45
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Abuya KH. Abdurrahman Nawi
1. Biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi
Pada hari Rabu 08 Desember 1920 di Tebet Melayu Besar, lahir seorang bayi laki-
laki dari pasangan H. Nawi bin Su‟iddan dengan „Aini binti Rudin. Anak kesembilan dari pasangan tersebut diberi nama Abdurrahman. Dia adalah
salah satu dari tiga putra H. Nawi diantara 10 bersaudara. Tebet saat itu merupakan perkampungan masyarakat Betawi.
Sebagaimana lazimnya masyarakat Betawi yang secara turun temurun fanatik memeluk Islam dan kuat menjalankan syariatnya, Abdurrahman tumbuh dalam
lingkungan kampung Tebet yang juga sarat dengan nilai-nilai dan budaya keagamaan. Ada mushalla yang menjadi tempat berkumpul anak-anak untuk
menjalankan shalat lima kali dalam sehari semalam. Di sana juga sering diadakan pengajian dan perayaan hari-hari besar Islam seperti ma
ulid, isra‟ mi‟raj dan lain-lain. Dalam masyarakat pun acara-acara perkawinan, nujuh
bulan kehamilan, kelahiran anak, kematian dan ngirim arwah selalu di isi dengan bacaan-bacaan barzanji, shalawat, tahlil, dan membaca Al-q
ur‟an. Di samping itu, ada pula ceramah agama dari seorang guru atau ulama yang
dihormati karena penguasaannya yang mumpuni terhadap ajaran-ajaran Islam. H. Nawi maupun istrinya „Aini bukan seorang tokoh agama bagi
masyarakatnya,juga bukan keturunan dari ulama. Mereka hanyalah seorang yang taat beragama dan senang kepada ulama. Sehari-hari mereka dikenal
sebagai pedagang nasi ulam di warung pedok. Pada waktu-waktu tertentu H. Nawi selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian yang diadakan oleh
para ulama dan habib di kampung Melayu atau di kampung Kwitang. Di Tebet tak ada ulama besar atau habib yang mengadakan pengajian rutin dengan
dihadiri oleh ratusan kaum muslimin dari berbagai kampung Jakarta dan
sekitarnya. Juga tidak ada madrasah atau sekolah Islam tingkat dasar sekalipun, yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak dan remaja. Tempat belajar yang
lazim bagi anak- anak dan remaja kampung saat itu adalah ta‟lim atau pengajian
intensif tentang ilmu agama dan bahasa Arab dengan memakai kitab-kitab tertentu yang diselenggarakan di
rumah guru mu‟allim. Besar kecilnya ta‟lim diukur dari materi dan kitab yang diajarkan, yang biasanya sesuai dengan
ke‟aliman penguasaan guru terhadap ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. H. Nawi yang pedagang itu mendidik putranya Abdurrahman untuk rajin
shalat dan mengaji sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. Mula-mula Abdurrahman belajar mengaji dengan guru yang ada di Tebet, yaitu Mu‟allim
Ghazali dan Mu‟allim Syarbini. Di sini ia belajar membaca Al-qur‟an serta
dasar-dasar akidah dan praktek ibadah. Ketekunan Abdurrahman untuk mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan anak-anak yang lain.
Maka H. Nawi terus mendorongnya untuk belajar dan mengaji serta memperingatkannya untuk tidak main-main. Dengan dorongan orang tua dan
didikan para gurunya, lama-kelamaan Abdurrahman merasakan nikmatnya belajar dan hausnya mencari ilmu. Dalam hatinya tumbuh himmah dan ghirah
yang kuat untuk belajar agar mampu menguasai ilmu-ilmu keislaman yang begitu luas.
Gurunya yang lain, KH. Muh. Zain bin Sa‟id, pernah suatu saat memberinya wejangan, bahwa manusia itu akan dipandang karena 3 hal:
jagoan, kekayaan dan ilmu. Ketika ia ditanya: “kamu mau jadi apa?”, maka jawabnya spontan “mau menjadi orang yang berilmu”. Lantas sarannya, untuk
itu tak ada jalan lain kecuali kamu harus rajin belajar. Jadilah Abdurrahman sebagai remaja yang pekerjaannya setiap saat
hanya mengaji dan belajar. Di Tebet saat itu belum ada sekolah. Di Bali Matraman, beberapa kilometer dari Tebet, ada madrasah Asy-
Syafi‟iyyah tapi hanya tingkat Ibtidaiyyah. Ada madrasah tingkat T
sanawiyyah Jam‟iyyatul Khaer di Tanah Abang, namun cukup jauh untuk pulang pergi bagi
Abdurrahman menurut ukuran saat itu. Hal demikian tetap tidak menjadi penghalang bagi Abdurrahman untuk
mewujudkan cita-citanya, menguasai ilmu-ilmu agama, bahasa Arab maupun