagai tanda- tanda kembalinya sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat akan semakin 200 400 600 800 1.000 1.200 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 76 146 202 188 261 224 256 297 361 440 505 693 629 782 21 27 30 33 81 98 120 130 150 226 253 292 309 345 Belanja Pemerintah Pusat Belanja Daerah dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: 1 mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah vertical fiscal imbalance dan antardaerah horizontal fiscal imbalance , 2 meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, 3 meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan 4 mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar 28.50 persen. Terakhir Dana Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata.

5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan

Sejak terjadi perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, dimana komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom, dapat langsung diketahui ABPN dalam keadaan surplus ataupun defisit. Dengan format ini juga langsung terlihat sumber pembiayaan defisit anggaran, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejak pasca krisis ekonomi 1997, defisit anggaran pemerintah terus membengkak, dimana pada tahun 2009 dan 2010