Abuya KH. Abdurrahman Nawi

yang kemudian hari berdagang emas dan ekonominya berkecukupan juga tetap membantu kebutuhan belajarnya. Ibunya membantu membelikan kitab-kitab yang diperlukan, sementara bapaknya membantu kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Dia percaya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan doa hamba-Nya, dan akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan agama- Nya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Atas setiap orang akan diberi pertolongan menuju keahlianba kat yang diciptakan” kullun muyassarun lima khuliqa lahu. Dengan sistem belajar tidak formal selama kurang lebih 25 tahun itu, memang dia tidak memperoleh ijazah atau syahadah. Tetapi hasil dari belajarnya tidak di ingkari telah mencapai tingkat pengajaran yang tinggi dalam sistem sekolah formal. Karenanya, dia pun akhirnya diakui telah menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab dan s yari‟ah yang mumpuni. Suatu saat, dihadapan ulama besar Kyai Abdurrahman Tua, Kampung Melayu, Abdurrahman Nawi mengikuti semacam ujian terbuka diikuti oleh sekitar 30-an peserta dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya. Kyai memanggil satu per satu peserta, kemudian dibukakan kitab tertentu dan disuruhnya membaca. Setelah itu dibukakan lagi kitab yang lain dan disuruhnya membaca, sampai beberapa kali. Setelah selesai, Kyai Abdurrahman Tua mengumumkan, hanya ada dua peserta yang dinyatakan lulus, yaitu Abdurrahman Nawi, Tebet, dan Turmudzi, Bukit Duri. Dari sini Abdurrahman Nawi merasa memperoleh pengakuan atas penguasaan ilmu yang ia pelajari. 116

2. Kegiatan di Dunia Dakwah dan Pendidikan

Sebagaimana tradisi masyarakat Betawi, KH. Abdurrahman Nawi yang oleh para murid dan keluarganya dipanggil dengan “Abuya” ini, pada tahun 1962 membuka pengajian di rumahnya, Tebet Barat VI H. Pengajian yang diberi nama As-Salafi itu mengajarkan kitab-kitab tertentu sesuai dengan kemampuan dan minat para pesertanya. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu di 116 Kawiyan ed, Berdakwah Tanpa Kenal Lelah, Biografi KH. Abdurrahman Nawi, h. 1-3 bacakan kitab Taqrib, Tijan Durar, Nashaih Diniyah. Sedangkan untuk pemuda dan para ustadz di bacakan kitab Qawa‟idul Lughah, Ibnu „Aqil, Fathul Mu‟in, Bughyah Mustarsyidin, Asybah wan-Nazhair, Qami‟ut Tughyan. Pesertanya datang dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya, seperti Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Menteng Dalam, Bukit Duri, Kp. Melayu, Pancoran, Pangadegan, Tangerang, Bekasi dan terutama pemuda Tebet sendiri. Melihat perkembangan pengajian yang semakin ramai, pada tahun 1976 di atas tanah milik pribadi dan orang tuanya seluas 360 m 2 dibangun gedung majelis ta‟limmadrasah 2 lantai dan mushalla. Pada tahun 1979 setelah bangunan selesai, maka diresmikanlah penggunaannya oleh Dr. KH. Idham Khalid, dan nama As- Salafi diganti dengan nama „Al-Awwabin‟. Selain untuk kegiatan pengajian, juga diselenggarakan pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah. Minat masyarakat untuk belajar kepada Abuya KH. Abdurrahman Nawi semakin tinggi. Mereka ingin anak-anak mereka bisa nyantri mukim dan belajar di Al-Awwabin. Maka, sekitar tahun 19811982 bersama beberapa tokoh masyarakat, Abuya KH. Abdurrahman Nawi berusaha mencari lokasi yang mungkin untuk didirikan pesantren, di mana ada madrasah dan asrama. Akhirnya didapat sebuah lokasi di kampung Sengon, Kel. Pancoran Mas, Depok I. Mula-mula dibebaskan tanah seluas 4.200 m 2 . Pada akhir tahun 1982 berhasil didirikan 1 unit gedung sekolah 5 lokal dan 1 unit asrama, dan diresmikanlah berdirinya pondok pesantren Al-Awwabin di atas lokasi sekitar 8.000 m 2 . Hingga kini pesantren tersebut telah berhasil membangun 4 unit gedung sekolah, 1 unit masjidmushalla, 1 unit aula, 2 unit asrama santri serta 4 rumah pengasuh dan guru. Di sana ada Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyah dan Aliyyah, dengan jumlah murid sekitar 400 anak, 180 di antaranya mukim tinggal di asrama. Pesantren Al-Awwabin pada tahun 1992 membuka lagi cabang di Bedahan, Sawangan, Depok di atas tanah seluas 2,5 ha. Di sana juga dibuka Madrasah Tsanawiyah dan Aliyyah dengan santri sekitar 160 anak. Tentang pesantren yang didirikan, Abuya KH. Abdurrahman Nawi bermaksud untuk membina kader-kader muslim yang menguasai ilmu agama dengan baik, dalam rangka membantu pemerintah dalam bidang pendidikan. Abuya mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu alat bagi santri-santrinya, yaitu dengan pengajaran ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab. Maka diluar kurikulum sekolah yang mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, santri yang mukim pada sore dan malam hari diharuskan mengikuti halaqah mengaji kitab-kitab di bidang nahwu, sharaf, bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist dan akhlaq. nahwu, sharaf dan bahasa Arab masing-masing diajarkan 4 kali dalam seminggu. Siswa Tsanawiyah harus hafal 181 kaidah dalam Nahwul Wadhih, sementara siswa Aliyah mulai belajar Ibnu „Aqil. Abuya sendiri mengajar pada halaqah 1 kali dalam seminggu, selain dibantu para guru yang dipercaya. Dalam mengajar, Abuya memang cukup cermat dan sabar. Dalam setiap pengajian majlis ta‟lim ia hanya mengajar dengan kitab, agar pengajian terarah Abuya membacakan „ibarah suatu kitab dengan menjelaskan i‟rab seperlunya, kemudian menerjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara bebas, tidak memakai sistem ‟bermula‟ untuk mubtada, „itu‟ untuk khabar dsb. Berdasarkan pengalamannya belajar kepada beberapa guru dan merujuk berbagai macam kitab, Abuya berusaha menyampaikan ilmu secara sederhana agar mudah ditangkap oleh para muridnya. Abuya juga mampu memberikan penjelasan-penjelasan yang cukup luas sehingga menjadi mantap dan menarik. Prinsip Abuya dalam mengajar, biar sedikit asal betul-betul paham dari pada banyak tapi tak ada yang dipaham. Abuya juga berprinsip bahwa setiap murid yang belajar sesuatu tentang agama harus mampu mengamalkan ilmunya dalam sikap dan perilakunya sehari hari. Dari sini banyak orang yang senang belajar kepada Abuya KH. Abdurrahman Nawi. Orang yang pernah mengikuti pelajarannya pun tertarik untuk selalu mengikutinya. Karna itu, di luar pesantren Al-Awwabin, Abuya mempunyai pengajian rutin di beberapa masjid dan majlis ta‟lim, selain juga mengajar tetap kitab Fathul Mu‟in pada Radio Asy-Syafi‟iyyah sejak tahun 1982. Pengajian tetap yang sampai sekarang masih berjalan antara lain: a. MT. Al-Awwabin, Tebet Barat, untuk kaum ibu senin malam, untuk para guru sabtu pagi dan untuk kaum bapak minggu pagi. b. MT. Al-Ikhwan, Jl. Tawes, Tebet Barat. c. MT. Al-Istiqomah, Pondok Kopi, Jakarta Timur. d. MT. Nurul Iman, Lampiri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. e. MT. Al-Barokah, Pinang Ranti, Jakarta Timur. f. MT. Darus Shalihin, Kebon Tebu. g. MT. Baitur Rahmah, Cawang Kapling, Jakrta Timur. h. MT. Guru Salma, Jatinegara, Jakarta Timur. i. MT. An-Nur, Bekasi . j. MT. Tanjung Barat, Jakarta Selatan. k. MT. Darus Sa‟adah, Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan. l. MT. Subulus Salam, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pengajian atau ta‟lim tersebut biasanya dilaksanakan sekali seminggu, ada yang dilakuakan sehabis sholat Shubuh Tanjung Barat, ada yang di waktu pagi 07.00-09.00 WIB, ada yang di waktu siang 10.00-12.00 WIB, ada yang sore hari sehabis sholat „Ashar, dan kebanyakan dilakukan sehabis sholat Magrib 18.30-19.30 WIB. Setiap pengajian diikuti oleh peserta-peserta yang tetap, dari kalangan kaum bapak, ustadz dan pemuda, serta sebagian juga ada kaum ibu. Sebagian besar peserta adalah penduduk asli Betawi, tetapi tidak sedikit juga orang Sunda, Jawa maupun Sumatra dan Sulawesi. Selain pengajian yang dilakukan secara tetap, Abuya juga sering di undang untuk pengajian-pengajian umum diberbagai wilayah seJABOTABEK. Abuya sejak tahun 1984 juga menjadi salah seorang khatib di masjid Baiturrahim Istana Negara. Abuya juga pernah dan sebagian masih aktif dalam kegiatan organisasi dakwah. Sebelum sibuk dalam kegiatan pesantren, Abuya pernah menjabat sebagai ketua NU Cabang Jakarta Selatan, dan mengikuti Muktamar NU di Surabaya 1971 serta Muktamar NU di Semarang 1979. Sejak tahun 1989 menjadi guru tetap pada pengajian bulanan PBNU Jl. Kramat Raya Jakarta. Abuya juga pernah menjabat sebagai kordinator dakwah majlis t a‟lim pusat umat Islam At-Thohiriyah 1971-1978, dan ketua umum ikatan majlis ta‟lim kaum bapak IMTI, Depok 1984-1988. Yang menjadi kelebihan Abuya KH. Abdurahman Nawi dibandingkan kyai lain, bahwa dia tidak hanya mengajar dan berdakwah secara langsung, tetapi juga menulis kitab. Hingga sekarang tercatat ada 12 buah kitab yang telah ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab, yaitu : a. Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, tentang sharaf b. Ilmu Nahwu Melayu, tentang ilmu nahwu c. Sullamul al‟Ibad, tentang akidah tauhid d. Tujuh Kaifiyat, tuntunan shalat-shalat sunnah e. Tiga Kaifiyat, tuntunan shalat khusuf dll f. Mutiara Ramadhan,tuntunan puasa dan ibadah Ramadhan g. Pedoman Ziarah Kubur h. Pedoman Penyembelihan Qurban dan Aqiqah i. Pelajaran Ilmu Tajwid, tentang tajwid j. Risalah Tahajjud, tuntunan shalat tahajjud k. Miskatul Anwar Fi Haflati An Nabi Al-Mukhtar, tentang maulid l. Terjemah Tanqihul Qoul. Motivasi menulis kitab-kiab tersebut adalah untuk membantu umat Islam secara luas bagaimana ilmu dan cara menjalankan ibadah-ibadah dengan benar. Abuya merasa bahwa tidak semua orang bisa membaca dan mempelajari kitab- kitab fiqh berbahasa Arab, karenanya dia menulis kitab bahasa Melayu yang disusun dengan cara yang mudah, lengkap dan praktis agar setiap orang mudah paham dan bisa mengamalkannya. Kitab-kitab yang ditulis memang kebanyakan tentang tuntutan ibadah praktis selain juga tentang nahwu dan sharaf. Dan kitab-kitab karangan Abuya KH. Abdurrahman Nawi hingga kini banyak diminati umat Islam, karena juga dibaca dan diajarkan oleh para ustadz-ustadzah di wilayah JABOTABEK. 117 117 Ibid., h. 4-6

3. Paham Keagamaan dan Keahliannya

Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah seorang ulama yang secara jelas mengikuti paham agama yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu dalam bid ang fiqh mengikuti madzhab Syafi‟i, dalam akidah mengikuti Abul Hasan Al- Asy‟ari dan dalam tasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali. Baginya, paham yang sering disebut sebagai Ahlussunnah wal Jama‟ah itulah yang telah diajarkan oleh para ulama pendahulu dan diajarkan melalui kitab-kitab yang mu‟tabar, tidak diragukan. Abuya menegaskan bahwa kita tidak perlu mencari- cari model sendiri, tinggal ikut dan mengamalkan. Apalagi bagi orang awam, masyarakat luas, mereka tak mungkin mencari sendiri paham-paham yang harus diyakini. Mereka yang tidak tahu bahasa Arab dan tak mampu membaca kitab-kitab itu perlu mengikuti dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama yang sudah jadi. Semua yang telah dijalankan dalam masyarakat adalah hasil didikan para ulama yang harus dijaga dan dilestarikan, tak perlu dirubah-rubah lagi. Kalau ada hal-hal baru, tugas para ulama adalah untuk mencari dan merumuskan hukumnya dengan merujuk kepada kitab-kitab yang sudah ada. Dalam mengajar fiqh, Abuya memakai kitab pegangan Taqrib Fathul Qarib dan Fathul Mu‟in karangan Al-Malibary, dua kitab fiqh yang populer di kalangan pesantren dan bermadzhab Syafi‟i. Abuya menjelaskan apa yang ada dalam kitab tersebut secara detail, dan terkadang menambah keterangan dengan mengacu pada kitab-kitab lain yang sealiran, seperti I‟anatut Thalibin. Dalam mengajar tauhid, Abuya lebih banyak memakai pegangan kitab Tijan Durar atau Jawahirul Kalamiyah, kitab tentang tauhid yang mengacu pada aliran Asy‟ariyah yang banyak diikuti oleh umat Islam Indonesia. Abuya menekankan pola pemahaman keimanan dengan dasar dalil naqly Al-q ur‟an dan Hadist maupun aqly yang lazim dipahami kalangan Ahlussunnah wal Jama‟ah. Begitu juga dalam tasawuf, Abuya memakai pegangan kitab Maraqil Ubudiyah atau Nasahaih ad-Diniyah yang mengacu pada ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali. Bahkan jika diperhatikan lebih jauh, Abuya Kyai Abdurrahman Nawi tidak saja mengikuti paham dan aliran dasar yang umum dianut kalangan Ahlussunnah wal Jama‟ah, tetapi mengamalkan berbagai amaliyah keagamaan yang telah menjadi tradisi dalam mayoritas masyarakat Indonesia, seperti mengirim doa dan tahlil, membaca Barzanji dan Burdah serta wirid doa-doa tertentu. Dalam kitab Mutiara Ramadhan, Abuya bukan saja menjelaskan shalat tarawih 20 roka‟at, tetapi juga menunjukkan lebih teknis bacaan setiap roka‟at dalam istilah “Kayfiyah Khatmil Qur‟an” menurut ijazah Habib Husain al- Haddad. dengan menjelaskan datangnya lailatul qadar bisa dihitung berdasar hari awal Ramadhan. Abuya juga menunjukkan bacaan-bacaan selingan pada shalat Tarawih dan Witir dalam bulan Ramadhan. Selain itu Abuya juga menambahkan beberapa qashidah syair bahasa Arab antara lain gubahan Habib Abdullah bin Husein Thahir serta Habib Ahmad bin Muhammad al- Muhdhar, yang baik untuk perpisahan langsung oleh guru. Beberapa kitab Abuya yang lain juga memuat tentang tuntunan amaliyah keagamaan semacam ini, yaitu Pedoman Ziarah Kubur, Tiga Kayfiyat dan Tujuh Kayfiyat. Abuya menjelaskan dasar hukum, hikmahfaidah serta tatacara syarat dan rukun dari amaliyah ziarah kubur, beberapa shalat sunnah seperti shalat Awwabin, Tasbih, Birrul Walidain dll. Amaliyah-amaliyah tersebut oleh sebagian ulama kalangan pembaharu di pertanyakan hukumnya, sementara dikalangan ulama yang ahli tasawuf merupakan amal keutamaan yang sunnah. Bagaimana pandangan Abuya terhadap paham dan aliran keagamaan yang tidak dianutnya? Abuya memandang paham dan aliran keagamaan di luar Ahlussunnah wal Jama‟ah yang dia ikuti merupakan bagian dari agama Islam juga. Asal paham dari aliran serta madzhab tersebut tetap bersumber dari Al- q ur‟an dan Sunnah Rasul. Yang penting menurut Abuya, janganlah antara golongan-golongan itu saling menyalahkan, saling menghina dan melecehkan. Karena kita semua bersaudara. Abuya KH. Abdurrahman Nawi dikenal keahliannya dalam ilmu nahwu dan sharaf. Dalam mengajarkan ilmu nahwu untuk kalangan khusus para guru ustadz atau santri senior biasanya dia memakai kitab pegangan Ibnu‟Aqil, syarah Alfiyah Ibnu Malik, kitab yang tinggi dan mendalam dalam ilmu nahwu. Tetapi dalam menjelaskan suatu masalah, Abuya tidak hanya mengacu pada salah satu kitab, tetapi menjelaskannya dengan uraian yang luas dan lengkap, baik berdasar kitab-kitab salaf maupun yang baru seperti Syudzurudz Dzahab, Mughnil Labib, Nahwul Wadhih dan Qawa‟idul Lughah. Untuk para murid yang pemula dia akan menyajikan pelajaran dengan sistematikanya sendiri yang dipandang lebih praktis, yang diambil dari penguasaannya terhadap kitab- kitab tersebut. Bahkan untuk mereka, pada tahun 1960 Buya telah menulis kitab khusus berjudul Ilmu Nahwu Melayu. Dan selain penguasaan terhadap ilmu nahwu dan sharaf yang bersifat teoritis, Abuya juga banyak mendalaminya dalam penguasaan bahasa Arab, baik lisan maupun tulisan. Bahkan Abuya juga banyak menguasai syi‟ir nushush adabiyah yang sering menghiasi pembicaraan dan pengajarannya. Keahliannya dalam bidang ini dibuktikan pula dengan ditunjuknya Abuya sebagai pengajar ilmu nahwu dan sharaf dalam Ma‟had „Aly Darul Arqom Perguruan Asy-Syafi‟iyyah, Jatiwaringin, tahun 1983-1985. Abuya KH. Abdurrahman Nawi juga dikenal sebagai ahli di bidang fiqh, sebagaimana terlihat dari semua pengajiannya mengkaji fiqh, di samping tauhid dan tasawuf. Sebagaimana disebut di atas, dia sejak 1982 mengajar Fathul Mu‟in dalam ta‟lim angkasa radio Asy-Syafi‟iyyah, Jakarta. 118

B. Pondok Pesantren Al-Awwabin

1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Awwabin

Pada tahun 1962, Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengadakan pengajian kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang bertempat diruang paviliun rumahnya. Pengajian ini diberi nama As- Salafiah dengan harapan para jama‟ah dapat mengikuti jejak salafus shaleh orang-orang terdahulu yang shaleh dan pengajian ini bertempat di kampung Tebet yang sekarang Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan. Pengajian tersebut diikuti oleh banyak kalangan, mulai dari orang tua, remaja, dan orang-orang dewasa yang datang dari berbagai tempat, diantarnya: Kebayaoran Lama, Kebayoran Baru, Kebon Baru, Pengadegan, 118 Ibid., h. 6-8 Bukit Duri, Kampung Melayu, Karang Tengah, Bekasi, dan para pemuda setempat. Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka kian terus berkembang hingga pada tahun 1976 Abuya telah mampu membuka cabang-cabangnya diberbagai tempat, baik itu di mushola-mushola atupun di masjid-masjid yang mendapat dukungan dari kalangan masyarakat luas, ulama, dan umum. Namun, yang namanya perjuangan tidak lepas dari tantangan dan cobaan, karena majlis ta‟lim yang beliau bina tersebut mengalami pasang surut,dan memang sudah menjadi sunnatullah. Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan pendidikan formal, guna menolong masyarakat dari belenggu kebodohan dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1976 Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengajak jama‟ah majlis ta‟lim dan kenalan dekatnya untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah milik pribadinya yang berlokasi di Jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan dengan luas tanah seluas 300 m 2 ditambah dengan kavling mushola yang meupakan wakaf dari almarhum orang tua beliau. Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah bangunan itu oleh KH. Idham Chalid. Peresmian tersebut sekaligus dengan peresmian pergantian nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin. Dan pada tahun itu pula mulailah penerimaan murid baru untuk tahun ajaran 19791980. Kemudian dari tahun ke tahun pendidikan itu berjalan dengan pesat hingga sampai tahun 19821983. Mengingat banyaknya calon santri yang berminat mukin di pesantren Al-Awwabin Tebet, Sedangkan kapasitas tempat yang ada tidak menampung dan dilahan sekitarnya telah padat ditempati rumah-rumah penduduk, serta tidak mungkin lagi memperluas lokasi disekitar pesantren Al- Awwabin Tebet. Maka dengan demikian terpaksa Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengambil kebijaksanaan untuk mencari lokasi yang tepat bagi pendidikan. Maka dengan izin Allah, Abuya sebagai pimpinan umum pondok pesantren Al-Awwabin mendapatkan lokasi yang tepat dan beliau membebaskan sebidang tanah yang terletak di kampung. Sengon, Kelurahan Pancoran Mas, Depok yang dijadikan cabang pondok pesantren Al-Awwabin I dengan luas tanah sekitar 4200m 2 dengan harga Rp.20.000m 2 . Abuya KH. Abdurrahman Nawi sengaja mengambil tempat di daerah Depok mengingat di daerah ini masih kurang sekali lembaga pendidikan Islam apalagi pondok pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan Islam khususnya pondok pesantren sangat di butuhkan sekali oleh kaum muslimin untuk memberantas kebodohan dan mempersiapkan generasi Islam yang memahami serta menggali hukum-hukum Islam dari kitab-kitab kuning. Pada pertengahan tahun 19821983 dimulai peletakan batu pertama yang disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama, habaib, dan para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk tahun 1983 telah selesai bangunan lima lokal dan satu asrama, pada saat itu pula diresmikan oleh KH. Idham Chalid dan pejabat pemerintah setempat serta dinyatakan kedudukan pondok pesantren Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun 19831984 mulai menerima murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah MTs, Madrasah Aliyah MA, dan mukim untuk para santri mukim. Pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren pertama dikota Depok untuk wilayah Pancoran Mas. Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin berkembang. Pada tahun 19871988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah MI hingga sampai pada tahun ajaran 19911992 telah sampai pada kelas IV MI. Asal usul santri pondok pesantren berasal dari wilayah antara lain Jambi, Kalimantan, Padang, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan masyarakat sekitar pondok pesantren itu sendiri. Abuya KH. Abdurrahman Nawi bercita-cita ingin mengembangkan pesantren dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dengan tujuan memelihara syiar Islam. Perkembangan selanjutnya, Abuya mengembangkan dakwah beliau dengan mendirikan pondok pesantren yang masih satu kotawilayah Depok, yaitu di Jalan H. Sulaiman No. 12 desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Awal sejarahnya bermula ketika beliau ingin mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin cabang II di daerah Sasak Panjang, Bojong Gede, Bogor 5 km dari Bedahan. Karena di Sasak Panjang sudah ada pondok pesantren yang didirikan oleh H. Jaini, akhirnya Abuya KH. Abdurrahman Nawi mencari tempat yang lain dengan maksud melebarkan dakwah Islam. Setelah beliau mencari-cari lokasi, akhirnya beliau mendapatkan lahan untuk membangun pondoknya di desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Beliau membebaskan tanah tersebut pada tahun 1989 seluas 1600 m 2 dan kemudian berkembang sampai sekarang manjadi seluas 2,5 ha. Pada tahun 1989 pesantren Al-Awwabin mulai membangun sekolah dan asrama. Untuk pembukaan tahun ajaran pertama pada tahun 1993 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah MTs dan Madrasah Aliyah MA juga mukim bagi para santri yang mukim. Pondok pesantren Al-Awwabin II cabang Bedahan, diperuntukan bagi santriwati saja, dan pembangunan pesantren ini akan terus dikembangkan. Harapan Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah semoga pondok pesantren Al-Awwabin akan terus melebarkan sayapnya dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dan wilayah untuk memelihara syiar Islam. Sejak saat itulah kegiatan kepesantrenan berjalan secara rutin. Adapun kegiatan rutin di pesantren tersebut bertujuan untuk membentuk pribadi santri yang memiliki kecakapan mental, spiritual dan intelektual. Di samping itu juga kegiatan rutin tersebut membekali para santri dengan beberapa keterampilan baik dalam bidang teknologi, keorganisaasian dan ketangkasan dalam menyampaikan gagasan dimuka umum yang semuanya itu dibutuhkan kelak ketika terjun kedalam masyarakat. Dimana dengan harapan bagi santri dikemudian hari menjadi kader-kader dakwah di tengah-tengah masyarakat yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan peran Abuya dalam syiar Islam.

2. Struktur Organisasi

Struktur organisasi atau struktur kepengurusan di pondok pesantren Al- Awwabin adalah sebagai berikut: a. Pimpinan umum : Abuya KH. Abdurrahman Nawi b. Wakil pimpinan umum : Ust. Drs. H. Ahmad Muchtar c. Sekretaris : Ustz. Hj. Zakiyah d. Bendahara : Ustz. Hj. Busyroh e. Pimpinan bidang pendidikan : Ust. Drs. H. Ahmad Muchtar f. Pimpinan bidang pesantren I : Ust. Drs. H.Fatchurrahman, MA g. Pimpinan bidang pesantren II : Ustz. Diana Rahman Stuktur organisasi dan pengurusan pondok pesantren Al-Awwabin dari dulu hingga sekarang tidak ada batas waktu penjabatan jadi tetap sama pemegang jabatannya.

3. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin