Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerbitan Obligasi Pemerintah Di Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENERBITAN OBLIGASI PEMERINTAH DI INDONESIA

TESIS

Oleh:

AHMADI SARIP

097018015 / EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENERBITAN OBLIGASI PEMERINTAH DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMADI SARIP

097018015 / EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERBITAN OBLIGASI PEMERINTAH DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Ahmadi Sarip Nomor Pokok : 097018015

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, S.E) (Drs. Rujiman, M.A) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec) (Prof. Dr. Ir. A.Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 September 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, S.E Anggota : 1. Drs. Rujiman, M.A

2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec 3. Dr. Jonni Manurung, MS


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan Tesis yang berjudul :

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerbitan Obligasi Pemerintah Di Indonesia”

Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, September 2011

Yang membuat pernyataan


(6)

ABSTRAK

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan obligasi pemerintah di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari triwulan pertama 2003 sampai dengan triwulan ke-empat 2009. Data diolah dengan menggunakan program E-views 5.1 dengan menggunakan model ekonometrika yaitu Ordinary Least Square.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai R-square sebesar 0.972, yang berarti variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 97.2%, sedangkan sisanya 2.8% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi. F-statistik lebih besar dari F-tabel (202,4315 >4,26), menunjukkan bahwa variabel penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI secara bersama-sama mampu mempengaruhi penerbitan obligasi pemerintah Indonesia, signifikan pada α= 1%.

Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap penerbitan obligasi pemerintah, sedangkan penerimaan negara tahun sebelumnya, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah Indonesia. Semua variabel bebas signifikan secara statistik dan sesuai hipotesis.

Kata kunci: Penerbitan Obligasi Pemerintah, Penerimaan Negara tahun sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah, Suku bunga SBI.


(7)

ABSTRACT

The aim of research is to analyze the factors which influence the issuances of the government bonds in Indonesia. The variables employed in this research are state revenues in previous year, government expenditure, official foreign borrowing and certificate of Bank Indonesia (SBI) rates. Data used for this research is time series data from first quarter 2003 till forth quarter 2009. The data is processed with program E-views 5.1 by using econometric model that is ordinary least square.

The estimation showed R-square is 0.972, it means that the independent

variables are able to explain the dependent variable as much as 97.2%, while the rest 2.8% are explained by variables are not included in estimation model. F-statistic is bigger than F-table (202,4315>4,26), it means that state of revenues in previous year, government expenditure, official foreign borrowing and certificate of Bank Indonesia (SBI) rates, together affected on issuances of government bonds in Indonesia significanty at α= 1%.

The government expenditure have positively influence on issuances of government bond. State revenues in previous year, official foreign borrowing and SBI rates have negatively influence on issuances of government bond. All the independent variables are significant in statistic estimation and according to hypothesis.

Keywords: Issuances of the government bonds, State revenue in previous year, government expenditure, Official foreign borrowing, SBI rates.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerbitan Obligasi Pemerintah di Indonesia”. Tak lupa pula shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa risalah kepada seluruh umat manusia.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis senantiasa mendapat bantuan baik berupa moril maupun materil terutama dari Ayahanda Panusunan Harahap dan Ibunda Tiraiya Siregar, serta saudara-saudaraku: Kak Armadani Harahap, Am.Keb., Abang Ahmad Parulian Harahap, SH., Kak Masdalipa Harahap, S.Pd., dan Adikku Surya Rahmat Harahap yang selalu memberikan dukungan, semangat dan do’a.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA(K)., selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec., selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Bapak Drs. Rujiman, M.A., selaku Pembimbing yang telah banyak membantu dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec., Dr. Jonni Manurung, MS., Wahyu Ario Pratomo, S.E., M.Ec., selaku dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan masukan atas penyempurnaan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas segala bantuan yang diberikan dan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, September 2011 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ahmadi Sarip

Agama : Islam

Tempat/Tanggal Lahir : Napahalas /19 Juni 1988 Jenis Kelamin : Laki-laki

Warga Negara : Indonesia

Alamat : Jl. Jamin Ginting, No. 24 Medan E-mail : ahmadisarip@yahoo.co.id

Status Perkawinan : Belum Menikah Nama Orang Tua

Ayah : Panusunan Harahap

Ibu : Tiraiya Siregar

Pendidikan

2009 – 2011 : S2 Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

2006 – 2009 : S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

2003 – 2006 : SMA Negeri 2 Padangsidimpuan 2000 – 2003 : SMP Negeri 1 Gunung Tua 1994 – 2000 : SD Negeri No. 147586 Napahalas


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP...v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………...………..………...1

1.2 Perumusan Masalah ...8

1.3 Tujuan Penelitian ...9

1.4 Manfaat Penelitian ...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Obligasi ...10

2.1.2 Peringkat Obligasi ...12

2.1.3 Obligasi Pemerintah Indonesia ...13


(12)

2.2 Penerimaan Negara

2.2.1 Penerimaan Perpajakan ...18

2.2.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak ...21

2.2.3 Hibah ...21

2.2.4 Pengaruh Penerimaan Negara Tahun sebelumnya Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah ...22

2.3 Pengeluaran Pemerintah 2.3.1 Pengeluaran Rutin ...22

2.3.2 Pengeluaran Pembangunan ...24

2.3.3 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah ... 25

2.3.4 Teori Pengeluaran Pemerintah ...27

2.3.5 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah ...31

2.4 Pinjaman Luar Negeri Pemerintah 2.4.1 Karakteristik Pinjaman Luar Negeri ...33

2.4.2 Prinsip Dasar Penerimaan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah ...36

2.4.3 Peranan Pinjaman Luar Negeri Dalam APBN...37

2.4.4 Pengaruh Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah ...38

2.5 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 2.5.1 Pengertian Suku Bunga...39

2.5.2 Pengertian dan Sejarah Penerbitan SBI ...40

2.5.3 Pihak yang Berhak Memiliki SBI ...41

2.5.4 Pengaruh Suku Bunga SBI Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah ...42

2.6 Penelitian Sebelumnya ...42


(13)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian...47

3.2 Jenis dan Sumber Data ...47

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data...48

3.4 Pengolahan Data...48

3.5 Model Analisis Data...48

3.6 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ... 49

a. Koefisien Determinasi (R2) ... 49

b. Uji t-statistik...49

c. Uji F-statistik...50

3.7 Uji Asumsi Klasik ...50

3.7.1 Multikolinearitas ...51

3.7.2 Autokorelasi... 51

3.7.3 Normalitas... 52

3.8 Definisi Operasional...53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian ...54

4.1.1 Perkembangan Keuangan Pemerintah ...54

4.1.2 Perkembangan Penerbitan Obligasi Pemerintah ...57

4.1.3 Perkembangan Penerimaan Negara ...61

4.1.4 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah...65

4.1.5 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah ...68

4.1.6 Perkembangan suku bunga SBI ...71

4.2 Uji Statistik Hasil Model Estimasi...74

4.2.1 Uji Kesesuaian ...75

4.2.2 Uji Asumsi Klasik ...80


(14)

4.2.2.3 Normalitas...81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...82 5.2 Saran...83


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1.1 Penerimaan Pemerintah...2

1.2 Penerbitan Obligasi Pemerintah...4

1.3 Pinjaman Luar Negeri Pemerintah ...5

1.4 Pengeluaran Pemerintah...6

1.5 Suku bunga SBI ...7

4.1 Perkembangan Penerbitan Obligasi Pemerintah ...58

4.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah ...62

4.3 Perkembangan Pengeluaran Negara...66

4.4 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah ...69

4.5 Perkembangan suku bunga SBI ...71

4.6 Hasil Estimasi Model Penelitian ...74

4.7 Nilai Koefisien Determinasi (R2 ) ...80


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ...30

2.2 Proses Pembelian SBI ...41

2.3 Kerangka Konseptual ...45

4.1 Perkembangan Penerbitan Obligasi Pemerintah ...61

4.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah ...65

4.3 Perkembangan Pengeluaran Negara...68

4.4 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah ...70


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Hasil Estimasi OLS ...88

2 Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas...89

3 Hasil Estimasi Uji Autokorelasi dengan LM Test...91


(18)

DAFTAR SINGKATAN

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BI : Bank Indonesia

BLBI : Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BPS : Badan Pusat Statistik

GE : Government Expenditure

LTBI : Laporan Tahunan Bank Indonesia OLS : Ordinary Least Square

PDB : Produk Domestik Bruto

POP : Penerbitan Obligasi Pemerintah PN : Penerimaan Negara

PLNP : Pinjaman Luar Negeri Pemerintah RDG : Rapat Dewan Gubernur

SBI : Sertifikat Bank Indonesia

SEKI : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia SUN : Surat Utang Negara


(19)

ABSTRAK

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan obligasi pemerintah di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari triwulan pertama 2003 sampai dengan triwulan ke-empat 2009. Data diolah dengan menggunakan program E-views 5.1 dengan menggunakan model ekonometrika yaitu Ordinary Least Square.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai R-square sebesar 0.972, yang berarti variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 97.2%, sedangkan sisanya 2.8% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model estimasi. F-statistik lebih besar dari F-tabel (202,4315 >4,26), menunjukkan bahwa variabel penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI secara bersama-sama mampu mempengaruhi penerbitan obligasi pemerintah Indonesia, signifikan pada α= 1%.

Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap penerbitan obligasi pemerintah, sedangkan penerimaan negara tahun sebelumnya, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah Indonesia. Semua variabel bebas signifikan secara statistik dan sesuai hipotesis.

Kata kunci: Penerbitan Obligasi Pemerintah, Penerimaan Negara tahun sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah, Suku bunga SBI.


(20)

ABSTRACT

The aim of research is to analyze the factors which influence the issuances of the government bonds in Indonesia. The variables employed in this research are state revenues in previous year, government expenditure, official foreign borrowing and certificate of Bank Indonesia (SBI) rates. Data used for this research is time series data from first quarter 2003 till forth quarter 2009. The data is processed with program E-views 5.1 by using econometric model that is ordinary least square.

The estimation showed R-square is 0.972, it means that the independent

variables are able to explain the dependent variable as much as 97.2%, while the rest 2.8% are explained by variables are not included in estimation model. F-statistic is bigger than F-table (202,4315>4,26), it means that state of revenues in previous year, government expenditure, official foreign borrowing and certificate of Bank Indonesia (SBI) rates, together affected on issuances of government bonds in Indonesia significanty at α= 1%.

The government expenditure have positively influence on issuances of government bond. State revenues in previous year, official foreign borrowing and SBI rates have negatively influence on issuances of government bond. All the independent variables are significant in statistic estimation and according to hypothesis.

Keywords: Issuances of the government bonds, State revenue in previous year, government expenditure, Official foreign borrowing, SBI rates.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit utang yang berat untuk membiayai perekonomian. Bersamaan dengan itu muncul masalah kewajiban pembayaran cicilan hutang luar negeri dan bunganya yang mengakibatkan merosotnya sumber-sumber ekonomi Indonesia, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan.

Pemerintah sebagai pembuat anggaran negara, baik penerimaan maupun pengeluarannya tersusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam penyusunannya sebelum krisis menggunakan anggaran berimbang. Artinya, penerimaan negara harus sama dengan pengeluaran walaupun dalam kenyataannya tidak pernah ada karena dalam pembiayaan pembangunan nasional pemerintah juga mengandalkan pinjaman luar negeri. Pascakrisis, pemerintah menggunakan penyusunan anggaran yang tidak berimbang sehingga dalam penyusunannya bisa terjadi surplus atau defisit APBN.

Di dalam perhitungan defisit atau surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perlu diperhatikan kategori penerimaan dan pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai


(22)

menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (Hanni,2006).

Tabel 1.1. Penerimaan Pemerintah dari tahun 2005 sampai tahun 2009 (triliun rupiah)

Triwulan Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

I 115,229 149,435 170,243 204,913 214,323

II 120,984 159,664 172,429 217,469 221,148

III 126,738 169,893 174,615 230,026 215,175

IV 132,493 180,123 176,801 242,582 242,316

Sumber: Bank Indonesia (2005-2009)

Dari tabel 1.1 diatas terlihat bahwa penerimaan Pemerintah dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Namun pada triwulan I bulan Maret 2007 penerimaan Pemerintah sebesar Rp.170,243 triliun. Penerimaan Pemerintah ini mengalami penurunan dibanding dengan triwulan IV bulan Desember 2006 yang sudah mencapai Rp.180,123 triliun. Penerimaan Pemerintah pada triwulan I bulan


(23)

Desember 2008 yaitu dari Rp.242,582 triliun turun menjadi Rp.214,323 triliun. Pada triwulan II bulan Juni 2009, penerimaan pemerintah ini sempat mengalami peningkatan akan tetapi pada triwulan III bulan September 2009 turun lagi. Akan tetapi kondisi ini berangsur-angsur pulih sehingga pada triwulan IV bulan Desember 2009, penerimaan Pemerintah berjumlah Rp.242,316 triliun.

Pascakrisis, pemerintah mengeluarkan obligasi untuk membiayai defisit dalam APBN. Penerbitan obligasi ini dimulai untuk memenuhi kebutuhan rekapitalisasi perbankan sebagai akibat dari krisis. Kemudian penerbitan obligasi dilanjutkan untuk menutupi defisit secara umum dan tidak terbatas pada pembiayaan perbankan.

Obligasi yang diterbitkan pemerintah selama triwulan I pada bulan Maret 2005 yaitu sebesar Rp.10,43 triliun. Pada triwulan II bulan Juni 2005 obligasi yang diterbitkan pemerintah mengalami kenaikan menjadi Rp.11,37 triliun. Sedangkan pada triwulan III bulan September 2005 penerbitan obligasi ini terus mengalami kenaikan menjadi Rp.12,31 triliun. Dan pada triwulan IV bulan Desember obligasi yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp.13,25 triliun. Untuk lebih jelasnya, obligasi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia selama tahun 2005-2009 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(24)

Tabel 1.2. Penerbitan Obligasi Pemerintah dari tahun 2005 sampai tahun 2009 (triliun rupiah)

Triwulan Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

I 10,43 13,98 23,98 30,68 28,93

II 11,37 14,83 27,47 31,27 38,02

III 12,31 15,69 30,96 31,85 32,17 IV 13,25 16,54 34,45 32,44 32,94

Sumber: Bank Indonesia (2005-2009)

Pada triwulan I bulan Maret 2008, obligasi yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp.30,68 triliun. Penerbitan Obligasi ini mengalami penurunan dibanding dengan triwulan IV bulan Desember 2007 yang berjumlah Rp.34,45 triliun. Dan pada triwulan I bulan Maret 2009 obligasi yang diterbitkan pemerintah mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp.32,44 triliun menjadi Rp.28,93 triliun. Sedangkan obligasi terendah yang diterbitkan oleh pemerintah terjadi pada triwulan I bulan Maret 2005 yaitu sebesar Rp.10,43 triliun. Penerbitan obligasi tertinggi terjadi pada triwulan II bulan Juni 2009 yaitu sebesar Rp.38,02 triliun.

Dalam hal jika terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan atau non-perbankan yang mencakup penerbitan


(25)

(privatisasi). Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi pemerintah merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan. Hal yang paling penting diperhatikan dalam penerbitan obligasi adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable). Adapun jumlah pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia selama tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Tabel 1.3. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dari tahun 2005 sampai tahun 2009 (triliun rupiah)

Triwulan Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

I 195,03 180,63 181,63 207,98 210,46

II 196,02 174,18 185,09 215,95 223,84

III 197,36 167,72 190,18 223,93 246,25

IV 198,52 161,26 194,45 231,09 241,18

Sumber: Bank Indonesia (2005-2009)

Dalam jangka pendek pinjaman luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Sehingga laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.


(26)

Pada tabel 1.4 dibawah ini terlihat bahwa pengeluaran pemerintah cenderung mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena banyaknya pengeluaran yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pengeluaran-pengeluaran tersebut dibagi kedalam tiga pos utama yaitu: pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa, pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai serta pengeluaran pemerintah untuk pembayaran transfer.

Tabel 1.4. Pengeluaran Pemerintah dari tahun 2005 sampai tahun 2009 (triliun rupiah)

Triwulan Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

I 119,645 156,992 183,099 204,082 223,627

II 124,785 168,847 186,428 210,477 246,865

III 129,925 180,702 189,758 216,873 247,877

IV 135,065 192,557 193,088 223,268 256,319

Sumber: Bank Indonesia (2005-2009)

Penerbitan obligasi jangka pendek dengan masa jatuh tempo kurang dari satu tahun dapat menggantikan SBI untuk kebijaksanaan moneter. Selama ini kebijaksanaan moneter BI mengandalkan SBI yang biayanya cukup besar. Namun dana SBI ini tidak dapat dipergunakan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan SBI tidak diperdagangkan dalam pasar sekunder (Arief,2004).


(27)

Tabel 1.5. Suku bunga SBI dari tahun 2005 sampai tahun 2009 (persen)

Triwulan Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

I 11,50 12,75 9,00 8,00 7,75

II 8,25 12,50 8,50 8,50 7,00

III 10,00 11,25 8,25 9,25 6,50

IV 12,75 9,75 8,00 9,25 6,50

Sumber: www.bi.go.id

Suku bunga SBI pada triwulan IV bulan Desember 2005 yaitu sebesar 12,75%. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan arah kebijakan moneter ketat yang merupakan cerminan komitmen BI dalam mengendalikan tekanan inflasi yang masih relatif tinggi. Terkait dengan itu, Bank Indonesia memutuskan untuk menetapkan suku bunga SBI sebesar 12,75 %. Sedangkan suku bunga SBI terendah adalah sebesar 6,50% pada tahun 2009. Dewan Gubernur Bank Indonesia memandang bahwa pelonggaran kebijakan moneter tersebut melalui penurunan suku bunga SBI menjadi 6,50% cukup kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan intermediasi perbankan. Suku bunga SBI sebesar 6,50% tersebut juga dipandang konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi pada tahun 2010.


(28)

Berdasarkan uraian diatas, maka menurut penulis hal ini merupakan suatu fenomena sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerbitan Obligasi Pemerintah di Indonesia”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh penerimaan negara tahun sebelumnya terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh pengeluaran Pemerintah terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia?

3. Bagaimana pengaruh pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia?

4. Bagaimana pengaruh Suku bunga Bank Indonesia (SBI) terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia?


(29)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh penerimaan negara tahun sebelumnya terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia. 

2. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran Pemerintah terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia. 

3. Untuk menganalisis pengaruh pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia. 

4. Untuk menganalisis pengaruh Suku bunga Bank Indonesia (SBI) terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia. 

 

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai tambahan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan penulis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan obligasi pemerintah di Indonesia.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan penganggaran.

3. Sebagai bahan  referensi bagi peneliti lainnya yang berminat dengan pembahasan penerbitan obligasi pemerintah.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Obligasi

Secara umum, obligasi merupakan surat pengakuan utang jangka menengah dan jangka panjang yang diterbitkan oleh pihak penerbit (pemerintah maupun swasta) dengan memberi imbalan berupa bunga (kupon) secara periodik dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Jadi surat obligasi adalah selembar kertas yang menyatakan bahwa pemilik kertas tersebut memberikan pinjaman kepada pihak yang menerbitkan obligasi (Tandelilin,2001). Obligasi (bond) adalah sertifikat utang yang menjelaskan kewajiban-kewajiban dari emiten (penerbit obligasi) kepada pemegang obligasi (Mankiw,2003). Obligasi merupakan sekuritas utang dengan pendapatan tetap karena menjanjikan pendapatan yang tetap atau pendapatan yang telah ditentukan sebelumnya dengan menggunakan rumus tertentu. Sekuritas utang merupakan pernyataan hak/klaim atas sejumlah pendapatan rutin pada suatu waktu tertentu. Kalau seseorang memiliki obligasi, maka secara periodik akan mendapatkan penghasilan yaitu berupa kupon obligasi (yield) yang dibayarkan dengan jumlah tetap pada waktu yang telah ditetapkan misalnya setiap 3 bulan, 6 bulan maupun setahun sekali.


(31)

Istilah-istilah penting dalam sekuritas utang obligasi antara lain (Tandelilin,2001):

1. Face value atau nilai pari, menunjukkan besarnya nilai obligasi yang

dikeluarkan.

2. Kupon atau bunga, merupakan pendapatan (yield) yang diperoleh pemegang obligasi yang periode waktu pembayarannya berbeda-beda.

3. Jatuh tempo, merupakan tanggal ditetapkannya emiten obligasi harus membayar kembali uang yang telah dikeluarkan investor pada saat membeli obligasi. Jumlah uang yang harus dibayar yaitu besarnya nilai pari beserta bunga (kupon) yang telah ditetapkan. Biasanya tanggal jatuh tempo tertera pada sertifikat obligasi.

4. Nilai intrinsik, merupakan nilai teoritis dari suatu obligasi yang diperoleh dari hasil estimasi nilai saat ini (present value) dari semua aliran kas obligasi di masa yang akan datang.

n n t t

i

Po

i

Ct

P

)

1

(

)

1

(

1

 dimana:

P = Harga pasar obligasi Po = Harga nominal /face value

Ct = Nilai rupiah coupon rate setiap periode


(32)

2.1.2 Peringkat Obligasi

Pada tahun 1909 John Moody memperkenalkan peringkat obligasi. Peringkat obligasi mencakup penilaian atas risiko obligasi yang mungkin timbul kemudian. Peringkat obligasi dipengaruhi oleh (Rahardjo,2003):

1. Proporsi modal terhadap hutang

2. Tingkat profitabilitas perusahaan atau pihak yang menerbitkan obligasi 3. Tingkat kepastian dalam menghasilkan pendapatan

4. Besar kecilnya perusahaan atau pihak yang menerbitkan obligasi

5. Jumlah pinjaman subordinasi yang dikeluarkan perusahaan atau pihak yang menerbitkan obligasi.

Peringkat obligasi menurut Moody’s standard and poor’s :

 AAA merupakan ranking tertinggi dari standard and poor’s dan menunjukkan kemampuan yang sangat kuat dalam membayar pokok dan bunga.

 AA merupakan obligasi yang dikualifikasikan sebagai obligasi berkualitas tinggi, dengan perbedaan kecil dari AAA.

 A merupakan obligasi yang memiliki kemampuan kuat untuk membayar pokok dan bunga walaupun lebih rentan terhadap efek merugi dari perubahan situasi dan kondisi perekonomian.


(33)

parameter perlindungan yang memadai, namun kondisi perekonomian yang merugi atau perubahan keadaan biasanya dapat melemahkan kemampuan membayar pokok dan bunga obligasi.

 BB merupakan obligasi yang dianggap mampu membayar pokok dan bunga obligasi, walaupun parameter perlindungan yang cukup memadai.

 B merupakan obligasi yang dianggap mampu membayar pokok dan bunga obligasi, namun kemampuannya sangat spekulatif dan rentan terhadap perubahan kondisi perekonomian.

 CCC, CC, C, D merupakan obligasi yang secara berturut-turut semakin rapuh kemampuannya untuk membayar pokok dan bunga obligasi, bahkan ada potensi untuk tidak membayar bunga atau bahkan pembayaran bunga maupun pokok mengalami kemacetan.

2.1.3 Obligasi Pemerintah Indonesia

Obligasi pemerintah sering disebut dengan Surat Utang Negara (SUN). Surat utang negara menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 merupakan surat berharga yang merupakan surat pengakuan hutang dalam mata uang rupiah dan valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya atau masa jatuh tempo.

Tujuan penerbitan surat utang negara adalah : 1. Membiayai defisit APBN


(34)

Menurut denominasi mata uangnya, obligasi negara yang diterbitkan pemerintah dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok (Rahardjo,2003):

1. Obligasi Negara Berdenominasi Rupiah

Obligasi negara denominasi rupiah dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu : a. Obligasi berbunga tetap (Fixed Rate bonds-FR)

Obligasi jenis ini memiliki tingkat kupon yang ditetapkan pada saat penerbitan dan dibayarkan secara periodik setiap 6 (enam) bulan. Obligasi jenis FR dapat diperdagangkan dan dipindahtangankan kepemilikannya di pasar sekunder.

b. Obligasi berbunga mengambang (Variable Rate bonds – VR)

Obligasi berbunga mengambang memiliki tingkat kupon yang ditetapkan secara periodik berdasarkan referensi tertentu. Dalam hal ini referensi yang digunakan ialah tingkat bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) berjangka 3 bulan. Kupon dibayarkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan. Obligasi jenis VR dapat diperdagangkan dan dipindahtangankan kepemilikannya di pasar sekunder.

c. Obligasi lindung nilai (Hedge Bonds – HB)

Obligasi lindung nilai (HB) diterbitkan untuk menutup Net Open Position

(NOP) beberapa bank, saat bank-bank tersebut dalam proses rekapitalisasi perbankan. Secara umum NOP ialah suatu ukuran yang membandingkan antara aktiva valas dengan kewajiban valas perbankan. Semakin besar selisih antara aktiva valas dengan kewajiban valas, akan menyebabkan semakin meningkatnya NOP sehingga semakin


(35)

obligasi jenis hedge bonds diterbitkan dalam denominasi Rupiah dengan memperhatikan NOP bank rekap pada saat pelaksanaan rekapitalisasi. Pada saat jatuh tempo pembayaran baik pokok maupun kupon, nilai nominalnya akan disesuaikan terlebih dahulu terhadap nilai tukar Rp/USD yang berlaku. Apabila nilai tukar Rupiah terhadap USD pada saat jatuh tempo pembayaran melemah dibanding nilai tukar pada saat penerbitan, maka nilai nominal HB setelah indeksasi akan meningkat sehingga meningkatkan jumlah pembayaran pokok dan bunga yang jatuh tempo dan sebaliknya. Tingkat kupon HB ditetapkan secara periodik berdasarkan referensi tertentu yaitu SIBOR + margin 2%. Kupon dibayarkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali. Obligasi jenis HB ini tidak dapat diperdagangkan.

d. Surat Utang kepada BI (SU)

Dalam rangka program penjaminan perbankan dan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) pada tahun 1998 dan 1999 Pemerintah menerbitkan empat seri SU, yaitu SU-001, SU-002, SU-003 dan SU-004. SU-001 dan SU-003 merupakan SU yang diterbitkan dalam rangka BLBI yang dikucurkan oleh Bank Indonesia saat krisis moneter tahun 1998/1999. SU-002 merupakan penyertaan modal negara pada Bank Ekspor Impor Indonesia. Sementara SU-004 merupakan surat utang yang diterbitkan dalam rangka program penjaminan Pemerintah. Sesuai dengan terms & conditions

awalnya, Obligasi jenis ini memiliki tingkat bunga tetap sebesar 3% yang diperhitungkan atas pokok yang diindeks berdasarkan inflasi. Kupon dibayarkan secara periodik setiap 6 (enam) bulan sekali. Sementara pokok utang diamortisasi


(36)

diindeks. Pembayaran cicilan pokok dilakukan bersamaan dengan pembayaran bunga dan dimulai setelah masa tenggang (grace period) berakhir.

e. SRBI (Special Rate Bank Indonesia)

SRBI, yang lengkapnya SRBI-01/MK/2003 adalah surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah pada tanggal 7 Agustus 2003 sebagai pengganti SU-001 dan SU- 003, dalam rangka penyelesaian bantuan likuiditas BI. Pelunasan SRBI akan bersumber dari surplus Bank Indonesia yang menjadi bagian Pemerintah dan akan dilakukan apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter BI telah mencapai diatas 10%. Dalam hal rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia kurang dari 3%, maka Pemerintah akan membayar charge kepada Bank Indonesia sebesar kekurangan dana yang diperlukan untuk mencapai rasio modal tersebut.

2. Obligasi Negara Berdenominasi Mata Uang Asing

Pada tanggal 10 Maret 2004, Pemerintah menerbitkan ON berdenominasi USD (Dollar Amerika) yang selanjutnya disebut RI0014, dengan nominal penerbitan sebesar USD1.000.000.000,00. Obligasi ini jatuh tempo pada tanggal 10 Maret 2014 dengan tingkat kupon tetap sebesar 6,75% setahun, yang dibayar secara periodik dua kali setahun (semiannual). Obligasi RI0014 dapat diperdagangkan dan dipindahtangankan kepemilikannya di pasar sekunder.


(37)

2.1.4 Mekanisme Penerbitan Surat Utang Negara

Pada dasarnya SUN dapat diterbitkan dengan dua cara yaitu melalui lelang atau tanpa lelang (Rahardjo,2003).

Penerbitan yang dilakukan melalui lelang memiliki beberapa metode yaitu: 1. Lelang dengan metode harga beragam (multiple price)

2. Lelang dengan metode harga seragam (uniform price)

Pada lelang dengan metode harga beragam, pemenang lelang membayar kepada Pemerintah sesuai harga penawarannya masing-masing. Sementara untuk lelang dengan metode harga seragam, seluruh pemenang lelang membayar pada harga yang sama, yang dapat ditetapkan atas dasar harga terendah dari penawaran yang dimenangkan.

Untuk penerbitan tanpa lelang, metode yang dipakai Pemerintah ialah:

a) Bookbuilding, ialah proses pengumpulan dan pemutakhiran data pemesanan

pembelian pada volume dan harga tertentu oleh investor, atas surat utang yang ditawarkan. Proses pemesanan ini berlangsung selama periode tertentu (masa penawaran) dimana dalam masa tersebut pemesan/investor dapat mengubah baik volume maupun harga surat utang yang akan dibeli, sesuai dengan perkembangan terakhir. Setelah masa penawaran berakhir, Pemerintah beserta agen penjual akan menentukan harga akhir yang optimal dan melakukan penjatahan/alokasi perolehan atas surat utang yang ditawarkan.


(38)

b) Private placement, yaitu Pemerintah melakukan penempatan langsung kepada investor tertentu sesuai kesepakatan. Terbitnya SUN pada saat rekapitalisasi perbankan dahulu dan penerbitan obligasi Negara baru pengganti HB yang jatuh tempo merupakan contoh penerbitan SUN tanpa lelang dengan metode private placement.

2.2 Penerimaan Negara / Penerimaan Pemerintah

Penerimaan Pemerintah terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, penerimaan luar negeri Pemerintah dan hibah.

Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas (Dumairy,1997): 2.2.1 Penerimaan Perpajakan

Penerimaan perpajakan dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu : a. Pajak Penghasilan (PPh)

Pemungutan pajak penghasilan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994 tentang pajak penghasilan. Pajak penghasilan merupakan biaya atau tarif yang ditetapkan sesuai dengan besarnya penghasilan seseorang.

b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

PPN merupakan tarif yang dikenakan atas nilai tambah barang dan jasa, sedangkan PPnBM merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang-barang mewah


(39)

c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak bumi dan bangunan merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang didirikan di atasnya. Hasil pungutan tersebut, 90 persen dikembalikan kepada daerah setempat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tingkat I 16,2 persen, dan APBD tingkat II 64,8 persen. Sisanya 9 persen digunakan untuk upah atau biaya pungut, sedangkan 10 persen lagi digunakan untuk Pemerintah pusat. Sejak tahun 1994 dana yang ke Pemerintah pusat dialokasikan kembali kepada daerah dengan perincian 65 persen dibagikan secara merata kepada daerah tingkat II, sisanya 35 persen dialokasikan sebagai insentif kepada daerah tingkat II yang realisasi penerimaan PBB tahun anggaran sebelumnya berhasil mencapai atau melampaui penerimaan yang telah ditetapkan.

d. Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)

BPHTB merupakan jenis penerimaan pajak yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Pemungutan pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB.

e. Pajak lainnya

Pajak lainnya terdiri dari bea meterai dan cukai. Bea meterai merupakan tarif yang dikenakan atas dokumen-dokumen terutang dan tidak terutang. Ketentuan mengenai bea meterai tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 182/KMK.04/1995 tanggal satu mei 1995. Cukai merupakan pungutan atas barang


(40)

kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir.

f. Cukai

Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi kas negara (fungsi budgeter), tetapi juga bertujuan sebagai alat pengatur dalam rangka perlindungan bagi masyarakat. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai. Dasar perhitungan besarnya tarif cukai tergantung kepada jumlah barang kena cukai, tarif dan harga dasar. Tetapi dalam kasus tertentu dikenankan pembebasan cukai terhadap keperluan tertentu seperti untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pencegahan pencemaran lingkungan, serta pengembalian cukai apabila barang itu diekspor.

g. Bea masuk

Bea masuk merupakan tarif yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Selain sebagai penerimaan negara, bea masuk juga bertujuan untuk memproteksi produksi dalam negeri.

h. Tarif eksport

Tarif atau pajak ekspor merupakan tarif atas beberapa komoditi yang akan diekspor, seperti yang tertera dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 241 tahun 1998 tentang penetapan besarnya tarif dan tatacara pembayaran dan penyetoran pajak


(41)

2.2.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak

Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), menurut Undang-Undang Nomor 20 pasal 1 ayat 1 tahun 1997 merupakan seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

PNBP dalam UU No. 20 Tahun 1997 meliputi :

a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam

c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi

f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri. 2.2.3 Hibah

Hibah adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau non devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau dalam bentuk jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali (Arief,2004).


(42)

2.2.4 Pengaruh Penerimaan Negara Tahun Sebelumnya Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah

Penerimaan Pemerintah baik dari dalam maupun luar negeri sangat penting bagi keberhasilan proses pembangunan nasional. Hal ini disebabkan penerimaan Pemerintah terutama dari dalam negeri yaitu dari pajak dan non-pajak maupun migas dan nonmigas adalah untuk menutup pengeluaran rutin Pemerintah. Dan kalau ada sisanya dijadikan sebagai tabungan pemerintah setelah ditambah dengan pinjaman luar negeri yang dimanfaatkan untuk mendanai pembangunan. Apabila penerimaan pemerintah ini cukup besar untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran rutin, maka obligasi ataupun surat utang negara yang diterbitkan akan berkurang (Dumairy,1997). Dari pernyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh penerimaan negara tahun sebelumnnya terhadap penerbitan obligasi pemerintah adalah negatif.

2.3 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran Pemerintah adalah sejumlah anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, baik dalam bentuk pengeluaran rutin dan pengeluaran untuk pembiayaan pembangunan dalam satu tahun (Djunasien dan Hidayat,1999).

2.3.1 Pengeluaran Rutin


(43)

lainnya. Melalui pengeluaran rutin, Pemerintah dapat menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan Pemerintah, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara, pemenuhan kewajiban kepada luar negeri, perlindungan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu serta menjaga stabilitas perekonomian (Djunasien dan Hidayat,1999).

Besarnya pengeluaran rutin dipengaruhi oleh berbagai langkah kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam rangka pengelolaan keuangan negara dan stabilitas perekonomian seperti perbaikan pendapatan aparatur Pemerintah, penghematan pembayaran bunga utang dan pengalihan subsidi agar lebih tepat sasaran. Kenaikan pengeluaran Pemerintah terutama dari pos belanja pegawai yang dialokasikan untuk menaikkan gaji pegawai dan pensiunan. Selain itu lonjakan pengeluaran Pemerintah terjadi pada pos pembayaran bunga utang luar negeri dan dalam negeri. Perbedaan karakteristik yang paling mendasar antara pinjaman dari dalam dan luar negeri yaitu pada implikasi disaat pengembalian (amortisasi).

Dalam kasus pinjaman dalam negeri, pembayaran bunga utang oleh Pemerintah akan kembali dinikmati oleh masyarakat Indonesia karena terjadi transfer pendapatan dari kelompok masyarakat yang menjadi kreditur. Dampak dari aliran dana ini masih berputar di dalam negeri karena masing-masing pihak adalah warga negara Indonesia. Sedangkan dalam kasus pinjaman luar negeri, terjadi aliran dampak ekonomi (multiplier effect) yang berbeda. Pihak-pihak yang menerima pengembalian pinjaman adalah kreditur di luar negeri (Mangkoesoebroto,2001).


(44)

Jumlah utang luar negeri yang semakin besar menyebabkan anggaran yang digunakan untuk membayar bunga utang juga semakin meningkat. Meningkatnya jumlah pembayaran bunga utang tersebut selain disebabkan oleh membengkaknya jumlah utang jatuh tempo juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Selain itu pengeluaran untuk subsidi yang berperan cukup besar adalah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi ini muncul pada tahun 1997/1998 sebagai akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar dunia menyebabkan meningkatnya biaya pengadaan BBM hingga melebihi hasil penjualan BBM itu sendiri, akibatnya pemerintah terpaksa memberikan subsidi terutama terhadap minyak tanah dan solar.

2.3.2 Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum, baik pembangunan secara fisik maupun non fisik. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kaitannya dengan pengelolaan APBN secara keseluruhan dengan keterbatasan sumber pembiayaan yang tersedia, maka pencapaian sasaran-sasaran pembangunan harus dilakukan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut, formulasi distribusi alokasi dan penentuan besarnya pengeluaran memegang peranan


(45)

Pengelolaan anggaran pembangunan juga harus tetap ditempatkan sebagai bagian yang utuh dari upaya menciptakan APBN yang sehat, melalui upaya mengurangi secara bertahap peran pembiayaan yang bersumber dari luar negeri tanpa mengurangi upaya menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan. Pembiayaan pembangunan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dan pinjaman program. Pengelolaan dana tersebut akan dialokasikan kepada departemen di tingkat pusat termasuk Departemen Hankam dan pemerintah daerah yang diklasifikasikan kedalam dana pembangunan yang dikelola daerah (Djamin,1993).

Dalam kebijakan penyusunan APBN dikenal beberapa kebijakan anggaran yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggaran defisit. Dalam pengertian umum, anggaran berimbang adalah suatu kondisi dimana penerimaan sama dengan pengeluaran (G=T). Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan (G<T), sedangkan anggaran defisit adalah anggaran dimana pengeluaran lebih besar dari penerimaan (G>T). Anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah inflasi, sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

2.3.3 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah dapat dibedakan (Djamin,1993):

a. Pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya, artinya pengeluaran Pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Misalnya, pengeluaran untuk jasa perusahaan


(46)

b. Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan ekonomis bagi masyarakat, yang dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak akan menaikkan penerimaan Pemerintah. Misalnya untuk bidang pengairan, pertanian, pendidikan dan kesehatan masyarakat (pubic health).

c. Pengeluaran yang tidak self liquiditing dan tidak produktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya untuk bidang rekreasi, pendirian monument, objek-objek pariwisata dan sebagainya.

Ada tiga pos utama pada sisi pengeluaran Pemerintah, yaitu : 1. Pengeluaran Pemerintah untuk pembelian barang dan jasa 2. Pengeluaran Pemerintah untuk gaji pegawai

3. Pengeluaran Pemerintah untuk pembayaran transfer (transfer payment).

Pembayaran transfer Pemerintah adalah pembayaran Pemerintah kepada individu yang tidak dipakai untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai imbalannya. Pengeluaran Pemerintah berupa pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat. Pemerintah mampu mempengaruhi tingkat pendapatan keseimbangan menurut dua cara yang terpisah. Pertama, pembelian Pemerintah atas barang dan jasa merupakan komponen dari permintaan agregat. Kedua, pajak dan transfer payment mempengaruhi hubungan antara output dan pendapatan disposibel (pendapatan bersih yang siap untuk dikonsumsi atau ditabung)


(47)

Perubahan dalam pengeluaran Pemerintah dan pajak akan mempengaruhi tingkat pendapatan. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa kebijakan fiskal dapat digunakan untuk menstabilkan perekonomian. Jika perekonomian berada dalam keadaan resesi, pajak harus dikurangi dan pengeluaran ditingkatkan untuk meningkatkan output. Jika sedang dalam masa makmur (booming), pajak harus ditingkatkan dan pengeluaran Pemerintah dikurangi agar kembali ke penggunaan tenaga kerja penuh.

2.3.4 Teori Pengeluaran Pemerintah a) Pengeluaran Pemerintah Versi Keynes

Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C + I + G merupakan pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan Pemerintah dalam perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional. Y merupakan pendapatan nasional, C merupakan pengeluaran konsumsi, dan G merupakan Pengeluaran Pemerintah. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi Pengeluaran Pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Dumairy,1997).

Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan jumlah pengeluaran Pemerintah (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasional sehingga dapat mengimbangi kecenderungan mengkonsumsi (C) dalam perekonomian.


(48)

b) Teori Wagner

Wagner menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran Pemerintah akan meningkat. Terutama disebabkan karena Pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Formulasi hukum Wagner ialah sebagai berikut :

PPk PkPP > 1 1   t t PPk PkPP > 2 2   t t PPk PkPP >...> n t n t PPk PkPP   Keterangan :

PkPP = Pengeluaran Pemerintah per kapita PPk = Pendapatan nasional per kapita 1,2,..,n = Indeks waktu (tahun)

Wagner mendasarkan pandangannya pada suatu teori yang disebut organic theory of state yaitu teori yang menganggap Pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dengan masyarakat yang lain. Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran Pemerintah selalu meningkat yaitu :

a. Tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan b. Kenaikan tingkat pendapatan masyarakat

c. Urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi d. Perkembangan demografi; dan


(49)

Pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antar industri dan hubungan antar industri dengan masyarakat akan semakin kompleks sehingga potensi terjadinya kegagalan eksternalitas negatif menjadi semakin besar. Namun teori Wagner memiliki kelemahan yaitu tidak didasari pada teori pemilihan barang-barang publik (Dumairy,1997).

c) Teori Peacock dan Wiseman

Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman menyebutkan bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin meningkat pula. Oleh karena itu dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah semakin besar. Begitu juga dengan pengeluaran pemerintah yang menjadi semakin besar juga. Peacock dan Wiseman menjelaskan bahwa perkembangan pengeluaran pemerintah tidak berbentuk garis tetapi berbentuk tangga seperti yang ditunjukkan oleh gambar di bawah ini:


(50)

Pengeluaran Pemerintah

Wagner, Solow, Musgrev

Peacock – Wiseman

0 Tahun

Gambar 2.1. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Pelaksanaan pembangunan merupakan program yang memerlukan keterlibatan segenap unsur lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam pembangunan adalah sebagai katalisator dan fasilitator tentu membutuhkan berbagai sarana dan fasilitas pendukung, termasuk anggaran belanja dalam rangka terlaksananya pembangunan yang berkesinambungan. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan sebagian lagi untuk kegiatan pembangunan diberbagai jenis infrastruktur yang penting. Anggaran-anggaran tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi.


(51)

2.3.5 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah

Dalam rangka menutupi kesenjangan antara kebutuhan pembangunan dengan kemampuan dana dalam negeri, maka penerbitan obligasi pemerintah masih tetap dibutuhkan. Akan tetapi apabila pengeluaran pemerintah sangat besar, penerbitan obligasi pemerintah pun akan semakin besar pula. Hal ini dikarenakan untuk menutupi defisit APBN ataupun untuk pembangunan dalam negeri. Oleh karena itu, pembiayaan proyek harus dimanfaatkan secara lebih optimal terutama bagi kegiatan ekonomi yang produktif dan dilaksanakan secara lebih transfaran, efektif dan efisien. Pembiayaan proyek dimanfaatkan untuk pembangunan sumber daya manusia dibidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial lainnya (Kamaluddin,1999). Dari pernyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh antara pengeluaran pemerintah terhadap penerbitan obligasi pemerintah adalah positif.

2.4 Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

Pinjaman luar negeri adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam Rupiah. Termasuk dalam pengertian pinjaman luar negeri adalah pinjaman dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri (Sanuri,2005).


(52)

Menurut Basri (2003) pinjaman luar negeri dapat diterangkan melalui pendekatan pendapatan nasional. Sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, pinjaman luar negeri dibutuhkan untuk menutupi 3 (tiga) defisit yaitu kesenjangan tabungan investasi, defisit anggaran, dan defisit transaksi berjalan. Hubungan ketiga defisit ini dapat dijelaskan dengan menggunakan kerangka teori

three gap model yang diperoleh dari persamaan identitas pendapatan nasional, yaitu: a. Sisi Pengeluaran

Y = C+ I + G + (X-M)………..(1) Dimana:

Y = Produk Domestik Bruto C = Total konsumsi masyarakat I = Ivestasi swasta

G = Pengeluaran pemerintah X = Ekspor barang dan Jasa M = Impor barang dan jasa

b. Sisi Pendapatan

Y = C+ S + T………(2) Dimana:


(53)

Jika kedua sisi identitas pendapatan nasional digabung, maka akan diperoleh: (M-X) = (I-S) + (G-T)………...…(3) Dimana:

(M-X) = Defisit transaksi berjalan (I-S) = Kesenjangan tabungan investasi (G-T) = Defisit anggaran pemerintah

2.4.1 Karakteristik Pinjaman Luar Negeri

Pinjaman luar negeri Indonesia dibedakan dalam 2 kelompok besar, yaitu (Sanuri,2005):

1. Pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah (public debt) 2. Pinjaman luar negeri yang diterima swasta (private debt).

Apabila pinjaman luar negeri dilihat dari sumber dananya, maka terbagi atas :

a. Pinjaman Multilateral, yaitu pinjaman yang berasal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).

b. Pinjaman Bilateral, yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) maupun antar negara secara langsung (intergovernment).

c. Pinjaman Sindikasi, yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman


(54)

tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai sindication

leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat komersial

(commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang

(floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement

merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.

Pinjaman luar negeri dilihat dari segi persyaratannya, dapat dibedakan :

a. Pinjaman Lunak (Concessional Loan), yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Pinjaman lunak biasanya diperoleh dari negara-negara yang tergabung dalam kerangka CGI maupun non CGI. Concessional loan biasanya juga diartikan sebagai pinjaman yang diperoleh dari Official Development Assitance (ODA) baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Berdasarkan Inpres No.8 tahun 1984 pinjaman yang dapat diklasifikasikan pinjaman lunak harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

Jangka waktu pengembalian pinjaman selama 25 tahun atau lebih. Masa tenggang (grace period) pembayaran pokok pinjaman selama 7 sampai dengan 10 tahun.

Tingkat bunga pinjaman berkisar 2% sampai dengan 3%.


(55)

b. Pinjaman setengah lunak (semi concessional loan), yaitu pinjaman yang penggunaannya hampir sama dengan penggunaan pinjaman lunak, namun persyaratannya lebih berat dari pinjaman lunak tetapi lebih ringan daripada pinjaman komersial.

Pinjaman semi lunak terdiri dari:

1. Fasilitas Kredit Ekspor (FKE), adalah pinjaman luar negeri yang disediakan oleh suatu badan pengembangan ekspor di luar negeri kepada Pemerintah Indonesia untuk membiayai pembelian barang modal bagi proyek tertentu. Fasilitas pinjaman ini dijamin oleh Pemerintah negara yang bersangkutan atau lembaga yang ditunjuk. Pada umumnya FKE diberikan hanya sebesar 65% sampai dengan 90% dari keseluruhan nilai proyek yang dibiayai, sedangkan sisanya dibiayai dengan dana sendiri atau dana pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat dalam bentuk Suppliers Credit atau Buyers Credit. Buyers Credit adalah pinjaman FKE yang diterima dari bank komersial atau lembaga keuangan bukan bank luar negeri, dimana tujuan pinjaman tersebut adalah untuk pembelian barang dari negara pemberi pinjaman. Suppliers Kredit adalah pinjaman FKE yang diterima Pemerintah langsung dari pemasok barang (supplier) di luar negeri kepada Pemerintah RI yang akan diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan proyek.


(56)

2. Purchase Installment Sale Agreement (PISA), yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.

3. Pinjaman Komersial (Commercial Loan), yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional.

2.4.2 Prinsip Dasar Penerimaan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

Prinsip dasar dan pertimbangan dalam menerima setiap pinjaman luar negeri adalah (Dumairy,1997):

1. Pinjaman yang diterima harus berjangka panjang dengan syarat-syarat yang ringan, yaitu syarat yang masih dapat dipenuhi secara normal dan wajar.

2. Pinjaman yang diterima tidak disertai dengan suatu ikatan politik apapun dan dilandasi azas yang saling menguntungkan secara wajar.

3. Jumlah dan syarat pinjaman disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar kembali dan tidak menimbulkan beban yang terlalu memberatkan


(57)

jumlah utang dan bunga pada satu periode dengan hasil ekspor pada periode yang sama atau disebut Debt-Service ratio (DSR).

4. Penggunaan dan penarikan dana pinjaman tidak terlalu ketat dan lebih disukai jenis pinjaman yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

5. Sumber dana pinjaman harus jelas dan pihak kreditor dikenal mempunyai reputasi yang baik.

6. Perlu adanya penganekaragaman (diversifikasi) sumber dan bentuk pinjaman, sehingga dapat meningkatkan borrowing capacity Indonesia.

7. Penggunaan pinjaman diarahkan pada pembiayaan proyek-proyek yang memberi manfaat langsung bagi pengembangan industri dalam negeri serta mendorong perluasan lapangan kerja.

8. Penggunaan pinjaman tidak dibatasi untuk impor barang/jasa dari negara pemberi pinjaman saja, tetapi hendaknya bebas digunakan untuk kepentingan impor dari negara lain.

2.4.3 Peranan Pinjaman Luar Negeri Dalam APBN

Dalam struktur APBN, pinjaman luar negeri dimaksudkan sebagai penerimaan pembangunan yang berasal dari pinjaman program dan pinjaman proyek. Pinjaman proyek merupakan pinjaman luar negeri yang sejak awal direncanakan untuk membiayai proyek-proyek tertentu, sedangkan pinjaman program digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.


(58)

Pada saat ini Pemerintah mengajukan pilihan pada pinjaman luar negeri karena pinjaman luar negeri mempunyai fungsi (Dumairy,1997):

a. Mengatasi kesulitan modal untuk membiayai pembangunan b. Mengatasi kesulitan valuta asing

c. Mengurangi tekanan inflasi dibanding dengan pembiayaan deficit spending

melalui pencetakan uang

d. Memasukkan teknologi maju atau tenaga ahli dari luar negeri.

Sumber dalam negeri seperti pencetakan uang tidak dilakukan, karena hal tersebut akan mengakibatkan tingginya inflasi dalam negeri yang dapat merusak sendi perekonomian Indonesia.

2.4.4 Pengaruh Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah

Pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah dimaksudkan sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan disamping sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri berupa hasil perdagangan luar negeri, penerimaan pajak dan tabungan. Salah satu masalah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah keterbatasan modal dalam negeri. Hal ini tercermin pada angka kesenjangan tabungan investasi Saving-Investment Gap dan Foreigan Exchange Gap.


(59)

Saving Investment gap menggambarkan kesenjangan antara tabungan dalam negeri dengan dana investasi yang dibutuhkan, sedangkan Foreign Exchange Gap menggambarkan kesenjangan antara kebutuhan devisa untuk membiayai impor barang/jasa dengan penerimaan devisa hasil expor barang/jasa. Dan apabila pinjaman luar negeri pemerintah mengalami peningkatan, maka surat utang negara yang diterbitkan mengalami penurunan. Oleh karena itu negara-negara berkembang membutuhkan pinjaman luar negeri untuk menutup kekurangan kebutuhan pembiayaan investasi dan untuk membiayai defisit transaksi berjalan (current

account) neraca pembayaran dalam rangka pembiayaan transaksi internasional

sehingga posisi cadangan devisa tidak terganggu (Sanuri,2005). Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa pengaruh antara pinjaman luar negeri pemerintah dengan penerbitan obligasi adalah negatif.

2.5 Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 2.5.1 Pengertian Suku Bunga

Suku bunga bank dapat dikatakan sebagai balas jasa yang diberikan kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga dapat juga dikatakan sebagai biaya yang dikeluarkan sebagai balas jasa karena telah menggunakan uang orang lain. Namun dalam dunia perbankan, suku bunga dapat dikatakan sebagai harga yang harus dikeluarkan oleh bank kepada nasabah yang menyimpan dana (Hamzah,2005).


(60)

2.5.2 Pengertian dan sejarah Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada prinsipnya adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bank sentral sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dan diperjualbelikan dengan sistem diskonto (Hamzah,2005).

Sertifikat Bank Indonesia pertama kali diterbitkan pada tahun 1970 dengan sasaran utama untuk menciptakan pasar uang yang hanya diperdagangkan antar bank. Namun setelah dikeluarkannya kebijaksanaan yang memperkenalkan bank-bank menerbitkan sertifikat deposito pada tahun 1972 dengan terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia, maka SBI tidak lagi diterbitkan karena sertifikat deposito dianggap akan menggantikan SBI. Oleh karena itu, SBI sebenarnya hanya beredar kurang lebih satu tahun. Namun dengan berubahnya pendekatan kebijakan moneter, maka Bank Indonesia kembali menerbitkan SBI sebagai instrumen kebijakan operasi pasar terbuka (open market operation) terutama untuk kontraksi moneter.

Selain sebagai piranti operasi pasar terbuka, penggunaan SBI pada dasarnya sama dengan penggunaan Treasury Bills (T-Bills) di pasar uang Amerika Serikat. Melalui penggunaan SBI tersebut, Bank Indonesia dapat secara tidak langsung mempengaruhi tingkat suku bunga di pasar uang dengan cara mengumumkan Stop Out Rate (SOR). SOR adalah suatu tingkat suku bunga yang diterima Bank Indonesia


(61)

akan dapat dipakai sebagai indikator bagi tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya (Nopirin,1992).

2.5.3 Pihak yang Berhak Memiliki SBI

Sejalan dengan ide dasar penerbitan SBI sebagai salah satu piranti operasi pasar terbuka, penjualan SBI diprioritaskan pada lembaga perbankan. Tetapi tidak tertutup kemungkinan masyarakat baik perorangan maupun perusahaan untuk dapat memiliki SBI. Pembelian SBI oleh masyarakat tidak dapat dilakukan secara langsung kepada Bank Indonesia, melainkan harus melalui bank umum serta pialang pasar uang dan pialang pasar modal yang ditunjuk bank Indonesia. Proses pembelian SBI dapat digambarkan sebagai berikut (www.bi.go.id):

Bank Perusahaan/

Perorangan

Gambar 2.2. Proses Pembelian SBI

Bank Indonesia Pialang Pasar


(62)

2.5.4 Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Penerbitan Obligasi Pemerintah

Harga obligasi pemerintah yang dijual akan selalu berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena obligasi pemerintah lebih likuid dibanding obligasi korporasi. Perubahan harga obligasi tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat bunga. Harga obligasi ini berbanding terbalik dengan tingkat suku bunga. Artinya kalau suku bunga naik, maka harga obligasi akan turun dan sebaliknya (Djamin, 1993).

Tingkat suku bunga yang cenderung menurun akan menjadi momentum bagi para emiten, baik korporasi BUMN dan swasta maupun pemerintah untuk menerbitkan obligasi. Dengan turunya tingkat suku bunga, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar bunga atau kupon menjadi lebih rendah sehingga obligasi yang diterbitkan menjadi bertambah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara tingkat suku bunga Bank Indonesia dengan penerbitan obligasi pemerintah adalah negatif.

2.6 Penelitian Sebelumnya

Engen dan Skiner (1992), melakukan penelitian dengan menggunakan data

cross section dari 107 negara pada periode 1970-1985 yang mengembangkan sebuah


(63)

Lubis (2009), meneliti tentang pengaruh nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP berpengaruh simultan dan signifikan terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia.

Hasil studi yang dilakukan Arif dan Sasono (Kuncoro, 1989) menyatakan bahwa sejak Pemerintahan Orde Baru, defisit anggaran selalu ditutupi dengan Pembiayaan (hutang) Luar Negeri. Mereka berkesimpulan terdapat korelasi negatif antara Hutang Luar Negeri dengan anggaran belanja negara. Hal ini disebabkan bahwa hutang tersebut lebih banyak berfungsi sebagai penyedia sumber pembiayaan negara dan surplus impor daripada berfungsi sebagai penambah sumber-sumber yang di investasikan.

Ghani dan Zang (1995), dalam penelitiannya menggunakan model Branson mengenai sustainebelitas Utang Luar Negeri dan mengaplikasikannya pada negara miskin dan terjerat utang seperti Ethiopia. Dengan menyederhanakan Utang Luar Negeri Ethiopia dalam sebuah elemen integral dari stabilitas makroekonomi. Interaksi antara berbagai variabel kebijakan (utang, fiskal dan suku bunga) dengan variabel hasil (PDB dan pertumbuhan ekspor) dan kondisi ekonomi internasional, kemudian menggabungkannya apakah negara tersebut sudah berada pada jalur Utang Luar Negeri yang sustaineibel.

Ada tiga hal mengenai kesimpulannya:


(64)

2) Isu adanya debt-relief membutuhkan pertimbangan yang serius oleh masyarakat internasional pemberi pinjaman.

3) Mobilisasi sumberdaya dan pertumbuhan membutuhkan penekanan yang tepat untuk memastikan terbayarnya kembali Utang Luar Negeri.

Suhud (2004), menurut Suhut selama masa campur tangan IMF di Indonesia setelah adanya krisis moneter menunjukkan banyak saran-saran yang diberikan kepada pemerintah Indonesia tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena saran-saran yang diberikan IMF selalu terganjal dengan masalah pendanaan. Saran-saran tersebut tidak dapat berjalan karena sebelumnya pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia berasal dari Utang Luar Negeri.

Siahaan (2006), menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga SBI terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka Rekapitalisasi perbankan. Dengan menggunakan metode estimasi Ordinary Least Square pada periode 1989-2005, menyimpulkan bahwa inflasi dan suku bunga SBI memiliki pengaruh negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka rekapitalisasi perbankan.


(65)

2.7 Kerangka Konseptual Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, landasan teori dan berbagai penelitian sebelumnya, maka dibentuk suatu kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:

Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

Suku bunga SBI

Penerimaan Negara tahun sebelumnya

Penerbitan Obligasi Pemerintah Pengeluaran Pemerintah

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Penelitian Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerbitan Obligasi Pemerintah di Indonesia


(66)

2.8 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Berdasarkan tinjauan pustaka yang diuraikan di atas, maka hipotesis yang dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Penerimaan negara tahun sebelumnya memiliki pengaruh negatif terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia, ceteris paribus.

2. Pengeluaran Pemerintah memiliki pengaruh positif terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia, ceteris paribus.

3. Pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia memiliki pengaruh negatif terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia, ceteris paribus.

4. Suku bunga Bank Indonesia (SBI) memiliki pengaruh negatif terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia, ceteris paribus.


(67)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam mengumpulkan informasi empiris guna memecahkan masalah dan menguji hipotesis dari penelitian.

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengamati dan menganalisis variabel-variabel ekonomi makro yaitu pengaruh penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran Pemerintah, pinjaman luar negeri Pemerintah, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terhadap penerbitan obligasi Pemerintah di Indonesia, dengan kurun waktu 7 tahun (2003-2009) dalam bentuk data triwulan sehingga sampel data menjadi 28.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Sumatera Utara, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) dan Laporan Tahunan Bank Indonesia (LTBI).


(68)

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan pencatatan secara langsung berupa data time series dari tahun 2003-2009 dan juga dengan cara menelaah berbagai bahan pustaka seperti buku, jurnal serta laporan-laporan ilmiah yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti.

3.4 Pengolahan Data

Dalam melakukan pengolahan data penelitian, penulis menggunakan program E-views 5.1.

3.5 Model Analisis Data

Dalam menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen digunakan model ekonometrika. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square atau OLS). Data yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik yaitu dalam bentuk persamaan linear berganda.

Fungsi persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Penerbitan Obligasi Pemerintah = f (Penerimaan negara tahun sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah, Suku bunga


(69)

Kemudian dibentuk dalam model ekonometrika dengan persamaan regresi linear berganda:

LogPOP= α0 + α1LogPN(t-1) + α2LogGE + α3LogPLNP + α4LogSBI + μ..…...(2)

Dimana:

POP = Penerbitan Obligasi Pemerintah (dalam rupiah) α0 = Intercept

PN(t-1) = Penerimaan negara tahun sebelumnya (dalam rupiah) GE = Pengeluaran Pemerintah (dalam rupiah)

PLNP = Pinjaman Luar Negeri Pemerintah (dalam rupiah) SBI = Suku bunga SBI (dalam persen)

α 1,α 2,α 3, α 4, = Koefisien Regresi μ = Error Term

3.6 Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit) Uji kesesuaian dilakukan dengan cara :

a. Penilaian terhadap koefisien determinasi (R2), bertujuan untuk mengetahui kekuatan variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat.

b. Uji parsial (t–test), bertujuan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima. 


(70)

probabilitas (p-value). Apabila nilai probabilitas lebih kecil dari  , maka Ho ditolak dan sebaliknya apabila nilai probabilitas lebih besar dari , maka Ho diterima.

c. Uji serempak (f–test), bertujuan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak. Jika F hitung > F tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima.

3.7 Uji Asumsi Klasik

Gujarati (2003) dalam Pratomo dan Hidayat (2007) mengemukakan beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi untuk suatu hasil estimasi regresi linier agar hasil tersebut dapat dikatakan baik dan efisien. Adapun asumsi klasik yang harus dipenuhi antara lain :

1. Model regresi adalah linier, yaitu linier dalam parameter.

2. Residual variabel pengganggu (µi) mempunyai nilai rata-rata nol (zero mean value of disturbance µi).

3. Tidak ada autokorelasi antara variabel pengganggu (µi).

4. Jumlah data (observasi) harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah parameter yang akan diestimasi.

5. Tidak ada multikolinearitas.


(71)

Berdasarkan kondisi tersebut di dalam ilmu ekonometrika, agar suatu model dikatakan lebih baik dan sahih, maka perlu dilakukan beberapa pengujian.

3.7.1 Uji Multikolinearitas

 Dikenalkan oleh Ragnar Frisch (1934). Sebuah model regresi dikatakan terkena multikolinearitas apabila terjadi hubungan linier yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel bebas dari suatu model regresi. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat yaitu :

1. Korelasi antar variabel.

Apabila nilai R yang dihasilkan dari hasil estimasi model empiris sangat tinggi, tetapi tingkat signifikansi variabel bebas sangat rendah (tidak ada atau sangat sedikit variabel bebas yang signifikan) berarti terdapat multikolinearitas antar variabel.

2

2. Menggunakan korelasi parsial.

Apabila nilai R dari masing- masing variabel independen lebih kecil dari nilai R model berarti tidak terdapat masalah multikolinieritas antar variabel.

2

2

3.7.2 Uji Autokorelasi

Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa faktor pengganggu yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh faktor pengganggu pada pengamatan lainnya. Apabila ada gangguan antara anggota serangkaian observasi


(72)

pada data runtun waktu maka akan muncul autokorelasi. Masalah autokorelasi biasanya muncul pada data time series. Dalam data tersebut, observasi diurutkan secara kronologis sehingga sangat memungkinkan terjadinya hubungan terutama bila selang waktu pengamatan sangat pendek (Pratomo dan Hidayat, 2007).

Cara mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Langrange Multiplier (LM Test). Uji LM Test bertujuan untuk menguji autokorelasi dengan keberadaan variabel dependen yang diperlamban dengan menganalisis seberapa baik residu-residu yang diperlamban menjelaskan pada persamaan awal. Jika residu yang diperlamban signifikan dalam menjelaskan residu- residu time series, maka Ho ditolak yang berarti tidak ada autokorelasi atau apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari  maka hasil estimasi terbebas dari autokorelasi (Sarwoko, 2005).

3.7.3 Uji Normalitas

Asumsi dalam OLS adalah nilai rata-rata dari faktor pengganggu (µi) adalah nol. Untuk menguji apakah normal atau tidaknya faktor pengganggu, maka perlu dilakukan uji Normalitas dengan menggunakan Jarque–Berra Test (J-B test).

Kriterianya :

1. Apabila nilai 2 tabel (0,05) > nilai Jarque Berra normality test statistic, maka µ berdistribusi normal.


(73)

3.8 Definisi Operasional Variabel

1. Obligasi Pemerintah adalah surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia untuk membiayai keperluan pemerintah yang menjanjikan pembayaran bunga secara periodik dan pembayaran pokok pada saat jatuh tempo, yang dinyatakan dalam rupiah.

2. Penerimaan negara adalah sejumlah anggaran yang diterima pemerintah melalui penerimaan pajak, bukan pajak dan hibah, yang dinyatakan dalam rupiah.

3. Pengeluaran Pemerintah adalah sejumlah anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, baik dalam bentuk pengeluaran rutin dan pengeluaran untuk pembiayaan pembangunan, yang dinyatakan dalam rupiah.

4. Pinjaman luar negeri Pemerintah adalah setiap penerimaan pemerintah Indonesia baik devisa maupun non devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri, yang dinyatakan dalam rupiah.

5. Suku bunga SBI adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai balas jasa atas pembelian Sertifikat Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam persen.


(74)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian 4.1.1 Perkembangan Keuangan Pemerintah

Tekanan eksternal berupa turbulensi nilai tukar dan tekanan internal akibat krisis ekonomi dan stabilitas politik yang terjadi pada tahun 1997 sangat mempengaruhi keuangan Pemerintah. Sampai triwulan kedua 1997/98 keuangan pemerintah masih mencatat surplus Rp.8 triliun. Akan tetapi, akibat dari depresiasi rupiah yang terus memburuk membuat performa perekonomian dipertengahan triwulan ketiga mengalami defisit akibat pengeluaran Pemerintah jauh melampaui total penerimaan Negara dan hibah. Pengeluaran Pemerintah membengkak akibat pembiayaan luar negeri dan amortisasi meningkat tajam akibat melemahnya kurs rupiah terhadap mata uang luar negeri, khususnya pembiayaan melalui dollar Amerika Serikat.

Total utang luar negeri per Maret 1998 mencapai 138 milyar dollar AS. 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa hanya 14,44 milyar dollar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp.4.850/dollar AS pada tahun 1997,


(1)

Lubis, Richard Noviandi. 2009. pengaruh nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia. USU Repository©2008.

Mankiw, N.,Gregory. 2003. Pengantar Ekonomi. Edisi Kedua Jilid 2. Alih bahasa: Haris Munandar. Jakarta: Erlangga.

Mangkoesoebroto,G. 2001. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia, Substansi dan Urgensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Buku 2. Yogyakarta : BPFE.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat. 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews dalam Ekonometrika. Medan : USU Press.

Rahardjo, Sapto. 2003. Panduan Investasi Obligasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 1992. Makro Ekonomi, Edisi XIV. Alih bahasa: Haris Munandar. Jakarta : Erlangga.

Sanuri. 2005. Beberapa Aspek Pokok Pinjaman Luar Negeri. Jakarta: ULN, BI.

Siahaan, Welfania. 2006. Analisis pengaruh inflasi dan suku bunga SBI terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka rekapitalisasi perbankan. USU Repository©2005.

Suminto. 2004. Pengelolaan APBN Dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara. Jakarta : Ditjen Anggaran, Depkeu.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.

Suhud, Muhammad. 2004. Debt Of Indonesia Post IMF Program. INFID.


(2)

Hasil Estimasi OLS

Dependent Variable: LPOP Method: Least Squares Date: 06/08/11 Time: 21:30 Sample: 2003:1 2009:4 Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -8.426144 0.724191 -11.63524 0.0000

LPN -1.562532 0.622767 -2.509017 0.0196

LGE 3.489645 0.710090 4.914368 0.0001

LPLNP -0.370484 0.044213 -8.379519 0.0000

LSBI -0.232857 0.163037 -3.428244 0.0467

R-squared 0.972380 Mean dependent var 2.655546 Adjusted R-squared 0.967576 S.D. dependent var 0.866205 S.E. of regression 0.155974 Akaike info criterion -0.717825 Sum squared resid 0.559540 Schwarz criterion -0.479931 Log likelihood 15.04954 F-statistic 202.4315 Durbin-Watson stat 1.761931 Prob(F-statistic) 0.000000


(3)

Lampiran 2

Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas

Dependent Variable: LPN Method: Least Squares Date: 06/08/11 Time: 21:35 Sample: 2003:1 2009:4 Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.510023 0.213319 -2.390891 0.0250

LGE 1.125090 0.037789 29.77321 0.0000

LSBI -0.076666 0.051096 -1.500438 0.1465

LPLNP 0.004367 0.014464 0.301936 0.7653

R-squared 0.955292 Mean dependent var 5.020265 Adjusted R-squared 0.933453 S.D. dependent var 0.397433 S.E. of regression 0.051124 Akaike info criterion -2.977580 Sum squared resid 0.062727 Schwarz criterion -2.787265 Log likelihood 45.68612 F-statistic 535.9108 Durbin-Watson stat 0.447215 Prob(F-statistic) 0.000000 Dependent Variable: LPLNP

Method: Least Squares Date: 06/08/11 Time: 21:38 Sample: 2003:1 2009:4 Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.782415 3.323616 -0.536288 0.5967

LPN 0.866484 2.869763 0.301936 0.7653

LGE 0.624569 3.275888 0.190657 0.8504

LSBI -0.357784 0.749164 -0.477578 0.6373 R-squared 0.425666 Mean dependent var 4.936909

Adjusted R-squared 0.353874 S.D. dependent var 0.895854 S.E. of regression 0.720105 Akaike info criterion 2.312724


(4)

Dependent Variable: LSBI Method: Least Squares Date: 06/08/11 Time: 21:45 Sample: 2003:1 2009:4 Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.086944 0.800389 2.607411 0.0154

LPLNP -0.026312 0.055094 -0.477578 0.6373

LPN -1.118616 0.745527 -1.500438 0.1465

LGE 1.158248 0.857027 1.351472 0.1891

R-squared 0.171716 Mean dependent var 2.184807 Adjusted R-squared 0.068180 S.D. dependent var 0.202299 S.E. of regression 0.195281 Akaike info criterion -0.297193 Sum squared resid 0.915230 Schwarz criterion -0.106878 Log likelihood 8.160705 F-statistic 1.658521 Durbin-Watson stat 0.707673 Prob(F-statistic) 0.202456 Sample: 2003:1 2009:4

Included observations: 28

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.555301 0.174613 3.180182 0.0040

LSBI 0.061059 0.045179 1.351472 0.1891

LPLNP 0.002421 0.012700 0.190657 0.8504

LPN 0.865388 0.029066 29.77321 0.0000

R-squared 0.904918 Mean dependent var 5.045132 Adjusted R-squared 0.893033 S.D. dependent var 0.344211 S.E. of regression 0.044837 Akaike info criterion -3.240021 Sum squared resid 0.048248 Schwarz criterion -3.049706 Log likelihood 49.36029 F-statistic 522.4286 Durbin-Watson stat 0.443585 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Lampiran 3

Hasil Estimasi Uji Autokorelasi dengan LM Test

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 7.640330 Probability 0.073212 Obs*R-squared 11.79302 Probability 0.062749 Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 06/08/11 Time: 21:50

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.018172 0.576868 0.031500 0.9752

LPN -0.239861 0.541878 -0.442648 0.6625

LGE 0.253908 0.608464 0.417294 0.6807

LPLNP -0.000662 0.035362 -0.018707 0.9853 LSBI -0.045893 0.134043 -0.342377 0.7355 RESID(-1) 0.773793 0.211456 3.659352 0.0015 RESID(-2) -0.214885 0.234548 -0.916166 0.3700 R-squared 0.421179 Mean dependent var -4.63E-15 Adjusted R-squared 0.255802 S.D. dependent var 0.143957 S.E. of regression 0.124188 Akaike info criterion -1.121730 Sum squared resid 0.323873 Schwarz criterion -0.788679 Log likelihood 22.70422 F-statistic 2.546777 Durbin-Watson stat 2.122167 Prob(F-statistic) 0.051810


(6)

Hasil Estimasi Uji Normalitas dengan Jarque – Berra Test

0 1 2 3 4 5 6 7 8

-0.4 -0.2 0.0 0.2

Series: Residuals Sample 2003:1 2009:4 Observations 28

Mean -4.63E-15

Median 0.024307

Maximum 0.216983

Minimum -0.362644

Std. Dev. 0.143957

Skewness -0.851590

Kurtosis 2.993942

Jarque-Bera 3.384336