itu perkebunan menerapkan sistem tata kelola air water management untuk mempertahankan air pada kedalaman yang dibutuhkan. Lahan gambut pada petak
tanaman satu tahun kedalaman MAT rata-rata pada saat musim hujan 52 cm, pada saat musim kemarau 113 cm, sedangkan pada musim hujan berikutnya 68 cm.
Pada petak tanaman empat tahun, kedalaman MAT rata-rata pada musim hujan minggu ke-1 hingga 8 39 cm dan pada musim hujan berikutnya 54,5 cm
minggu ke-24 hingga 34. Pada musim kemarau tidak dilakukan pengukuran pada petak tanaman empat tahun karena kendala aksesibilitas.
4.2. Dinamika Fluks CO
2
terhadap Kedalaman Muka Air Tanah
Hasil pengukuran fluks CO
2
pada petak tanaman 1 tahun disajikan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat fluktuasi CO
2
dengan pola yang berbeda di setiap titik. Misalnya pada minggu ke-5 pada petak A1-1 Gambar 1a pada titik
A1-11 terjadi kenaikan fluks, sedangkan pada titik yang lain terjadi penurunan. Begitu juga pada petak A1-2 Gambar 1b pada minggu ke 30 titik A1-21
mengalami lonjakan kenaikan fluks yang sangat besar dibandingkan minggu sebelumnya, tetapi pada titik yang lain terjadi penurunan fluks. Selain itu, pada
petak A1-2 titik A1-21 selalu menghasilkan nilai fluks CO
2
yang lebih tinggi, jika dibandingkan titik pengukuran lainnya.
Fluktuasi tersebut mengindikasikan bahwa walaupun berada pada hamparan lahan yang sama dengan umur tanaman dan faktor lingkungan suhu
udara, RH dan kedalaman MAT yang relatif sama, nilai fluks yang dihasilkan pada setiap titik pengukuran berbeda baik besaran maupun pola fluksnya. Faktor
jarak dari tanaman, kondisi pertumbuhan tanaman dan kelembaban tanah diduga menentukan pola dan besaran fluks CO
2
yang dihasilkan. Pada titik pengukuran
fluks CO
2
yang lebih dekat dengan tanaman, menunjukkan nilai fluks CO
2
yang lebih besar, hal ini berkaitan dengan respirasi akar tanaman.
Gambar 4. Grafik Hubungan Fluks CO
2
, Curah Hujan, Kelembaban Udara RH, dan Muka Air Tanah MAT Petak Tanaman Akasia 1 Tahun a Plot
A1-1 b Plot A1-2 Rata-rata nilai fluks CO
2
yang dihasilkan pada petak tanaman 1 tahun disajikan pada Gambar 5. Dari Gambar 5 terlihat pada awal penelitian minggu
ke-1 hingga 8 kedalaman MAT berkisar pada kedalaman 52 cm dan fluks berkisar pada angka 9,80 gC-CO
2
m
2
hari. Nilai fluks CO
2
tertinggi terjadi pada minggu ke-16 yaitu sebesar 19,75 gC-CO
2
m
2
hari dengan kedalaman MAT 119 cm. Namun demikian pada kedalaman MAT terdalam 146 cm yang terjadi pada
minggu ke-22, fluks yang dihasilkan lebih rendah yaitu 10,38 gC-CO
2
m
2
hari.
Fluks CO
2
terendah terjadi pada minggu ke-21 yaitu 8,80 gC-CO
2
m
2
hari dengan kedalaman MAT 141 cm. Pada akhir periode penelitian yang merupakan musim
hujan minggu ke-23 hingga 33 kedalaman MAT berkisar pada kedalaman 62 cm, sedangkan fluks berkisar pada angka 11,34 gC-CO
2
m
2
hari Hasil ini menunjukkan tidak terdapat indikasi korelasi positif antara fluks CO
2
yang dihasilkan dengan kedalaman MAT.
Gambar 5. Grafik Hubungan Rata-Rata Fluks CO
2
, Curah Hujan, Kelembaban Udara RH, dan Muka Air Tanah MAT Petak Tanaman Akasia 1
Tahun. Terdapat tren kenaikan fluks CO
2
pada awal musim kemarau, yaitu pada minggu ke-13 hingga 16 yang mengikuti penurunan MAT dan penurunan RH.
Tetapi kondisi ini tidak terus terjadi karena setelah minggu ke-16 terjadi penurunan fluks yang dihasilkan. Indikasi tren kenaikan fluks juga terjadi pada
awal musim hujan minggu ke-26 hingga 33, kenaikan dan penurunan fluks diduga dipengaruhi oleh kadar air tanah. Gambar 5 juga menunjukkan bahwa
faktor RH turut mempengaruhi besaran fluks CO
2
. Pada saat RH turun dari kisaran 70-80 menjadi 55-65, yaitu pada minggu ke-9 hingga 16, terjadi
kenaikan fluks CO
2
. Penurunan RH mendorong terjadinya peningkatan fluks CO
2
dari tanah ke udara. Hal ini terjadi bila di dalam tanah terjadi peningkatan aktifitas dekomposisi gambut dan serasah serta respirasi akar. Namun demikian pada
minggu ke-17 hingga 22, terjadi penurunan fluks CO
2
walaupun RH cukup
rendah, kondisi kedalaman MAT sangat rendah dan gambut mengalami kekeringan di lapisan atasnya menyebabkan aktifitas dekomposisi dan respirasi
akar menurun. Pada awal musim hujan minggu ke-26 hingga 34, walaupun nilai RH tinggi kisaran 80-90, terjadi peningkatan fluks CO
2
yang diduga karena peningkatan aktifitas dekomposisi serasah dan respirasi akar.
Hasil di atas menunjukkan bahwa fluktuasi fluks CO
2
dalam periode penelitian tidak menunjukkan tren yang konsisten terhadap kondisi MAT. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan Sumawinata et al. 2012 bahwa fluks CO
2
tidak menunjukkan korelasi positif dengan MAT, tetapi jelas berkorelasi dengan
peningkatan respirasi tanaman yang meningkat seiring umur tanaman, serta berhubungan dengan kadar air tanah gambut. Fluks CO
2
tertinggi pada kadar air antara kapasitas lapang yaitu 250 bb dan titik layu permanen yaitu 180
bb, fluks CO
2
terendah akan terjadi pada kadar air dibawah titik layu permanen Sumawinata et al., 2012. Hasil tersebut tidak sejalan dengan yang didapatkan
oleh Hooijer et al. 2010 dan Hatano et al. 2010 yang menyatakan adanya korelasi positif antara peningkatan fluks CO
2
dengan penurunan MAT akibat drainase.
4.3. Hubungan Fluks CO