Dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan

(1)

DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN

KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN

ENNY SRI HARTATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

vi

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:

DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN

KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis pada perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

Enny Sri Hartati A 161050131


(3)

ABSTRACT

ENNY SRI HARTATI. The Impact of Government Spending Composition on Economic Growth, Employment Opportunity, and Poverty Rate (RINA OKTAVIANI as Chairperson, DIDIK J. RACHBINI and MUHAMMAD FIRDAUS as the Members of the Advisory Committee)

The Indonesian government spending composition after the 1997 crisis has been dominated by recurrent spending. This condition had caused the fiscal space to occupy 4-5 percent of Gross Domestic Product (GDP) during 2006-2010. The lack of fiscal space had resulted in limited role of fiscal policy to stimulate the economy. Furthermore, the economy has grown at the rate of 5.7 percent in yearly average; unemployment rate at 9.49 percent per year; and the average populations of poor people has reached 33.5 million people. The shifting of government spending composition is necessary, especially to raise the portion of capital spending. By using simultaneous equations model, the simulation result indicate that effective capital spending improvement should focus on infrastructure funding. A simulation of shifting government spending composition through the increasing capital spending in the amount of Rp 20 trillion only increase economic growth by about 0.33 percent, reduce unemployment by about 0.83 percent and poverty by about 0.02 percent. Meanwhile, if the increasing capital spending becomes more efficient, the economy will grow by about 1.37 percent, while unemployment and poverty will decrease by about 3.33 percent and 0.21 percent, respectively. To increase the affect of government spending on economic growth, employment and poverty alleviation, the composition of government spending should be fundamentally changed, specifically to increase the share in capital spending and the efficiency of capital spending utilization.

Keywords: government spending, fiscal space, budget composition, economic growth.


(4)

viii

RINGKASAN

ENNY SRI HARTATI. Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua Komisi Pembimbing, DIDIK J. RACHBINI dan MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Komposisi belanja pemerintah Indonesia setelah krisis ekonomi 1997 semakin didominasi oleh belanja rutin. Jika sebelum krisis rata-rata proporsi belanja rutin sebesar 60 persen dan belanja pembangunan 40 persen, namun pada tahun 2010 belanja rutin hampir mencapai 80 persen. Peningkatan porsi belanja rutin tersebut, awalnya merupakan konsekuensi dampak dari krisis. Sebagaimana diketahui, krisis telah mengakibatkan tingginya inflasi, tingkat suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Pada tahun 1998 inflasi mencapai 77 persen, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 50 persen dan Rupiah terdepresiasi hingga berada pada level Rp9 875 per dollar (235 persen). Instabilitas sektor moneter tersebut tentunya berpengaruh pada belanja rutin Pemerintah, utamanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang.

Selama enam (6) tahun terakhir kondisi makro ekonomi Indonesia relatif berada dalam kondisi yang stabil. Selama 2006-2010 rata-rata tingkat inflasi sudah kembali berada pada kisaran 6.8 persen, suku bunga SBI 3 bulan sekitar 8.7 persen dan nilai tukar relatif stabil berada pada kisaran Rp9 499 per dolar. Namun demikian porsi belanja rutin Pemerintah tetap terus mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar pada belanja subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Selama 2006-2010, belanja subsidi rata-rata meningkat sebesar 19.7%, terutama untuk subsidi BBM. Kenaikkan subsidi BBM disebabkan oleh peningkatan konsumsi BBM rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 2010 konsumsi BBM Indonesia sekitar 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi kilang minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Indonesia merupakan negara importer neto BBM, sementara harga BBM ditentukan oleh Pemerintah (administered Price). Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia kebutuhan subsidi menjadi membengkak. Demikian juga belanja pegawai rata-rata meningkat sebesar 22.48 persen. Peningkatan ini disamping dipicu oleh inflasi juga didorong adanya kebijakan pemekaran wilayah sehingga jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami peningkatan drastis. Disisi lain defisit anggaran yang dibiayai dengan utang, telah berdampak pada meningkatnya akumulasi utang pemerintah, sehingga porsi beban pembayaran bunga utang mencapai 14.7 persen dari total belanja pusat.

Tingginya beban belanja rutin tersebut berakibat belanja modal hanya mendapatkan porsi sekitar 12.5 persen, sehingga sangat terbatas untuk dapat membiayai pembangunan infrastruktur. Proporsi belanja modal tersebut jelas tidak ideal, apalagi jika dibandingkan dengan proporsi belanja modal negara-negara lain. Malaysia mempunyai porsi belanja modal mencapai 31 persen, Thailand 20.2 persen, dan Vietnam 28.4 persen. Kondisi ini menyebabkan ruang fiskal hanya berkisar 4-5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rendahnya ruang


(5)

fiskal berakibat pada terbatasnya peran kebijakan fiskal untuk menstimulus perekonomian. Hasilnya pertumbuhan ekonomi 2006-2010 rata-rata hanya mencapai 5.7 persen dengan tingkat pengangguran 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin masih 33.5 juta orang. Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal, diperlukan peningkatan belanja modal agar dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi yang akan mendorong kinerja perekonomian.

Hasil simulasi dengan menggunakan model persamaan simultan menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun demikian, peningkatan belanja modal akan lebih efektif jika disertai dengan efisiensi alokasi belanja modal. Peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun dengan pola yang ada hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.33 persen, pengangguran turun 0.83 persen dan kemiskinan turun 0.02 persen. Namun jika peningkatan belanja modal disertai peningkatan efisiensi maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 1.37 persen, pengangguran turun 3.33 persen dan kemiskinan turun 0.21 persen.

Salah satu catatan penting dari hasil studi ini adalah bahwa belanja pemerintah mempunyai dampak yang rendah terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan hanya sebesar 0.01 dalam jangka pendek dan 0.05 dalam jangka panjang. Artinya setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin 0.01 persen. Hasil simulasi juga menunjukkan perubahan komposisi belanja Pemerintah, melalui peningkatan belanja modal, juga belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dikarenakan rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk fungsi ekonomi. Pada tahun 2010 alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi ekonomi hanya 11.6 persen, sementara untuk pelayanan umum sebesar 63.8 persen.

Peningkatkan peran stimulus fiskal dapat dioptimalkan dengan perubahan komposisi belanja dan kebijakan anggaran pemerintah. Kebijakan anggaran utamanya harus memenuhi tiga fungsi, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBN harus mampu mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, yaitu pertumbuhan yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan (pro Job dan pro Poor). Untuk itu diperlukan peningkatan belanja modal dan porsi belanja untuk fungsi ekonomi.


(6)

x

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut

Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA

Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

2. Dr. Arif Budimanta


(8)

(9)

DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN

KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN

ENNY SRI HARTATI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

x

Judul Desertasi : Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan

Nama Mahasiswa : Enny Sri Hartati

Nomor Pokok : A161050131

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

M

Meennyyeettuujjuuii:: 1. Komisi Pembimbing :

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani,MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini, M.Sc Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Anggota Anggota

M

Meennggeettaahhuuii::

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA

3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana, IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

T


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juli 1971 sebagai putri kedua dari Bapak M. Setyobudi dan Ibu Sri Suharni. Pendidikan dasar penulis selesaikan di kabupaten Sragen, yaitu di SDN Celep III ( 1983-1986). Selanjutnya SMP dan SMA di kabupaten Karanganyar, yaitu SMPN I Mojogedang (1983-1986) dan SMAN I Karanganyar (1986-1989). Pada tahun 1989 penulis melanjutkan studi S1 pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus tahun 1995. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan S2 di jurusan Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2005 penulis melanjutkan S3 di jurusan yang sama yaitu Ilmu EKonomi Pertanian.

Saat ini penulis menjadi direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Jakarta, dan sebagai staf pengajar tidak tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta.


(12)

Alhamdullilahiirobbilalamin, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan ridhoNYA yang telah memberi petunjuk dan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Desertasi dengan judul Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan” diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini,MSc dan Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing penyelesaian penelitian dan penulisan desertasi ini. Ucapan terimakasih juga saya tujukan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) serta seluruh Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat. 2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, sebagai dosen penguji pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan desertasi ini.

3. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan (Bappenas) dan Dr. Arif Budimanta, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan pertanyaan dan masukan yang bersifat teoritis dan implementatif sehingga semakin mempertajam analisis serta sangat berguna dalam menyempurnakan naskah desertasi ini. 4. Dewan Pendiri, Komisaris dan Peneliti Senior Institute for Development of


(13)

x

candradimuka” bagi penulis, yang telah memberi kesempatan dan mendorong penulis untuk menempuh program Doktor.

5. Rekan-rekan peneliti dan seluruh staf INDEF, terutama Mas Erani, Eko, Tauhid, Eisha, Heri, Pak Sugiyono, Abra, Imad, Herta, Edy, Edo,Udin, Trisia, Lia, Pipin, dan Perta yang telah memberi banyak masukkan, kritikan dan bantuan terhadap penyelesaian penyusunan desertasi ini.

6. Dr. Rasidin yang telah dengan sabar menemani diskusi dan membantu pengolahan data desertasi ini

7. Rekan-rekan program doktor EPN Elys, Bu Dewi, mbak Aida, mbak Niken, Pak Maryadi, Pak Eka, Pak Alla, Pak Dudi, Pak Ibrahim, Pak Roni, terimakasih atas segala kebersamaan dan dukungannya.

8. Seluruh staf sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, terutama mbak Yani, mbak Ruby, mbak Kokom, pak Husin yang dengan kesabaran dan ketulusannya selalu membantu dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan desertasi ini.

9. Terakhir kepada yang tercinta Bapak/Ibu, kakak, adik-adik, keponakan serta keluarga besarku yang dengan penuh cinta kasih selalu memberikan semangat dan do’a yang tiada hentinya di sepanjang kehidupan penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu penulisan desertasi ini yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu. Semoga bantuan Bapak/Ibu menjadikan desertasi ini sebagai dokumentasi ilmu yang bermanfaat yang akan membawa amal kebaikan di dunia dan akherat.

Saya yakin, penulisan desertasi ini ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, oleh karenanya saya berharap ada peneliti yang berminat untuk membuat penelitian yang lebih komprehensif dan sempurna di masa yang akan datang. Terakhir, saya berharap semoga penulisan desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya dapat berkontribusi dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang “baldatun thoyyibatun warobbun ghofur”. Amin.

Bogor, Februari 2012


(14)

Halaman

Daftar Tabel ………...………. xv

Daftar Gambar……….………...………...…..…..…... xix

Daftar Lampiran………..………...……….….……….... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 11

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...…... 18

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 18

1.3.2. Kegunaan Penelitian ...…... 18

1.3.3. Hipotesis Penelitian ...…... 18

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 19

1.5 Kebaruan Penelitian ……... 19

1.6 Keterbatasan Penelitian ...…... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21

2.1 Peran Pemerintah dalam Perekonomian... 21

2.2 Peran Kebijakan Fiskal ………... 23

2.3 Komponen Kebijakan Fiskal ……... 28

2.3.1. Penerimaan Pemerintah ………... 28

2.3.2. Pengeluaran Pemerintah ………... 31

2.3.3. Keseimbangan Fiskal ………... 33

2.3.4. Desentralisasi Fiskal ……….……... 34

2.4 Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja dan Kemiskinan... 37

2.5 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 43

2.6 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan ... 49


(15)

xii

2.7.1 Penelitian Studi Kasus di Luar Negeri ...………...….…... 52

2.7.2 Penelitian Studi Kasus di Indonesia ………... 57

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian ………... 60

III. METODOLOGI PENELITIAN ……...……...…… 63

3.1. Model Persamaan Simultan ………..…... 63

3.2. Spesifikasi Model ...…………..…..…... 65

3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model ….…………... 71

3.4. Evaluasi Model ………... 72

3.5. Kesesuaian Model ………... 73

3.6. Validasi Model……….………...………... 74

3.7. Simulasi Model….……….………....…... 75

3.8. Jenis dan Sumber Data ………...…....…....……... 77

IV. KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH BEBERAPA NEGARA DAN KINERJA PEREKONOMIANNYA ……….……… 79

4.1. Komposisi Anggaran Pemerintah Thailand…………...……….….. 80

4.2. Komposisi Belanja Pemerintah Malaysia………... 86

4.3. Komposisi Anggaran Pemerintah Singapura ……….…...… 92

4.4. Komposisi Belanja Pemerintah China ……….………. 96

4.5. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Beberapa Negara …...………...……... 99

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA ………...…….. 105

5.1. Periode Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1969/1970 -1996/1997...… 108

5.1.1. Realisasi Penerimaan Negara………... 110

5.1.2. Realisasi Belanja Negara ……….………...… 113

5.1.2.1. Belanja Pegawai………...…... 114

5.1.2.2. Belanja Barang………...……... 114

5.1.2.3. Belanja Subsidi………...…….. 115

5.1.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang………….……….. 118

5.1.2.5. Belanja Pembangunan………..…….… 118


(16)

xiii

5.2. Periode Setelah Krisis Ekonomi, Tahun 1997 – 2010..………..…….. 126

5.2.1. Realisasi Penerimaan Negara ………... 126

5.2.2. Realisasi Belanja Negara ………..………. 128

5.2.2.1. Belanja Pegawai………...…... 130

5.2.2.2. Belanja Barang……...………...……... 130

5.2.2.3. Belanja Subsidi………..…….……. 133

5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang …………...…... 133

5.2.2.5. Belanja Modal……….………….……….. . 134

5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah……….. 135

5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan ……….…...… 137

5.2.4. Kinerja Perekonomian………..……….... 139

VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN………..…………..……... 141

6.1. Hasil Spesifikasi Model………... 141

6.2. Hasil Pendugaan Model ……...……….. 144

6.2.1. Blok Pendapatan Nasional……….…………... 144

6.2.2. Blok Fiskal………..………... 155

6.2.2.1. Belanja Pegawai………….………... 157

6.2.2.2. Belanja Barang……… ... 159

6.2.2.3. Belanja Modal………. ... 162

6.2.2.4. Belanja Pembayaraan Bunga Utang………... 164

6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM……….. ... 168

6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM……….. ... 170

6.2.2.7. Dana Alokasi Khusus ……….……….………... 173

6.2.2.8. Dana Alokasi Umum ……….………...…... 174

6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil ………... 175

6.2.3.Blok Kinerja Perekonomian………....…... 176

6.3. Validasi Model….………... 180


(17)

xiv

6.4.1. Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat …………. ... 184

6.4.2. Dampak Efisiensi Belanja Modal ………..………... 190

6.4.3. Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal …...………... 192

6.5. Alternatif Pilihan Kebijakan ………... 194

VII. SIMPULAN DAN SARAN ………..…..…... 197

7.1. Simpulan ... 197

7.2. Saran-saran ... 199

DAFTAR PUSTAKA ... 204


(18)

1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara, Tahun 2010 ……….. 2 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun

2005- 2011 ……… 4

3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010……….. 14 4. Identifikasi Model Persamaan Simultan Komposisi Belanja

Pemerintah ……….…… 72 5. Jenis dan Sumber Data dalam Persamaan Simultan………….. 78 6. Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Thailand Menurut

Klasifikasi Ekonomi ………... 81

7. Perbandingan Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi antara Indonesia dan Thailand, Tahun 2011 ………..…………

82 8. Komposisi Belanja Pemerintah Thailand di Bidang Ekonomi… 83 9. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDB Thailand………….. 84 10. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Jenis…………. 87 11. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Sektor …...….. 88 12. Produk Domenstik Bruto Malaysia, Tahun 2005-2010 …….. 91 13. Total Pengeluaran Pemerintah Singapura Menurut Sektor,

Tahun 2011 ………..…………...… 93

14. Alokasi Anggaran Singapura Menurut Klasifikasi Ekonomi….. 94 15. Produk Domenstik Bruto Singapura, Tahun 2005-2010 …….. 95 16. Alokasi Anggaran China Tahun 2009 Menurut Fungsi ………. 97 17. Pendapatan Perkapita Negara ASEAN ………. 99 18. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Perkapita

antar Negara ASEAN ………...……... 100 19. Elastisitas Kemiskinan tehadap Pertumbuhan Ekonomi.……… 103


(19)

xvi

20. Konversi APBN dalam I-Account…………...……… 107

21. Komposisi Penerimaan Negara Pada Masa Orde Baru, Tahun 1969/1970 – 1996/1997………..……. 112 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Sebelum Krisis, Tahun 1969/1970 1996/1997………..……… 115

23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan………. 121

24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, Tahun 2000-2011………...……….. 129

25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011……….. 132

26. Perkembangan Difisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi…………...……….. 138 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumahtangga…...……….. 146

28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah………….…….. 149

29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Total………... 150

30. Biaya Transaksi Mulai Usaha ……….……….... 151

31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah………. 153

32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor………... 154

33. Hasil Estimasi Perilaku Impor………... 155

34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak ………. 156

35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai……… 159

36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang……….. 162

37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal………... 164

38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang………. 166

39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia……….…... 170

40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM……… 170


(20)

xvii

43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah……….…...… 175 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Dana Bagi

Hasil………. 176

45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran………... 177 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia. 178

47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin……….. 180 48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja

Pemerintah ………..……… 181

49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010.. 185 50. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat ……

190 51. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal …………... 192 52. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan

Efisiensi Belanja Modal………... 193 53. Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja

Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan ……….………... 195


(21)

xviii


(22)

Nomor Halaman 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010 …. 3 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan

pembentukan Modal Domestik Bruto………....………..

6 3. Rata-rata proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis

Pengeluaran, Tahun 2005-2010 ……….……...……… 13 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011……….…... 16 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L Per Quartal, Tahun

2005-2010...

17 6. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian ……… 27 7. Jalur Efek Black Grant dan Jalur Efek Spesific Grant ………... 37 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap

Pertumbuhan Ekonomi ……….……... 45 9. Perubahan Budget Line Karena adanya Pengeluaran Pemerintah ….

46 10. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah………....………... 48 11. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi……….……..

50 12. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian………..…… 62 13. Diagram Keterkaitan antar Variabel dalam Model Komposisi

Belanja Pemerintah ………..……….. 64 14. Pertumbuhan GDP Thailand, Tahun 2000-2010 ... 85 15. Perkembangan Sektor Tradeable, Non Tradeable dan PDB

Thailand ...

86 16. Pertumbuhan GDP Singapura, Tahun 2000-2010 ….……..…… 95 17. Pertumbuhan GDP China, Tahun 2000-2010 …..…………... 98 18. Perbandingan Tingkat Kemiskinan antar Negara, Tahun 2010... 101


(23)

xx

19. Tingkat Pengangguran Beberapa Negara, Tahun2009 ... 102 20. Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Orde Baru …….. 111 21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode

Sebelum Krisis……….……… 113

22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode

Sebelum Krisis 1997 ……….…...………... 120

23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis 1997 …………... 122 24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan

Selama Periode Pelita I – Pelita III ………..…………... 124 25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan

Selama Periode Pelita IV – Pelita VI ………..……...

125 26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis

Tahun 1997-2010 ………..………...………. 127 27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis Tahun

1997-2010 …………..……….….……….…………. 128

28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan daerah Periode Paska Krisis Tahun 1997-2010 ………..………...

136 29. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis

1997 …………..……….……... 139 30. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan

Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi………...

140 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010….. 158 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang Tahun 2006-2010... 160 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal tahun 2006-2010…….. 163 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang Tahun 2006-2010 .. 165 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010…….. 169 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010…….. 171 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011……. 187


(24)

Nomor Halaman 1. Penerimaan dan Belanja Negara, 1969/1970 – 2010 ... 211 2. Komposisi Belanja Daerah dan Pembiayaan APBN,

1969/1970 –2010 ... 219

3. Data Utama untuk Model Simultan ... 227


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan tahun 1995-1996 tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan pada 1998 menjadi minus 13.13 persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5 persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu 16.36 persen dan tingkat kemiskinan masih mencapai 14.03 persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi secara signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai 13.06 persen dan tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi sebesar 7.41 persen. Penurunan tingkat


(26)

pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi sebesar 15.27 persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar 17.53 persen. Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum terjadi peningkatan penciptaan lapangan kerja yang signifikan dalam perekonomian.

Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen, seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4 persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi Beberapa Negara pada Tahun 2010

(%)

No Negara B. Modal thd

Pengeluaran

Infrastruktur Ranking

Pertumbuhan Ekonomi

Pengangguran

1. Malaysia 31.1 26 7.2 3.4

2. Singapura 11.6 3 14.5 2.8

3. Vietnam 28.4 90 6.8 2.7

4. Indonesia 8.4 76 6.1 7.1

5. Thailand 20.2 42 7,9 1,0

6. China 10,4 44 10,4 4,1

Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011

Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah


(27)

3

adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi mencapai 56.7 persen. Peranan investasi terhadap pembentukan PDB baru mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada peningkatam konsumsi masyarakat.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010

Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan di sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 * 2010

**

Konsumsi Rumah tangga Konsumsi Pemerintah

Investasi Ekspor


(28)

antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di kawasan Indonesia barat, karena rendahnya pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42. Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah, mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian.

Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 2005-2010

(Rp Miliar)

KETERANGAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010*

A. Pendapatan Negara dan Hibah 495.2 638 707.8 981.6 848.8 992.4

I. Penerimaan DN 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 990.5 1 . Perpajakan 347 409.2 491 658.7 619.9 743.3 Tax Ratio (% thd PDB) 12.7 12.3 12.4 13.3 11.9 11.9 2. PNBP 146.9 227 215.1 320.6 227.2 247.2

II. Hibah 1.3 1.8 1.7 2.3 1.7 1.9

B. Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1126.1

I. Belanja Pemerintah Pusat 361.2 440 504.6 693.4 628.8 781.5 II. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.6

C.Surplus/(Defisit) Anggaran -14.4 -29.1 -49.8 -4.1 -88.6 -133.7

% thd PDB -0.5 -0.9 -1.3 -0.1 -1.6 -2.1

D. Pembiayaan 8.9 29.4 42.5 84.1 112.6 133.7

I. Pembiayaan Dalam Negeri 19.1 56.3 69 102.5 128.1 133.9 II. Pembiayaan Luar Negeri -10.3 -26.6 -26.6 -18.4 -15.5 -0.2 Sumber : Kementerian Keuangan, 2011


(29)

5

Selama kurun waktu 2005-2010 APBN Indonesia telah mengalami kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara baru mencapai Rp.509.6 triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp.1 126 triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin (sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen).

Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan, seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah dalam APBN-P 2010 mencapai Rp.1 126 triliun atau 48.7 persen dari PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau 17.53 persen dari PDB berdasarkan harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto. Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi melalui pembangunan infrastruktur.

APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran


(30)

pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto

Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak. Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio

masih rendah dimana dalam kurun waktu 2005-2010 rata-rata hanya 12.3 persen bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010


(31)

7

Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai 20.17 persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar 17.28 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah, disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah.

Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk PPn 1.07. Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik 1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07 persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar 2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan pertambahan penerimaan pajak jauh lebih cepat dibanding Indonesia. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak.

Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran pada APBN-P 2010 sekitar Rp 1 126.1 triliun. Sementara penerimaan negara yang


(32)

ditargetkan hanya sebesar Rp 992.4 triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami defisit sebesar Rp 133.7 triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar 108.3 triliun, padahal posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ 169.22 miliar atau ekuivalen dengan Rp. 1 590.66 triliun. Beban pembayaran bunga utang pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp. 105.7 triliun, dimana Rp. 71.9 triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah.

Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi


(33)

9

Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik.

Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Sebelumnya, pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth). Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN.

Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian, kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier effect) akan meningkatkan


(34)

pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi.Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian.

Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik akan menjadi sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab perumusan masalah.

Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4 persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini


(35)

11

tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah. Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran sebesar 7.1 persen.

Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran.

Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 2005-2014. Dalam dokumen RPJMN 2010-2014 dan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis,


(36)

yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas

(pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment).

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil

sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan

demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang

berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain : pertama, postur anggaran didominasi oleh pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang menciptakan perubahan. Dalam periode 2005-2010, rata-rata belanja pusat habis dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar 18.89 persen, belanja barang sebesar 12.20 persen, belanja pembayaran bunga utang sebesar 14.77 persen, subsidi sebesar 27.81 persen, belanja sosial sebesar 8.98 persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama tahun 2005-2010 porsi belanja modal hanya sebesar 12.52 persen.


(37)

13

Sumber : Kementerian Keuangan, 2011

Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun 2005-2010

Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008 mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk besar dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja subsidi selama 2005-2010 yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.

Belanja Pegawai; 18,89

Belanja Barang; 12,20

Belanja Modal; 12,52 Pembayaran

Bunga Utang ; 14,77 Subsidi ; 27,81

Belanja Hibah; 0,08

Bantuan Sosial; 8,98

Belanja Lain-lain; 4,81


(38)

Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010

(Rp triliun)

Jenis Subsidi 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Real. Real. Real. Real Real. APBNP

Subsidi Energi 104.4 94.6 116,9 223 94.6 144

1. Subsidi BBM 95.6 64.2 83,8 139.1 45 88.9

2. Subsidi Listrik 8.9 30.4 33,1 83.9 49.5 55.1

Subsidi Non-Energi 16.3 12.8 33,3 52.3 43.5 57.3

1. Subsidi Pangan 6.4 5.3 6,6 12.1 13 13.9

2. Subsidi Pupuk 2.5 3.2 6,3 15.2 18.3 18.4

3. Subsidi Benih 0.1 0.1 0,5 1 1.6 2.3

4. PSO 0.9 1.8 1 1.7 1.3 1.4

5. Kredit Program 0.1 0.3 0,3 0.9 1.1 2.9

6. Subsidi Minyak Goreng - - 0 0.2 - -

7. Subsidi Kedele - - - 0.1 - -

8. Subsidi Pajak 6.2 1.9 17,1 21 8.2 18.4

9. Subsidi Lainnya - 0.3 1,5 - - -

Jumlah 120.8 107.4 150.2 275.3 138.1 201.3

Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011

The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40 persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun 2010. Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89 persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3 persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan menengah keatas yang memiliki mobil. Sementara masyarakat miskin dimana


(39)

15

pendapatannya hanya sebesar Rp211.726 per kapita per bulan, kecil kemungkinan dapat memiliki kendaraan bermotor.

Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar

fiscal space yang tersedia, akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran untuk daerah.

Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB. Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan ruang gerak fiskal selama 2005-2010 tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen. Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat, seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya adalah adanya porsi belanja dalam jumlah tertentu sebagai akibat mandatory spending atas perintah Undang-Undang (UU). Sebagai contoh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamantkan porsi belanja untuk


(40)

Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya.

Sumber: Kementerian Keuangan,2011

Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011

Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun 2005-2010, penyerapan anggaran pada triwulan I sebesar 11.13 persen, triwulan II sebesar 21.40 persen, triwulan III sebesar 24.46 persen serta triwulan IV sebesar 43.01 persen. Bila ditelusuri lebih jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV. Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah per-DIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

2008 2009 2010 APBN-P 2011 APBN

19,9 18,5

17,5 17,5

15,52

13,16 12,64 12,49

4,38 5,37 4,87 5,03


(41)

17

karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya.

Sumber: Kementerian Keuangan, 2010.

Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun 2005- 2010

Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Inefesiensi juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6 tahun terakhir (2005-2010) penyerapannnya hanya 87 persen saja. Artinya terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per tahun.

Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan.

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata

Triwulan I 7,36 10,63 10,23 11,02 11,94 11,32 11,13

Triwulan II 12,89 18,77 20,85 20,88 22,51 21,36 21,40

Triwulan III 26,79 25,15 23,81 26,79 23,96 23,29 24,46

Triwulan IV 52,96 45,45 45,11 41,31 41,59 44,03 43,01

7,36 10,63 10,23 11,02

11,94 11,32 11,13

52,96

45,45 45,11

41,31 41,59 44,03 43,01

-10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00


(42)

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan

Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk

1. Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.

2. Membuat simulasi alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

1. Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia. 2. Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan di Indonesia.

1.3.3. Hipotesis Penelitian

1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan.

2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan jika proporsi belanja modal ditingkatkan.


(43)

19

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan Indonesia.

1.5. Kebaruan Penelitian

Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain adalah :

1. Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun. Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya.

2. Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya berdampak peningkatan investasi


(44)

pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal. 3. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk

miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen.

1.6. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah :

1. Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia. 2. penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah

menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan sesuai perubahan rezim pemerintahan.

3. penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus.

4. Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah terhadap kinerja sisi penawaran agregat (aggregate supply).


(45)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Pemerintah Dalam Perekonomian

Salah satu peranan pemerintah dalam perekonomian tercermin dalam kebijakan fiskal. Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian agar keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Penyusunan APBN memiliki tujuan sebagai pedoman pengeluaran dan penerimaan negara agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam melaksanakan kegiatan kenegaraan untuk meningkatkan produksi dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, anggaran pendapatan dan belanja negara harus dirumuskan sedemikian rupa yang mencakup perkiraan periodik dari semua pengeluaran dan sumber penerimaan.

Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki enam (6) fungsi yaitu:

1. Fungsi otorisasi, dimana APBN menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan


(46)

2. Fungsi perencanaan, dimana APBN menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. APBN disusun untuk merencanakan target penerimaan dan pengeluaran keuangan negara.

3. Fungsi pengawasan, dimana APBN menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4. Fungsi stabilisasi memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian, utamanya untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi. APBN diharapkan dapat berfungsi menjaga kestabilan arus uang dan arus barang sehingga dapat mencegah terjadinya inflasi yang tinggi maupun deflasi yang akan mengakibatkan kelesuan perekonomian (resesi).

5. Fungsi alokasi dimana anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi alokasi terutama berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods). APBN ditentukan besarnya anggaran pengeluaran masing-masing bidang, ini berarti di APBN sektor pembangunan, departemen dan lembaga telah ditentukan dengan jelas. Sehingga melalui APBN kita dapat mengetahui sasaran dan prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan.


(47)

23

6. Fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan, pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Pendapatan negara yang dihimpun dari berbagai sumber akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran negara di berbagai sektor pembangunan dan di berbagai departemen. Penggunaan dana harus dapat didistribusikan untuk berbagai sektor pembangunan secara optimal.

Sedangkan asas penyusunan APBN dikenal dengan tiga azas yaitu:

pertama, azas anggaran seimbang. Semua pengeluaran didasarkan pada penerimaan. Pada akhirnya terdapat kesamaan jumlah antara pengeluaran dan penerimaan, dengan kata lain APBN seimbang adalah jumlah pendapatan negara yang diperkirakan diterima akan dapat menutupi semua pengeluaran yang direncanakan (pengeluaran = penerimaan). Kedua, azas anggaran surplus. Jumlah penerimaan yang direncanakan pemerintah melebihi dari pengeluaran (Pengeluaran < Penerimaan). Penetapan anggaran seperti ini dilakukan pada negara yang memiliki masa kenaikan (prosperity). Ketiga, azas anggaran defisit. Anggaran yang ditetapkan oleh suatu negara apabila jumlah pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara (pengeluaran > penerimaan negara). Anggaran defisit dapat digunakan secara sadar untuk mendorong negara keluar dari resesi seperti anjuran Keynes.

2.2. Peran Kebijakan Fiskal

Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi


(48)

swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output (Y) dalam keseimbangan makro:

Y = C + I + G + (X-M)……….……… (2.1) Menurut Keynes dalam perekonomian yang mengalami krisis dan depresi, permintaan agregat dapat dinaikkan dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001). Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Jika perekonomian berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatur permintaan agregat (AD) dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja penuh (full employment level).

Keseimbangan makro perekonomian terbuka, dalam Model Mundell-Fleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis r = r*. Konsumsi tergantung pada

disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (2.1) dapat ditulis seperti pada persamaan (2.2) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS.

Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) ………….……….(2.2) Keseimbangan pasar uang, permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan:


(49)

25

M/P = L(r*,Y) ….………..………(2.3)

Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming, dijelaskan melalui dua persamaan:

Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) …………..……….(2.4)

M/P = L(r*,Y) ……….....(2.5)

Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M), tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y) dan nilai tukar (e).

Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang cenderung landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva AS adalah horizontal atau cenderung landai.

Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi berada pada kondisi unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku, diasumsikan upah tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak sempurna (0<p<1), akibatnya pekerja tidak melakukan penyesuaian terhadap perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut sebagai imperfect foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro Keynesian disajikan pada Gambar 6. Kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A) dengan tingkat employment pada N1. Pada kondisi tersebut unemployment sangat besar,


(50)

sehingga peningkatan Gdapat meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y. Peningkatan Y pada tingkat harga tetap P1dan suku bunga r1 akan meningkatkan permintaan uang, sehingga meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM1, menurunkan investasi dan terjadi crowding out effect.

Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output, agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Peningkatan AD akan berdampak memperketat pasar uang, sehingga akan berakibat meningkatkan r dan menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga direspons oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke atas.

Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang sama, peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh buruh dengan tuntutan kenaikan upah dari W1 ke W2 dan menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke kiri, yaitu ke Pe2.g(N), tetapi pergeseran kurva penawaran lebih kecil dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja meningkat dari N1ke N2. Peningkatan P terus berlangsung sampai ekses demand dapat dihilangkan, yaitu pada P2Y3. Penggunaan tenaga kerja atau employment meningkat ke N2 dan upah meningkat ke W2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja pada keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal, maka upah riil akan meningkat.

Keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana output akhir adalah sebesar Y3 yang lebih besar dari keseimbangan awal, artinya terjadi growth.

Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga (r), penurunan investasi (I), peningkatan upah nominal (W).


(51)

27

N2

N1 N

0 Y r1 r2 r3 IS2 IS1 LM1

Y1 Y3 Y2

P AS

AD1

AD2

P1 P2

Y1 Y3 Y2

Y=Y(N) Y3 Y1 A B N2 N1 A B 1 A B B A W w1 w2

W1D=P1.f P1

e .g(N) P2e.g(N)

W2D=P2.f 0

0 0

Sumber: Mankiw, 2003

Gambar 6. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian Y

Y

N


(52)

2.3. Komponen Kebijakan Fiskal 2.3.1. Penerimaan Pemerintah

Sumber penerimaan pemerintah adalah berasal dari pajak, non pajak, dan hibah. Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambanan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bea meterai, cukai, pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al., 2002).

Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan nilai (PPn) mempunyai efek atau transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan (James danNobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak, intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan instrumen PPh dan PPn.

Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees (1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang, ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T


(53)

29

…………..………...(2.6)

Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan:

……….…(2.7)

dimana, zG : pengenaan pajak pemerintah. Dengan teknologi linear memungkinkan untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n menjadi 1.

Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai variabel riil dan xi(s), i =1,…, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan xn(S) ditentukan dari identitas U(s) = U(x1(s),...,xn(s)). Persyaratan orde pertama untuk self selection diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa atau dalam dalam notasi . Pendekatan orde pertama Hamiltonian untuk maksimisasi dapat ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai:

………. (2.8)

Untuk memilih xk(s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa

………..(2.9)

Syarat perlu untuk optimalitas adalah:

…………(2.10)

Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah:

s l U s

U

u l l

s 2

2

s x U

us x

1 1 ) ( 1 1 2 swx T swx q n i i i

x

n i G

i s s ds swx s s ds z

x

2 0 0

1( ) ( ) ) ( ) ( s U x s x swx U H x n i i 1 1 2

1 ( )

n k x x k n U U x x n k U U U U s x U U n k n k n k x x x x x x x x ,..., 2 , 0


(54)

………. (2.11)

Substitusi persamaan (2.11) ke dalam (2.10), dan setelah disusun ulang, pajak optimal (tk) dapat ditulis sebagai:

………(2.12)

Hasil dari (2.12) menyatakan dua fakta. Pertama jika , untuk semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan secara lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak optimal (tk) untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and Stiglitz (1976). Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan dan pajak penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil ini diturunkan dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal dari rumah tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang lemah antara pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai.

Konsekuensi kedua dari (2.12) adalah anggapan semua variabel lainnya konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak lebih besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976) menekankan kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi

1 1 k x x t U n k 1 ,..., 2 , log 1 1 n k dx U U d s U x t n k k x x x k 0 log 1 dx U U d n k x x


(1)

Model SBBM Dependent Variable SBBM Label Belanja Subsidi BBM

Analysis of Variance

Source DF

Sum of Squares

Mean

Square F Value Pr > F Model 3 8.623E10 2.874E10 85.11 <.0001 Error 36 1.216E10 3.3772E8

Corrected Total 39 9.839E10

Root MSE 18377.1213 R-Square 0.87643 Dependent Mean 28222.8076 Adj R-Sq 0.86613 Coeff Var 65.11443

Parameter Estimates Variable DF

Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > |t|

Variable Label Intercept 1 -16304.5 6163.633 -2.65 0.0120 Intercept

POILR 1 0.191491 0.930705 0.21 0.8381 Harga Minyak Mentah Riil IMPM 1 1.341059 0.172340 7.78 <.0001 Impor Migas

LSBBM 1 0.002516 0.125797 0.02 0.9842 Lag Belanja Subsidi BBM

Durbin-Watson 1.757323 Number of Observations 40 First-Order Autocorrelation 0.099971


(2)

Lampiran 4. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model BDAK

Dependent Variable BDAK Label Belanja Daerah DAK

Analysis of Variance

Source DF

Sum of Squares

Mean

Square F Value Pr > F Model 3 1.574E9 5.2468E8 293.59 <.0001 Error 36 64335233 1787090

Corrected Total 39 1.628E9

Root MSE 1336.82079 R-Square 0.96073 Dependent Mean 2736.63500 Adj R-Sq 0.95746 Coeff Var 48.84907

Parameter Estimates Variable DF

Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > |t|

Variable Label Intercept 1 -1244.02 1218.993 -1.02 0.3143 Intercept

RDOM 1 0.008843 0.001659 5.33 <.0001 Penerimaan dalam Negeri PNPOV 1 4095.655 5640.447 0.73 0.4725 Tingkat Kemiskinan LBDAK 1 0.722654 0.077561 9.32 <.0001 Lag Belanja Daerah DAK

Durbin-Watson 1.570737 Number of Observations 40 First-Order Autocorrelation 0.02291


(3)

Model BDAU Dependent Variable BDAU Label Belanja Daerah DAU

Analysis of Variance

Source DF

Sum of Squares

Mean

Square F Value Pr > F Model 4 1.344E11 3.361E10 777.17 <.0001 Error 35 1.5137E9 43248496

Corrected Total 39 1.362E11

Root MSE 6576.35890 R-Square 0.98887 Dependent Mean 36183.9050 Adj R-Sq 0.98759 Coeff Var 18.17482

Parameter Estimates Variable DF

Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > |t|

Variable Label Intercept 1 -1456.97 5266.019 -0.28 0.7837 Intercept

RDOM 1 0.118351 0.018598 6.36 <.0001 Penerimaan dalam Negeri PDBI 1 -0.00017 0.004342 -0.04 0.9686 Produk Domestik Bruto GPOPI 1 740.9836 1647.899 0.45 0.6557 Pertumbuhan Penduduk LBDAU 1 0.498646 0.090711 5.50 <.0001 Lag Belanja Daerah DAU

Durbin-Watson 1.959068 Number of Observations 40 First-Order Autocorrelation 0.005339


(4)

Lampiran 4. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model BDBH

Dependent Variable BDBH

Label Belanja Daerah Bagi Hasil

Analysis of Variance

Source DF

Sum of Squares

Mean

Square F Value Pr > F Model 4 2.65E10 6.6253E9 1648.12 <.0001 Error 35 1.407E8 4019895

Corrected Total 39 2.664E10

Root MSE 2004.96755 R-Square 0.99472 Dependent Mean 14009.3200 Adj R-Sq 0.99412 Coeff Var 14.31167

Parameter Estimates Variable DF

Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > |t|

Variable Label Intercept 1 -1258.84 712.3766 -1.77 0.0859 Intercept

RMGS 1 0.099113 0.016617 5.96 <.0001 Penerimaan Migas RMGS2 1 2.297792 0.356604 6.44 <.0001 Penerimaan Non-Migas GPDBI 1 78.46814 98.07469 0.80 0.4291 Pertumbuhan Ekonomi LBDBH 1 0.482529 0.059017 8.18 <.0001 Lag Belanja Daerah Bagi Hasil

Durbin-Watson 1.437371 Number of Observations 40 First-Order Autocorrelation 0.256334


(5)

Model PUNEM Dependent Variable PUNEM Label Tingkat Pengangguran

Analysis of Variance

Source DF

Sum of Squares

Mean

Square F Value Pr > F Model 3 258.6717 86.22390 40.58 <.0001 Error 36 76.48622 2.124617

Corrected Total 39 335.1579

Root MSE 1.45761 R-Square 0.77179 Dependent Mean 5.70040 Adj R-Sq 0.75277 Coeff Var 25.57025

Parameter Estimates Variable DF

Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > |t|

Variable Label Intercept 1 1.524157 0.585393 2.60 0.0133 Intercept WAGE 1 0.000013 3.848E-6 3.43 0.0016 Tingkat Upah TOTI 1 -6.38E-6 2.511E-6 -2.54 0.0156 Total Investasi

LPUNEM 1 0.614013 0.104468 5.88 <.0001 Lag Tingkat Pengangguran

Durbin-Watson 1.872554 Number of Observations 40 First-Order Autocorrelation 0.032677


(6)

Lampiran 4. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model NPOV

Dependent Variable NPOV

Label Jumlah Penduduk Miskin

Analysis of Variance

Source DF

Sum of Squares

Mean

Square F Value Pr > F Model 5 861.7639 172.3528 21.74 <.0001 Error 34 269.5698 7.928525

Corrected Total 39 1139.301

Root MSE 2.81576 R-Square 0.76172 Dependent Mean 34.36515 Adj R-Sq 0.72668 Coeff Var 8.19366

Parameter Estimates Variable DF

Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > |t|

Variable Label Intercept 1 5.891078 3.854043 1.53 0.1356 Intercept

GPDBI 1 -0.06716 0.241942 -0.28 0.7830 Pertumbuhan Ekonomi

TSUB 1 -5.23E-6 0.000012 -0.45 0.6566 Total Subsidi BBM dan Non BBM PUNEM 1 0.050175 0.292772 0.17 0.8649 Tingkat Pengangguran

INFL 1 0.095047 0.060475 1.57 0.1253 Tingkat Inflasi

LNPOV 1 0.801552 0.098052 8.17 <.0001 Lag Jumlah Penduduk Miskin

Durbin-Watson 1.62589 Number of Observations 40 First-Order Autocorrelation 0.185962