Analisis FEVD dalam model VAR bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu
dalam sistem VAR. Analisis IRF yang dijelaskan sebelumnya digunakan untuk melihat dampak guncangan dari satu variabel terhadap variabel lainnya, sementara
analisis FEVD digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah dalam sistem VAR karena adanya guncangan. Jadi melalui FEVD dapat diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu.
3.5 Alat Analisis Data
Dalam penelitian ini, digunakan program E-Views sebagai alat analisis data. Data yang telah diperoleh kemudian di input kedalam workfile E-Views,
selanjutnya akan diolah sedemikian rupa melalui beberapa tahap sehingga mendapatkan hasil-hasil yang dibutuhkan dalam penelitian ini, seperti uji akar
unit, uji lag optimal, uji kausalitas Granger, uji kointegrasi, dan estimasi VAR. Jika pada pengolahan data pada uji kointegrasi terdapat persamaan yang
terkointegrasi, maka tahap estimasi yang dilakukan adalah model VECM.
3.6 Tahapan Pengolahan Data
Berikut adalah tahapan analisis pengolahan data dalam penelitian ini Uji stasionaritas
Uji lag optimal
Uji stabilitas VAR
Uji kointegrasi
Analisis VECM
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Uji Pra Estimasi 4.1.1. Uji Akar Unit
Unit Root Test
Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang telah ditentukan harus dipenuhi. Salah satu asumsi dasar regresi linier klasik yang
sering diabaikan adalah asumsi stasioneritas yang merupakan dasar berpijaknya ekonometrika
Insukindro,1991. Pengabaian
terhadap adanya
asumsi stasioneritas menyebabkan regresi lancung spurious regression.
Data variabel ekonomi banyak menggunakan data time series, oleh karena itu data ini sering menimbulkan permasalahan terkait dengan kestasioneritasan
data. Dalam statistik dan ekonometrik, uji akar unit digunakan untuk menguji adanya anggapan bahwa sebuah data time series tidak stasioner. Uji yang biasa
digunakan adalah Uji Augmented Dickey –Fuller. Uji lain yang serupa yaitu Uji
Phillips –Perron. Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai
hipotesis null. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang
konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Data stasioner adalah data yang menyebar pada rataan dan simpangan baku tertentu. Hampir 95 persen data-data
ekonomi tidak stasioner. Olehkarena itu harus dilakukan pengujian terlebih dahulu terhadap kestasioneran data tersebut. Dalam penelitian ini uji yang digunakan
adalah Uji Augmented Dickey-Fuller ADF melalui uji akar unit. Model yang mengandung akar unit akan menimbulkan ketidakvalidan serta menghasilkan
spurious regression atau regresi palsu Firdaus, 2011.
Regresi palsulancung spurious regression merupakan data yang memiliki R
2
tinggi, t-statistik dan f-statistik yang signifikan tetapi memiliki d
w
yang relative kecil yaitu kurang dari 0,5 0,5. Regresi tersebut terlihat bagus namun pada kenyataannya tidak, dan hasilnya tidak dapat diinterpretasikan secara
ekonomi. Regresi lancung terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antarvariabel padahal hal tersebut tidak lain adalah hubungan
contemporaneous dan tidak memiliki makna kausal Harris, 1995: 14.
Dalam Uji Augmented Dickey-Fuller ADF, jika nilai ADF lebih kecil dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut
stasioner, sementara jika nilai ADF lebih besar dari Mc kinnon Critical Value berarti data tersebut tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini
nilai kritis Mc Kinnon yang digunakan adalah pada taraf nyata 5 persen. Jika data berdasarkan uji ADF tidak stasioner maka solusinya adalah dengan proses
diferensiasi. Berikut hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat level dalam penelitian
ini. Tabel 4.1 Uji Akar Unit Pada Tingkat Level
Variabel Nilai ADF Nilai Kritis Mc Kinnon
Keterangan 1
5 10
G -5.692273 -4.33933
-3.587527 -3.229230 Stasioner
GW -3.484692 -3.699871
-2.976263 -2.627420 Stasioner
INV -2.463660 -3.699871
-2.976263 -2.627420 Tidak
Stasioner ER
-1.390764 -3.699871 -2.976263
-2.627420 Tidak Stasioner
INF -5.446965 -3.699871
-2.976263 -2.627420 Stasioner
TR -1.655848 -3.699871
-2.976263 -2.627420 Tidak
stasioner NE
-0.823032 -3.699871 -2.976263
-2.627420 Tidak Stasioner
Sumber: data diolah
Berdasarkan hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat diketahui bahwa dengan menggunakan taraf nyata lima persen terdapa empat variable yang
tidak stasioner, antara lain investasi INV,nilai tukar ER, penerimaan pajak TR, ekspor bersih NE sementara variable lainnya belanja pemerintah G,
pertumbuhan ekonomiPDB GW, inflasi INF stasioner pada tingkat level. Data yang tidak stasioner dapat mengakibatkan regresi lancung spurious
regression apabila diregresi. Untuk menjadikan data yang tidak stasioner
menjadi data stasioner maka melakukan diferensiasi data. Pada tingkat diferensiasi pertama first diffrerence umumnya data sudah stasioner. Berikut
hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat diferensiasi pertama.
Tabel 4.2 Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensiasi Pertama Variabel
Nilai ADF Nilai Kritis Mc Kinnon
Keterangan 1
5 10
G -6.616552
-4.374307 -3.603202
-3.238054 Stasioner
GW -6.494443
-3.711457 -2.981038
-2.629906 Stasioner
INV -4.703183
-3.711457 -2.981038
-2.629906 Stasioner
ER -5.314595
-3.711457 -2.981038
-2.629906 Stasioner
INF -6.284779
-3.724070 -2.986225
-2.632604 Stasioner
TR -6.284779
-3.711457 -2.981038
-2.629906 Stasioner
NE -5.922290
-3.724070 -2.986225
-2.632604 Stasioner
Sumber: data diolah
Berdasarkan hasil uji akar-akar unit pada tabel 4.2, diketahui bahwa seluruh data telah stasioner. Dengan kata lain bahwa seluruh variabel stasioner
pada tingkat diferensiasi pertama first diffrence. Hal itu dapat diketahui karena nilai ADF lebih kecil dari nilai Mc Kinnon.
4.1.2. Uji Lag Optimal
Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunakan dalam model. Penentuan
lag optimal merupakan tahap penting karena variabel independen yang digunakan adalah lag dari variabel dependen dan juga variabel independennya. Selain hal
tersebut penentuan lag optimal penting karena berkaitan dengan keakuratan informasi yang dihasilkan oleh estimasi model VAR. Pengujian panjang lag yang
optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion
AIC, Schwarz Criterion SC dan Hanan-Quinn Criterion
HQ. Tabel 4.3 Hasil Uji Lag Optimal
Lag LR
FPE AIC
SC HQ
NA 0.074544
17.26850 17.60722
17.36604 1
246.3622 4.24e-06
7.350941 10.06069
8.131250 2
61.93655 1.77e-06
5.489577 10.57035
6.952656
Sumber: data diolah
Tabel 4.3 memperlihatkan hasil tingkat lag optimal berdasarkan berbagai kriteria. Dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai SC pada lag 1 merupakan
yang terkecil atau minimum, sehingga lag optimal untuk variabel-variabel yang ingin diestimasi adalah satu.
4.1.3. Uji Stabilitas VAR
Sebelum analisis berupa proses innovation accounting dilaksanakan, dilakukan terlebih dahulu pengujian stabilitas terhadap data. Sistem VAR pada
lag optimal harus stabil. Hal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh model dinamik seperti VAR. Sistem VAR yang tidak stabil akan membuat hasil
Impulse Response Function IRF dan Forecast Error Variance Decomposition
FEVD tidak valid. Uji stabilitas berdasarkan modulus atau unit lingkaran akan diterapkan untuk menentukan apakah sistem VAR tersebut stabil pada lag
optimal. Stabilitas sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar unitnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak didalam unit lingkaran.
Tabel 4.4 Hasil Uji Stabilitas VAR Root
Modulus 0.949791
0.949791 0.674162
– 0.294734i 0.735774
0.674162 + 0.294734i 0.735774
0.679999 0.679999
-0.251726 – 0.260855i
0.362507 -0.251726 + 0.260855i
0.362507 0.143282
0.143282
Sumber: data diolah
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa model VAR yang digunakan dalam penelitian ini stabil pada lag optimalnya, yaitu pada lag satu karena nilai modulus
dari seluruh roots memiliki nilai kurang dari satu. Dengan demikian peramalan menggunakan Impulse Response Function IRF dan Forever Error Variance
Decomposition FEVD yang akan dihasilkan dianggap valid.
4.1.4. Uji Kausalitas Granger
Analisis hubungan kausalitas dari setiap variabel dapat dilihat dari uji kausalitas granger. Dalam penelitian ini, uji kausalitas dilakukan dengan
menggunakan Granger Causality Test dengan hipotesis awal H tidak ada
hubungan kausalitas dan hipotesis alternatifnya H
1
terdapat hubungan kausalitas. Kriteria penolakan H
adalah dengan melihat nilai probabilitas yang lebih kecil dari nilai kritis yang ditantukan. Hasil uji kausalitas granger dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger Variabel Probabilytas does Not Granger Cause
G GW
INV INF
NE ER
TR G
0.8518 0.7565 0.8459 0.0597
0.8034
0.0023
GW
0.0126
0.4144 0.7826 0.7936
0.7283 0.3744 INV
0.2098 0.4285
0.3270 0.0516 0.0716 0.1625
INF
0.00001
0.7325 0.3092 0.5594
0.4215 0.7795 NE
0.0710 0.8714 0.8795
0.8889 0.6334 0.5623
ER 0.2831
1.0000 0.07738 0.8064
0.0013
0.9997 TR
0.0062
0.6903 0.2183 0.8412
0.0019 0.1997
Sumber: data diolah
Hasil Uji kausalitas pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah antara variabel TR dengan variabel G. Hipotesis nol yang menyatakan
bahwa TR tidak mempengaruhi G, ditolak pada tingkat signifikansi lima persen tolak H
, pada α = 5, demikian juga dengan sebaliknya. Hipotesis nol yang
menyatakan bahwa G tidak mempengaruhi TR ditolak pada tingkat signifikasi lima persen. Artinya penerimaan pajak mempengaruhi pengeluaranbelanja
pemerintah, sebaliknya pengeluaran pemerintah mempengaruhi penerimaan pajak. Berdasarkan Tabel 4.5 juga diperoleh beberapa variabel yang memiliki
hubungan satu arah dengan variabel lainnya pada tingkat signifikansi lima persen. Varibel yang memiliki hubungan satu arah tersebut antara lain variabel GW
dengan variabel G, variabel INF dengan variabel G, variabel ER dengan variabel NE, dan variabel TR dengan Variabel NE.
4.1.5. Uji Kointegrasi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR atau VECM adalah semua variabel endogen dan variabel eksogen bersifat stasioner. Apabila variabel
tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel dalam sistem akan
bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang stabil Enders, 1995. Pengujian kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka
panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat
satu I 1. Salah satu cara untuk menguji kointegrasi yaitu dengan menggunakan uji kointegrasi Johansen.
Dalam penelitian ini uji kointegrasinya menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang
digunakan, yaitu lima persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value lima persen maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji
kointegrasi berdasarkan trace test dapat dilihat pada Tabel 4.6 Tabel 4.6 Hasil Uji Kointegrasi
Hyputhesized No.of CE s
Eigenvalue Trace statistic 0.05 Critical Value
Prob. None
0.935471 213.9335
125.6154 0.0000
At most 1 0.914792
142.6769 95.75336
0.0000 At most 2
0.717396 78.64778
69.81889 0.0083
At most 3 0.513988
45.79138 47.85613
0.0772 At most 4
0.470493 27.03182
29.79707 0.1008
At most 5 0.248177
10.50081 15.49471
0.2442
Sumber: data diolah
Jika trace statistic lebih besar dari critical value lima persen,maka persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H
= non kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H
1
= kointegrasi. Jika trace statistic lebih besar dari critical value
lima persen, maka tolak H atau terima H
1
yang artinya terjadi kointegrasi. Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi
dalam penelitian ini. Karena terdapat persamaan yang terkointegrasi maka model yang akan digunakan adalah model Vector Error Correction Model VECM,
4.2 Hasil Estimasi VECM
Dalam penelitian ini diketahui bahwa data tidak stasioner pada tingkat level dan memiliki hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan adalah
VECM. Estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian speed of adjustment
atas ketidakstabilan jangka panjang. Berikut adalah hasil estimasi VECM:
Tabel 4.7. Hasil Estimasi VECM Variabel
Koefisien T-Statistik
Jangka Pendek DG-1
-0.024003 -0.11960
DTR-1 0.615376
1.78643 DINV-1
-0.134906 -1.15844
DER-1 0.232028
0.36084 DNE-1
0.499099 2.45276
DINF-1 0.016210
1.56646 DGW-1
0.131465 3.79761
CointEq1 0.021919
0.30064 CointEq2
0.106968 1.60282
CointEq3 0.196814
3.10773 Jangka Panjang
ER-1 -1.763985
-4.42568 NE-1
-0.951694 -2.05715
INF-1 0.103044
5.24666 GW-1
-0.350687 -5.89491
Catatan: tanda asterik menunjukkan signifikan berdasarkan tabel T-statistik pada taraf nyata 5 persen. Sumber: data diolah
Tabel diatas merupakan rangkuman hasil VECM untuk melihat pengaruh dan signifikansi variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka
pendek, penerimaan pajak, nilai tukar, ekspor bersih, inflasi dan pertumbuhan PDB berpengaruh positif namun tidak semuanya variabel tersebut sigifikan.
Penerimaan pajak, nilai tukar, inflasi memiliki pengaruh positif, namun tidak signifikan. Sedangkan variabel ekspor bersih dan pertumbuhan PDB memiliki
pengaruh positif dan signifikan. Hasil estimasi VECM jangka pendek menunjukkan bahwa variabel
ekspor bersih berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dan signifikan pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,499099. Artinya apabila terjadi kenaikan pada
ekspor bersih sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,499099 persen. Beberapa teori ekonomi
menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output nasional. Pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi akan meningkatkan output
agregat. Peningkatan output agregat ini mengakibatkan penurunan impor dan mendorong peningkatan ekspor, sehingga pendapatan negara meningkat karena
penerimaan negara dari ekspor mengalami peningkatan. Variabel pertumbuhan PDB pada lag pertama signifikan dan berpengaruh
positif terhadap pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek sebesar 0,131465. Artinya apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar satu persen maka akan
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,131465 persen. Hal ini sesuai dengan teori Wagner yang menyatakan bahwa dalam suatu
perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama apabila terjadi kegagalan
pasar. Kegagalan bisa saja terjadi menimpa industri-industri tertentu dari negara tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja berpengaruh ke industri lain
yang saling terkait. Disini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur hubungan antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan, dll.
Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman. Dimana, inti dari teori ini adalah pertumbuhan PDB menyebabkan pemungutan
pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh
karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi
semakin besar. Tabel 4.7 juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat empat
variabel yang signifikan secara statistik pada taraf nyata lima persen terhadap variabel pengeluaran pemerintah. Variabel nilai tukar ER, ekspor bersih NE
dan pertumbuhan PDB GW berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah. Sementara variabel inflasi memiliki pengaruh positif terhadap
pengeluaran pemerintah. Variabel nilai tukar ER berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka
panjang. Variabel nilai tukar pada jangka panjang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen sebesar 1,763985. Artinya apabila terjadi kenaikan nilai tukar
sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar 1,763985 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa
apabila terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS akan berdampak pada penurunan jumlah Rupiah, karena terjadi penurunan pembiayaan barang dan
jasa yang menggunakan valuta asing. Kondisi tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah mengalami penurunan.
Variabel inflasi INF berpengaruh positif dan signifikan dalam jangka panjang dengan koefisien 0,103044. Artinya apabila terjadi kenaikan inflasi
sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,103044 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi. Kenaikan tingkat inflasi akan meyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah. Tingkat inflasi yang
meningkat ditandai dengan kenaikan harga barang dan jasa serta faktor produksi. Oleh karena itu peningkatan tingkat inflasi akan mengakibatkan kenaikan pada
pengeluaran total. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta.
Variabel pertumbuhan PDB GW berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka panjang dengan nilai koefisien sebesar 0,350687. Artinya dalam
jangka panjang apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar 0,350687 persen. Hasil
ini adalah sesuai dengan penelitian Ramayadi 2003 yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dan
mempunyai hubungan dalam jangka panjang. Hipotesis ini juga sesuai dengan teori Keynesian yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang pendapatan
nasional memberikan pengaruh positif terhadap investasi. Peningkatan pendapatan nasional ataupun PDB menyebabkan kenaikan permintaan masyarakat. Untuk
memenuhi peningkatan permintaan masyarakat tersebut maka jumlah produksi akan ditingkatkan, sehingga diperlukan investasi-investasi baru dan terjadi
perluasan kesempatan kerja. Berdasarkan teori Musgrave dan Rostow, perkembangan pengeluaran
pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran yang besar untuk
investasi pemerintah utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, dll. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi
investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi namun diharapkan investasi swasta sudah mulai berkembang, sehingga pengeluaran pemerintah
terhadap investasi pemerintah berkurang. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan utamanya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial dsb. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang peran
investasi swasta akan semakin meningkat namun sebaliknya untuk investasi pemerintah akan semakin menurun sehingga mengakibatkan pengeluaran
pemerintah mengalami penurunan, sementara PDB mengalami kenaikan atau dengan kata lain terjadi pertumbuhan ekonomi.
4.3 Analisis