Analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, pengangguran, belanja pemerintah, dan ivestasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
ABSTRAK
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN, BELANJA PEMERINTAH, DAN INVESTASI
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 1995 - 2014
Seri Jefry Adil Waruwu Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2016
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, pengangguran, belanja pemerintah, dan investasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
Jenis penelitian ini adalah expost facto. Pengumpulan data dengan teknik dokumentasi yaitu dengan mencari data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), BAPPENAS di Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda.
Analisis data menunjukkan bahwa: (1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014; (2) pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014; (3) belanja pemerintah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia 1995-2014; dan (4) investasi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, pengangguran, belanja pemerintah, investasi, dan tingkat kemiskinan.
(2)
ABSTRACT
ANALYSIS THE EFFECT OF ECONOMIC GROWTH, UNEMPLOYMENT, GOVERNMENT EXPENDITURE, AND
INVESTMENT TO POVERTY RATE IN INDONESIA: 1995-2014 PERIOD
Seri Jefry Adil Waruwu Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2016
The research aims to analyze the effect of economic growth, unemployment, government expenditure, and investment to poverty in Indoenesia: 1994-2014 period.
This type of research is an ex post facto. Technical documentation was applied for searching the data from Statistics Central Board, Indonesia Bank, BAPPENAS in Indoenesia. Data analysis technique was Multiple Linear Regression.
Data analysis shows that: (1) there is negative influeces towards economic growth in the rate of Indonesian poverty in 1995-2014; (2) unemployment influeces positively in the rate of Indonesian poverty in 1995-2014; (3) government expenditure influeces negatively towards the rate of Indonesian poverty in 1995-2014; (4) investment does not influence towards the poverty rate of Indonesian in 1995-2014.
Key words: economic growth, unemployment, government expenditure, investment, poverty.
(3)
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI,
PENGANGGURAN, BELANJA PEMERINTAH, DAN
INVESTASI TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI
INDONESIA TAHUN 1995
–
2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Ekonomi
Oleh :
SERI JEFRY ADIL WARUWU NIM: 121324018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN EKONOMI JURUSAN PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2016
(4)
i
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI,
PENGANGGURAN, BELANJA PEMERINTAH, DAN
INVESTASI TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI
INDONESIA TAHUN 1995
–
2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Ekonomi
Oleh :
SERI JEFRY ADIL WARUWU NIM: 121324018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN EKONOMI JURUSAN PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2016
(5)
(6)
(7)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN Karya sederhana ini aku persembahkan untuk:
Allah Bapa, Yesus Kristus, Bunda Maria yang selalu memberi kekuatan, rahmat yang berlimpah.
Orang Tua Tercinta Adik-adikku tersayang Melyda Agustini Rahman Sahabat-sahabatku
(8)
v MOTTO
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah maka pintu aka dibukakan bagimu” (Matius 7:7)
“Carilah dulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6 :33)
"Dalam kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar, tetapi kita dapat melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang
besar " (Mother Teresa)
(9)
(10)
(11)
viii ABSTRAK
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN, BELANJA PEMERINTAH, DAN INVESTASI
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 1995 - 2014
Seri Jefry Adil Waruwu Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2016
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, pengangguran, belanja pemerintah, dan investasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
Jenis penelitian ini adalah expost facto. Pengumpulan data dengan teknik dokumentasi yaitu dengan mencari data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), BAPPENAS di Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda.
Analisis data menunjukkan bahwa: (1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014; (2) pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014; (3) belanja pemerintah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia 1995-2014; dan (4) investasi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, pengangguran, belanja pemerintah, investasi, dan tingkat kemiskinan.
(12)
ix ABSTRACT
ANALYSIS THE EFFECT OF ECONOMIC GROWTH, UNEMPLOYMENT, GOVERNMENT EXPENDITURE, AND
INVESTMENT TO POVERTY RATE IN INDONESIA: 1995-2014 PERIOD
Seri Jefry Adil Waruwu Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2016
The research aims to analyze the effect of economic growth, unemployment, government expenditure, and investment to poverty in Indoenesia: 1994-2014 period.
This type of research is an ex post facto. Technical documentation was applied for searching the data from Statistics Central Board, Indonesia Bank, BAPPENAS in Indoenesia. Data analysis technique was Multiple Linear Regression.
Data analysis shows that: (1) there is negative influeces towards economic growth in the rate of Indonesian poverty in 1995-2014; (2) unemployment influeces positively in the rate of Indonesian poverty in 1995-2014; (3) government expenditure influeces negatively towards the rate of Indonesian poverty in 1995-2014; (4) investment does not influence towards the poverty rate of Indonesian in 1995-2014.
Key words: economic growth, unemployment, government expenditure, investment, poverty.
(13)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Belanja Pemerintah, dan Investasi Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1995 – 2014”.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Pendidikan Ekonomi, Universitas Sanata Dharma. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari mulai awal sampai pada penulisan skripsi ini selesai, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah bapa disurga, Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria yang memberi kekuatan dan rahmat yang berlimpah.
2. Bapak Drs. Johanes Eka Priyatna, M.Sc., Ph,D. selaku rektor Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan belajar dan memperoleh pendidikan yang terbaik di Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Rohandi, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
4. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahun Sosial.
5. Ibu Dra. Chatarina Wigati Retno Astuti, M.Si., M.Ed selaku Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi.
6. Bapak Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan sabar, selalu memotivasi dan mengarahkan dari awal saya menulis skripsi ini hingga selesai. Terimakasih banyak Pak.
7. Bapak Dr. C. Teguh Dalyono M.S. selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih banyak Pak.
8. Bapak Y.M.V. Mudayen, S.Pd., M.Sc selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih banyak Pak.
(14)
xi
9. Segenap dosen Program Pendidikan ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Ekonomi yang telah banyak memberikan pengetahuan, mendidik dan membimbing saya selama perkuliahan.
10. Segenap dosen universitas Sanata Dharma.
11. Bapak Dr. Joko Wicoyo M.Si. yang membantu dan memeriksa abstrak. Terimaksih banyak ya Pak.
12. Sekretariat Pendidikan Ekonomi: Bu Titin yang telah banyak membantu dalam urusan kuliah.
13. Staf dan Karyawan USD yang telah memberikan bantuan selama menempuh kuliah.
14. Orang tuaku: Alm. Fatiziduhu Waruwu dan Sadima Zai, yang telah memberikan dukungan doa, motivasi, dan harapan.
15. Kekasih hati: Melyda Agustini Rahman yang selalu setia mendukung dan pemberi semangat.
16. Keluarga besar Pendidikan Ekonomi angkatan 2012 : Agus, Sisil, Rizky, Oliv,Cristi, Bima, Adit, Henri, Anggi, Yani, Mitri, Jatu, Putri, Vidia, Bruder Ivan, Fiber, Tus, Postin, Harini, Aldi, Erlin, Nur, Nina, Made, Cipluk, Sarni, Hesti, Dika, Daniel yang selalu mendukung, memberi semangat. Terimakasih teman-teman.
17. Teman seperjuangan Pendidikan Ekonomi angakatan 2012 dari Nias Barat : Postinus Gulo dan Fiberniat Lahagu yang selalu membantu selama perkuliahan.
18. Kepada teman-teman seperjuangan dari Nias Barat angakatan 2012 : Postin, Fiber, Poppy, Wasri, Silvester, Firminus, Risma, Rohani, Metina, Dewi, Sri, Frans, Timo, Petra, Legi, Ratih, Mariati, Sefin, dan Otami yang selalu memberikan semangat. Terimakasih teman-teman.
19. Para Pamong di asrama Student Residence, Sanata Dharma. 20. Teman-teman di asrama Student Residence, Sanata Dharma.
21. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebut satu per satu yang telah memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini.
(15)
(16)
xiii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian... 13
(17)
xiv BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori ... 15
1. Kemiskinan ... 15
a. Definisi Kemiskinan ... 15
b. Penduduk Miskin ... 18
c. Penyebab Kemiskinan ... 23
d. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Tingkat Kemiskinan .... 25
e. Ukuran Kemiskinan ... 27
f. Strategi atau Kebijakan dalam mengurangi Kemiskinan .... 37
2. Pertumbuhan Ekonomi ... ... 39
a. Definisi Pertumbuhan Ekonomi ... 38
b. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 41
c. Pengukuran Pertumbuhan Ekonomi ... 54
d. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Kemiskinan ... 55
3. Pengangguran ... 57
a. Definisi Pengangguran ... 57
b. Pengaruh Pengangguran terhadap Tingkat kemiskinan ... 61
4. Belanja Pemerintah ... 64
a. Definisi Belanja Pemerintah ... 64
b.Komponen Belanja Pemerintah ... 68
c. Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Tingkat Kemiskinan ... 71
(18)
xv
5. Investasi ... 73
a. Definisi Investasi ... 73
b. Jenis Investasi ... 79
c. Manfaat Investasi ... 88
d. Proses Investasi ... 88
e. Pengaruh Investasi terhadap Tingkat Kemiskinan ... 92
B. Penelitian Terdahulu ... 95
C. Hipotesis dan Kerangka Berpikir ... 97
1. Kerangka Berpikir ... 97
2. Hipotesis ... 99
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 100
B. Sumber dan Jenis Data ... 100
C. Metode Pengumpulan Data ... 101
D. Teknik Analisis Data ... 101
E. Uji Prasyarat ... 103
1. Uji Normalitas ... 103
2. Uji Linearitas ... 104
F. Uji Asumsi Klasik ... 104
1. Uji Multikolinearitas... 104
2. Uji Heteroskedatisitas ... 105
(19)
xvi
G. Pengujian Hipotesis ... 105
1. Rumusan Hipotesis ... 106
2. Uji F ... 107
3. Uji T ... 108
4. Koefisien Determinasi ... 109
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 110
1. Deskripsi Data ... 110
2. Analisis Data ... 119
a. Uji Prasyarat ... 119
1) Uji Normalitas ... 119
2) Uji Linearitas ... 120
b. Uji Asumsi Klasik ... 121
1) Uji multikolinearitas ... 121
2) Uji Heteroskedatisitas ... 123
3) Uji Autokorelasi ... 124
c. Pengujian Hipotesis ... 127
1) Uji F ... 127
2) Uji T ... 129
3) Koefisien Determinasi ... 132
B. Pembahasan ... 133
1. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ... 134
(20)
xvii
2. Pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan
di Indonesia tahun 1995-2014 ... 137
3. Pengaruh belanja pemerintah terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ... 139
4. Pengaruh investasi terhdap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ... 141
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 144
B. Saran ... 145
DAFTAR PUSTAKA ... 147
(21)
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Lingkaran Setan Kemiskinan ... 24
Gambar 2.2 Investasi dan Kesejahteraan Masyarakat ... 94
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran ... 97
Gambar 4.1 Persentase Tingkat Kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ... 113
Gambar 4.2 Tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1995-2014 ... 114
Gambar 4.3 Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 1995-2014 ... 116
Gambar 4.4 Belanja pemerintah di Indonesia tahun 1995-2014 ... 117
Gambar 4.5 Investasi di Indonesia tahun 1995-2014 ... 118
Gambar 4.6 Uji Heteroskedatisitas ... 124
(22)
xix
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Batas Kemiskinan Kota dan Desa (Kg) ... 35 Tabel 2.2 Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 95 Tabel 4.1 Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 1995 – 2014 ... 112 Tabel 4.2 Hasil Pengujian Normalitas ... 119 Tabel 4.3 Hasil Uji Linearitas ... 120 Tabel 4.4 Uji Multikolinearitas ... 121 Tabel 4.5 Uji Autokorelasi ... 125 Tabel 4.6 Statistik Durbin-Watson ... 126 Tabel 4.7 Hasil Analisis Uji Simultan (Uji F) ... 128 Tabel 4.8 Hasil Analisis Uji T ... 130 Tabel 4.9 R-Square ... 132 Tabel 4.10 Coefficients ... 133 Tabel 4.11 Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 135 Tabel 4.12 Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran ... 137 Tabel 4.12 Tingkat Kemiskinan dan Belanja Pemerintah ... 140
(23)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Tingkat Kemiskinan ... 152 Lampiran 2 Pertumbuhan Ekonomi ... 153 Lampiran 3 Pengangguran ... 154 Lampiran 4 Belanja Pemerintah ... 155 Lampiran 5 Investasi ... 156 Lampiran 6 Uji Normalitas ... 157 Lampiran 7 Uji Linearitas ... 158 Lampiran 8 Uji Multikolinearitas ... 159 Lampiran 9 Uji Heteroskedatisitas ... 160 Lampiran 10 Uji Autokorelasi ... 161 Lampiran 11 Hasil Analisis Uji Simultan (Uji F) ... 162 Lampiran 12 Hasil Analisis Uji T ... 163 Lampiran 13 R-Square ... 164 Lampiran 14 Regression ... 165
(24)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah penting bagi semua negara yang ada di dunia, khususnya di Indonesia yang masih merupakan Negara Sedang Berkembang (NSB). Sejak negara ini merdeka, kemiskinan menjadi masalah yang serius di Indonesia. Masalah kemiskinan yang begitu kompleks berkaitan dengan banyak aspek, yaitu aspek sosial, budaya, ekonomi, dan aspek yang lainnya. Kemiskinan yang terjadi di dalam suatu negara harus diperhatikan sebagai masalah yang serius, karena kemiskinan membuat banyak masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus ada solusi atau kebijakan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Masasalah kemiskinan merupakan masalah yang rumit dan kompleks serta bersifat multidimensional. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat untuk pengentasan kemiskinan pun harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Istilah kemiskinan adalah ketika seseorang atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan atau kemakmuran ekonomi yang sesuai dengan standar hidup disuatu wilayah tertentu.
Menurut Siregar & Wahyuniarti (2008 :25), kemiskinan adalah situasi dimana pendapatan tahunan individu disuatu kawasan tidak dapat memenuhi standar pengeluaran minimum yang dibutuhkan individu untuk dapat hidup
(25)
layak di kawasan tersebut. Individu yang hidup di bawah standar pengeluaran tersebut tergolong miskin. Ketika perekonomian berkembang di suatu kawasan (negara atau kawasan tertentu yang lebih kecil), terdapat lebih banyak pendapatan untuk dibelanjakan, yang jika terdistribusi dengan baik diantara penduduk kawasan tersebut akan mengurangi kemiskinan. Dengan kata lain, secara teoritis pertumbuhan ekonomi memainkan peranan penting dalam mengatasi penurunan kemiskinan.
Menurut Siregar & Wahyuniarti (2008:27), seseorang dikatakan miskin atau hidup dalam kemiskinan jika pendapatan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan rata-rata orang lain dalam perekonomian tersebut. Secara absolut, seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya secara absolut berada dibawah subsisten. Ukuran subsistensi tersebut dapat diproksi dengan garis kemiskinan. secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk mencapai standar atas setiap aspek kehidupan. Menurut Sen, 1999 (Siregar & Wahyuniarti 2008:27) kemiskinan lebih terkait pada ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup tersebut dari pada apakah standar hidup tersebut tercapai atau tidak.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yag diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk
(26)
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita pernulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Adanya penurunan tingkat kemiskinan pada wilayah tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan telah membawa sebuah keberhasilan. Pembangunan ekonomi dapat diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari perkembangan PDB. Pertumbuhan PDB memiliki hubungan dengan kemiskinan baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu. Menurut Kuncoro (2006:18), Indikator-indikator kunci pembangunan adalah : 1) Indikator ekonomi yaitu PNB dan PDB, dan laju pertumbuhan ekonomi, 2) Indikator sosial yaitu : Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development
Indekx.
Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, perubahan dalam sikap hidup masyarakat dan perubahan dalam kelembagaan (institusi) nasional. Pembangunan juga meliputi perubahan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Untuk mencapai sasaran yang diinginkan, maka pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal pokok yaitu: meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi masyarakat, meningkatkan standar hidup masyarakat
(27)
dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial dalam kehidupannya (Todaro, 2004 :21).
Menurut Boedino (1988:1), pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Disini jelas ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu: sisi totalnya (GDP) dan jumlah penduduknya. Output perkapita adalah output total dibagi jumlah penduduk dilain pihak. Jadi proses kenaikan output perkapita, tidak bisa tidak, harus dianalisasi dengan jalan melihat apa yang terjadi dengan output total disatu pihak, dan jumlah penduduk di lain pihak. Suatu teori pertumbuhan yang lengkap haruslah bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan sejumlah penduduk. Dengan kata lain, teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan GDP total, dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab hanya apabila kedua aspek tersebut bisa dijelaskan, maka perkembangan output perkapita bisa dijelaskan.
Ilmu pembangunan ekonomi harus berfokus untuk mengurangi mekanisme yang membuat keluarga, daerah, dan bahkan negara secara keseluruhan terus berada dalam perangkap kemiskinan, yakni ketika kemiskinan masa lalu menyebabkan kemiskinan dimasa depan dan menghasilkan strategi paling efektif untuk melepaskan diri dari perangkap itu (Todaro, 2011:10). Salah satu indikator kemajuan pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Negara kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang fluktuasi tiap tahunnya, bahkan negara ini pernah dilanda krisis.
Pertumbuhan Ekonomi dan kemiskinan mempunyai keterkaitan yang erat, pertumbuhan ekonomi seringkali dijadikan tolak ukur kinerja
(28)
perekonomian suatu wilayah, akan tetapi belum pasti tingginya pertumbuhan ekonomi menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan rayatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berarti bagi pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi. Menurut Siregar & Wahyuniarti (2008 :27), pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat keharusan
(necessary condition) untuk mengurangi kemiskinan. Adapun syarat
kecukupan (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan ekonomi tersebut hendaklah menyebar secara merata disetiap golongan penapatan, termasuk golongan penduduki miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan ekonomi itu perlu dipastikan terjadi disektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sector yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang bias diwujudkan melalui kebijakan seperti sekotor jasa dan manufaktur yang padat modal.
Pada krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi, pergerakan pertumbuhan eknomi indonesia fluktuatif tiap tahunnya. Pada masa pemerintahan sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung naik, tetapi pada masa pemerintahan saat ini mulai menurun walaupun kedepannya ada potensi untuk semakin lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan kesejahteraan untuk faktor produksi yang turut serta menciptakan kesejahteraan, artinya semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi makan semakin tinggi pula produktivitas faktor
(29)
produksi. Menurut M. Kuncoro, 2003 (Dwi 2010 : 32) suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari apa yang dicapai sebelumnya. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat maka sebuah Negara dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi menggambarkan bahwa semakin menigkatnya produksi suatu Negara tersebut. Sehingga masyarakat bias memenuhi kebutuhan sehari-sehari dengan cepat. Sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi ini dapat mengurangi kemiskinan di suatu Negara.
Menurut Todaro, 1995 (Kuncoro, 2006 : 226), sejarah mencatat bahwa pembangunan ekonomi di Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara yang sering dideskripsikan sebagai transfer manusia dan aktivitas ekonomi secara terus menerus dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena dua faktor, yakni : 1) ekspansi industri perkotaan yang menimbulkan penciptaan kesempatan kerja baru, 2) kemajuan teknologi yang bersifat menghemat tenaga kerja disektor pertanian sehingga menurunkan kebutuhan angkatan kerja di daerah perdesaan.
Kemiskinan berkaitan dengan lapangan pekerjaan dan biasanya penduduk yang dikategorikan miskin (the poor) tidak memiliki pekerjaan (pengangguran), serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang pada umumnya tidak memadai (Saputra, 2011 :1). Negara Indonesia sering dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Indonesia merupakan negara dengan jumlah
(30)
penduduk terbesar ke empat di dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat (Sumber: Wikipedia.org). Indonesia berpenduduk sekitar 255,461,700 jiwa. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2014 jumlah pengangguran 7,24 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,94 % (www.bps.go.id).
Menurut Sukirno (2004:28), pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat tertentu, tetapi tidak memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Sedangkan Menurut Mankiw (2006: 154), pengangguran adalah masalah makro ekonomi yang mempengaruhi manusia secara langsung dan merupakan masalah yang paling berat. Bagi kebanyakan orang, kehilangan pekerjaan berarti penurunan standar kehidupan dan tekanan psikologis. Jadi tidaklah mengejutkan jika pengangguran menjadi topik yang sering dibicarakan dalam perdebatan politik dan para politisi seiring mengklaim bahwa kebijakan yang mereka tawarkan akan membantu menciptakan lapangan pekerjaan. Menurut Sukirno (2004), efek dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran yang telah dicapai seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memilki pendapatan.
Menurut Wiguna (2013:4), tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi membutuhkan lapangan pekerjaan yang banyak sehingga akan menyebabkan jumlah lapangan kerja menjadi sempit atau sedikit. Hal ini dapat menyebabkan masalah pengangguran. Tingkat pengangguran yang
(31)
tinggi di suatu daerah menunjukkan kurang berhasilnya pembangunan dan menyebabkan kemiskinan.
Menurut Yacob (2012:176), upaya menurunkan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan adalah sama pentingnya. Secara teori, jika masyarakat tidak menganggur berarti mempunyai pekerjaan dan penghasilan, dan dengan penghasilan yang dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan hidup terpenuhi, maka tidak akan miskin. Sehingga dikatakan dengan tingkat pengangguran rendah (kesempatan kerja tinggi) maka tingkat pengangguran juga rendah.
Di negara manapun, selalu ada campur tangan atau intervensi pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pemerintahan yang dalam peraturan ekonomi negerinya berperan semata-mata hanya sebagai “wasit”
atau “polisi”, yang hanya berfungsi membuat undang-undang dan peraturan, untuk kemudian menjadi pelerai jika timbul masalah atau penyelamat bila terjadi kepanikan. Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian jelas beralasan, mustahil untuk dicegah. Tidak ada satu pun perekonomian, termasuk negara kapitalis atau negara maju, bebas dari intervensi pemerintahnya. Yang ada ialah perbedaan kadarnya. dibeberapa negara pemerintahnya terlibat erat dalam perekonomian, sementara di negara-negara lain cempur tangan pemerintah dalam perekonomiannya relatif lebih terbatas (Dumairy 1996:157). Pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam Anggraran Pendapatan Belanja Negara (APBN) nerupakan salah satu alat kebijakan fiskal pemerintah. Pemerintah menggunakannya untuk mengelola perekonomian negara. Pengeluaran pemerintah atau disebut belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang.
(32)
Perkembangan kegiatan pemerintah dari tahun ke tahun, tampak bahwa peranan pemerintah selalu meningkat hampir di dalam semua macam sistem perekonomian. semakin meningkatnya peranan pemerintah ini, semakin besarnya pengeluaran pemerintah dalam proporsinya terhadap pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah, yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Tetapi hendaknya kita sadari bahwa proporsi pengeluaran pemerintah terhadap Pendapatan Nasioanal Bruto (GNP) adalah suatu ukuran yang sangat kasar terhadap kegiatan/peranan pemerintah dalam suatu perekonomian (Suparmoko 2003:22).
Pengeluaran Pemerintah dapat bersifat “exhaustive” yaitu merupakan
pembelian barang-barang dan jasa dalam perekonomian yang dapat langsung dikonsumsi maupun dapat pula untuk menghasilkan barang lain lagi. di
samping itu pengeluaran pemerintah dapat pula bersifat “transfer” saja yaitu
berupa pemindahan uang kepada individu-individu untuk kepentingan sosial, kepada perusahaan-perusahaan sebagai subsidi mungkin pula kepada negara lain sebagai hadiah (Suparmoko 2003:22). Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen untuk mengatasi kemiskinan yang ada dinegara kita.
Pemerintah sudah mengupayakan dan melakukan berbagai macam kebijakan atau program untuk pengentasan kemiskinan dengan berbagai
(33)
pengeluaran. Pemerintah membuat beberapa program yaitu BOS ( Bantuan Operasional Sekolah) bagian pendidikan, Raskin (Beras Miskin), BLT (Bantuan Langsung Tunai), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri), BLSM ( Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), Kartu Sakti Jokowi (Kartu Sehat, Pintar, dan Sejahtera), Dana Desa, dan masih banyak lagi program pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan di negara ini.
Investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan dimasa mendatang. Umumnya investasi dibedakan menjadi dua, yaitu : investasi pada financial
assets dan investasi pada real assets. Investasi pada financial assets
dilakukan di pasar uang, misalnya berupa sertifikat deposito, commercial
paper, surat berharga pasar uang, dan lainnya. Atau dilakukan di pasar modal,
misalnya berupa saham, obligasi, waran, opsi dan lainnya. Sedangkan investasi pada real assets diujudkan dalam bentuk pembelian assets produktif, pendirian pabrik, pembukaan pertambangan, pembukaan perkebunan, dan lainnya (Halim 2003 : 2).
Menurut Handayani (2011:6), investasi didefinisikan sebagai penggunaan yang ditujukkan untuk meningkatkan atau mempertahankan stok barang modal terdiri dari paprik, mesin kantor, dan produk-produk tahan lama lainnya yang digunakan dalam proses-proses produksi. Investasi juga dapat didefinsikan sebagai pengeluaran oleh sektor produsen untuk pembelian barang. Investasi yang terjadi disuatu Negara terdiri dari investasi pemerintah
(34)
dan invstasi swasta. Investasi pemerintah dapat dijalankan melalui salah satu instrument kebijakan, yaitu pengeluaran pemerintah untuk investasi sedangkan investasi swasta dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri (asing). Dengan adanya investasi lowongan pekerjaan terbuka, sehingga kemiskinan akan berkurang.
Dengan adanya investasi, suatu negara dapat mengembangkan produk-produk barang dan jasa yang bernilai sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan di daerah tersebut. Terserapnya tenaga kerja pada lapangan pekerjaan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Sehingga dengan meningkatnya pendapatan masyrakat, masyarakat sendiri akan mampu mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, perkembangan investasi dapat mengurangi jumlah masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan (Wati : 2015:5)
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penlitian dengan judul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Belanja Pemerintah, dan Investasi Terhadap Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 1995 – 2014”
(35)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas dapat dikemukakan masalah yang ingin di sampaikan, yaitu :
1. Apakah ada pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ?.
2. Apakah ada pengaruh pengangguran terhadap terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ?.
3. Apakah ada pengaruh belanja pemerintah terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ?.
4. Apakah ada pengaruh investasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014 ?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disertai dengan tujuan penelitian, yaitu :
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh belanja pemerintah terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
4. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh investasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1995-2014.
(36)
D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan teori, minimal menguji teori-teori ekonomi yang berkaitan dengan pengaruh tingkat pertumbuhan ekonomi, pengangguran belanja pemerintah, dan investasi terhadap tingkat kemikinan di Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis, manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui temuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan ekonomi makro. Pemerintah mendapatkan informasi yang memadai dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan.
b. Bagi penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan dapat menerapkan ilmu-ilmu yang telah didapat dari bangku kuliah. c. Bagi Fakultas
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan perbandingan bagi pembaca yang sedang mengadakan penelitian.
(37)
E. Variabel dan Definisi Operasional
1. Tingkat Kemiskinan (Y) : Persentase kemiskinan di Indonesia Tahun 1995-2014. yang dinyatakan hidup di bawah standar hidup layak (garis kemiskinan), dalam satuan persen.
2. Pertumbuhan Ekonomi (X1): tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia, dinyatakan dalam persen. Data diambil dari Badan Pusat Statistik.
3. Pengangguran (X2) : jumlah orang yang termasuk dalam angakatan kerja, tetapi tidak mempunyai pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan. Indikator pengukurannya adalah jumlah penduduk yang merupakan pengangguran. Data diambil dari BPS yang dinyatakan dalam satuan juta orang.
4. Belanja Pemerintah (X3): pengeluaran pemerintah menurut dari angka APBN, dinyatakan dalam miliyar rupiah.
5. Investasi : Jumlah penanaman modal yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1995-2014. Indikatornya adalah nilai PMA (Penanaman Modal Asing) dan nilai PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) yang dinyatakan dalam satuan miliyar rupiah.
(38)
15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori
1. Kemiskinan
a. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan adalah fenomena yang seringkali dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Kemiskinan juga seringkali dipandang sebagai gejala rendahnya tingkat kesejahteraan semata padahal kemiskinan merupakan gejala yang bersifat kompleks dan multidimensi. Berbagai program dan kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, tetapi statistik angka kemiskinan cenderung semakin tinggi seiring dengan meningkatnya tingkat kebutuhan masyarakat. Rendahnya tingkat kehidupan dijadikan sebagai alat ukur kemiskinan hanyalah merupakan salah satu rantai dalam lingkaran kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan multidimensi sehingga dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang. Secara umum, kemiskinan adalah keadaan ataupun kondisi dimana seseorang tidak memilki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Menurut para ahli (Andre Bayo Ala: 1981), kemiskinan itu bersifat multidimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia itu
(39)
bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan asset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan, serta keterampilan. Dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah (Arsyad 2004 : 237).
Menurut Kuncoro (2006: 111), negara miskin mengahadapi masalah klasik. Pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Isu mendasarnya adalah tidak hanya bagaimana meningkatkan pertumbuhan PDB atau PNB namun juga siapa yang membuat PDB atau pertumbuhan ekonomi tersebut tumbuh. Bila pertumbuhan terutama disumbangkan oleh segelintir orang (golongan kaya), maka merekalah yang paling mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tesebut, sementara kemiskinan dan distribusi pendapatan semakin memburuk. Namun, bila pertumbuhan disumbang oleh banyak orang, maka buah dari pertumbuhan ekonomi akan dirasakan merata. Banyak Negara Sedang Berkembang (NSB) mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tetapi tidak membawa manfaat bagi pendiuduk miskinnya. Ini dialami oleh ratusan juta penduduk di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dimana tingkat kehidupannya relatif berhenti dan bahkan anjlok bila dinilai riil.
(40)
Dengan lain, kemiskinan setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama Kemiskinan absolut, dimana pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan.
Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok tertentu. Kaum wanita pada umunya merupakan pihak yang dirugikan. Dalam rumah tangga miskin, kaum wanita sering menjadi pihak yang menanggung beban kerja yang lebih banyak daripada kaum pria. Demikian pula dengan anak-anak mereka juga menderita akibat adanya ketidakmerataan tersebut dan kualitas hidup mereka terancam oleh karena tidak tercukupinya gizi, pemerataan kesehatan, dan pendidikan. Selain itu timbulnya kemiskinan sangat sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas tertentu. Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Kemiskinan berkaitan dengan standar hidup yang absolut dari masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat pada tingkat ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja, dan tingkat kemiskinan sangat tinggi (Kuncoro 2006: 112).
(41)
Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minumum. Definisi tersebut menyiratkan tiga dasar pertanyaan dasar, yaitu: bagaimanakah mengukur standar hidup? Apa yang dimaksudkan standar hidup minimum? Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit?
b. Penduduk Miskin
Indonesia merupakan negara berpenduduk terbayak ke-3 setelah China dan AS. Menurut Jingan, 2003 (Astuti 2015: 26), jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah penduduk. Sekalipun output meningkat sebaga hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditekan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata dalam perekonomian.
Pada tahun 1798 Reverend Thomas Malthus mengemukakan teorinya tentang hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi. Dalam tulisannya yang berjudul Essay on the
Principle of Population ia melukiskan konsep hasil yang menurun (concept of dimishing returns). Malthus menjelaskan kecenderungan
(42)
umum penduduk suatu negara untuk tumbuh menurut deret ukur yaitu menjadi dua kali lipat setiap 30-40 tahun. Sementara itu pada saat yang sama, karena hasil yang menurun dari faktor produksi tanah, persediaan pangan hanya tumbuh menurut deret hitung (Arsyad 2004: 270). Oleh karena pertumbuhan persediaan pangan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan tinggi, maka pendapatan per kapita (dalam masyarakat tani didefinisikan sebagai produksi pangan per kapita) akan cenderung turun menjadi sangat rendah, yang menyebabkan jumlah penduduk yang tidak pernah stabil, atau hanya sedikit di atas tingkat subsisten.
Menurut Sukirno (1981: 202), ahli-ahli ekonomi pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan penduduk dapat menjadi suatu faktor pendorong maupun penghambat dalam pembangunan ekonomi. Dipandang sebabagi pendorong karena, perkembangan penduduk memungkinkan pertambahan jumlah tenaga kerja dari masa ke masa. Dorongan lainnya dalah terhadap pembangunan ekonomi berupa perluasan pasar. Luas pasar barang-barang dan jasa-jasa ditentukan oleh dua fktor penting yaitu pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk. Maka apabila jumlah penduduk bertambah dengan sendirinya luas pasar akan bertambah pula. Pertambahan penduduk juga merupakan salah satu faktor penting yang menimbulkan perbaikan teknologi pertanian dan di negara-negara maju sejak beberapa abad lalu.
(43)
Menurut Sukirno (1981:203), akibat buruk yang mungkin ditimbulkan oleh perkembangan penduduk terhadap pembangunan akan tercipta apabila produktivitas sektor produksi sangat rendah sekali dan dalam masyarakat terdapat banyak pengangguran. Dengan berlakunya kedua keadaan ini maka pertambahan penduduk tidak akan menaikkan produksi, dan yang lebih buruk lagi, masalah pengangguran akan menajadi bertambah serius. Disamping itu produktivitas rendah akan menyebabkan perkembangan produksi hasil pertanian yang sangat rendah. Hal ini mungkin menimbulkan penurunan dalam tingkat pendapatan per kapita.
Menurut Sukirno (1981:203), di negara-negara berkembang penduduk lebih merupakan penghambat kepada pembangunan ekonomi. Ciri-ciri negara sedang berkembang adalah sedemikian rupa keadaanya sehingga perkebambangan penduduk menimbulkan lebih banyak akibat-akibat negatif-negatif terhadap pembangunan. Pengangguran yang jumlahnya sudah berlebihan, tingkat pendapatan per kapita rendah, jaringan pengangkutan yang masih belum sempurna, terdapatnya kekurangan tenaga terdidik dan usahawan, dan masih tetap terbatasnya dana untuk menanam modal merupakan beberapa ciri penting negara-negara berkembang yang menyebabkan pertembahan penduduk lebih merupakan penghambat kepada pembangunan ekonomi.
(44)
Beberapa ahli ekonomi telah membuat analisa mengenai pengaruh buruk yang mungkin ditimbulkan oleh pertambahan penduduk terhadap pembangunan ekonomi. Berbagai analisa tersebut dapat dibedakan dalam dua golongan. Analisa-analisa yang termasuk dalam golongan pertama merupakan analisa yang secara langsung menunjukkan perkaitan di antara tingkat perkembangan penduduk dengan tingkat perkembangan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan analisa-analisa yang termasuk dalam golongan kedua lebih menekankan kepada menelaah pengaruh perkembangan penduduk terhadap beberapa faktor yang akan menentukan lajunya pertambahan pendapatan nasional (Sukirno 1981 :204).
Analisa mengenai pengaruh langsung dari pertambahan penduduk kepada perkembangan tingkat kesejahteraan dilakukan oleh Nelson dan Leibenstein. Mereka mengemukakan teorinya masing-masing dalam waktu yang hampir bersamaan dan pokok pandangan mereka juga tidak banyak berbeda. Nelson maupun Leibenstein menunjukkan bahwa pertambahan penduduk yang pesat di negara-negara berkembang menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat tidak mengalaimi perbaikan yang berarti dan dalam jangka panjang mungkin menurun. Mereka menunjukkan bahwa akibat dari perkembangan penduduk yang pesat dalam jangka panjang tingkat pendapatan per kapita akan kembali mencapai nilai yang sama dengan tingkat pendapatan yang cukup hidup (Sukirno 1981:204).
(45)
Menurut Dumairy (1996:68), alasan penduduk dipandang sebagai pengahambat pembangunan, dikarenakan jumlah penduduk yang besar dan dengan pertumbuhan tinggi, dinilai hanya menambah beban pembangunan. Jumlah penduduk yang besar akan memperkecil pendapatan perkapita menimbulkan masalah ketenagakerjaan.
Menurut teori Malthus (Todaro 2006:232) pertumbuhan penduduk yang pesat pada suatu negara akan menyebabkan terjadinya kemiskinan kronis. Malthus melukiskan suatu kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu negara akan meningkat sangat cepat menurt deret ukur. Sementara itu, karena adanya proses pertambahan hasil yanag semakin berkurang disuatu faktor produksi yang jumlahnya tetap yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung. Karena pertumbuhan pengadaan pangan tidak dapat berpacu secara memadai atau mengimbangi kecepatan perkapita (dalam masyarakat agraris, pendapatan perkapita diartikan sebagai produksi pangan perkapita) cenderung mengalami penurunan sampai sedemikian rendahnya sehingga segenap populasi harus bertahan pada kondisi sedikit diatas tingkat subsisten.
Menurut Siregar & Wahyuniarti (2008: 27), Seseorang dikatakan miskin atau hidup dalam kemiskinan jika pendapatan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan rata-rata orang lain dalam perekonomian tersebut. Secara absolut, seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya
(46)
secara absolut berada dibawah subsisten. Ukuran subsistensi tersebut dapat diproksi dengan garis kemiskinan. Secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk mencapai standar atas setiap aspek kehidupan. Menurut Sen, 1999 (Menurut Siregar & Wahyuniarti (2008) kemiskinan lebih terkait pada ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup tersebut dari pada apakah standar hidup tersebut tercapai atau tidak.
c. Penyebab Kemiskinan
Menurut Todaro (1995: 37), menyatakan bahwa kemiskinan di negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) perbedaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan, 2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara berlainan, 3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, 4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, 5) perbedaan struktur industri, 6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik dan kelembagaan dalam negeri.
Menurut Sharp (1996 dalam Kuncoro 2006 :120) penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia
(47)
yang rendah berarti produktivitas rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya pendapatan berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, ekonom
pembangunan ternama, di tahun 1953, yang mengatakan “a poor country is poor because it is poor”, (negara miskin itu miskin karena dia miskin).
Gambar 2.1 : Lingkaran Setan Kemiskinan
Sumber : Ragnar Nurkse dalam Kuncoro (2006) Ketidaksempurnaan pasar, keterbelakangan,
ketertinggalan
Kekurangan modal
Produktivitas Rendah
Pendapatan rendah Tabungan
Rendah Investasi Rendah
(48)
d. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Tingkat Kemiskinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia, yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi berupa Produk Domestik Bruto (PDRB) merupakan keseluruhan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Produk Domestik Bruto berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, semakian meningkatnya PDB menunjukkan produktivitas yang meningkat sehingga akan menyebabkan pendapatan masyarakat yang meningkat, kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi sehingga akan mengurangi tingkat kemiskinan (Jundi : 2014).
2. Pengangguran
Pengangguran terjadi karena tingkat pertumbuhan lapangan kerja yang relatif lambat dan tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat. Tingginya tingkat pengangguran merupakan salah satu cerminan kurang berhasilnya pembangunan dala suatu negara karena terjadi ketidaseimbangan anatar jumlah tenaga kerja dengan luasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan, semakin meningkat pengangguran maka penduduk tidak produktif, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan akan meningkatkan tingkat kemiskinan (Jundi : 2014).
(49)
3. Belanja Pemerintah
Menurut William A. McEachern: 2000 (dalam Barika: 2013), kebijakan fiskal menggunakan belanja pemerintah, pembayaran tranfer, pajak dan pinjaman untuk mempengaruhi variabel makroekonomi seperti tenaga kerja, tingkat harga, dan tingkat GDP. Dalam Penelitian Barika : 2013, belanja pemerintah mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Semakin besar pengeluaran pemerintah, maka semakin turun tingkat kemiskinan. Dengan demikian, pemerintah perlu meningkatkan pengeluarannya terutama pada alokasi belanja modal ataupun pengembangan infrastruktur, sehingga tingkat kemiskinan bisa berkurang.
4. Investasi
Peningkatan Investasi dapat mengurangi pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja. Peningkatan investasi juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, akan mengurangi masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Dengan demikian, masyarakat yang berada di garis kemiskinan dapat meningkatkan gizi, pendidikan bagi anak-anak dan dapat menabung untuk masa depan (Adventuna, 2012).
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di atas merupakan variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat di Indonesia dalam penelitian ini.
(50)
e. Ukuran Kemiskinan
Menurut Kuncoro (2006: 113), semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan pada norma tertentu. Pilihan norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi. Garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi
(consumption-based poverty line) terdiri dari dua elemen, yaitu : 1)
pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan mendasar lainnya, dan 2) jumlah kebutuhan yang lain yang sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bagian pertama relatif jelas. Biaya untuk mendapatkan kalori minimum dan kebutuhan lain dihitung dengan melihat harga-harga makanan yang menjadi menu golongan miskin. Sedangkan yang kedua sifatnya lebih subyektif.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic
needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
1. Garis Kemiskinan
Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan
(51)
(GKNM). Penduduk yang memilki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan jenis komoditi di perdesaan. Rumus perhitungan garis kemiskinan (BPS) adalah :
GK = GKM + GKNM
Keterangan : GK = Garis Kemisikinan, GKM = Garis Kemiskinan Makanan, GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan.
Garis kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan bukan makanan (www.bps.go.id). BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan batas garis kemiskinan setara dengan 2.100 kalori perkapita per hari yang akan disetarakan
(52)
dengan rupiah. Selanjutnya, 2.100 kilokalori per kapita perhari akan disetarakan dengan rupiah ketika pengkuran kemiskinan dilakukan di tiap daerah/propinsi dengan menyesuaikan harga yang berlaku pada suatu daerah/propinsi tertentu. Sehingga pengukuran kemiskinan pada daerah/propinsi akan menggunkan satuan rupiah dengan menyesuaikan harga pada tiap-tiap daerah tertentu. Misalnya Garis kemiskinan di Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2014 sebesar Rp 459.560,00 berbeda dengan garis kemiskinan di Propinsi D.I. Yogyakarta sebesar 333.561 (www.bps.go.id).
Teknik Perhitungan GKM (Garis Kemiskinan Makanan)
Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi (refence
population) yaitu 20 persen penduduk yang berada diatas Garis
Kemiskinan Sementara (GKS). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal. GKS dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widykarya Pangan dan Gizi menghitung harga
(53)
rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan adalah :
Keterangan : GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2.100 kilokalori), Pjk = Harga komoditi k di daerah j, Qjk = rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j, Vjk = nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j, j = daerah (perkotaan atau perdesaan). Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2.100 kilokalori dengan mengalikan 2.100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga :
Keterangan : kalori dari komoditi k di daerah j, HKj = harga rata-rata kalori di daerah j.
Keterangan : Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2.100 kilokalori/kapita/hari.
(54)
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Sejak tahun 1998 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di perdesaan. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi/sub kelompok non makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub kelompok yang tercata dalam susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) modul konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat difomulasikan sabagai berikut :
Keterangan : Nfp = pengeluaran minimum non makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp), Vi = nilai pengeluaran per komoditi/sub kelompok non makanan daerah p, ri = rasio pengeluaran komoditi/sub kelompok non makanan menurut daerah, i = janis komoditi non makanan terpilih di daerah p, p = daerah (perkotaan atau perdesaan).
(55)
Persentase Penduduk Miskin
Persentase penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK) dengan rumus perhitungan :
Keterangan : α = 0, z =garis kemiskinan, yi = rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1,,2,3,...q), yi < z, q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, n =jumlah penduduk.
Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan memang tidak mudah untuk mengukurnya. Ada dua macam ukuran kemiskina yang umum digunakan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif (Arsyad 2004: 238).
1. Kemiskinan Absolut
Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkin seseorang utnuk dapat hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang dikatan miskin. Dengan dimikian, kemisikinan dikukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas
(56)
antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Konsep ini disebut dengan kemiskinan absolut. Konsep ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian, dan perumahan utnuk menjamin kelangsungan hidup (Todaro 1997 dalam Arsyad 2004 : 238).
Kesulitan utama dalam konsep kemiskinan adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja, tetapi juga oleh iklim, tingkat kemajuan suatu Negara, dan beberapa faktor ekonomi lainnya. Walaupun demikian, untuk dapat hidup layak, seseorang membutuhkan barang-barang dan jasa untuk memnuhi kebutuhan fisik dan sosialnya (Arsyad 2004:239).
Kebutuhan dasar dapat dibagi 2 golongan yaitu kebutuhan dasar yang diperlukan sekalai untuk mempertahankan hidupnya dan kebutuhan lain yang lebih tinggi. United Nation Research Institute
fo Social Development (UNRISD) menggolongkan kebutuhan dasar
manusia atas dasar tiga kelompok yaitu : pertama, kebutuhan fisik yang terdiri dari kebutuhan gizi, perumahan dan kesehatan. Kedua, kebutuhan kultural yang terdiri dari pendidikan, waktu luang, dan rekreasi serta ketenangan hidup. Dan ketiga, kelebihan pendapatan untuk mencapai kebutuhan yang lain yang lebih tinggi. Kebutuhan
(57)
dasar tidak hanya meliputi kebutuhan orang dan keluarga, tetapi juga meliputi kebutuhan fasilitas lingkungan kehidupan manusia, seperti yang dikemukakan oleh International Labor Organization
(ILO, 1976) : Kebutuhan dasar meliputi dua unsur, pertama,
kebutuhan yang meliputi tuntutan minimum tertentu dari suatu keluarga sebagai konsumsi pribadi seperti makanan yang cukup, tempat tinggal, pakaian, juga peralatan, dan perlengkapan rumah tangga yang dilaksanakan. Kedua, kebutuhan meliputi palayanan sosial yang diberikan oleh dan untuk masyarakat seperti air minum yang bersih, pendidikan dan kultural (Arsyad 2004: 239).
2. Kemiskinan Relatif
Tidak selalu orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti
“tidak miskin”. Ada ahli berpendapat bahwa walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya, maka seseorang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, dari pada lingkungan orang yang bersangkutan (Milner, 1971 dalam Arsyad 2004 :239).
Untuk mengukur kemiskinan, BPS (Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic
(58)
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yag diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Menurut Gilarso (2004: 238), ada beberapa tolak ukur yang dikembangkan untuk mengukur kemiskinan masyarakat yakni, 1) setara dengan beras, 2) Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), 3) Ukuran kemiskinan reltif, 4) Badan Pusat Statistik tolak ukur dari Bank Dunia.
Setara dengan beras yaitu batasan atau ukuran kemiskinan yang diajukan oleh Prof. Sayogyo (1997) dan sesuaikan dengan perkembangan zaman oleh Sucipto Warasarjana (1991) mengunakan tingkat konsumsi atau pengeluaran setara sejumlah kg beras per orang per tahun.
Tabel 2.1 : Batas Kemiskinan Kota dan Desa (Kg)
Batas Kemiskinan Kota (kg) Desa (kg)
Miskin 480-600 320-480
Sangat Miskin 360-480 240-360
(59)
Standar internasional yang biasa dipakai Bank Dunia adalah pendpatan kurang dari dua dollar AS per hari, tetapi ada juga yang memakai satu dollar perhari.
Garis kemiskinan Profesor Sajogyo, dalam studi selama bertahun –tahun mengunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan pada harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras (Kuncoro 2006:118)
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), adalah kebutuhan hidup (makanan, minuman, pakaian, rumah, dan sebagainya) selama satu bulan bagi seorang pekerja, yang diukur dalam uang berdasarkan jumlah kalori, protein, vitamin dan bahan mineral lainnya yang diperlukan untuk hidup layak, yang dinyatakan dalam rupiah. Angka ini juga dari waktu ke waktu dan dari daerah ke daerah perlu disesuaikan. Tolak ukur ini sering dipakai oleh instansi pemerintah dan organisasi buruh untuk menilai wajar tidaknya tingkat upah karyawan. Ukuran kemiskinan relatif (tingkat ketimpangan distribusi pendapatan atau
reltive inequality) yang paling banyak digunakan adalah Indeks Gini,
yang mengukur berapa persen penduduk mendapat berapa persen pendapatan nasional.
(60)
f. Strategi atau Kebijakan dalam Mengurangi Kemiskinan
Menurut Arsyad (2004:242), ada beberapa startegi atau kebijakan dalam mengurangi kemiskinan yaitu sebagai berikut :
1. Pembangunan Pertanian
Sektor pertanian berperan penting dalam pembagunan ekonomi dari pengurangan kemiskinan di Indonesia. Aspek dari pembangunan pertanian yang telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pengurangan kemiskinan terutama diperdesaan. Kontribusi terbesar bagi peningkatan pendapatan perdesaan dan pengurangan kemiskinan perdesaan dihasilkan dari adanya revolusi teknologi dalam pertanian padi, termasuk pembangunan irigasi. Kontribusi lainnya adalah dari program pemerintah untuk meningkatkan produksi tanaman keras. Misalnya petani (di luar jawa) dibantu untuk menanam karet, kelapa, dan sawit. Dan akhirnya pembangunan luar Jawa juga berperan mengurangi kemiskinan di Jawa melalui pembangunan pertanian di daerah-daerah transmigrasi. 2. Pembangunan Sumber Daya Manusia
Perbaikan akses terhadap konsumsi pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, dan gizi) merupakan alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah seara keseluruhan untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk Indonesia. Perluasan ruang lingkup dan kualitas dai pelayanan-pelayanan pokok tersebut membutuhkan investasi modal yang pada akhirnya akan
(61)
meningkatkan produktivitas golongan miskin tersebut. Pada waktu yang sama, pelayanan-pelayanan tersebut secara langsung memuaskan konsumsi pokok yang dibutuhkan yang merupakan suatu sasaran kebijakan penting pula.
Pelayanan-pelayan pokok seperti air bersih, tempat pembuangan sampah,perumahan dan lain-lainnya penting bagi golongan miskin. Tanpa kemajuan dan perbaikan akses golongan miskin terhadap pelayanan-pelayanan pokok tersebut, efektivitas dari setiap pelayanan sosial, seperti pendidikan, dan kesehatan bisa terganggu. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengakomodasi penduduk yang sedang meningkat terutama kelompok yang berpendapatan rendah, seperti penyediaan air bersih, pengelolaan pembuangan sampah, program perbaikan kampung, dan penyediaan perumahan yang murah bagi kelompok miskin.
3. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
LSM bisa memainkan peran yang lebih besar di dalam perancangan dan implementasi program pengurangan kemiskinan. Karena flesibilitas dan pengetahuan mereka tentang komunitas yang dibina, LSM-LSM ini untuk beberapa hal bisa menjangkau golongan miskin tersebut secara lebih efektif ketimbang program-program pemerintah. Keterlibatan LSM ini dapat meringankan biaya finansial dan staf dalam pengimplementasikan program padat karya untuk meguarangi kemiskinan.
(62)
2. Pertumbuhan Ekonomi
a. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa saja yang menentukan kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boedino: 1999). Output perkapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk.
Menurut Kuznets (Todaro 1999: 130), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinka oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembangaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Masing-masing dari ketiga komponen pokok dari definisi itu sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu. Simaklah ringkasannya sebagai berikut: 1) kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau perwujudan dari apa yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi, sedangkan kemampuan menyediakan berbagai jenis barang itu sendiri merupakan tanda kematangan ekonomi (economi manurity) disuatu negara yang bersangkutan, 2) perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara
(63)
berkesinambungan, ini adalah suatu kondisi yang sangat diperlukan, tetapi tidak cukup itu saja (jadi di samping perkembangan atau kemajuan teknologi, masih dibutuhkan faktor-faktor lain), 3) guna mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung di dalam tekonoogi baru, maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembangaan, sikap, dan ideologi. Inovasi di bidang teknologi tanpa dibarengi dengan inovasi sosial sama halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (potensi ada, akan tetapi tanpa input komplementernya makan hal itu tidak bisa hasil apa pun).
Dalam analisisnya yang panjang lebar, Profesor Kuznets (Todaro, 1999:131) mengemukakan enam karakteristik atau proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui dihampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut: 1) tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumhuhan penduduk, 2) tingkat kenaikan total produktivitasnya faktor yang tinggi, 3) tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi, 4) tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi, 5) adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yag sudah maju perekonomian untuk berusaha merambah bagian-bagian lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru, 6) terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia.
(64)
b. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan teori pembangunan sejak pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith dan mengalami puncak kejayaannya dengan lahirnya teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Rostow. (Kuncoro 2006:46).
1) Teori pertumbuhan Adam Smith
Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi menjadi 5 tahap yang berurutan, yaitu dimulai dari masa perburuan, masa beternak, masa bercocok tanam, perdagangan, dan tahap perindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam prosesnya, pertumbuhan ekonomi akan semakin terpaacu dengan adanya sistem pembagian kerja antarpelaku ekonomi. Dalam hal ini Adam Smith adanya memandang pekerja sebagai salah satu input (masukan) merupakan titik sentral pembahasan bagi proses produksi. Pembagian kerja merupakan titik sentral pembahasan dalam teori Adam Smith, dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Spesialisasi yang dilakukan oleh tiap-tiap pelaku ekonomi tidak lepas dari faktor-faktor pendorong yaitu : 1) peningkatan keterampilan kerja, dan 2) penemuan mesin-mesin yang menghemat tenaga. Spesialisasi akan terjadi jika tahap pembangunan ekonomi telah menuju ke sistem
(65)
perekonomian modern yang kapitalistik. Meningkatnya kompleksitas aktivitas ekonomi dan kebutuhan hidup masyarakat, mengharuskan masyarakat untuk tidak lagi melakukan semua pekerjaan secara mandiri, namun lebih ditekankan pada spesialisasi untuk menggeluguti bidang tertentu.
Menurut Adam Smith, proses pertumbuhan akan terjadi secara simultan dan memilki hubungan keterkaitan satu dengan yang lain. Timbulnya peningkatan kinerja pada satu sektor akan meningkatkan daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong kemajuan tekologi, meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar. Hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Proses pertumbuhan ekonomi sebagai suatu fungsi tujuan pada akhirnya harus tunduk terhadap fungsi kendala yaitu keterbatasan sumber daya ekonomi.
Semua tahap pembangunan di atas tidak lepas dari kondisi dasar yang dihadapi adalah persaingan sempurna. Persaingan sempurna mempunyai karakteristik : 1) ada banyak penjual dan pembeli di pasar, 2) produk yang diperjualbelikan bersifat homogen, 3) tidak ada kolusi antara penjual maupun pembeli, 4) semua sumber daya memiliki mobilitas sempurna, 5) baik pembeli maupun penjual memiliki informasi sempurna mengenai kondisi pasar (Awh,1976: 242-3 dalam Kuncoro 2006:47).
(66)
2) Teori Pembangunan Karl Marx
Karl Marx dalam bukunya “Das Kapital” membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu dari feodalisme, kapitalisme, an kemudian yang terakhir adalah sosialisme. Evolusi perkembangan masyarakat ini akan sejalan dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi dimana perekonomian yang ada masih bersifat tradisional. Dalam tahap ini tuan tanah merupakan pelaku ekonomi yang memilki tawar menawar tertinggi relatif terhadap pelaku ekonomi lain. Perkembangan teknologi yang ada menyebabkan terjadinya pergeseran disektor ekonomi, dimana masyarakat yang semula agraris-feodal kemudian mulai beralih menjadi masyarakat industri yang kapitalis.
Seperti halnya masa feodal, pada masa kapitalisme ini para pengusaha merupakan pihak yang memilki tingkat posisi tawar menawar tertinggi relatif terhadap pihak lain khususnya kaum buruh. Marx menyesuaikan asumsinya terhadap cara pandang ekonom Klasik ketika itu dengan memandang buruh tidak memiliki posisi tawar menawar sama sekali terhadap para majikannya, yang merupakan kaum kapitalis. Konsekuensi logis penggunaan asumsi dasar tersebut adalah kemungkinan terjadinya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan para pengusaha terhadap buruh. Di sisi lain, pada masa itu pemupukan modal kemudian menjadi kata
(67)
kunci bagi upaya peningkatan pendapatan yang lebih besar dimasa yang akan datang. Sejalan dengan perkembangan teknologi, para pengusaha yang menguasai faktor produksi akan berusaha memaksimalkan keuntungannya dengan menginvestasikan akumulasi modal yang diperolehnya pada input modal yang bersifat pada kapital. Eksploitasi terhadap kaum buruh dan peningkatan pengangguran yang terjadi akibat substitusi tenaga manusia dengan input modal yang padat kapital, akhirnya akan menyebabkan revolusi sosial yang dilakukan oleh kaum buruh. Fase ini merupakan tonggak baru bagi munculnya suatu tantanan sosial alternatif di samping tata masyarakat kapitalis, yaitu tata masyarakat sosialis.
Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakannya, Marx selalu mendasarkan argumennya pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu: masyarakat pemilik tanah dan masyarakat bukan pemilik tanah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat bukan pemilik modal. Asumsi lain yang mendukung adalah bahwa diantara kedua kelompok masyarakat tersebut sebenarnya terjadi konflik kepentingan diantara mereka. Oleh karena itu dalam pola berpikirnya, Marx selalu mendasarkan teorinya pada kondisi pertentangan antarkelas dalam masyarakat.
(68)
3) Teori Pertumbuhan Rostow
Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow merupakan garda depan dari linear stage of
grwth theory. Pada dekade 1950-1960, teori Rostow banyak
mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan. Teori Rostow didasarkan pada pengalaman pembangunan yang telah dialami oleh negara-negara maju terutama di Eropa.
Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi lima tahap yaitu:
a) Tahap perekonomian tradisional
Perekonomian pada masyarakat tradisional cenderung bersifat subsistem. Pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi masih sangat terbatas. Dalam perekonomian semacam ini sektor pertanian memegang peranan penting. Masih rendahnya pemanfaatn teknologi dalam proses produksi menyebabkan barang-barang yang diproduksi sebagian besar adalah komoditas pertanian dan bahan mentah lainnya. Struktur sosial kemasyarakatan dalam sistem masyarakat dalam sistem masyarakat seperti ini bersifat berjenjang. Kemampuan penguasaan sumberdaya yang ada sangat dipengaruhi oleh hubngan darah.
(69)
b) Prakondisi Tinggal Landas
Tahap kedua dari proses pertumbuhan Rostow ini pada dasarnya merupakan proses transisi dimana prasyarat-prasyarat pertumbuhan swadaya dibangun atau diciptakan manusia-manusia baru dengan semangat baru yang mau bekerja keras muncul memasuki sektor ekonomi, mereka bersedia mengambil resiko untuk mengejar keuntungan. Pada tahap ini telah muncul perusahaan manufaktur yang menggunakan metode baru, sehingga kegiatan mereka mengarah pada industrialisasi. Industrialisasi dapat dipertahankan jika dipenuhi prasyarat sebagai beikut: pertama, peningkatan investasi di sektor infrastruktur/prasarana terutama prasarana transportasi, kedua, terjadi revolusi teknologi dibidang pertanian untuk memenuhi peningkatan permintaan penduduk kota yang semakin besar, ketiga, perluasan impor, termasuk impor modal, yang dibiayai oleh produksi yang efesien dan pemasaran sumber alam untuk diekspor.
c) Tinggal Landas
Tinggal landas merupakan tahap yang menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Tinggal landas didefinisikan sebagai tiga kondisi yang saling berkaitan sebagai berikut: a) kenaikan laju investasi produktif antara 5-10% dari pendapatan nasional, b) perkembangan salah
(70)
satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi, c) hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan institusional yang menimbulkan hasrat ekspansi disektor modern, dan dampak eksternalnya akan memberikan daya dorong pada pertumbuhan ekonomi.
d) Tahap Menuju Kedewasaan
Tahap ini ditandai dengan penerapan secara efektif teknologi modern terhadap sumber daya yang dimiliki. Tahapan ini merupakan tahapan jangka panjang di manaproduksi dilakukan secara swadaya. Tahapan ini juga ditandai dengan munculnya beberapa sektor penting yang baru. Pada saat negara berada pada tahap kedewasaan teknologi, terdapat tiga perubahan pentig yang terjadi: a) tenaga kerja berubah dari tidak terdidik menjadi terdidik, b) perubahan watak pengusaha dari pekerja keras dan kasar berubah menjadi manajer efesien yang halus dan sopan, c) masyarakat jenuh terhadap industrialisasi dan menginginkan perubahan lebih jauh.
e) Tahap Konsumsi Massa Tinggi
Pada tahap ini akan ditandai dengan terjadinya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat pembangunan pusat kota sebagai sentral bagi tempat kerja. Terdapat tiga kekuatan utama yang cenderung meningkatkan kesejahteraan dalam tahap konsumsi
(71)
besar-besaran ini (Jhingan, 1998:188 dalam Kuncoro 2006:55), a) Penerapan kebijakan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas nasional, b) ingin memiliki satu negara kesejahteraan dengan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, peningkatan jaminan sosial dan fasilitas hiburan bagi para pekerja, c) keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting seperti mobil, jaringan rel kereta api, rumah murah, dan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik dan sebagainya.
4) Teori Pertumbuhan Neo-Klasik (Solow-Swan)
Teori pertumbuhan ekonomi Neo-Klasik berkembang sejak tahun 1950-an. Teori ini berkembang berdasarkan analisis-analisis mengenai pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Klasik. Ekonom yang menjadi perintis dalam mengembangkan teori tersebut adalah Robert Solow dan Trevor Swan. Solow ini memenangkan hadiah Nobel Ekonomi tahun 1987 atas karyanya tentang teori pertumbuhan ekonomi ini (Arsyad 2004 : 62)
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan teori ini didasarkan pada anggapan yang mendasari analalisis Klasik,yaitu perekonomian akan tetap mengalami tingkat
(1)
(2)
Lampiran 10 : Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .865a .749 .682 2.14642 1.401
a. Predictors: (Constant), Investasi (PMA & PMDN), Jumlah Pengangguran, Pertumbuhan Ekonomi, Belanja Pemerintah
(3)
Lampiran 11 : Hasil Analisis Uji Simultan (Uji F)
ANOVAa
Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression 205.775 4 51.444 11.166 .000b
Residual 69.107 15 4.607
Total 274.882 19
a. Predictors: (Constant), Investasi (PMA & PMDN), Jumlah Pengangguran, Pertumbuhan Ekonomi, Belanja Pemerintah
(4)
Lampiran 12 : Hasil Analisis Uji T
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
B
Std. Error Beta
1 (Constant) 15.388 2.207 6.973 .000
Pertumbuhan Ekonomi -.527 .128 -.596 -4.119 .001
Pengangguran .613 .237 .378 2.583 .021
Belanja Pemerintah -6.890E-12 .000 -.648 -2.747 .015
Investasi (PMA & PMDN) 6.807E-12 .000 .174 .795 .439 a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan
(5)
Lampiran 13 : R-Square
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of
the Estimate Durbin-Watson
1 .865a .749 .682 2.14642 1.401
a. Predictors: (Constant), Investasi (PMA & PMDN), Jumlah Pengangguran, Pertumbuhan Ekonomi, Belanja Pemerintah b. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan
(6)
Lampiran 14 : Regression
Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficientst Sig.
Collinearity Statistics B
Std.
Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 15.388 2.207 6.973 .000
Pertumbuhan Ekonomi -.527 .128 -.596 -4.119 .001 .800 1.250
Pengangguran .613 .237 .378 2.583 .021 .781 1.280
Belanja Pemerintah -6.890E-12 .000 -.648 -2.747 .015 .301 3.319
Investasi (PMA &
PMDN) 6.807E-12 .000 .174 .795 .439 .350 2.856