1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan pari merupakan komoditas hasil perairan dengan jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Ikan ini merupakan kelompok ikan bertulang rawan kelas
Chondrichthyes Nelson 1994. Indonesia tercatat sebagai negara dengan pemanfaatan ikan bertulang rawan terbesar di dunia dengan dugaan hasil
tangkapan sebesar 118.000 ton pada tahun 2008. Saat itu, total tangkapan pari dunia mencapai 736.491 ton FAO 2008. Jumlah hasil tangkapan tersebut
menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga terbesar penangkap ikan pari dunia, menggantikan Amerika Serikat pada tahun 2007.
Ikan pari seringkali bukan merupakan ikan tangkapan utama. Marwoto et al. 2005 menyampaikan bahwa larangan pengoperasian trawl di
Indonesia menyebabkan nelayan menggunakan jaring arad untuk menangkap udang di dasar perairan dan seringkali menangkap ikan pari sebagai hasil
sampingan by catch. Lebih lanjut White et al. 2006 menyampaikan bahwa ikan pari hasil tangkapan biasanya dibuang atau dimanfaatkan tidak optimal, misalnya
hanya diambil kulitnya saja. Sebanyak 171 jenis ikan elasmobranchii ditemukan di dunia berasal dari
perairan tawar dan muara sungai, yang terdiri dari 68 genus dan 34 famili .
Keanekaragaman dan kelimpahan ikan elasmobranchii air tawar dan muara sungai tertinggi ditemukan di negara-negara tropis Tsuguo 1999. Husnah 2009
menyampaikan bahwa sungai Musi memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi, sedikitnya lebih 234 jenis telah ditemukan di bagian hulu hingga hilir dari sungai
ini. Sampai saat ini informasi mengenai pemanfaatan ikan pari air tawar belum ada.
Lignot et al. 2003 dan Murado et al. 2010 menyampaikan bahwa potensi tulang rawan ikan pari sebagai sumber kondroitin sulfat belum banyak
dikembangkan. Data ScienceDirect.com tahun 2012 dengan pencarian searching kondroitin sulfat dari sumberdaya perikanan, kajian yang telah dilakukan
diantaranya pada jaringan struktur tulang ikan hiu Grossfeld 1963; Sim 2007, kulit cumi-cumi Radhakrishnamurthy et al. 1970, tulang ikan salmon Uchisawa
et al. 2001, tulang ikan sturgeon Zheng et al. 2008, dan kulit teripang Chen
et al. 2011.
Murado et al. 2010 memaparkan bahwa sebanyak 80 dari tubuh ikan pari tersusun atas tulang rawan. Lignot et al. 2003 lebih lanjut menjelaskan
bahwa jaringan tulang rawan ikan pari mengandung molekul glikosaminoglikan terutama kondroitin sulfat. Glikosaminoglikan pada tulang rawan ikan pari ini
terikat secara kovalen dengan protein membentuk kompleks proteoglikan yang
menempel pada jaringan fibril kolagen.
Pearle et al. 2005 menyatakan bahwa secara teoritis, tulang rawan terdiri dari kondrosit atau sel tulang rawan serta matriks ekstraseluler padat yang
tersusun atas air, kolagen, dan proteoglikan. Kadar air tulang rawan berkisar 65- 80 dari berat basah. Porter et al. 2006 menyatakan kadar kolagen dan
proteoglikan pada tulang rawan pari masing-masing sekitar 17,4 dan 19,6. Proteoglikan merupakan hasil interaksi antara protein dan glikosaminoglikan.
Bentuk yang umum dari glikosaminoglikan adalah heparan sulfat dan kondroitin sulfat. Zhang 2010 juga menambahkan bahwa kedua bentuk tersebut merupakan
polimerisasi dan modifikasi enzim yang dikodekan oleh lebih dari 40 gen pada sel-sel tubuh hewan.
Glikosaminoglikan sangat
penting untuk
kesehatan sendi.
Garnjanagoonchorn et al. 2007 menyampaikan bahwa glikosaminoglikan, terutama kondroitin sulfat, secara luas telah dimanfaatkan dalam terapi
osteoartritis. Simanek et al. 2005 memaparkan bahwa kondroitin sulfat mampu mencegah osteoartritis karena dapat meningkatkan sintesis proteoglikan oleh
kondrosit dan menyediakan substansi-substansi yang penting bagi perbaikan matriks ekstraseluler tulang rawan. Ronca et al. 1998 juga memperkuat bahwa
kondroitin sulfat memiliki aktivitas antiinflamasi, mampu menurunkan fagositosis, menghambat sekresi berbagai enzim degradatif serta melindungi
membran sel dari oksigen reaktif. Adebowale et al. 2000 menjelaskan osteoartritis sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan adanya perubahan
struktur dan fungsi persendian yang disebabkan oleh hilangnya keseimbangan antara sintesis dan degradasi makromolekul pada sendi. Pearle et al. 2005
menyatakan bahwa proses osteoartritis diduga juga berkaitan erat dengan
berkurangnya kadar dan komposisi proteoglikan pada tulang. Simanek et al. 2005 dalam hal ini menjelaskan bahwa osteoartritis muncul karena
meningkatnya kadar matriks metalloproteinase yang memiliki aktifitas degradatif terhadap protein jaringan ikat, contohnya kolagen, elastin, proteoglikan, dan
laminin. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan sel tulang rawan dalam membentuk kembali matriks ekstraseluler yang penting bagi kesehatan sendi,
sehingga terjadilah kerusakan sendi yang merupakan awal dari osteoartritis. Penyakit ini telah menjangkit lebih dari 40 juta warga Amerika. Pearle et al.
2005 menambahkan bahwa sekitar 10 orang dewasa berumur lebih dari 50 tahun di Amerika mengalami osteoartritis.
Schneider et al. 2012 menyatakan bahwa sodium kondroitin sulfat dalam bentuk yang dapat dimakan telah diproduksi oleh beberapa perusahaan.
Kondroitin sulfat tersebut berasal dari trakea sapi atau tulang rawan unggas. Structum
®
merupakan contoh produk kondroitin sulfat yang telah diproduksi dan berbahan baku tulang rawan unggas. Produk ini telah diterima secara internasional
sejak tahun 1993. Adebowale et al. 2000 menambahkan bahwa lebih dari lima tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah suplemen makanan secara signifikan
yang telah diperkenalkan ke pasaran. Penjualan glukosamin dan kondroitin sulfat diduga telah lebih dari 500 juta produk yang dijual eceran pada Juli 1998 hingga
Mei 1999. Menurut NPS 2003, glikosaminoglikan secara luas telah dimanfaatkan dalam terapi osteoartritis dengan tingkat asupan untuk orang dewasa
sebanyak 800-1200 mg per hari. Teknologi dan keilmuan ekstraksi untuk menghasilkan kondroitin sulfat
telah banyak dikembangkan. Einbinder dan Schubert 1950 melakukan proses pemisahan kondroitin sulfat dari tulang rawan dengan cara ekstraksi
menggunakan larutan alkali. Selanjutnya Volpi 1996 melakukan fraksinasi bertahap dengan larutan metanol, etanol dan propanol, kemudian dianalisis
dengan agarose-gel elektroforesis dan analisis densitometer. Teknologi ekstraksi kondroitin sulfat juga dikembangkan oleh Lignot et al. 2003 melalui proses
enzimatis dan pemurnian dengan ultrafiltrasi. Ekstraksi dengan enzim juga dilakukan Nakano 2012 yaitu menggunakan enzim proteolitik dari pepaya,
pankreas, buah kiwi dan flavourzyme kemudian dipadukan dengan anion-
exchange chromatography dan presipitasi konsentrasi etanol yang berbeda. Selain
itu dikembangkan juga teknologi solvent-free mechanochemical extraction SFMCE
Wang Tang 2009 dan hidrolisis alkalin hidroalkohol Murado et al. 2010.
Lignot et al. 2003 melakukan ekstraksi enzimatis dan pemurnian dengan ultrafiltrasi terhadap tulang rawan berbagai jenis pari dan menghasilkan
glikosaminoglikan dengan tingkat konsentrasi berkisar 1,3 g100 mL. Penelitian lain juga dilakukan oleh Garnjanagoonchorn et al. 2007 yaitu dengan
mengekstrak glikosaminoglikan dari sirip hiu dan tulang rawan pari Dasyatis zugei
dengan ekstraksi enzimatis dan pemurnian dengan cetylpyridinium chloride
. Glikosaminoglikan yang dihasilkan dari masing-masing sumber tersebut adalah sebesar 1,5 g100 mL dan 0,749 g100 mL.
Berdasarkan berbagai kajian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik hasil ekstraksi glikosaminoglikan dari tulang rawan
ikan pari air laut N. kuhlii dan pari air tawar H. signifer.
1.2 Tujuan